Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Nirmala Sari
"Penelitian ini menyoroti fenomena Depresi Pasca Melahirkan (DPM) yang lebih dikenal sebagai kelainan kejiwaan yang terjadi pada perempuan di masa nifas. Akan tetapi dibalik anggapan tersebut, justru tersimpan realitas bahwa reaksi depresi ini dapat muncul karena terjadi ketimpangan antara ekspektasi sosial atas peran simbolis perempuan sebagai ibu dengan realitas yang harus perempuan hadapi dalam kesehariannya. Berangkat dari perspektif inilah penelitian ini mengangkat bagaimana ketimpangan tersebut begitu halus ditanamkan dalam kesadaran dan memproduksi praktik kekerasan simbolik yang memanifestasi kasus DPM. Manifestasi ini hampir tidak pernah tertangkap dalam kesadaran karena masyarakat pada umumnya lebih melihat gejala DPM sebagai ketidaksiapan seorang perempuan menyandang peran ibu. Penelitian ini kemudian dilakukan dengan menggunakan paradigma critical constructionism, pendekatan kualitatif dan strategi fenomenologi deskriptif. Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi. Informan ditentukan dengan menggunakan teknik snowball sampling pada penyintas DPM yang tergabung dalam komunitas Mother Hope Indonesia. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa praktik kekerasan simbolik telah terjadi sejak kecil, jauh sebelum perempuan memasuki fase melahirkan. Pengalaman perempuan di masa lalu menyiratkan persetujuan menjadi korban kekerasan simbolik di arena berikutnya. Perempuan menjadi lebih rentan mengalami kekerasan simbolik pada pengalaman pertamanya menjadi seorang Ibu karena pembentukan kapitalnya sebagai Ibu masih minim. Kapital simbolik perempuan sebagai Ibu direbut oleh para aktor sosial lainnya yang lebih dulu memiliki pengalaman menjadi ibu dan membuat perempuan kesulitan memenuhi standar ekspektasi sosial. Hal ini kemudian semakin melanggengkan kesadaran palsu bahwa ketika perempuan tidak mampu memenuhi ekspektasi sosial terkait peran istri dan peran ibu maka perempuan menjadi biang atas kegagalan yang terjadi. Rasa frustasi karena kekerasan simbolik yang diberlakukan tersebut kemudian menormalisasi bentuk kekerasan lainnya.

