Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ainul Qalbi
Abstrak :
Perang selama ini dalam pemikiran masyarakat awam dikenal sebagai suatu peristiwa yang memilukan, tidak adil, dan sebagai sebuah tragedi kemanusiaan. Namun, perang sebenarnya dapat menjadi suatu peristiwa yang adil. Dalam upaya mencapai keadilan tersebut, Agustinus mencetuskan sebuah teori yang mengatur apa saja yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan oleh pihak-pihak yang berperang, yang dikenal sebagai Just War Theory. Ada pun teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Michael Walzer pada abad 20. Just War Theory yang dikembangkan oleh Walzer ini menjadi alat analisis yang akan penulis pergunakan untuk membuktikan pelaksanaan Perang Dunia II di Eropa sebagai sebuah perang yang adil. ......War is commonly known as an event that only brings misery, injustice, and a tragedy of humanity. But, war actually can become an event which is just. In order to make war as a just war, Augustine arranged some theories that can make a war become a just war, which is known as “Just War Theory”. In the 20th century, Michael Walzer has successfully developed the just war theory into a whole new level. In my opinion, this theory can become an instrument to prove that there are justice that contained in World War II in European Region, and this war is a just war that happened in the 20th century.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sopa Merim Pemere
Abstrak :
Penilaian moral terhadap hewan, mengharuskan penelusuran kembali metafisis moral, yang merupakan reason dari manusia. Moral adalah fitur yang dimiliki manusia sebagai pendoman atas baik-buruk, benar-salah, etis-tidak etisnya tindakan manusia, yang merupakan bagian dari kesadaran manusia terhadap kediriannya serta nilai-nilai kebaikan. Moral merupakan faktor utama yang membentuk distingsi manusia dan hewan, dan menjadikan penilaian akan moral itu sendiri berbeda antara dengan manusia sebagai moral being, dan hewan non-moral being. Penilaian etis terhadap manusia, mewajibkan pelandasan penilaian tersebut pada hukum moral, yang terbentuk atas dialog dan persetujuan yang dilakukan moral being. Berbeda dengan penilaian etis terhadap hewan, hukum moral tidak dapat dihadirkan, akibat hewan memiliki keterbatasan yang lebih dalam kemampuan kongnitifnya, hingga tidak dapat menyuarakan kediriannya dalam dialog moral. Sehingga penilaian kita terhadap hewan hanya dapat dihubungkan dengan komponen-komponen perasaan moral yaitu virtue, simpati, dan piety. Dan perasaan moral tersebut akan merujuk kembali pada faktor-faktor kekerabatan spesies dan kesamaan-kesamaan yang dimiliki. Penilaian etis terhadap hewan merupakan hal yang sifatnya partikular, dan tetap mengharuskan adanya pendekatan berdasarkan kepentingan yang juga dimiliki hewan. ......A moral judgment on animal, require us to trace back the metaphysics of moral which act as man's reason. Morale is man's features that act as a guidance on the good-bad, right-wrong, ethical-non-ethical of human's behavior. It is a part of human‟s consciousness of its being and its virtue. Morale is the main factor that distinct man and animal, and therefore the moral judgment itself differ between man as a moral being and animal as a non-moral being. An ethical judgment on man requires a foundation on moral law that is formed from a dialog and agreement done between moral beings. In ethical judgment on animal, we can‟t bring moral law as its foundation for animal have a limitation on its cognitive abilities; therefore, it can‟t express itself as a being in a moral dialog. In making a judgment on animal, we can only connect by components of moral sentiment, which are virtue, sympathy, and piety, and those moral sentiments will refer back on its species relation factor and the similarities they share. An ethical judgment on animal is of particular nature, and still requires an approach based on an interest that is also owned by animals.;A moral judgment on animal, require us to trace back the metaphysics of moral which act as man's reason. Morale is man's features that act as a guidance on the good-bad, right-wrong, ethical-non-ethical of human's behavior. It is a part of human‟s consciousness of its being and its virtue. Morale is the main factor that distinct man and animal, and therefore the moral judgment itself differ between man as a moral being and animal as a non-moral being. An ethical judgment on man requires a foundation on moral law that is formed from a dialog and agreement done between moral beings. In ethical judgment on animal, we can‟t bring moral law as its foundation for animal have a limitation on its cognitive abilities; therefore, it can‟t express itself as a being in a moral dialog. In making a judgment on animal, we can only connect by components of moral sentiment, which are virtue, sympathy, and piety, and those moral sentiments will refer back on its species relation factor and the similarities they share. An ethical judgment on animal is of particular nature, and still requires an approach based on an interest that is also owned by animals.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46479
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dito Wicaksono
Abstrak :
Fokus dalam skripsi ini adalah status moral pre-natal human being. Awal mula perdebatan mengenai status moral pre-natal human being dapat ditelusuri melalui perdebatan antara kubu pro-life dan pro-choice. Dari sana, kita dapat melihat bahwa inti argumen dari keduanya adalah permasalahan mengenai kapan kehidupan manusia dimulai. Untuk menentukan ada atau tidaknya status moral dari pre-natal human being, skripsi ini menggunakan beberapa pendekatan etis yang relevan, seperti konsep personhood, hak asasi, dan pembedaan moral standing.
