Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elia Rosalinda Afif
"Latar Belakang
Kecelakaan kerja merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja. Kece1akaan kerja akan menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak, pihak pekerja dan pengusaha. Kecelakaan kerja dapat terjadi di semua sektor industri, termasuk di Pertambangan.
Banyak faktor yang mempengaruhi teriadinya kecelakaan kerja seperti suhu, ventilasi, penerangan, pengetahuan, umur, dan lain-lain: yang kesemuanya ini tidak terlepas dari keadaan pekerjanya itu sendiri
Setiap kecelakaan kerja yang terjadi di Perusahaan, harus dianalisis untuk mengetahui penyebab terjadinya kecelakaan tersebut, akibat yang mungkin akan ditimbuikan serta langkah apa yang perlu diambil dalam rangka upaya pencegahannya.
Penelitian tentang kecelakaan kerja, terutama yang terjadi di PT. X, belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengetahui penyebab terjadinya. kecelakaan, perlu dilakukan analisis terhadap kecelakaan yang sudah terjadi agar untuk selanjutnya dengan upaya-upaya koreksi yang ditujukan terhadap penyebabnya, kecelakaan tersebut dapat dicegah dan tidak terulang kembali
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional dan bersifat deskriptif analitik yang diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan antara faktor-faktor Pekerja (umur, pendidikan, status perkawinan, status kepegawaian dan masa kerja); Faktor-faktor Lingkungan Kerja (shift kerja, tempat kecelakaan dan jam terjadinya kecelakaan) dengan Kecelakaan Kerja (Kecil dan Ringan/Berat). Sampel penelitian adalah semua pekerja yang bekerja di Satuan Kerja Produksi Tambang Departemen Tambang dan yang mengalami kecelakaan kerja selama tahun 2003.
Hasil
Kecelakaan kerja dapat terjadi pada : semua golengan umur, berbagai tingkat pendidikan, pekerja dengan status perkawinan kawin maupun tidak, pckerja dengan status kepegawaian apapun baik karyawan tetap, KPO maupun TH., pekerja dengan masa kerja yang sudah lamapun dapat mengalami kecelakaan kerja, kecelakaan kerja terbanyak terjadi pada shift malam yaitu antara jam 24.00 - 07,30, kecelakaan kerja dapat terjadi dimanapun di lingkungan Perusahaan terutama lingkungan Produksi dan Manajemen mempunyai peran yang sangat besar dalam upaya pencegahan terjadinya kecelakaan kerja.
Kesimpulan dan Saran
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinva kecelakaan kerja. Faktor manusia itu sendiri paling dominan terhadap timbulnya kecelakaan akibat kerja, seperti kurang hati-hati, kurang perhatian, dll. Menegakkan disiplin para pekerja dalam memenuhi dan melaksanakan K3: Melaksanakan pendidikan dan pelatihan K3 bagi seluruh karyawan. Kebijakan K3 dan SOP yang telah ada serta Meningkatkan frekuensi pengawasan, supervisi dan inspeksi.
Kata Kunci
80 - 85 % kecelakaan disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan manusia, kecelakaan terjadi karena adanya interaksi antara 3 (tiga) faktor yaitu faktar rnanusia (human resources factor), faktor situasi (situatianaf factor) dan faktor lingkungan (environment factor)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T13621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Tresnasari
"ABSTRAK
Perilaku keselamatan kerja pada pekerja Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
khususnya pengolahan kayu di Indonesia masih kurang baik, ditandai dengan masih tingginya
angka disabilitas akibat kecelakaan kerja. Tujuan penelitian ini adalah diketahui dan
diperolehnya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keselamatan kerja pada pekerja
UMKM pengolahan kayu.
Studi kualitatif menggunakan wawancara mendalam dan kelompok diskusi terfokus dengan
pedoman wawancara semi-struktur pendekatan teori Green di 2 perusahaan informal
pengolahan kayu. Wawancara mendalam dilakukan pada 2 orang bagian manajemen, 2 orang
mandor, 4 orang pekerja. Kelompok diskusi terfokus dilakukan pada 2 kelompok dengan 5
orang pekerja di setiap kelompok.