This research highlights the Postpartum Depression (PPD) phenomenon, better known as psychiatric disorders that occur in women in the postpartum period. Depression reaction can arise because there is an inequality between social expectations of the womens symbolic role as mothers and the reality that women must face in their daily lives. This study then focused on how those inequalities were rooted subtly in consciousness and produced symbolic violence practices that manifested the PPD case. The manifestation is rarely caught in consciousness because the community, in general, sees the PPD symptoms as the lack of a woman to have their mothers role. This research then carried out by using the critical constructionism paradigm, qualitative approach and descriptive phenomenology strategy. The research data collection method was carried out by in-depth interviews and observations. The informants were determined using snowball sampling techniques on PPD survivors, the members of the Mother Hope Indonesia community. This research produces findings that the practice of symbolic violence has occurred since childhood, long before women enter the postpartum period. Womens experiences in the past imply agreement to be a victim of symbolic violence in the next arena. Women become more vulnerable to experience symbolic violence during their first motherhood experience because their lack of capital to become a mother. The womens symbolic capital as mothers has also been taken away by other social actors who already have the experience of being mothers. It was hard for women to gain the same capital. When women are unable to meet social expectations related to the mother's role, it perpetuates misrecognition that the woman becomes the source of failure. Those false awareness triggers frustration because the symbolic violence practices normalize the other forms of violence."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Virginia
"Waria memiliki ciri khas yang berbeda dari transgender dan kelompok gender dalam LGBTQ, yakni individu dengan tubuh teridentifikasikan berjenis kelamin laki-laki namun berperilaku dan berpenampilan feminin seperti wanita, serta menolak melakukan perubahan atau pergantian jenis kelamin biologis. Namun identitas tersebut justru menimbulkan problematika yang tidak berkesudahan karena perlakuan diskriminasi dari keluarga, institusi pemerintah termasuk masyarakat mayoritas agama Islam memegang teguh prinsip konstruksi identitas heteronormative berdasarkan dua jenis kelamin, yakni pria dengan gender maskulinitasnya dan wanita dengan gender feminitasnya. Dengan menggunakan paradigma konstruktivisme, dan metode penelitian kualitatif konstruksivis berdasarkan pendekatan konstruksi sosial, penelitian ini memberikan penjelasan perihal konstruksi identitas waria yang dialami dua informan asal Garut dan Tasikmalaya, dua wilayah di provinsi Jawa Barat dengan jumlah pondok pesantren terbanyak se-Indonesia. Analisis penelitian menemukan, individu waria yang berasal dari keluarga santri meyakini identitas sebagai waria setelah mendapat informasi dari luar institusi keluarga, agama dan pendidikan, serta mempertahankan identitas waria sebagai hasil dari dialektika eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi yang menghasilkan realitas subjektif dengan menolak melakukan perubahan bentuk fisik dan jenis kelamin atas pengaruh terbesar dari realitas objektif yang dikonstruksikan oleh institusi keluarga dan institusi agama. Ajaran agama dan Anggota keluarga yang melakukan penolakan identitas ternyata memiliki peran dominan atas karakter keyakinan mempertahankan identitas waria.

Waria (Transvestites) have different characteristics from transgender and gender groups in LGBTQ, namely individuals whose bodies are identified as male but behave and look feminine like women and refuse to change or change their biological sex. However, this identity creates endless problems because of discrimination from families, government institutions, including the Muslim majority community, upholding the principle of constructing heteronormative identities based on two sexes, namely men with masculinity and women with femininity. Using a constructivist paradigm, and a constructivist qualitative research method based on a social construction approach, this research provides an explanation of the construction of transvestites’ identity experienced by two informants from Garut and Tasikmalaya, two areas in West Java province with the largest number of Islamic boarding schools in Indonesia. The research analysis found that transvestites individuals who come from santri families believe in identity as transvestites after receiving information from outside family, religious and educational institutions, and maintain a transvestites identity as a result of dialectics of externalization, objectivation and internalization which produces subjective reality by refusing to change physical form and gender for the greatest influence of objective reality constructed by family and religious institutions. Religious teachings and family members who reject identity turn out to have a dominant role in the character of beliefs in maintaining transvestites’ identity. "
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Farah Lutfiputri
"Pada saat ini, di media sosial Instagram terdapat sejumlah akun yang secara aktif mengunggah meme tentang budaya kerja di startup Indonesia, yang salah satunya adalah @ecommurz. Bermula dari akun meme, Ecommurz telah menjelma menjadi sebuah komunitas virtual di mana para pekerja startup saling berjejaring, berinteraksi, dan membantu sama lain. Dengan mengacu pada konsep connective action oleh Bennett & Segerberg (2012), penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sebuah aksi kolektif di antara para pekerja startup dapat terbentuk melalui media sosial. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dilakukan dengan metode etnografi virtual, dan didukung oleh observasi mendalam, analisis retorika visual untuk mengungkap makna di balik meme yang diunggah dan analisis tekstual terhadap kolom komentar pada unggahan tersebut. Penelitian ini mengungkap bahwa melalui meme-meme yang bernuansa humor, satir, dan bergaya bahasa kasual, Ecommurz telah mendemokratisasi pembicaraan mengenai isu dan permasalahan yang dihadapi banyak pekerja di lingkungan startup. Hasilnya adalah terciptanya ikatan kolektif di antara para pekerja startup yang merasa relevan dengan meme yang diunggah dan memiliki kesamaan tujuan. Connective action yang terbentuk bermula dari aksi personal sekelompok orang, dan sepenuhnya terjadi secara organik melalui media sosial, Meskipun Ecommurz berperan besar sebagai yang memotori gerakan, tapi perkembangan pesat dan influence (pengaruh) kuat yang mereka miliki tidak akan tercipta tanpa adanya solidaritas dan partisipasi aktif di antara para pengikutnya. Hingga pada akhirnya, dampak dari gerakan yang mereka lakukan dapat turut menghasilkan perubahan atau mempengaruhi apa yang terjadi di kehidupan nyata (offline).