The Focus of this study is the moral status of pre-natal human being. This problem can be traced through from all debate between pro-life and pro-choice side. From that, we can see that both of them, have filling the argument with the problem about when human ife_s started. To determine whether there is or no moral status of pre-natal human being, this study applies some relevant ethical approachs, like a concept of personhood, basic rights, and distinction of morale standing.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16129
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Ardhi Mulia
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai religiusitas sebagai sarana mencapai eksistensi manusia secara optimal menurut filsafat Muhammad Iqbal. Sebuah kajian eksistensialisme kritik Iqbal tentang fatalisme Islam dan Materialisme Barat Modern. Manusia sebagai makhluk eksistensial dituntut untuk memenuhi eksistensi dirinya, bersifat aktif, dinamis, dan kuat. Manusia tidak seharusnya pasif, statis, bahkan menarik diri dari kepentingan duniawi dan tunduk secara buta pada ajaran tertentu. Materialisme Barat modern telah menghilangkan aspek metafisika dan mengakibatkan timbulnya krisis eksistensial manusia, alienasi, dan dehumanisasi.
This thesis discusses about religiosity as a means of achieving an optimal human existence according to the philosophy of Muhammad Iqbal. A study of Iqbal's critique of existentialism, fatalism of Islam and the West Modern Materialism. Human beings are required to meet the existential existence itself, is an active, dynamic, and strong. Human beings not supposed to passive, static, and even withdraw from worldly interests and blind submission to certain subjects. Modern Western materialism have omitted aspects of metaphysics and causes of human existential crisis, alienation, and dehumanization.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16143
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ari Saptahadi
Abstrak :
ABSTRAK
Berbagai macam kasus kerusakan lingkungan alam yang marak terjadi diduga bersumber pada kesalahan fundamental dalam pemahaman atau cara pandang manusia dalam berinteraksi dengan alam dan keseluruhan ekosistem. Kesalahan tersebut terdapat pada cara pandang manusia yang antroposentris sehingga perilaku dan tindakan manusia lebih eksploitatif bahkan destruktif terhadap alam. Hal tersebut membuktikan bahwa manusia mendominasi atas alam, dimana manusia merasa kedudukannya lebih tinggi daripada alam dan merasa hanya manusia yang memiliki nilai. Terkait dengan berbagai krisis lingkungan yang diakibatkan oleh perilaku dan tindakan manusia, fenomena pemanasan global muncul sebagai dampak dari perilaku dan tindakan manusia yang terwujud dalam kegiatan pembangunan dan industri kapitalistis yang telah berlangsung sejak revolusi industri. Kegiatan tersebut memberikan kontribusi negatif berupa emisi gas rumah kaca (GRK) yang konsentrasinya semakin lama semakin meningkat di atmosfer sehingga menyebabkan pemanasan global. Pemanasan global merupakan krisis lingkungan global yang berpotensi menimbulkan dampak yang berbahaya (catastrophic) bagi lingkungan alam dan mahluk hidup di bumi termasuk manusia. Maka diperlukan suatu perubahan baik sikap, perilaku, dan tindakan untuk menanganinya. Pendekatan dialektis Marx mengenai suatu pemulihan dan kelangsungan alam perlu dipertimbangkan untuk menangani permasalahan ini. Selain itu, peran etika lingkungan sangat berpengaruh dan bisa dijadikan landasan dalam merubah pola pikir dan cara pandang yang baru terhadap alam supaya relasi antara manusia dan alam bisa terjalin dengan baik dan harmonis.
