Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinabutar, Klara
"Latar belakang : Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan hubungan antara faktor-faktor risiko (polutan pekerjaan, usia, lama merokok, dan berat badan) dengan penurunan nilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) pada teknisi pesawat. Penurunan KVP yang menandai adanya gangguan paru restriktif dapat mengganggu fungsi pernafasan sehingga dapat menurunkan kinerja teknisi pesawat, sehingga perlu diketahui faktor-faktor risiko yang menurunkan KVP.
Metode : Penelitian ini menggunakan disain penelitian potong lintang dengan sampling purposif di antara teknisi pesawat. Pengambilan data dilakukan sejak 16 Mei 2013 sampai dengan 17 Mei 2013 di Skatek 021 Lanud Halim Perdanakusuma dan Lakespra Saryanto. Data diambil dengan wawancara dan pengisian kuesioner oleh peneliti dan pemeriksaan spirometri. Data yang didapat dianalisis dengan regresi linear.
Hasil : Total subjek yang menyelesaikan penelitian ini berjumlah 135 orang. Nilai KVP antara 61-123 dengan rerata 85,77 ± 12,18. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa paparan polutan pekerjaan memiliki hubungan yang bermakna dengan penurunan nilai KVP pada teknisi pesawat (r = -2,43, CI =-3,066;-1,80; P=0,000). Umur ternyata memiliki hubungan yang bermakna dengan penurunan nilai KVP pada teknisi pesawat (r = -0,42, CI =-0,64;-0,19; P=0,000). Subjek yang skor polutan pekerjaannya lebih banyak dan umurnya lebih tua maka nilai KVP akan makin turun. Bertambahnya 1 skor polutan pekerjaan dan 1 tahun umur akan menurunkan nilai KVP masing-masing sebanyak 2,43% dan 0,42%.
Kesimpulan : polutan pekerjaan dan umur terbukti berhubungan dengan penurunan nilai KVP pada teknisi pesawat.

Background : The aim of this study is to prove the effect of risk factors (pollutants, age, smoking duration, and body weight) with Forced Vital Capacity (FVC) among aircraft technicians. Forced Vital Capacity reduction that indicates restrictive lung disorders can impair respiratory function and degrade the performance of aircraft technicians, so it is important to identify the risk factors that decrease FVC.
Methods : This study used a cross-sectional study design with purposive sampling among aircraft technicians. Data collection was conducted from May 16, 2013 until May 17, 2013 at Technic Squadron 021 Halim Perdanakusuma Air Base and Institute of Aviation Medicine Dr. Saryanto (Lakespra Saryanto). Data retrieved by interviews and questionnaires by researchers and spirometry examination. The data were analyzed by linear regression.
Results : Total subjects who completed the study amounted to 135 people. FVC value between 61 to 123 with an average of 85.77 ± 12.18. This study showed that pollutants proved to have a significant effect with FVC among aircraft technicians [r = -2,43, 95% confidence interval (CI)=-3,066;-1,80 ;P=0,000]. Age had a significant effect with FVC among aircraft technicians (r = -0,42, CI =-0,64;-0,19 ;P=0,000). 1 point increase in pollutants score and 1 year of age will decrease the value of FVC respectively 2,43% and 0,42%.
Conclusion : Pollutants and age proved to affect the value of Forced Vital Capacity among aircraft technicians.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laras Hapsari
"Latar belakang: Teknisi pesawat terbang militer terpajan polutan dan zat solvent di tempat kerja dan asap rokok yang dapat mengakibatkan penurunan nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) yang dapat menurunkan kinerja teknisi pesawat. Tujuan penelitian adalah untuk membuktikan pengaruh antara polutan pekerjaan dan merokok terhadap nilai VEP1 pada teknisi pesawat terbang militer.
Metode: Penelitian potong lintang ini dengan sampling purposif di antara teknisi pesawat terbang militer yang dilakukan 16-17 Mei 2013 di Skatek 021 Halim PK dan Lakespra Saryanto. Data diperoleh oleh peneliti dengan wawancara menggunakan kuesioner dan hasil pemeriksaan spirometri. Analisis data menggunakan regresi linear.