Currently, there are a number of Instagram accounts that are actively uploading memes concerning work culture at Indonesian startups, one of which is @ecommurz. Ecommurz began as a meme account and has evolved into a virtual community where startup workers network, connect, and help one another. This study tries to examine how connective action among startup employees can be formed through social media by referring to Bennett and Segerberg's (2012) concept of connective action. This is a qualitative research project using the virtual ethnography method, with in-depth observations, visual rhetorical analysis to uncover the meaning behind the uploaded memes, and textual analysis of the comments column. This study reveals that Ecommurz has democratized conversations regarding the concerns and problems experienced by many employees in the startup environment by using memes that are humorous, satirical, and casual in tone. As a result, a collective tie is formed among startup company employees who relate to the published memes and share similar objectives. The establishment of a connective action begins with the personal action of a group of people and occurs fully organically through social media. Even if Ecommurz is the movement's driving force, their rapid growth and great influence cannot be achieved without solidarity and active engagement among their followers. In the end, the impact of their movements can produce changes or influence what happens in real life (offline)."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aphrodita Julia Saraswati
"Penelitian ini menggambarkan bagaimana proses dramaturgi Goffman terjadi pada pasangan milenial yang menikah di masa pandemi Covid-19, yang menggunakan Instagram Live untuk menayangkan acara pernikahannya. Penelitian ini berupa studi kasus kualitatif dengan paradigma interpretif, dengan pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara mendalam dan dianalisis secara tematik (thematic analysis). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembatasan selama Covid-19 menyebabkan proses dramaturgi pernikahan termediasi melalui siaran pernikahan di Instagram Live. Proses dramaturgi dimulai dari panggung belakang, di mana pengantin mempersiapkan berbagai rencana termasuk bagaimana mereka berperan, kemudian membangun kerja sama tim. Manajemen impresi yang dilakukan pasangan pengantin antara lain pemisahan penonton livestreaming, mengumumkan status baru, mementaskan tradisi dan identitas budaya, serta berperan sesuai ekspektasi. Panggung belakang dan manajemen impresi menghasilkan panggung depan dimana pengantin melaksanakan peran pernikahan untuk menampilkan impresi diri melalui acara pernikahan di hadapan penonton. Di saat yang sama, terdapat pula dramaturgi yang tereduksi oleh karena situasi pandemi yang membatasi, antara lain keterbatasan dalam physical setting, personal front, teknis livestreaming, pertunjukan yang gagal, dan momen silaturahmi yang hilang.