Pekerja pengolahan kayu memiliki persepsi yang cukup baik mengenai perilaku keselamatan
kerja hal ini dikarenakan memiliki pengalaman bekerja cukup lama meskipun berlatar
belakang pendidikan rendah. Sikap dan perilaku yang belum mencerminkan perilaku
keselamatan kerja dipengaruhi motivasi, minat, role model, kesiapan, kebijakan dan
pengawasan yang masih kurang. Mandor masih kurang ketat bertindak sebagai role model
dan melakukan pengawasan terhadap pekerja di lapangan. Manajemen perusahaan sudah
melakukan penyediaan sarana dan prasarana sesuai standar tetapi tidak diikuti oleh adanya
kebijakan, peraturan, pelatihan serta reward dan punishment.
Persepsi baik berperilaku keselamatan kerja pada pekerja pengolahan kayu dalam mencegah
kecelakaan kerja dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman dan sarana prasarana standar
yang cukup baik. Tetapi kurangnya motivasi, minat, contoh teladan, kesiapan dan
pengawasan mempengaruhi sikap dan perilaku keselamatan kerja yang kurang baik.
Manajemen dan mandor yang kurang menerapkan kebijakan, peraturan, pelatihan, reward
dan punishment juga mempengaruhi perilaku keselamatan kerja bagi para pekerja pengolahan
kayu.ABSTRACT
Workers in MSME lack good safety behavior specially carpenters in Indonesia, marked by a
high incidence of disability caused by occupational accidents. The aim of this study is to
identify influencing factors to workers?s safety behavior of carpenter in the micro, small and
medium enterprises (MSME).
A Qualitative study was conducted using in-depth interviews and focus group discussion with
semi-structured guidelines from Green theory, conducted in 2 MSME carpenter industry. Indepth
interviews involving 2 management staffs, 2 supervisors and 4 carpenters. Focus
group discussion was conducted with 2 groups, each consisting of 5 carpenters in .
Adequacy of good safety behavior perceptions was found, due to carpenter?s long experience,
although they have low educational level. Carpenter?s attitude and behavior did not comply
with safe behavior, influenced by lack of motivation, interest, role model, readiness, policy
and supervision. Supervisors were not regarded as role models and are weak in supervision.
Management already provides standar infrastructure and facilities, but lack of policy,
regulation, training also reward and punishment system.
The micro, small and medium enterprises (MSME) carpenter?s good perceptions to
occupational accident prevention influenced by knowledge, experience and standard
infrastructure and facilities, but Carpenters?s lack of motivation, interest, role model,
readiness and supervision influenced low attitude and lack of safety behavior.Management
and supervisor?s also fail to support carpenter?s safety behavior by not implementing policy,
regulation, training, reward and punishment system.;Workers in MSME lack good safety behavior specially carpenters in Indonesia, marked by a
high incidence of disability caused by occupational accidents. The aim of this study is to
identify influencing factors to workers?s safety behavior of carpenter in the micro, small and
medium enterprises (MSME).
A Qualitative study was conducted using in-depth interviews and focus group discussion with
semi-structured guidelines from Green theory, conducted in 2 MSME carpenter industry. Indepth
interviews involving 2 management staffs, 2 supervisors and 4 carpenters. Focus
group discussion was conducted with 2 groups, each consisting of 5 carpenters in .
Adequacy of good safety behavior perceptions was found, due to carpenter?s long experience,
although they have low educational level. Carpenter?s attitude and behavior did not comply
with safe behavior, influenced by lack of motivation, interest, role model, readiness, policy
and supervision. Supervisors were not regarded as role models and are weak in supervision.
Management already provides standar infrastructure and facilities, but lack of policy,
regulation, training also reward and punishment system.