Hasil: Subyek penelitian sebanyak 135 orang. Nilai VEP1 antara 57-122 dengan rerata 87.88 dan standar deviasi (SD) 12.61. Polutan pekerjaan dan lama merokok merupakan faktor risiko dominan terhadap nilai VEP1. Dengan kenaikan 1 skor polutan pekerjaan akan menurunkan nilai VEP1 sebesar 2.57 [koefisien regresi (r) = -2.57, P=0.000]. Selain itu dengan pertambahan 1 tahun lama merokok akan menurunkan nilai VEP1 sebesar 0.22 (r= -0.22, P=0.015).
Kesimpulan: Polutan pekerjaan dan lama merokok menurunkan nilai VEP1 pada teknisi pesawat terbang militer.

Background: Military aircraft technicians exposed to pollutants and solvent substances in the workplace and cigarette smoke can lead to impairment of forced expiratory volume in one second (FEV1) which can degrade the performance of aircraft technicians. The research objective is to prove the effect between pollutants and smoking on FEV1 among military aircraft technicians.
Method: This cross-sectional study with purposive sampling among military aircraft technician who performed 16 to 17 May 2013 in the 021 Skatek Halim PK and Lakespra Saryanto. Data obtained by the researchers with the interviews using a questionnaire and the results of spirometry. Analysis of the data using linear regression.
Result: Research subjects as much as 135 people. FEV1 value between 57-122 with a mean of 87.88 and standard deviation (SD) 12.61. Pollutants and smoking duration is the dominant risk factor for FEV1 value. With rising 1 scores pollutants will decrease the value of the work at 2.57 FEV1 [regression coefficient (r) = -2.57, P = 0.000]. In addition to the increase in 1 year smoking duration will decrease the value of FEV1 at 0.22 (r = -0.22, P = 0.015).
Conclusion: Pollutants and smoking duration lowers the value FEV1 on military aircraft technicians
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrawan Kantawijaya
"Jumlah lanjut usia dengan Penyakit Pam Obstruktif Kronik yang melakukan perjalanan penerbangan jarak tempuh lama seperti jemaah Haji semakin banyak. Kondisi lingkungan di ketinggian meningkatkan risiko kejadian hipoksia pada lanjut usia dengan PPOK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh latihan fisik Apolap (Aerobik, Peregangan Otot, dan Latihan Pemapasan) secara teratur pada lanjut usia dengan penyakit pam obstruktif kronik sebagai persiapan penerbangan jarak tempuh lama. Sebanyak 20 orang lanjut usia dengan diagnosis PPOK yang datang ke Poliklinik RSAU dr. Esnawan Antariksa diberikan latihan fisik Apolap tiga kali seminggu selama 4 minggu. Pemeriksaan spirometri, saturasi oksigen, dan nilai CAT dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Dari 20 responden, 17 pasien menyelesaikan peneiirian. Hasil penelitian menunjukan latihan fisik Apolap tidak menunjukan basil berma1cna pada variabel spirometri FEVI (p=O,570) dan FVC (p=0,156) dan menunjukan hasil berma1cna pada variabel saturasi oksigen (p=O,032), dan nilai CAT (p=O,OOO). Latihan fisik Apolap tidak menghasilkan perubahan yang berma1cna pada variabel spirometri (FEVI dan FVC) tetapi menghasilkan perubahan bermakna untuk variabel saturasi oksigen dan nilai CAT.

The number of elderly with Chronic Obstructive Pulmonary Disease who travel by plane in a long-haul flight like Hajj pilgrims has increased. High-altitude environment increased the risk of hypoxia in elderly patients with COPD. The aim of this study was to evaluate the influence Apolap physical exercise consists of aerobic, muscle stretching, and breathing exercise in elderly patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease as a long-haul flight preparation. A total of 20 elderly patients diagnosed wih COPD in RSAU dr. Esnawan Antariksa joined Apolap physical exercise three times a week for 4 weeks. Spirometry, oxygen saturation, and CAT values were recorded pre- and post- intervention. Out of 20 patients, 17 patients completed the study. A statistically insignificant improvement was recorded for spirometry FEV 1 (p = 0,570) and FVC (p = 0,156) meanwhile statistically significant improvement was recorded for oxygen saturation (p=O,032), and CAT value (p = 0,000)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57659
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Rimenda Br.