This research describes how Goffman's dramaturgical process manifests for millennial couples who married during the COVID-19 pandemic and used Instagram Live to broadcast their wedding events. As a qualitative case study with an interpretive paradigm, this research utilized thematic analysis of data collected through in-depth interviews. The results reveal that pandemic restrictions necessitated mediation of wedding dramaturgy through Instagram Live broadcasts. The dramaturgical process commenced backstage as couples made plans, including impression management details, before building teamwork with vendors. Impression management by brides and grooms involved segmenting audiences, declaring new marital statuses, exhibiting cultural traditions and identities, and meeting expected roles. This backstage preparation and impression curation ultimately produced front stage performances to audiences through Instagram Live. At the same time, couples experience redacted dramaturgy with limitations in physical setting, personal front, livestreaming itself, also cancelled performances, and loss of bonding moments."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Rania Pavita
"Perkembangan internet menjadi ruang publik yang lebih demokratis dan inklusif membuka jalan bagi komunitas-komunitas subkultural untuk semakin berkembang. Salah satunya adalah fandom, yang mana praktik utamanya merupakan penciptaan fanwork layaknya fanfiction atau fiksi buatan penggemar, yaitu sebuah narasi yang menggabungkan kreativitas penulisnya serta sumber materi asli dari teks yang diangkat menjadi fanfiction sebagai alur cerita. Fanfiction sendiri digadang-gadang sebagai ruang produksi feminis karena demografi partisipannya didominasi oleh perempuan serta individu queer—dua populasi yang kerap tertindas dibawah hegemoni heteronormativitas dalam realitas sehari-hari. Salah satu genre paling populer dari fanfiction adalah Slash; fanfiction yang menggambarkan kedua karakter dari suatu media menjalani hubungan homoseksual, terlepas dari fakta bahwa karakter tersebut adalah heteroseksual dalam media tersebut ataupun tidak. Berangkat dari fenomena ini, peneliti pun melihat adanya indikasi bahwa fiksi slash turut berfungsi sebagai media bagi penulis yang mengidentifikasi diri mereka sebagai queer untuk menampilkan perlawanan mereka terhadap hegemoni heteronormativitas. Menggunakan konsep Hegemoni Budaya dan Kontra-Hegemoni sebagai pendekatan, peneliti menemukan bahwa kontra-hegemoni terhadap heteronormativitas ditampilkan dalam fiksi slash dengan penggambaran realitas yang bertolak belakang oleh individu queer, serta sebagai bentuk eskapisme dari realitas yang kerap mensubordinasi mereka. Penulis membentuk sebuah komunitas queer sebagai ruang aman bagi identitas queer mereka sekaligus untuk mengeksplorasi identitas gender maupun seksual dalam suatu teks media, yang mana dapat dituangkan menjadi bentuk fiksi slash yang diunggah dalam situs Archive of Our Own selaku saluran yang aman bagi penulis queer.

The progression of the internet into a more democratic and inclusive public space paved the way for subcultural communities to thrive. One of them includes fandom, which main practice’s is the creation of fanwork such as fanfiction or fan-created fictional works, namely a narrative that combines the creativity of the author and the original source material from the text which is utilized as the basis of its storyline. Fanfiction itself is touted as a feminist production space due to women and queer individuals dominating it’s demography—none other than the most oppressed population under the hegemony of heteronormativity. One of the most popular genres of fanfiction is Slash; a fanfiction that depicts two characters from a particular medium being in a homosexual relationship regardless of the fact whether the characters are heterosexual in source material or not. Departing from this phenomenon, the researcher finds indications of slash fiction being a medium where the resistance of the writers’ towards heteronormativity is located, especially for those who identify themselves as queer. Using the concept of Cultural Hegemony and Counter-Hegemony as an approach, the researcher found that counter- hegemony towards heteronormativity is shown in slash fiction by depicting reality as the complete opposite of that in our everyday by queer individuals, as well as as a form of escapism from it which often subordinates them. Writers form a queer community as a safe space for their queer identity as well as to explore gender and sexual identity in a popular media texts, which can be transformed into a slash fiction which is uploaded on the Archive of Our Own website as a safe channel for queer writers."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Krislamawaty
"Masalah puncak dalam hal kesehatan di seluruh dunia, masih tentang penggunaan tembakau dan kecanduan rokok. Jumlah pengguna rokok elektrik di dunia masih terus meningkat. Hasil riset menunjukkan bahwa mayoritas perokok tetap tidak mengurangi konsumsi rokok di masa pandemi Covid-19. Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia merupakan lembaga swadaya masayarakat di bidang kesehatan yang melakukan kampanye tentang rokok elektrik melalui akun Instagram @ypkpindonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap permainan kebenaran dari kampanye rokok elektrik menggunakan relasi kuasa pengetahuan pada akun Instagram @ypkpindonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan paradigma kritis menggunakan analisis wacana genealogi Foucault. Metode analisis data menggunakan analisis wacana genealogi Foucault yang mencakup empat bahan analitis, yaitu: analisis linguistik struktural, analisis arsip, analisis arkeologi pengetahuan, dan analisis pembentukan diskursif. Penelitian mengungkap bahwa YPKP melakukan permainan kebenaran dalam wacana rokok elektrik sehat dengan memanfaatkan kekuasaan dan pengetahuan di bidang kesehatan. YPKP memperluas kekuasaan dengan melibatkan pihak yang berpengaruh di Indonesia dan jaringan internasionalnya. Istilah dan pernyataan dalam kampanye YPKP sama dengan istilah yang digunakan industri rokok dalam mempromosikan rokok elektrik, seperti: alternatif produk tembakau, rokok elektrik sebagai solusi berhenti merokok, pengurangan bahaya, rendah resiko, beralih ke rokok elektrik untuk berhenti merokok, dan lainnya. Pewacanaan rokok elektrik sehat dibangun oleh YPKP melalui beberapa wacana, sebagai berikut: wacana solusi berhenti merokok melalui rokok elektik; wacana uap vs asap; wacana regulasi vs pelarangan; wacana sentralisasi "tembakau alternatif" dan marginalisasi rokok komvensional. Wacana rokok elektrik sehat dimanfaatkan untuk mendukung industri rokok elektrik, yaitu rokok elektrik menggantikan rokok konvensional. Sementara itu, wacana ‘berhenti merokok’ dipinggirkan.