ABSTRACT
Many cases of natural environment destruction which is occurred based on fundamental mistakes in understanding or insight of human beings in doing interactions with nature and the whole ecosystems. Those mistakes are in the human being's insight which is anthropocentric so that the human's habits and attitudes in doing something are more explorative, even destructive against the nature. It proves that human being is dominating upon the nature, whereas they think that human being has more precious things than the nature and human being only which has value. Based on the various crisis of environment which is caused by human being?s attitude, global warming phenomenon appears as an impact by human being?s attitude. It appears which caused by human being?s action in development and capitalistic industry since the beginning of Industry Revolution. Those actions have given negative contributions such as greenhouse gases (GHG) emission which have more concentration in the atmosphere so it makes global warming. Global warming is a global crisis of environment which can make dangerous impacts (catastrophic) for natural environment and all living being in the earth as well as human being. Therefore some changes are needed to handle such as attitude changes and habit changes. Dialectic Marx?s approaching about some recoveries and some continuity of the nature is needed to be considered to solve these problems. Besides, the role of the environment ethics is very influencing and can be a basic about mind changing and a new insight to the nature so that the relation between human being and the nature can be a good combination well and harmonic.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43647
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riko
Abstrak :
Tesis ini adalah upaya penelusuran penolakan Subjek yang terkandung di dalam teks Philosophical Investigations karya Ludwig Wittgenstein. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kritis dan metode perpustakaan. Untuk menopang pernyataan tesis, penelitian ini memanfaatkan konsep otonomi, konsep objektivasi, dan konsep strukturalisme. Hasil penelitian ini adalah Ludwig Wittgenstein telah memperlakukan bahasa dan subjek sebagai entitas yang terpisah, dan sekaligus menempatkan subjek ke dalam posisi yang inferior di hadapan bahasa. Selain itu, Ludwig Wittgenstein secara implisit menolak kehadiran subjek yang otonom di dalam bahasa. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa Ludwig Wittgenstein di dalam Philosophical Investigations menolak kehadiran subjek dalam menentukan makna kata. ...... This master's thesis is an attempt to reveal the refutation of Subject within Ludwig Wittgenstein Philosophical Investigations. This research is conducted through critical analysis method and library reseach method. In support of the thesis statement I took the benefit from the concept of authonomy, the concept of objectivation and the concept of structuralism. This research shows that Ludwig Wittgenstein considers language and Subject as a separate entity, and simultaneously regards Subject as inferior to language. In addition, Ludwig Wittgenstein implicitly refuses the presence of autonomy subject on behalf of language. Therefore, I conclude that Ludwig Wittgenstein in his Philosophical Investigations refuses the presence of Subject to determine the meaning of the word.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T41737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Baiquni Pratama
Abstrak :
[Teori ideologi Althusser yang telah selalu menginterpelasi individu sebagai subjek kerap dipandang sebagai sebuah pesimisme, hal itu karena subjek dibiarkan tenggelam dalam relasi sosialnya untuk terus melanggengkan kapitalisme. Meskipun demikian, pengertian ideologi yang sangat ekstrim tersebut sebetulnya hanya dapat dipahami secara utuh melalui konsep Althusser sebelumnya, yaitu overdeterminasi, di mana ideologi yang terletak pada dimensi suprastruktur juga dapat mempengaruhi basis. Dengan cara seperti itu maka teori ideologi Althusserian dapat dibaca secara lebih positif, bahwa overdeterminasi memungkinkan untuk menciptakan interpelasi diferensial. ...... , Althusser's theory of ideology that has always interpellated the individual as a subject is often seen as a pessimism, it is because the subject is allowed to settle in social relation to continue perpetuating capitalism. Nonetheless, the notion of extreme ideology was actually only be fully understood through the concept of the previous Althusser’s, that is overdetermination, where the ideology that is located on the dimensions of the superstructure can also affect the base. In this way the Althusserian theory of ideology can be read more positively, that overdetermination is possible to create differential interpellation.]
