Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gregorius Bhaskara Wikanendra
"Latar Belakang: Penyakit jantung koroner PJK merupakan penyebab kematian terbesar di dunia dengan penyumbang terbesar adalah infark miokard. Salah satu obat dalam penanganan PJK adalah Nitrat organik sebagai donor NO namun tidak dapat digunakan dalam jangka panjang. l-sitrulin berfungsi sebagai donor l-arginin yang akan dimetabolisme menjadi NO. Selain sebagai vasodilator, l-sitrulin juga menurunkan adhesi leukosit dan antioksidan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari potensi kardioprotektif L-citrulline terhadap infark miokard yang diinduksi oleh Isoproterenol dengan fokus pada aktivitas antioksidan.Metode: Penelitian ini menggunakan 24 tikus Wistar jantan berbobot 190-220gr yang dibagi kedalam 4 kelompok. Kelompok 1 dan 2 menerima air sementara kelompok 3 dan 4 menerima 300mg/kgBB dosis rendah dan 600mg/kgBB dosis tinggi l-sitrulin per hari peroral setiap hari. Induksi dilakukan dengan injeksi subkutan 85mg/kgBB isoproterenol pada hari ke-4 dan 5 untuk kelompok 2,3 dan 4 sementara kelompok 1 menerima normal saline. Tekanan darah dan EKG diukur pada hari ke-3 dan 6. Subyek dikorbankan pada hari ke-6 untuk mengumpulkan sampel darah dan jaringan untuk pengukuran biomarker dan evaluasi histopatologi.Hasil: Induksi menyebabkan penurunan tekanan darah dan perubahan EKG dan pemberian l-sitrulin gagal menunjukkan efek proteksi yang signifikan. Suplementasi l-sitrulin gagal menunjukkan efek proteksi pada kadar AST dan LDH namun berhasil pada evaluasi histopatologis. Suplementasi l-sitrulin berhasil menunjukkan efek antioksidatif signifikan pada aktivitas katalase namun gagal pada kadar MDA, aktivitas SOD dan cenderung menurunkan kadar GSH lebih jauh dibandingkan dengan kelompok isoproterenol saja. Suplementasi menunjukkan proteksi terhadap apoptosis.Kesimpulan: Suplementasi l-sitrulin menunjukkan potensi kardioproteksi terhadap infark miokard induksi isoproterenol melalui aktivitas antioksidannya.
Background Cardiovascular diseases contribute more than 17 million deaths every year with coronary heart disease CHD being the greatest contributor. L citrulline shows potential as supplementation to treat CHD for its vasodilative and antioxidative effects The aim of this study is to find the potential cardioprotective effect of l citrulline against MI, with focus on antioxidants activity.Method This study used 24 male Wistar rats weighed 190 220 grams which divided to 4 groups. 1st and 2nd group received water while 3rd and 4th group received 300mg kgBW low dose and 600mg kgBW high dose of l citrulline daily respectively. Induction were done by injecting isoproterenol 85mg kgBW subcutaneously on day 4 and 5 for group 2,3 and 4 while 1st group served as sham. Blood pressure and ECG were recorded on day 3 and 6. Subjects were sacrificed on day 6 to collect blood and tissue samples for biomarker measurement and histopathological evaluation.Results L citrulline supplementation failed to show significant protective effect on blood pressure and ECG change. L citrulline supplementation failed to show protective effect on blood AST and LDH level but managed to show protective effect on Histopathological evaluation. On antioxidants activity, L citrulline supplementation managed to show significant antioxidative effect on tissue Catalase activity but failed on tissue MDA level, blood SOD activity and lowered tissue GSH level more than Isoproterenol only. Supplementation also showed protection against apoptosis.Conclusion L citrulline supplementation shows some potential cardioprotective effect through its antioxidant activities."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Dewi
"Tujuan: Menganalisis ekspresi gen manganese superoxide dismutase (MnSOD) pada jaringan jantung, otak dan darah tikus yang diinduksi hipoksia sistemik.