The culmination problem in terms of health worldwide, is still about tobacco use and cigarette addiction. Nowadays, the number of electric cigarettes users in the world continues to increase. Research show that the majority of smokers still do not reduce cigarette consumption during the Covid-19 pandemic.Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) is a health-based NGO that conducted electric cigarettes campaign using Instagram account @ypkpindonesia. This research aims to reveal the ‘games of the truth’ of electric cigarettes campaign based on the relation of power-knowledge on @ypkpindonesia Instagram account. This is a qualitative research with a critical paradigm using Foucault's genealogy discourse analysis. The data analysis’ method using Foucault's genealogy discourse analysis which includes four analytical materials, namely: structural linguistic analysis, archive analysis, archeology of knowledge analysis, and discursive formation analysis. The result revealed that YPKP conducted the games of truth in healthy electric cigarettes discourse by utilizing the power and knowledge in health science. YPKP expands power by involving influential parties in Indonesia and their international network. The terms in the YPKP campaign are the same as the terms and sentences used by the cigarette industry in promoting e-cigarettes, such as: alternative tobacco products, e-cigarettes as a solution to quitting smoking, reducing harm, low risk, switching to e-cigarettes to quit smoking, etc. The discourse on healthy e-cigarettes was developed by YPKP through some discourses, as follow: discourse on solutions to quitting through smoking e-cigarettes, discourse on steam vs. smoke, discourse on prohibition vs. regulation, and discourse on the centralization of "alternative tobacco" and marginalization of conventional cigarettes. The discourse of healthy electric cigarettes is used to support the electric cigarettes industry. Meanwhile, the discourse of ‘smoking cessation’ was marginalized."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanya Amalia Putri
"Tesis ini berangkat dari fenomena anak yang menjadi model endorse di Instagram semakin banyak terjadi di era digital seperti sekarang. Dengan popularitas yang dimiliki, banyak artis di Indonesia juga menggunakan media sosial mereka, khususnya Instagram sebagai medium pemasaran. Ironisnya, mereka menggunakan anak mereka untuk menjadi model endorse. Saat ini, tidak hanya artis yang mengubah Instagram, namun juga masyarakat biasa yang berubah menjadi influencer dan menjadikan anak mereka sebagai model endorse. Tanpa disadari, anak telah mengalami eksploitasi. Dalam hal ini, anak-anak telah berubah menjadi komoditas. Namun, eksploitasi yang terjadi telah termistifikasi (tersamarkan) oleh berbagai pihak. Tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan menggunakan paradigma kritis, tesis ini menggunakan konsep mistifikasi dan komodifikasi yang dari Vincent Mosco (2009) sebagai alat bedah. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi, hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa orang tua sebagai keluarga utama bagi anak-anak telah mengeksploitasi anak-anak tersebut. Terdapat 3 jenis eksploitasi yang didapat, yaitu eksploitasi ekonomi, eksploitasi tubuh, dan eksploitasi pendidikan. Endorsement anak kemudian menjadi suatu hal yang biasa sehingga eksploitasi tersebut tersamarkan. Selain itu, orang tua cenderung menjadikan minat dan bakat sebagai pembenaran. Anak yang bekerja dengan alasan untuk mengembangkan minat dan bakat juga dilindungi oleh undang-undang. Oleh sebab itu, pemerintah juga memiliki peranan dalam mengaburkan eksploitasi yang terjadi.