"Pendahuluan : Walaupun pemerintah Indonesia sudah menetapkan programDirect Observed Treatment Short course DOTS dengan ObatAntituberkulosis OAT kombinasi dosis tetap KDT , masih ditemukan kasustuberkulosis TB baru di Indonesia. Informasi tentang perbedaan efektivitasdan efek samping OAT KDT dan OAT dosis lepasan pada fase intensif danfase lanjutan masih merupakan suatu perdebatan. Penelitian ini bertujuan untukmembandingkan efektivitas dan efek samping OAT KDT dengan OAT dosislepasan pada pasien TB paru kasus baru konfirmasi bakteriologis danmengevaluasi penggunaan fase sisipan pada kedua kelompok OAT.
Metode : Penelitian retrospektif observasional ini menggunakan datasekunder dari rekam medis pasien TB paru kasus baru konfirmasibakteriologis yang mendapat pengobatan OAT kategori 1 KDT atau OAT dosislepasan dalam periode 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Januari 2017.Efektivitas dinilai dari konversi basil tahan asam BTA pada akhir bulan ke 2dan akhir bulan ke 6, serta evaluasi penggunaan fase sisipan pada akhir bulanke 3. Efek samping dinilai dari efek samping obat ESO mayor dan minoryang timbul selama pemakaian OAT KDT atau dosis lepasan. Perbedaanefektivitas dinilai dengan Chi square.
Hasil : Data pasien yang mendapat OAT KDT 33 orang dan OAT dosislepasan 30 orang selama periode 1 Januari 2014 ndash; 31 Januari 2017 di RS drEsnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta di evaluasi. Pada akhir faseintensif, proporsi pasien pada kelompok OAT KDT dan lepasan yangmengalami konversi BTA tidak berbeda bermakna 78,8 vs 83,3 , p=0,693 .Pada akhir fase sisipan, 100 pasien kelompok OAT lepasan mengalamikonversi, satu pasien 14,3 pada kelompok KDT gagal konversi dandikeluarkan dari penelitian ini. Semua pasien yang menyelesaikan fase lanjutanpada kedua kelompok mengalami konversi BTA. ESO mayor berupa hepatitisdan reaksi sensitivitas ditemukan lebih banyak pada kelompok KDTdibandingkan lepasan 6.1 vs 0 . ESO minor juga lebih banyakditemukan pada kelompok KDT dibandingkan lepasan 30.3 vs 23.3 . Efeksamping minor yang paling banyak dialami adalah nyeri perut dan mual.Proporsi subjek yang mengalami ESO lebih banyak pada kelompok KDTdibandingkan kelompok lepasan 33,3 vs 23,3.
Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan efektivitas dan efek samping OATkategori 1 KDT dibanding dosis lepasan pada fase intensif dan lanjutan. Terdapat keberhasilan konversi pada akhir fase sisipan pada kedua kelompokOAT.

Introduction : Eventhough Indonesian Government has established DirectObserved Treatment Short Course DOTS program with fixed dosecombination FDC Antituberculosis, new tuberculosis cases continue to occur.Information on differences in effectiveness and adverse drug reactions ADRs of FDC and separate formulations persists. This study aimed to evaluate theeffectiveness and adverse drug reactions of FDC versus separateantituberculosis formulations in new onset bacteriological confirmedpulmonary TB patients and to evaluate the effect of one month extension ofintensive phase in both groups.