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S60286
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Nugraha
Abstrak :
Dalam pemikiran etika modern, eudaimonia dipandang tidak lagi relevan sebagai dasar dari moralitas atau bertindak etis. Hal ini terutama akibat kritik Kant terhadap etika eudaimonia, bahwa motivasi akan kebahagiaan hanya akan merusak inti dari moralitas. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban. Robert Spaemann bermaksud merehabilitasi etika eudaimonia dengan berusaha mencari titik temu antara kebahagiaan dan kewajiban. Pemisahan antara kebahagiaan dengan kewajiban adalah kesalahan dalam memahami dasar dari moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang moralitas haruslah bebas dari segala kepentingan dan memandang motivasi akan kebahagiaan bersifat egoistik. Kesalahan tersebut adalah konsekuensi dari ontologi modern yang tidak dapat menampung konsep tentang transendensi diri. Spaemann lantas beralih kepada konsep cinta, yang menurutnya mengubah kepentingan diri, sebagai hasil dari transendensi diri makhluk rasional. Dalam cinta, tidak ada lagi pertentangan antara motivasi akan kebahagiaan dan melakukan yang wajib. Hal ini karena dalam cinta, yang menjadi motivasi dari tindakan adalah realitas orang lain, dan dalam cinta pula seseorang memperoleh kebahagiaan atas realitas orang lain. ......In modern ethics, eudaimonia is considered as irrelevance to become a ground for morality or ethical actions. It is primarily an implication of Kant's critique to ethics of eudaimonia, that motif of happiness may corrupt the core of morality. According to Kant, morality is all about obligation. Robert Spaemann attempts to rehabilitate ethics of eudaimonia by seeking for a link between happiness and obligation. The separation between happiness and obligation is a mistake in attempt to understand the ground of morality. Kant makes a mistake by considering morality as free from any interest and also considering that motif of happiness is egoistic. That mistake is a consequence of modern ontology that unable to accommodate the concept of selftranscendency. Thus Spaemann turns to concept of love, which he thinks can change self-interest as the result from rational being's self-transcendency. In love, there is no opposition between motif of happiness and doing obligation. It is because, in love the motif of an action is other's reality; it is also in love that someone acquires happiness from other's reality.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42990
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkya Dian Maharani
Abstrak :
Skripsi ini merupakan sebuah telaah atas buku karya Jose Luiz Bermudez berjudul Thinking without Words. Manusia dalam kehidupan selalu menggunakan pikiran, kegiatan berpikir pun memiliki relevansi dengan bahasa. Namun, pada umumnya bahasa selalu dianggap sebagai sesuatu yang terdiri dari kata-kata yang menghasilkan kalimat. Hal itu merupakan pandangan ilmu linguistik terhadap bahasa. Maka, berpikir secara nonlinguistik berusaha untuk membuktikan bahwa bahasa tak hanya terlingkup oleh kata-kata dan pikiran adalah hal yang sebenarnya ?melampaui? pengetahuan terhadap kata-kata. ......This undergraduate thesis is a analysis of Thinking without Words by Jose Luiz Bermudez. In life, human always use thinking, that thinking as relevance activity with language. But, in common, there assume for language as a thing consist by words and producing sentence. That is point of view by linguistic. Therefore, nonlinguistic thought have different point to understand language. Thinking on a Nonlinguistic proves that language not just words zone and thinking is something beyond knowlwdge of words.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S1629
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Otong Jaelani
Abstrak :
Tesis ini membahas pemikiran Henry A. Giroux dengan konsepnya Border pedagogy yang menjadi landasan kuat bagi pendidikan multikultural. Konsep pendidikannya mengedepankan penghargaan atas keragaman budaya dan Jatar belakang peserta didik. Pendidikan yang dimaksudkannya tidak hanya terkait dengan persekolahan, tetapi juga pendidikan yang memperhatikan ruang publik yang menjamin keadilan dan demolcrasi. Apa yang teijadi di ruang publik semestinya menjadi sumber belajar yang memungkinkan peserta didik mengritisi dan memahami apa yang terjadi di sekelilingnya. Penelitian ini bersifat studi kepustakaan yang menggunakan metode hermeneutik sebagai upaya memahami dan merumuskan konsep dan pandangan teori border pedagogy yang menjadi landasan pendidikan multikultural. Hasil penelitian ini berimplikasi pada tuntutan demolcratisasi dalam pendidikan yang menjamin penghargaan atas perbedaan asal-usul, ras, jender, bahasa, dan agama peserta didik sehingga memungkinkan mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan demokratis. Konsep ini mengharuskan pendidik untuk merancang kurikulum yang relevan dengan peserta didik dan tetap mengritisi dokumen kurikulum apapun yang tersedia. Pemihakan pendidik dalam konteks ini adalah pada terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis.
This thesis discusses the thought of Henry A. Giroux about the concept of Border pedagogy that become a solid foundation for multicultural education. The concept of education emphasizes respect for cultural diversity and background of learners. Education is meant not only related to schooling, but also pays attention to the education of public space that ensures justice and democracy. What happens in public spaces should be a source of learning which enables learners to be criticized and understand what is going on around them. This is a literature study that uses hermeneutics methods as an attempt to understand and formulate the concept of border pedagogy theories as the foundation of multicultural education. The results of this study have implications for the demands of democratization of education that ensures respect for differences in origin, race, gender, language, and religion, allowing learners to realize a democratic society. This concept requires educators to design curriculum that are relevant to learners and able to criticize all of the available curriculum documents. Educators in this context are to create a democratic society.
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T44113
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>