This thesis is based on the phenomenon of the children who works as the endorse model in Instagram. This case has been increased in this digital era. With all of their popularity, many celebrities in Indonesia also use their social media, especially instagram, to be the medium. Nowadays, it is not only celebrities who has changed their Instagram account to be the endorsement account. Unfortunately, they use their children to be the endorse model. Influencers that are basically civil society has appeared. They also use their children as endorse model. Because of that, their children are being exploited. On that matter, their children has become a commodity. But, the exploitation has been mystified. This thesis uses qualitative approach in analyzing the phenomenon. This thesis uses the mystification and commodification concept by Vincent Mosco (2009). Based on the interview and observation, the results indicated that their parents has exploited the children. There are 3 types of exploitation that are found, economics exploitation, body exploitation, and educational exploitation. Nowadays, child Endorsement is an ordinary activity so that the exploitation has been mystified. Moreover, the parents tend to justify their action as the matter of their children's interest and talent. The children who work as the matter of their interest and talent are also protected by the regulations. Therefore, the government has a role on the mystification itself."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Siti Savira Ivonne Ralie
"

Hak politik perempuan masih diperjuangkan melalui berbagai bentuk kebijakan dan gerakan resmi dikarenakan rendahnya tingkat kepentingan perempuan dalam lingkup politik dari tahun ke tahun, berhasil mencitrakan politik Indonesia sebagai bidang publik yang didominasi oleh pria. Penelitian ini bertujuan menelaah secara komprehensif dan memberikan penekanan pada rasional dibalik fenomena kelemahan tingkat partisipasi politik perempuan berdasarkan wawancara mendalam dengan remaja pemilih pemula PILPRES 2019 dan followers akun Instagram @psi_id yang merupakan generasi millennial, serta temuan, literatur, dan dokumentasi dari Internet. Progresivitas millennial diharapkan mampu mengidentifikasi isu kepemimpinan perempuan dan keterkaitannya dengan konsep gender serta implikasi sistem sosial melalui perspektif yang cenderung lebih liberal dan ekstensif. Akun resmi media sosial partai politik Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dijadikan sebagai sarana penelitian karena selain generasi millennial adalah pemakai media sosial fanatik, PSI identik dengan keterwakilan politik perempuan sehingga dianggap mampu menjadi acuan kompeten pada strategi studi kasus penelitian. Studi ini kemudian menunjukkan bahwa terdapat narasi patriarkis yang berpengaruh signifikan terhadap inferioritas perempuan dalam konteks kepemimpinan politik dan masih mengakar di Indonesia bahkan dalam lingkungan dengan penerapan pola pikir yang tergolong modern.