The micro, small and medium enterprises (MSME) carpenter?s good perceptions to
occupational accident prevention influenced by knowledge, experience and standard
infrastructure and facilities, but Carpenters?s lack of motivation, interest, role model,
readiness and supervision influenced low attitude and lack of safety behavior.Management
and supervisor?s also fail to support carpenter?s safety behavior by not implementing policy,
regulation, training, reward and punishment system.;Workers in MSME lack good safety behavior specially carpenters in Indonesia, marked by a
high incidence of disability caused by occupational accidents. The aim of this study is to
identify influencing factors to workers?s safety behavior of carpenter in the micro, small and
medium enterprises (MSME).
A Qualitative study was conducted using in-depth interviews and focus group discussion with
semi-structured guidelines from Green theory, conducted in 2 MSME carpenter industry. Indepth
interviews involving 2 management staffs, 2 supervisors and 4 carpenters. Focus
group discussion was conducted with 2 groups, each consisting of 5 carpenters in .
Adequacy of good safety behavior perceptions was found, due to carpenter?s long experience,
although they have low educational level. Carpenter?s attitude and behavior did not comply
with safe behavior, influenced by lack of motivation, interest, role model, readiness, policy
and supervision. Supervisors were not regarded as role models and are weak in supervision.
Management already provides standar infrastructure and facilities, but lack of policy,
regulation, training also reward and punishment system.
The micro, small and medium enterprises (MSME) carpenter?s good perceptions to
occupational accident prevention influenced by knowledge, experience and standard
infrastructure and facilities, but Carpenters?s lack of motivation, interest, role model,
readiness and supervision influenced low attitude and lack of safety behavior.Management
and supervisor?s also fail to support carpenter?s safety behavior by not implementing policy,
regulation, training, reward and punishment system."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nelmi Silvia, auhtor
"Latar Belakang : Industri pemotongan batu memiliki potensi bahaya berupa debu batu yang dihasilkan dari proses pemotongan batu. Debu batu berpotensi besar masuk dan mengendap di saluran napas pekerja yang terpajan debu batu tersebut. Dalam penelitian ini ingin diketahui hubungan pajanan debu batu dan faktor lainnya dengan gangguan fungsi paru.
Metode Penelitian : Desain penelitian cross sectional dengan analisis regresi logistik. Subjek penelitian diambil secara cluster sampling. Tingkat pajanan debu batu ditentukan dengan metode semikuantitatif dan faktor-faktor lainnya dengan kuesioner. Pemeriksaan fungsi paru dilakukan dengan menggunakan alat spirometer.
Hasil : Subjek penelitian adalah 70 pekerja laki-laki industri pemotongan batu informal dengan masa kerja lebih dari 5 tahun. Sebanyak 21,4% subjek mengalami gangguan fungsi paru, dengan gangguan fungsi paru restriksi sebanyak 14,3% dan gangguan fungsi paru obstruksi sebanyak 7,1%. Faktor risiko yang berhubungan bermakna dengan gangguan fungsi paru adalah tingkat pajanan debu batu. Faktor umur, pendidikan, status gizi, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, masa kerja, kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (APD) dan penyediaan APD tidak memperlihatkan hubungan bermakna dengan gangguan fungsi paru. Subjek dengan tingkat pajanan debu batu tinggi mempunyai risiko 5,889 kali mengalami gangguan fungsi paru dibandingkan subjek dengan tingkat pajanan debu batu rendah [ odds rasio suaian (ORa) = 5,889; interval kepercayaan (CI) 95% = 1,436-24,153)].
Kesimpulan : Didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pajanan debu batu dengan gangguan fungsi paru. Perlu dilakukan pengendalian terhadap pajanan debu batu untuk mencegah risiko gangguan fungsi paru pada pekerja industri pemotongan batu.

Background : Stone cutting industry have a potential hazard in stone dust resulted from stone cutting process. Stone dust has a significant potential to enter and settle inside exposed worker’s respiratory tract. This study aims to identify the relationship between stone dust exposure and other factors with lung function disorder.
Method : This study was a cross-sectional study with logistic regression analysis. Study’s subjects were taken with cluster sampling method. Level of stone dust exposure was determined by semi-quantitative method and the other factors were identified by a questionnaire. Lung function was tested with a spirometer.