Desain: penelitian eksperimental in vivo dengan menggunakan hewan coba.
Metode: Sampe! penelitizm ini adalah 25 ekor tikus jantan strain Sprague Dawley (Rarms novergicus L), yang dibagi menjadi 5 kelompok: kelompok I tikus tanpa perlakuan hipoksia sebagai kontrol, kelompok II, III, IV dan V adalah kelompok tikus dengan perlakuan hipoksia 10% O2 selama 1, 7, 14 dan 21 hari. Setelah perlakuan tikus dimaiikan, kemudian darah, otak dan jantung tikus diambil untuk diperiksa tingkat ekspresi mRNA dengan menggunakan real time RT PCR dengan pewamaan SYBR green, serta diukur aktivitas spesifik MnSOD dengan menggunakan kit RanSOD® dengan ditambahkan NaCN untuk menghambat aktivitas CuZn SOD.
Hasil: Pada hipoksia awa] (1 hari) ekspresi relatif mRNA MnSOD dan aktivitas spesifik MnSOD menunjukkan penurunan di darah dan jantung, sedangkan pada otak tidak te1jadi penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan hipoksia sistemik perlindungan antioksidan pada otak terjadi lebih awal dibandingkan jantung dan darah. Pada hipoksia awal di jantung dan darah, mulai terjadi peningkatan ROS sehingga aktivitas spesink MnSOD menurun, namun belum dapat menstimulasi peningkatan eksprsi mRNA-nya_ Pada hipoksia I-I4 hari baik ekspresi mRNA maupun aktivitas spesiiik MnSOD pada ketiga jaringan tersebut mengalami peningkatan sejalan dengan lamanya hipoksia. Pada hipoksia lanjut (21 hari) terjadi korelasi negatif antara ekspresi relatif mRNA dngan aktivitas spesiiik MnSOD di jantung dan darah. Hal ini mnmgkin disebabkan karena produksi ROS yang sangat masif, sehingga ekspresi MRNA terus ditingkatkan namun stres oksidatif belum dapat diatasi, sedangkan pada otak fenomena tersebut tidak terjadi. Hal ini diduga karena peningkatan ROS pada hipoksia lanjut masih dapat diatasi dengan aktivitas enzim MnSOD yang tersedia tanpa harus meningkatkan ekspresi mRNA-nya. Hasil ini menunjukkan bahwa otak cenderung lebih dilindungi dalam keadaan hipoksia sistemik dibandingkan janrung dan darah. Hasil analisis uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa perubahan ekspresi relatif MRNA dan aktivitas spesifik MnSOD pada induksi hipoksia sistemik pada darah sejalan dengan perubahannya pada jantung dan otak.
Kesimpulan: Setiap jaringan mempunyai pola ekspresi gen MnSOD dan aktivitas MnSOD yang berbeda-beda pada kondisi hipoksia. Terdapat perbedaan regulasi ekspresi gen MnSOD antara hipoksia sistemik awal dan lanjut. Pengukuran ekspresi MnSOD (mRNA dan aktivitas spesifik) pada darah dapat sekaligus menggambarkan ekspresi tersebut pada jantung dan otak.

Background: The aim of this study is to determine the gene expression of manganese supenoxide dismutase (MnSOD) in rat?s heart, brain and blood induced by systemic hypoxia.
Design: This study is an in vivo experimental study.
Method: This study was conducted on 25 male Sprague Dawley rats (Rattus no1°e:~_gicn.s~ L) which were divided into 5 groups and subjected to systemic hypoxia by placing them in hypoxic chamber supplied by 10% O3 for O, l, 7. I4, 2.1 days. respectively. Rats were sacrified after treatment, and the blood. heart and brain were used for measurement of relative mRNA level ofMnSOD with real time RT PCR and measurement of spesitic activity of MnSOD enzyme using RanSOD® kit.