Methods : A retrospective observational study was conducted using patientdata records. All new onset pulmonary TB patients with recordedbacteriological confirmation and received first category FDC or separate antituberculosis formulations during January 1st 2014 until January 31st 2017 period were included. Efectiveness outcome were determined by Acid fastbacilli sputum smear conversion at the end of intensive phase month 2 andmonth 6 of therapy, and evaluation of extended phase at the end of month 3.Major and minor ADRs occured during antituberculosis treatment wereconsidered as ADRs outcome. The difference on acid bacilli sputum conversions between two groups were analyzed using Chi Square test.
Results : Patients treated with FDC n 33 and with separate formulations n 30 during January 1st 2014 to Januari 31st 2017 at dr. Esnawan AntariksaHospital, Halim perdanakusuma Jakarta were evaluated. The rate of sputumsmear conversions at the end of intensive phase was not significantly higher inseparate formulations group as compared with FDC group 83,3 vs 78,7 ,p 0,693 . The intensive phase was extended one more month for patients withconversion failure at month 2, at the end of extended intensive phase, 100 of separate formulation were convertion. One patient 14,3 in FDC group didnot gain sputum conversion during the extended phase and was considered asmedication failure and being excluded from the study. At the end ofcontinuation phase, sputum smear conversions were achieved by all patients inboth groups. Major ADRs hepatitis and hypersensitivity reactions were foundhigher in FDC group as compared with separate formulations group 6.1 vs0 . Minor ADRs also were found higher in FDC group 30.3 vs 23.3 .The most frequently occurred ADRs were abdominal discomfort and nausea. The proportion of subjects with ADRs were higher in FDC than separateformulation group 33,3 vs 23,3.
Conclusion : There were no differences in the effectiveness and safety profile of the first category FDC and separate antituberculosis formulations.Successfulconversions occured at the end of the extended intensive phase in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58538
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Sukarno
"Tuberkulosis TB ekstra paru merupakan penyakit infeksi yang banyak terjadi di Indonesia. Penelitian TB ekstra paru di Indonesia masih sedikit, tatalaksana TB ekstra paru, termasuk obat yang digunakan serta hasil pengobatannya juga masih jarang diteliti. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka kejadian, karakteristik dan mengevaluasi pengobatan TB ekstra paru di Rumah Sakit dr. Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma periode 1 Januari 2014 - 31 Desember 2017. Penelitian potong lintang ini menggunakan data sekunder dari data register DOTS TB dan data rekam medis di Rumah Sakit dr. Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma periode 1 Januari 2014-31 Desember 2017. Dari 456 pasien TB, didapat 153 pasien TB ekstra paru 33,5 , dari jumlah tersebut ada 136 pasien TB ekstra paru dengan data yang lengkap dan di evaluasi. Sebagian besar pasien berusia muda 91,9 , usia rata-rata 36.6 tahun, jenis kelamin terbanyak adalah perempuan 62.5 . Jenis TB ekstra paru terbanyak adalah limfadenitis TB 55,9 . Sebanyak 85,3 pasien pengobatannya lengkap, 11 putus obat, 1,5 gagal, dan 2,2 pindah pelayanan pengobatan. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara keberhasilan terapi dengan usia p = 0,58; PR 0,9, 95 CI : 0,763-1,14 , komorbiditas p = 0.25; PR = 0.9, 95 CI : 0.802 ndash; 1.049 , IMT < 18,5 p = 0,613; PR =0,6, 95 CI : 0,15-3,05 . Penambahan etambutol fase lanjutan kategori I, dan pemberian ofloksasin pada terapi kategori II, meskipun tidak sesuai dengan panduan terapi meningkatkan keberhasilan terapi p = 0.039; PR = 1.1, 95 CI : 1.037 ndash; 1.318 . Keberhasilan terapi dengan lama pengobatan ge; 9 bulan lebih baik dibandingkan dengan < 9 bulan, p = 0,001; PR=1,8 95 CI : 1,403-2,533 .Kesimpulan : Penambahan etambutol pada fase lanjutan kategori I meningkatkan keberhasilan terapi TB ekstra paru. Sebagian besar TB ekstra paru membutuhkan lama pengobatan lebih dari 9 bulan.