Results : Study’s subject was 70 male informal stone cutting industry workers with more than 5 years of service. In this study, it was found that lung function disorders was 21.4%, which restrictive lung function disorder was 14.3% and the obstructive lung function disorder was 7.1%. Risk factor significantly related to lung function disorder was stone dust level of exposure. Age, education, nutritional status, exercise habit, smoking habit, length of employment, habit of using personal protective equipment (PPE) and provision of PPE showed no significant relationship with lung function disorder. Subjects with high level of stone dust exposure had 5.889 times the risk of lung function disorder compared to subjects with low level of stone dust exposure [adjusted odds ratio(ORa) = 5.889; 95% confidence interval (CI) = 1.436 - 24.153)].
Conclusion : The level of stone dust exposure significantly related to lung function disorder. Control measures are needed for stone dust exposure to prevent the risk of lung function disorder in stone cutting industry workers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiansyah Kusuma
"Banyak organisasi yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan mata telah banyak mengajukan panduan dalam pelayanan kesehatan mata terutama yang berkaitan dengan penglihatan warna. The most widely used untuk skrining gangguan penglihatan warna adalah tes Ishihara. Namun saat ini ditawarkan vision tester yang multifungsi untuk banyak berbagai skrining kesehatan mata termasuk penglihatan warna. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara hasil pemeriksaan menggunakan vision tester dengan hasil pemeriksaan menggunakan tes Ishihara pada skrining penglihatan warna pekerja dan untuk mengetahui proporsi gangguan penglihatan warna pada pekerja yang menjadi subyek dalam penelitian ini, dilakukan studi potong lintang dengan memakai data sekunder dari hasil pemeriksaan para pekerja laki-laki dari berbagai jenis perusahaan di Jakarta dan Bogor. 32 dari 492 (6,5%) pekerja terdeteksi sebagai gangguan penglihatan warna oleh tes Ishihara. Namun terlihat ketidaksesuaian hasil yang diperoleh dari kedua alat dimana 152 dinyatakan normal oleh tes Ishihara, sedangkan vision tester menyatakan sebagai gangguan dengan presentasi ketidaksesuaian mencapai 33%. Keduanya ternyata berbeda secara bermakna berdasarkan uji Mc Nemar (p<0.001) dan memiliki tingkat kesesuaian yang rendah berdasarkan uji Kappa dengan nilai 0,21 (p<0.001). Perbedaan panjang gelombang cahaya mungkin menyebabkan bias. Proporsi pekerja dengan gangguan penglihatan warna sebesar 6,5%. Sedangkan berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan vision tester prevalensi gangguan penglihatan warna sebesar 37,4%. Sebagai simpulan adalah hasil pemeriksaan menggunakan vision tester ternyata memiliki ketidaksesuaian dengan hasil pemeriksaan menggunakan tes Ishihara pada skrining penglihatan warna. Dan proporsi gangguan penglihatan warna pada pekerja yang menjadi subyek dalam penelitian ini menurut tes Ishihara sebesar 6,5%, sedangkan menurut vision tester sebesar 37,4%. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari penyebab ketidaksesuaian ini. Juga disarankan melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan vision tester dari merek yang berbeda lain.