Result: Determination of gene expression of MnSOD (relative mRNA expression and specific activity) in rat blood and heart cells under early hypoxic induction (1 day) resulted in the lower levels compared to the level in control group. After l day of hypoxic induction the gene expression level was then increased and again decreased under very late hypoxic condition (21 days) compared to the control. This suggests that the blood and heart cells at early hypoxia have not enough time to provide more MnSOD enzyme through gene expression to eliminate the sudden accumulation of ROS. In contrast to the results in heart and blood cells. the gene expression of MnSOD in brain cells were demonstrated to be increased since early systemic hypoxia (day I) up to day l4_ and tends to decrease under late hypoxic condition (day 21) although the level still slightly higher compared to the level in control group. Under late hypoxic condition (21 days). the capacity of1VlnSOD to eliminate the accumulated ROS has been saturated as found in brain cells, or even reduced to the lower level than in normal condition as found in blood and heart cells. This study could demonstrate that brain cells have different pattern of gene expression of MnSOD compared to blood and heart cells during several time points of hypoxic induction, particularly at early stage. It should also be considered that the levels of gene expression of MnSOD in each tissue were distinct although measured under the same condition. Analysis of Pearson correlation test shows that pattern of gene expression ot`MnSOD in blood cells is appropriate with the pattern in heart and brain cells under hypoxic condition.
Conclusion: Every tissue has the different pattern of gene expression of MnSOD (relative mRNA expression and specific activity) under hypoxic condition There is different regulation of MnSOD gene expression at early and late hypoxia Analysis gene expression of MnSOD in blood cells could represent the analysis of gene expression of MnSOD in heart and brain cells under hypoxia condition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32890
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Purnamawati
"Latar belakang : Glioblastoma Multiforme (GBM) merupakan kanker otak primer yang paling umum terjadi pada orang dewasa dan merupakan glioma yang paling agresif yang diklasifikasikan oleh WHO sebagai tingkat keempat dari astrositoma. Penatalaksanaan utama GBM dengan operasi disertai dengan kemoradiasi memberikan rata-rata harapan hidup sekitar 14,6 bulan saja, ini disebabkan
pertumbuhan tumor yang difus disertai tingginya resistensi. Apoptosis, dinamakan juga “kematian sel terprogram” merupakan mekanisme kematian sel yang berperan penting dalam terapi kanker dan menjadi target utama dalam berbagai tehnik terapi kanker. Dua jalur utama apoptosis adalah jalur intrinsik yang melibatkan mitokondria dan jalur ekstrinsik yang diinduksi oleh ikatan ligan dengan reseptornya. Rotenon, inhibitor rantai respirasi kompleks I mitokondria dapat menyebabkan peningkatan kadar superoksida (ROS) endogen sehingga menginduksi jalur apoptosis intrinsik melalui lepasnya sitokrom C dan agen-agen proapoptotik ke sitosol. Rotenon bersifat lipofilik dan dapat menembus sawar darah otak dengan mudah, menjadikannya kandidat yang menarik untuk digunakan pada terapi GBM. Hingga kini mekanisme apoptosis yang disebabkan oleh rotenon pada GBM masih belum jelas diketahui, karena itu penelitian ini bertujuan untuk menelusuri jalur-jalur apoptosis yang timbul akibat induksi rotenon pada galur sel Glioblastoma Multiforme T98G. Metode : Penelitian eksperimental in vitro menggunakan kultur galur sel Glioblastoma Multiforme T98G yang diinduksi stres oksidatif dengan rotenon dosis 10μM, 20μM, dan 40μM selama enam jam, selanjutnya dilakukan identifikasi morfologi sel menggunakan inverted mikroskop. Identifikasi jalur apoptosis intrinsik dengan cara menganalisis ekspresi protein sitokrom-C dan protein kaspase-9
menggunakan metode sandwich ELISA (Enzyme Linked Immuno Assay) serta identifikasi jalur apoptosis ekstrinsik dengan menganalisis ekspresi mRNA TRAIL (Tumor Necrosis Factor Related Apoptosis Inducing Ligand) menggunakan q-RTPCR (quantitative-reverse transcriptase-Polymerase Chain Reaction) selain itu