Tuberculosis TB extra pulmonary is a common infectious disease in Indonesia. Extra pulmonary TB research in Indonesia is still small, the management of extra pulmonary TB, including the drugs used and the result of treatment are also rarely studied. This study aims to determine the prevalence, characteristics and evaluate the treatment of extra pulmonary TB in dr. Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma Hospital period January 1, 2014 December 31, 2017. This cross sectional study used secondary data from DOTS TB register data and medical record data in dr. Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma Hospital period 1 January 2014 31 December 2017. Of the 456 TB patients, 153 extra pulmonary TB patients 33,5 were found, out of which there were 136 extra pulmonary TB patients with complete data and evaluation. Most of the patients were young 91,9 , the average age was 36,6 years, the majority of patient were female 62,5 . The most common types of TB were TB lymphadenitis 55,9 . As many as 85,3 of patients complete treatment, 11 loss to follow up, 1,5 failed, and 2,2 transfer out. There was no significant association between the success of therapy with age p 0.58, PR 0.9 95 CI 0.763 1.14 , comorbidity p 0.25 PR 0.9, 95 CI 0.802 1.049 , IMT "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Sukarno
" ABSTRAK
Tuberkulosis TB ekstra paru merupakan penyakit infeksi yang banyak terjadi di Indonesia. Penelitian TB ekstra paru di Indonesia masih sedikit, tatalaksana TB ekstra paru, termasuk obat yang digunakan serta hasil pengobatannya juga masih jarang diteliti. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka kejadian, karakteristik dan mengevaluasi pengobatan TB ekstra paru di Rumah Sakit dr. Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma periode 1 Januari 2014 - 31 Desember 2017. Penelitian potong lintang ini menggunakan data sekunder dari data register DOTS TB dan data rekam medis di Rumah Sakit dr. Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma periode 1 Januari 2014-31 Desember 2017. Dari 456 pasien TB, didapat 153 pasien TB ekstra paru 33,5 , dari jumlah tersebut ada 136 pasien TB ekstra paru dengan data yang lengkap dan di evaluasi. Sebagian besar pasien berusia muda 91,9 , usia rata-rata 36.6 tahun, jenis kelamin terbanyak adalah perempuan 62.5 . Jenis TB ekstra paru terbanyak adalah limfadenitis TB 55,9 . Sebanyak 85,3 pasien pengobatannya lengkap, 11 putus obat, 1,5 gagal, dan 2,2 pindah pelayanan pengobatan. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara keberhasilan terapi dengan usia p = 0,58; PR 0,9, 95 CI : 0,763-1,14 , komorbiditas p = 0.25; PR = 0.9, 95 CI : 0.802 ndash; 1.049 , IMT < 18,5 p = 0,613; PR =0,6, 95 CI : 0,15-3,05 . Penambahan etambutol fase lanjutan kategori I, dan pemberian ofloksasin pada terapi kategori II, meskipun tidak sesuai dengan panduan terapi meningkatkan keberhasilan terapi p = 0.039; PR = 1.1, 95 CI : 1.037 ndash; 1.318 . Keberhasilan terapi dengan lama pengobatan ge; 9 bulan lebih baik dibandingkan dengan < 9 bulan, p = 0,001; PR=1,8 95 CI : 1,403-2,533 .Kesimpulan : Penambahan etambutol pada fase lanjutan kategori I meningkatkan keberhasilan terapi TB ekstra paru. Sebagian besar TB ekstra paru membutuhkan lama pengobatan lebih dari 9 bulan.