Most eye health services organizations had released guidence to vision examination especially related the color vision. Ishihara test is the most widely used for color vision screening. However currently a multifunctional tester offered for vision screening including color vision. A Cross sectional study was conducted by using secondary data to determine the level of suitability between the vision tester and the Ishihara test, based on the results of color vision screening from booth in Male workers from several types of companies in Jakarta and Bogor and also to find out the proportion of impaired colour vision from them. 32 of 492 (6.5%) workers detected as impaired color vision by Ishihara test. But a significant mismatch results was obtained from both which 152 declared normal by Ishihara test, while the vision tester states as impaired and the mismatches reaches 33%. Both tools showed the mismatch according to Mc Nemar test (ρ <0.001) and had a low level of suitability from the Kappa test based on the value of 0.21 (ρ <0.001). The difference of wavelengths of light may cause bias. From the results of Ishihara test, proportion of workers with impaired color vision is 6.5%. While based on the results of vision tester, impaired color vision is 37.4%. We conclude that there is no suitability between the vision tester and the Ishihara test, based on the results of color vision screening. Needed further research to find the cause of this mismatch. Also suggested to do the same study by using vision tester from different brands."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Markus Halim
"Setiap pekerja untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, efisien, serta kenyamanan dalam bekerja, maka diperlukan kemampuan tajam penglihatan yang baik. Snellen Chart merupakan instrumen yang biasa digunakan untuk pemeriksaan tajam penglihatan. Namun pada Snellen Chart harus membutuhkan jarak 6 meter, penerangan harus cukup.
Pada saat ini banyak permintaan dari perusahaan untuk melakukan MCU di tempat kerjanya, sedangkan tempat yang disediakan terbatas. Maka perlu dicari alternatif untuk pemeriksaan tajam penglihatan jauh. Di USA, Optec Vision Tester telah digunakan untuk menguji berbagai fungsi penglihatan, termasuk tajam penglihatan. Di Indonesia sampai saat ini belum digunakan dan belum diketahui tingkat kesesuaiannya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian pemeriksaan tajam penglihatan jauh antara Optec Vision Tester dengan Snellen Chart. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang dengan analisis kesesuaian menggunakan pengujian Cohen’s Kappa. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil MCU pada pekerja di suatu Perusahaan. Data yang diambil adalah hasil dari pemeriksaan tajam penglihatan jauh pada mata binokuler tanpa koreksi dari kedua instrumen.
Hasilnya sebanyak 61 subyek yang hasilnya abnormal pada pemeriksaan vision tester, ternyata terdapat 27 subyek memberikan hasil normal pada pemeriksaan Snellen chart. Sedangkan dari 105 subyek yang hasilnya normal pada pemeriksaan vision tester, terdapat 4 subyek pada pemeriksaan Snellen chart hasilnya abnormal. Kemudian data diolah ke dalam SPSS untuk memperoleh nilai Kappa. Secara statistik, diperoleh nilai Kappa 0,564, yang termasuk kategori "fair to good" menurut Fleiss.
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah Optec Vision Tester mempunyai nilai kesesuaian tingkat sedang dengan Snellen Chart.

Every worker to be able to carry out its duties and responsibilities properly, efficiently, and comfort in the work, it needs a good sharp vision capabilities. Snellen Chart is an instrument commonly used for inspection of visual acuity. But on the Snellen Chart shall require a distance of 6 meters, lighting should be sufficient.
At this time a lot of requests from companies to do the MCU in the workplace, while the limited space provided. Then it is necessary to find an alternative to distant visual acuity examination. In the USA, Optec Vision Tester was used to test a variety of visual function, including visual acuity. In Indonesia has yet to be used and the level of compliance is unknown.
The purpose of this study was to determine the level of compatibility between the distant visual acuity examination Vision Tester with Snellen Chart. The study design uses a cross sectional analysis of the suitability of using Cohen's Kappa test. This study uses secondary data from MCU to workers in a company. The data taken is the result of the examination from binocular visual acuity without correction of both instruments.
The result is a total of 61 subjects in the examination results are abnormal vision tester, it turns out there were 27 subjects in the examination gave normal results Snellen chart. While the 105 subjects who were normal on examination vision tester, there are 4 subjects in the examination abnormal results Snellen Chart. Then the processed data into SPSS to obtain the value of Kappa. Statistically, Kappa value of 0.564 is obtained, which is categorized as "fair to good" according to Fleiss.