dilakukan pula elektroforesis hasil amplifikasi cDNA TRAIL pada agarosa 2%. Analisis statistik dilakukan menggunakan uji Mann Whitney pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil : Induksi rotenon 10 μM pada galur sel T98G menyebabkan meningkatnya kadar sitokrom C yang tidak disertai meningkatnya kadar kaspase-9 dan ekspresi
mRNA TRAIL. Kadar sitokrom C turun menjadi setara dengan kadar pada sel kontrol saat induksi rotenon 20μM disertai meningkatnya kadar kaspase-9 dan ekspresi mRNA TRAIL yang bermakna. Sedangkan Induksi rotenon 40μM menyebabkan turunnya kadar sitokrom C, kaspase-9 dan mRNA TRAIL. Pada pemeriksaan elektroforesis hasil RT-PCR kami mendapatkan varian TRAIL sepanjang sekitar 300 bp yang ikut teramplifikasi bersama varian sTRAIL (soluble TRAIL) sepanjang 232 bp. Varian TRAIL panjang ini nampak ditranskripsi lebih banyak saat dilakukan induksi rotenon hingga 20μM sementara varian pendek transkripsinya nampak semakin berkurang.
Kesimpulan : Pada penelitian kami, induksi rotenon 20μM dapat menyebabkan terinduksinya jalur apoptosis intrinsik yang melibatkan kaspase serta jalur apoptosis ekstrinsik melalui pengaturan post transkripsi mRNA TRAIL pada galur sel Glioblastoma Multiforme T98G.

Background : Glioblastoma Multiforme (GBM) is the most common primary brain tumor in adults and the most aggressive gliomas classified by WHO as grade IV astrocytoma. Primary treatment of GBM is surgery followed by Chemoradiation give
the median survival only for about 14,6 months, this is due to difusse tumor growth with high therapy resistance. Apoptosis, named as “programmed cell death” is a mechanism of cell death that plays an important role in the treatment of cancer and
being a primary target of many cancer treatment strategies. There are two central pathways of apoptosis, the intrinsic pathway that involves the mitochondria and the extrinsic pathway induced by ligands binding to the death receptors. Rotenone,
respiratory chain inhibitor complex I mitochondria may increase endogenous superoxide (ROS) levels that induce intrinsic apoptotic pathway by release of cytochrome-C and several proapoptotic agents to cytosol. Rotenone is a lipophilic
compound and could easily cross the Blood Brain Barrier that makes rotenone become an interesting candidate for GBM therapy. Up to now, the apoptosis mechanism induced by rotenone in GBM is not well known yet, therefore we aim to investigate the apoptosis pathways in Glioblastoma Multiforme T98G cell line
induced by rotenone. Methods : This experimental study in vitro using GBM T98G cell line cultured in complete DMEM medium. We induced oxidative stress for six hours with 10 μM, 20 μM and 40 μM of rotenone respectively. After harvested, the cell morphology was identified using inverted microscope. We identified the intrinsic apoptotic pathway by analyzing the expression of cytochrome C protein and Caspase-9 protein using
sandwich ELISA method, furthermore we identified the extrinsic apoptotic pathway by analyzing the expression of mRNA TRAIL using q-RT-PCR followed by gel electrophoresis to confirm the amplification of cDNA TRAIL. Statistical analysis was performed by Mann Whitney test with 95% confidence intervals. Results : Rotenone treatment of T98G resulted in increase of cytochrome C by 10μM of rotenone but no increase of caspase-9 and mRNA TRAIL. While rotenone 20 μM showed relative decrease of cytochrome C and increase of caspase-9 expression together with significant increase of the mRNA TRAIL expression (p<0,05) and induction with 40μM showed decrease of cytochrome C, caspase-9 and mRNA TRAIL expression. In the electrophoresis examination of the RT-PCR product we obtain an isoform of TRAIL (length about 300 bp) was coamplified along with our isoform (soluble TRAIL, length about 232 bp). This long isoform band become more dens in samples induced by rotenone 20μM, while the short isoform was gradually missing. Conclusions : In our study, 20μM of rotenone was able to induced both the intrinsic apoptotic pathway by caspase dependent mechanism and the extrinsic apoptotic pathway through post transcriptional regulating of mRNA TRAIL in Glioblastoma Multiforme T98G cell line.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tulus Satriasih