ABSTRACT
Tuberculosis TB extra pulmonary is a common infectious disease in Indonesia. Extra pulmonary TB research in Indonesia is still small, the management of extra pulmonary TB, including the medicine used and the result of treatment are also rarely studied. This study aims to determine the prevalence, characteristics and evaluate the treatment of extra pulmonary TB in dr. Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma Hospital period January 1, 2014 - December 31, 2017. This cross-sectional study used secondary data from DOTS TB register data and medical record data in dr. Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma Hospital period from 1 January 2014-31 through December 2017. Of the 456 TB patients, which of 153 extra pulmonary TB patients 33,5 were found, out of which there were 136 extra pulmonary TB patients with complete data and evaluation. Most of the patients were young 91,9 , the average age was 36,6 years, the majority of patient were female 62,5 . The most common types of TB were TB lymphadenitis 55,9 . Some 85,3 of patients was complete treatment, 11 loss to follow-up, 1,5 failed, and 2,2 transfer out. Significantly, there was no correlation between the success of therapy with age p= 0.58, PR = 0.9;95 CI: 0.763-1.14 , comorbidity p = 0.25; PR = 0.9, 95 CI : 0.802-1.049 , IMT "
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ririn Astuty Ningsih
"Latar Belakang dan Tujuan: Penerbang bekerja di lingkungan ketinggian yang terpajan gaya G dan seiring peningkatan gaya Gz akan berbanding lurus dengan penurunan curah jantung dan oksigenasi otak hal ini akibat perubahan pertukaran gas di paru dalam kondisi hipergravitasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas difusi paru pada penerbang pesawat tempur serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian potong lintang yang dilaksanakan bulan Februari 2019 di Madiun dilakukan pada subjek laki-laki di instansi X Madiun. Jumlah sampel sebanyak 44 orang dipilih secara total sampling. Wawancara dilakukan untuk mengisi kuesioner data dasar, jam terbang dan lama berolahraga. Dilakukan pengukuran spirometri dan DLCO dengan menggunakan alat penggukur spirometri dan DLCO portable (Easyone TM Pro Lab).
Hasil: Penelitian ini mendapatkan hasil sebagian besar peserta (93,2%) memiliki nilai spirometri yang normal hanya 3 peserta (6,8%) mengalami kelainan obstruksi dan tidak didapatkan kelainan restriksi sama sekali dengan nilai rerata VEP1 prediksi 103,3±10,60 % dan nilai median VEP1/KVP 84,5% dengan nilai minimum 63,5% dan nilai maksimum 92,5%. Pada nilai uji DLCO diperoleh hasil sebagian besar peserta (93,2%) memiliki nilai yang normal dan terdapat nilai DLCO mengalami penurunan ringan pada 3 peserta (6,8%) pada kelompok perokok.
Kesimpulan: Nilai kapasitas difusi paru dan pemeriksaan spirometri pada penerbang secara umum normal terdapat sebagian kecil yang mengalami penurunan ringan namun tidak mempunyai hubungan yang bermakna antara parameter DLCO dengan usia, IMT, jam terbang tempur, total jam terbang, menit olahraga dalam sepekan serta indeks Brinkman dan nilai parameter spirometri.

Background: Pilot works in the high environment that exposed by G force. Increasing G force led to linear decreases in cardiac output and blood oxygenation of the brain. Thus, likely due to decreased lung gas exchange capacity in hypergravity. This study aims to investigate the pulmonary diffusing capacity test among Fighter pilots in Madiun.
Methods: This study used cross sectional method conducted on February 2019 in Madiun. The total subjects consist of 44 Fighter pilots based on total sampling. Interview was done to fill out question about sociodemografic and smoking habit, flight hour data and physical fitness. Lung function measurement was done using portable spirometry and DLCO equipment (Easyone TM Pro Lab).
Result: Spirometri result was found in the standard normal range in 41 subjects (93,2%) only 3 subject (6,8%) get obstruction abnormalities and none of them get restriction result. Average VEP1 prediction was 103,3±10,60 % and median range for VEP1/KVP was 84,5(63,5-92,5) %. Lung diffusion capacity measurement was found to be normal in 41 subject (93,2%) and to be deficient in 3 subject (6,8%) in smoker.
Conclusion: This study demosntrated that diffusion capacity and spirometry test in Fighter pilots generally in normal range. Lung diffusion capacity has no association with age, BMI, flight hour, physical fitness, Brinkman index and spirometry parameters.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57655
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library