Conclusions obtained in this study is the Optec Vision Tester has a value of moderate conformity with the Snellen Chart.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lucas Nurcahyo
"Latar belakang : Toluena merupakan zat pelarut sering digunakan di berbagai industri seperti dalam pembuatan cat, lem dan lainnya. Toluena mempunyai sifat lipofilik dan memberikan efek toksik ke beberapa organ seperti sistem saraf pusat. Pada tahap biomolekuler, toluena merubah struktur lipid pada membran sel, sehingga terjadi peningkatan kadar MDA plasma dan jaringan. Pada Sistem Saraf Pusat, toluena bisa melewati sawar otak dan menyebabkan gangguan pada serebelum otak sehingga dapat meningkatkan kadar MDA serta terjadi perubahan struktur pada dinding sel astrosit.
Metode : Untuk mengetahui efek pajanan toluena selama 14 hari dengan dosis dibawah nilai ambang pada organ serebelum otak, dan dilakukan pemeriksaan kadar MDA serebelum otak, serta kerusakan dari sel Astrosit, menggunakan lima kelompok tikus jenis Wistar jantan dengan pajanan sebesar 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; dan kelompok kontrol tanpa pajanan.
Hasil: Analisis uji nilai kadar MDA serebelum otak menggunakan One Way Anova dengan hasil tidak ada perbedaan rerata (p=0.133) antar kelompok pajanan dengan kelompok kontrol, dan analisis jumlah sel Astrosit dengan menggunakan One Way Anova didapatkan (p=0,310) dengan hasil tidak ada perbedaan antar kelompok pajanan.
Kesimpulan : Tidak ada perbedaan rerata pada kelompok pajanan pada nilai MDA serebelum Otak maupun jumlah Sel Astrosit yang terpajan toluena dengan dosis dibawah nilai ambang.

Backgrounds : Toluene is a solvent commonly used in various industries such as in the manufacture of paint, glue and others. Toluene has lipophilic properties and toxic effects to some organs such as the central nervous system. At this stage of biomolecular, toluene alters the structure of the lipids in cell membranes, resulting in an increased of plasma and tissue levels of MDA. In the Central Nervous System, toluene can cross the blood brain barrier and cause a disruption in the cerebellum of the brain, thereby increasing the levels of MDA and structural changes in the structure of astrocytes’ cells.
Methods : To determine the effect of toluene exposure for 14 days at doses below the threshold value on the organ brain cerebellum and cerebellar MDA examination of the brain, as well as causing damage to Astrocytes cells, using five groups of male Wistar rats with four types of exposure of 1.6 ml; 3.2 ml; 6.4 ml; 12.8 ml; and a control group without exposure.
Results : MDA value analysis test brain cerebellum using One Way Anova showed no significance mean difference (p = 0.133) between the exposed group and the control group. From the analysis of the number of cells Astrocytes using One Way Anova that obtained (p = 0.310) with no difference in outcomes among exposed groups.
Conclusion : There was no significance difference in the group mean exposure to MDA values and the number of cells of the cerebellum Brain Astrocytes exposed to toluene at a dose below the threshold value.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Wulandari Puspitasari
"Latar belakang: Hasil pada penelitian hewan coba yang telah dilakukan sebelumnya, salah satunya menyatakan pajanan formaldehida dapat menimbulkan nefrotoksisitas. Cystatin c merupakan penanda endogen laju filtrasi glomerulus yang mendekati ideal. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara pajanan formaldehida dan faktor risiko lain dengan kadar cystatin c serum pada pekerja industri kain ban yang bekerja dengan formaldehida (dipping) dan tidak bekerja dengan formaldehida (weaving).
Metode penelitian: Desain studi adalah potong lintang komparatif. Melibatkan 144 pekerja secara total, masing-masing 72 orang laki-laki dari bagian dipping dan weaving. Data dikumpulkan dengan cara wawancara, kuisioner, pemeriksaan fisik dan data sekunder pekerja dari data hasil MCU 2012. Cystatin c serum diukur dengan menggunakan metode PENIA.
Hasil: Total sampel dalam penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 119 orang. Hasil pengukuran cystatin c serum menunjukkan rata-rata masih dalam batas normal. Variabel unit kerja dengan formaldehida, perokok sedang, obese dan masa kerja >15-29 tahun memiliki hubungan bermakna dengan kadar cystatin c serum. Dari hasil regresi linear bahwa kekuatan asosiasi paling dominan dengan kadar cystatin c serum adalah unit kerja dengan formaldehida (β=0,293, p=0,001).