"ABSTRAK
Latar Belakang: Antikoagulan warfarin dipakai seumur hidup pada pasien pascabedah katup jantung mekanik karena memiliki risiko tromboemboli. Dosis warfarin berlebih nilai international normalized ratio/INR di atas rentang target optimum menimbulkan efek samping perdarahan, sedangkan dosis warfarin kurang nilai INR di bawah rentang target optimum menimbulkan tromboemboli. Nilai INR optimum berbagai ras dan suku berbeda-beda. Di RS JPDHK belum pernah dilakukan studi mengenai penggunaan warfarin dan target INR optimum, padahal jumlah pasien pascabedah katup jantung mekanik semakin meningkat dari 411 pasien pada tahun 2011 menjadi 685 pasien pada tahun 2016. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui frekuensi efek samping perdarahan dan tromboemboli pada pasien tersebut, nilai INR optimum dan kemungkinan adanya interaksi warfarin dengan obat lain.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang diambil dari rekam medik RS JPDHK. Data frekuensi perdarahan dan tromboemboli diambil dari semua pasien yang mendapatkan terapi warfarin pascabedah katup jantung mekanik tahun 2011. Nilai INR, dosis warfarin dan kemungkinan interaksi warfarin dievaluasi pada 30 pasien perdarahan, 30 pasien tromboemboli dan 30 pasien yang tidak mengalami komplikasi melalui data rekam medik pasien bedah katup jantung mekanik sebelum tahun 2017.Hasil: Jumlah pasien yang menjalani bedah katup jantung mekanik tahun 2011 adalah 43 dan didapatkan frekuensi perdarahan mayor 11 pasien 25,6 , perdarahan minor 5 pasien 11,6 serta tromboemboli 10 pasien 23,3 . Terdapat perbedaan bermakna p.

ABSTRACT
Background Anticoagulant warfarin is used for a lifetime in patients after mechanical valve replacement procedure because of tromboembolic risks. Warfarin should be used carefully since it has a narrow therapeutic window. Warfarin overdose INR above the target range is associated with bleeding, while underdose INR below the target range may lead to among thromboembolic complications. The optimum INR value may be different races and ethnicity. The INR value recomended by the American Heart Association AHA American College of Cardiology ACC 2017 is 2.5 3.0. In National Cardiac Center ldquo Harapan Kita rdquo Hospital no study has been carried out on the use of warfarin and the optimum INR value. Mean while, the number of patients with prosthetic mechanical valves is increasing from 450 patients in 2011 to 685 patients in 2016. This study aimed to find out the frequency of bleeding and thromboembolic complications in these patients, the optimum INR value and the possibility of interaction between warfarin and other drugs. Method In this retrospective study, the data of frequency of bleeding and thromboembolic was obtained from the medical records of patients given warfarin after mechanical heart valve replacement in 2011. The data of INR value, warfarin dose, and the possibility of interaction between warfarin and other drugs used concomittantly were evaluated in 30 patients with bleeding, 30 patients with thromboembolic and 30 patients without complication, who had mechanical heart valve replacement procedure prior to 2017.Results Out of 43 patients with mechanical heart valve replacement in 2011, the frequency of major bleeding was 11 patients 25,6 , minor bleeding was 5 patients 11,6 , and thromboembolic was 10 patients 23,3 . The INR mean level in bleeding patients group 6,32, CI95 5.2 7.7 was significantly different p"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Yohanes
"Pendahuluan: Obat penyekat beta telah teruji efikasi dan keamanannya pada berbagai penyakit jantung, terutama yang melibatkan ventrikel kiri. Berlawanan dengan hal tersebut, efikasi obat penyekat beta pada ventrikel kanan belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang inkonsisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat efektivitas obat penyekat beta pada disfungsi ventrikel kanan yang terjadi pascaoperasi penggantian katup mitral.