Womens political rights are still being advocated through various forms of official policies and movements due to the low level of womens interest in the political sphere from year to year, successfully portrayed Indonesian politics as a male-dominated world. This study aims to examine and emphasize comprehensively the rationale behind the phenomenon of womens low political participation based on in-depth interviews with PILPRES 2019 beginner voters and also @psi_ids active followers on Instagram, as well as findings, literature, and documentation from the Internet. Millennials progressive behavior and mindset are expected to better identify the issue of womens leadership and its relation to gender as a concept and possible implication of social system through a more liberal and extensive perspective. The official Instagram account of Indonesian political party Partai Solidaritas Indonesia (PSI) is utilized as part of the research tools due to its correlation with womens political representation therefore considered as a competent reference in supporting the case study research strategy within this study. Instagram usage is also being stressed upon since millennial is a generation dubbed as fanatic social media users. This study then continues to display patriarchal narratives and its significant influence towards womens political leadership inferiority, which is still being deeply rooted in Indonesia even amongst the relatively modern environment.

"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pritta Miranda
"

Penelitian ini menjelaskan terkait bagaimana sebuah merek menjadi pilihan bagi konsumennya diantara banyaknya merek lainnya yang dijelaskan melalui konsep preferensi merek. Preferensi merek dapat dipengaruhi dari berbagai faktor lainnya dari sebuah merek seperti asosiasi merek, pengalaman merek, dan kepribadian merek. Penelitian ini difokuskan dengan menguji sebuah merek dengan kategori produk keterlibatan rendah sebagai objek penelitian. Adapun produk keterlibatan rendah yang diuji dalam penelitian ini adalah minuman kopi dari sebuah merek kopi lokal, yaitu Kopi Kenangan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan survei online kepada konsumen Kopi Kenangan sebanyak 175 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asosiasi merek, pengalaman merek, dan kepribadian merek berpengaruh secara signifikan terhadap preferensi merek pada produk keterlibatan rendah (dalam hal ini produk Kopi Kenangan)  sebesar 49,8% dan sisanya sebesar 50,2% dijelaskan oleh faktor lain diluar yang diuji dalam penelitian ini.

 

 


This study explains how a brand is a choice for consumers among the many other brands that are explained through the concept of brand preference. Brand preference can be influenced by various other factors of a brand such as brand association, brand experience, and brand personality. This research is focused on a brand with a low involvement product category as the object of research. The low involvement product  in this study is a coffee drink from a local coffee brand, namely Kopi Kenangan. The data collection in this study was conducted by conducting an online survey to 175 consumers of Kopi Kenangan. The results showed that brand association, brand experience, and brand personality significantly influence to brand preference on low involvement products (in this case Kopi Kenangan product) by 49.8% and the remaining 50.2% is explained by other factors outside of this research.

 

 