Kesimpulan: Rata-rata kadar cystatin c serum pada bagian dipping lebih tinggi dibandingkan bagian weaving, meskipun masih dalam batas normal. Didapatkan hasil kadar cystatin c serum diatas normal dengan kadar 0,986 mg/L pada 1 responden dari bagian dipping yang telah bekerja pada unit dengan formaldehida selama 27 tahun, namun pekerja tersebut juga memiliki faktor risiko lainnya yaitu obese grade 1 dan perokok ringan. Unit kerja dengan formaldehida memiliki hubungan paling dominan dengan kadar cystatin c serum.

Background: Review of literature from previous animal studies, showed that exposure to formaldehyde can increase the risk of nephrotoxicity. Cystatin c is a nearly ideal endogenous marker of glomerular filtration rate. This study aims to determine that relationship between formaldehyde exposure and other risk factors with levels of serum cystatin c in the fabric tire industry among workers who worked with formaldehyde (dipping department) and those who worked without formaldehyde (weaving department).
Methods: A comparative cross-sectional design was used. A total of 144 workers were included, 72 men from each department. Data collection conducted was by interview using a standardized questionnaire, physical examination and collecting secondary data from 2012 MCU data. Cystatin c was measured by PENIA method.
Results: Workers who met inclusion criteria were 119 people. Formaldehyde exposure, moderate smokers, obese and lenght of work >15-29 years had a meaningful relationship with levels of serum cystatin c. Result of linear regression showed that the dominant associated factor with levels of serum cystatin c is the workplace that used formaldehyde (β=0,293, p=0,001).
Conclusion: Mean levels of serum cystatin c among workers of the dipping department was higher than weaving department, although still within normal limits. Only one respondent showed at a level of serum cystatin c above normal with 0,986 mg/L from the dipping department who has been working 27 years, he also had other factors like obese grade 1 and is a light smoker. Working with formaldehyde showed the most dominant relationship with levels of serum cystatin c.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Franseda
"Latar Belakang: Prevalensi UE-WRMSDs pada populasi pekerja masih tinggi dan kondisi ini menyebabkan kerugian bagi pekerja atau perusahaan serta menurunkan produktivitas kerja. Aspek terpenting pengendalian UE-WRMSDs adalah deteksi dini risiko pajanan di tempat kerja dengan menggunakan metode OCRA sebagai salah satu instrumen penapisan risiko. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara faktor individu pekerja, faktor lingkungan kerja, faktor biomekanika kerja berbasis OCRA dengan kejadian UE-WRMSDs pada kelompok pekerja pengrajin logam informal.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dan dilaksanakan pada Maret - Juni 2014 terhadap pengrajin logam informal Citeureup-Kabupaten Bogor. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang meliputi karakteristik sosiodemografi, analisis rekaman proses kerja dengan metode OCRA, pengukuran bising ambien dengan Sound Level Meter, pengukuran vibrasi segmental dengan Accelerometer serta stresor kerja dengan Survey Diagnosis Stres.
Hasil: Prevalensi UE-WRMSDs pada pengrajin logam informal sebesar 59.1%. Faktor pajanan di tempat kerja yang berisiko terhadap kejadian UE-WRMSDs adalah pajanan vibrasi segmental instrumen kerja (OR 5.79, 95% CI 1.14-29.49). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara kejadian UE-WRMSDs dengan usia, IMT, kebiasaan aktivitas fisik, kebisingan ambien, kebiasaan merokok, skor indeks OCRA dan stresor kerja.
Simpulan dan Saran: Penanggulangan UE-WRMSDs ditentukan melalui deteksi dini, tatalaksana yang tepat dan kesadaran pekerja untuk segera berobat saat mengalami keluhan. Diperlukan suatu analisis menyeluruh selama waktu kerja menggunakan instrumen OCRA terhadap jenis pekerjaan yang bervariasi untuk hasil yang lebih akurat.