Metode: Disain penelitian adalah kohort retrospektif. Jumlah sampel sebanyak 232 orang, terbagi dalam dua kelompok yaitu menggunakan penyekat beta (n=129) dan tidak menggunakan (n=103). Pengukuran data TAPSE kontrol dilakukan dalam waktu 1-12 bulan dari data pascaoperasi. Kejadian rehospitalisasi dan kematian dinilai 6 bulan pascaoperasi.
Hasil: Penggunaan obat penyekat beta tidak menunjukkan efektivitas dalam memperbaiki nilai TAPSE [median delta TAPSE adalah 4 (7-29) mm pada kelompok penyekat beta vs 4 (-8-20) mm pada kelompok non penyekat beta; p = 0,71]. Angka rehospitalisasi adalah 14,7% (kelompok penyekat beta) vs 8,7% (kelompok non penyekat beta) dengan p = 0,16. Sedangkan angka kematian adalah 0,8% (kelompok penyekat beta) vs 1,9% (kelompok non penyekat beta), p = 0,60.
Kesimpulan: obat penyekat beta tidak memperbaiki disfungsi ventrikel kanan, serta tidak menurunkan angka rehospitalisasi dan kematian pada pasien pascaoperasi penggantian katup mitral.

Introduction: Beta blockers have proven its efficacy and safety in various heart diseases, especially those involving the left ventricle. Contrary to this, the efficacy of beta blocking drugs in the right ventricle is not well known. Some previous studies have shown inconsistent results. This study aims to determine whether there is an effectiveness of beta blocking drugs on right ventricular dysfunction that occurs after mitral valve replacement surgery.
Methods: Design of the study is retrospective cohort. The number of samples is 232 people, divided into two groups, those using beta blocking drugs (n=129) and not using them (n=103). Measurement of control TAPSE data was carried out within 1-12 months of postoperative data. Rehospitalization and mortality incidence were assessed at six months postoperatively.
Result: The use of beta blockers did not show any effectiveness in improving TAPSE value [median delta TAPSE value are 4 (7-29) mm in the beta-blocker group vs 4 (-8-20) in the non beta-blocker group]. The rehospitalization rate is 14,7% (beta-blocker group) vs 8,7% (non beta-blocker group), p = 0,16. While the death rate is 0,8% (beta-blocker group) vs 1,9% (non beta-blocker group), p = 0,60.
Conclusion: beta-blocking drugs do not improve right ventricular dysfunction, and do not reduce rehospitalization and mortality rates in postoperative mitral valve replacement patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husnun Amalia
"Mata adalah organ dengan aktivitas farmakokinetik yang spesifik karena memiliki sawar yang membuat obat sulit berpenetrasi ke dalam bola mata terutama kornea. Keratomikosis adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur terutama terjadi pada daerah tropis dan membuat kerusakan kornea yang berakhir dengan kebutaan. Hal ini masih menjadi masalah di negara berkembang. Obat antijamur yang saat ini memiliki aktivitas yang sangat baik adalah Amfoterisin B dan bentuk liposom memiliki kemampuan efektivitas yang lebih tinggi dan menurunkan toksisitas obat. Penelitian terhadap tetes mata Amfoterisin B liposom (AmB-L) ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut sehingga obat tetes ini dapat digunakan pada penderita keratomikosis. Penelitian ini menilai sejauh mana tetes mata AmBL dapat berpenetrasi di dalam bola mata, adakah efek toksik pada jaringan mata dan bagaimana efektivitasnya pada keratomikosis kelinci Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental Laboratorium dan animal study. Subyek penelitian adalah 11 ekor hewan kelinci New Zealand yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok uji kadar dan toksisitas AmB-L 0,15% dan 0,5% masing-masing 3 