"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marbun, Imam Asma Nur Alam
"Media sosial menjadi salah satu terobosan paling populer di era digital dan telah merevolusi cara manusia berinteraksi. Pengguna media sosial dengan keunggulan kompetitif kemudian meraup sejumlah besar pengikut dan menjadi influencer yang memiliki visibilitas dan jangkauan diseminasi informasi yang tinggi. Sebagian dari para influencer tersebut adalah para ASN yang mencapai popularitas di berbagai platform media sosial. Akibat dari status mereka sebagai ASN yang terikat dengan berbagai nilai, kode etik, dan peraturan, aktivitas daring mereka menjadi lebih terbatas karena jika mereka berbuat salah maka reputasi dari organisasi mereka akan ikut tercoreng. Hal ini menimbulkan perasaan was-was dan kehati-hatian yang merupakan salah satu tanda adanya panoptisisme di dunia digital. Terlebih lagi ketika organisasi dari para influencer tersebut sedang dilanda krisis yang menyebabkan pengawasan lebih ketat dari masyarakat seperti yang dialami oleh Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menjawab bagaimana bentuk panoptisisme digital yang bekerja pada wacana ASN yang ideal di media sosial. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan konsep panoptisisme dengan suplemen konsep terkait media sosial, influencer, dan pekerja sektor publik. Dengan menggunakan paradigma critical constructivism, pendekatan kualitatif, strategi constructivism dan metode wawancara mendalam terhadap sejumlah ASN influencer di Kemenkeu, peneliti menemukan bahwa terdapat perbedaan bentuk panoptisisme yang bekerja di dunia analog dan dunia digital yang menyebabkan wacana ASN ideal yang juga berbeda. Panoptisisme digital bekerja di dalam ekosistem media sosial dengan beberapa prasyarat yaitu kesukarelaan untuk menggunakan media sosial (consent), kemudahan untuk melakukan pengakuan (confession), keberadaan pengawas yang ada dimana-mana dan tidak terlihat, kekuasaan yang asimetris dan tersebar, visibilitas yang konstan, dan adanya sistem hadiah dan hukuman ringan untuk memotivasi tahanan panoptik. Elemen-elemen tersebut membentuk algoritma panoptisisme digital yang membuat influencer selalu merasa waswas, takut, dan berhati-hati ketika mendiseminasikan pikiran mereka di media sosial agar mereka tidak keluar dari dalam lingkup wacana ASN ideal. Wacana ASN yang ideal di media digital adalah mereka yang mampu menjadi agen komunikasi organisasi dalam menyebarluaskan value-value, capaian-capaian, dan program-program institusinya. Namun, wacana ini kemudian dinegosiasikan melalui serangkaian mekanisme panoptisisme digital yang akhirnya menghasilkan tubuh-tubuh disiplin yang tidak sepenuhnya memenuhi wacana ASN ideal yang ada di pikiran mereka, tetapi tetap merupakan bentuk kepatuhan mereka kepada wacana penguasa. Bentuk-bentuk kehatihatian tersebut terbagi menjadi dua, yaitu kehati-hatian dalam kondisi normal dan kehatihatian akibat pasca adanya krisis..

Social media is one of the most popular breakthroughs in the digital age and has revolutionized the way humans interact. Social media users with a competitive advantage gain a large number of followers and become influencers with high visibility and reach of information dissemination. Some of these influencers are ASNs who have achieved popularity on various social media platforms. As a result of their status as ASNs who are bound by various values, codes of ethics, and regulations, their online activities are more limited because if they do something wrong then the reputation of their organization will be tarnished too. This creates a feeling of anxiety and caution which is a sign of panopticism in the digital world. Even more so when the organization of these influencers is being hit by a crisis that causes stricter supervision from the public as experienced by the Ministry of Finance. Therefore, this research seeks to answer how digital panopticism works in the ideal ASN discourse on social media. To answer this question, the researcher uses the concept of panopticism with additional concepts related to social media, influencers, and public sector workers. By using the critical constructivism paradigm, a qualitative approach, constructivism strategy, and in-depth interview methods with several ASN influencers at the Ministry of Finance, the researcher found that different forms of panopticism work in the analog world and the digital world which causes the ideal ASN discourse to be different. Digital panopticism works within the social media ecosystem with several prerequisites, namely voluntarism to use social media (consent), ease of confession, the presence of omnipresent and invisible supervisors, asymmetrical and dispersed power, constant visibility, and the existence of a system of light rewards and punishments to motivate panoptic prisoners. These elements form a digital panopticism algorithm that makes influencers always feel anxious, afraid, and careful when disseminating their thoughts on social media so that they don't get out of the scope of the ideal ASN discourse. The ideal ASN discourse in digital media is those who can become organizational communication agents in disseminating the values, achievements, and programs of their institutions. However, this discourse was then negotiated through a series of digital panopticism mechanisms which ultimately resulted in disciplinary bodies which did not fully meet the ideal ASN discourse in their minds but remained a form of their obedience to the discourse of the authorities. These forms of caution are divided into two: caution under normal conditions and caution due to the aftermath of a crisis."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>