ekor, kelompok uji efektivitas AmB-L 0,15% dan 0,5% terhadap keratomikosis kelinci masing-masing 2 ekor, dan kelompok kontrol 1 ekor. Pengukuran kadar Amfoterisin B pada jaringan mata (kornea, akuos, lensa, vitreus, dan sklera) dilakukan setelah ditetes obat AmB-L 0,15% dan 0,5% setiap 1 jam selama 3 hari dengan cara menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Toksisitas tetes mata AmB-L 0,15% dan 0,5% pada jaringan mata (kornea, iris, sklera dan retina) dievaluasi dengan pemeriksaan klinid dan histopatologis (Haematoksilin Eosin). Pada uji efektivitas menilai waktu kesembuhan keratomikosis kelinci, hasil kultur kornea dan akuos pasca terapi dengan agar Sabouraud, kadar Amfoterisin B pada kornea dan akuos serta efek toksik. Hasil: Kadar Amfoterisin B pada AmB-L 0,5% terukur lebih tinggi dibandingkan AmB-L 0,15% dan kadar AmB-L pada setiap jaringan di kedua konsentrasi hasilnya lebih tinggi dari MIC. Tetes mata AmB-L 0,5% dan 0,15% tidak memperlihatkan efek toksik secara klinis maupun histopatologi pada jaringan mata kelinci. Tetes mata AmB-L 0,5% dan 0,15% adalah antijamur yang efektif untuk keratomikosis kelinci akibat Aspergillus sp. dan waktu kesembuhan pada kedua konsentrasi tidak berbeda bermakna (p=0,2) Kesimpulan : Liposom adalah drug carrier yang dapat membawa obat amfoterisin B mencapai bagian anterior dan posterior bola mata serta mampu berpenetrasi dengan baik, efektif, tidak toksik terhadap jaringan mata. Karena itu, penggunaan amfoterisin B liposom dapat menjadi terapi standar untuk keratomikosis

The eye has a specific pharmacokinetic because of its complex barrier to drug entry, especially the cornea. Keratomycosis is a fungal infection of the cornea in tropical areas and the cause of corneal morbidity and blindness. This remains a problem in developing countries. Amphotericin B (AmB) is still considered the treatment of choice for fungal infection. Liposomal formulation of AmB (L-AmB) has demonstrated promising results with higher efficacy and lower toxicity. The research of L-AmB eye drops still needs further studies before it can be used in humans. This study will evaluate L-AmB eye drop penetration, toxicity, and efficacy on keratomycosis of the rabbit eye. Methods: The study is using laboratory design and animal study. Eleven New Zealand rabbits were devided into five groups. Six rabbits were used for the pharmacokinetic and toxicological studies, four rabbits for studying the efficacy, and one served as normal and keratomycosis control. All treatment used two concentrations of L-AmB (0.15% and 0.5%) given as eye drops every hour for three days. The pharmacokinetic study measured AmB concentration in the tissues (cornea, aqueous, lens, vitreus, sclera) using high performance liquid chromatography (HPLC), and toxic reactions were evaluated in clinical signs and histopathological examination (cornea, iris, sclera, retina). Efficacy was evaluated by length of therapy, concentration of AmB in the tissues (cornea, aqueous), and toxic effects. Result: In all tissues, L-AmB 0.5% had higher concentrations of AmB than 0.15%, reached MIC in both concentrations and showed no toxic effects. L-AmB eye drops in both concentrations were effective for Aspergyllus sp. keratomycosis in rabbits. Length of therapy varied insignificantly between the two concentrations (p=0.2); both concentrations of AmB reached MIC and did not reveal toxic reactions. Conclusion: Liposomes are promising drug carriers for eye diseases that can penetrate to the anterior and posterior tissues of the eye. L-AMB can be successfully applie"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library