Background: UE-WRMSDs prevalence of working population is quite high and this condition causes harm to workers or the company as well as decreasing productivity. The most important aspect of UE-WRMSDs management is early detection of risk exposure in the workplace by using OCRA as risk screening instrument. This study examines the relationship between worker’s individual factors, working environment factors and biomechanical factors with UE-WRMSDs incidence of the metalworkers informal groups.
Method: This study used a cross-sectional design involving metalworkers informal groups in Citeureup-Bogor from March - June 2014. Data is collected using questionnaire included sociodemographic characteristics, analysis of recorded-working process with OCRA method. Measurements of ambient noise, segmental vibration and work stressors were using Sound Level Meter, accelerometer and Stress Diagnosis Survey questionnaire respectively.
Result: UE-WRMSDs prevalence on metal workers informal groups is 59.1%. The risk of workplace exposure for UE-WRMSDs is segmental vibration exposure of working instrument (OR 5.79, 95% CI 1.14-29.49). There were no statistically significant results between the incidence of the UE-WRMSDs with age, BMI, physical activity habits, ambient noise, smoking habits, OCRA index score and work stressors.
Conlusion and Recommendation: Management of UE-WRMSDs is determined through early detection and worker’s awareness to seek proper medical treatment immediately when experiencing complaints. Complete analysis of working process for various type of work using OCRA instrument are required for obtaining more accurate results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hamka Rani
"ABSTRAK
Pekerja sektor transportasi merupakan salah satu sektor pekerjaan yang rawan terhadap penularan dan penyebaran HIV/AIDS. Risiko berasal dari luar daerah, sering berpindah-pindah tempat, serta jauh dari keluarga atau pasangan yang dapat mendorong mereka untuk melakukan perilaku seksual berisiko. Petugas penerbangan yang memiliki perilaku berisiko seperti kebebasan perilaku seks yang berganti-ganti pasangan serta penggunaan narkoba, merupakan kelompok pekerja yang berpotensi terpajan dengan
risiko terjangkit HIV karena pekerjaan. Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku para petugas penerbangan di Bandara Soekarno Hatta berkaitan dengan HIV/AIDS. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2018, menggunakan desain potong lintang (Cross Sectional Study) dengan subjek penelitian
sebanyak 223 orang. Hasil dari penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan responden terhadap HIV/AIDS
masih rendah 56,5%, sikap responden terhadap HIV/AIDS memperlihatkan sikap yang negatif yaitu sebanyak 60,2%, perilaku berisiko tinggi terhadap HIV ditunjukkan
responden sebanyak 51,6%, sedangkan perilaku yang aman terhadap HIV sebesar 48,4%. Hubungan seks selain dengan pasangannya pada responden yang sudah menikah sekitar 54% dengan penggunaan kondom yang rendah hanya 15,2%. Hubungan seks pada yang belum menikah dengan pacar atau pasangan tetapnya 49% dan dengan selain dengan pasangan tetapnya sebesar 40,6%. Terdapat hubungan yang bermakna antara akses sumber informasi HIV (p-value=0,021), status pendidikan (p-value=0,005) dan status pernikahan (p-value=0,009) dengan pengetahuan HIV/AIDS. Namun tidak ada
hubungan yang bermakna dari semua faktor penentu dengan sikap responden terhadap HIV. Terdapat hubungan bermakna antara jumlah sumber informasi yang diakses responden (p=0,033), kelompok umur (p=0,013) dan sikap dengan perilaku berisiko terhadap HIV (p=0,004).

Transportation sector workers are one of the most vulnerable to the spread of HIV/AIDS. The risks came from being a migrant worker, never stay long in one place, as well as far from families or partner which can encourage them to engage in risky sexual behavior. Aviation worker who indulge in risky behaviors (such as having multiple sex partners and drug addiction) have a high risk of contracting HIV. The purpose of this research is to study the knowledge, attitude and behavior of flight officer
at Soekarno Hatta Airport on HIV/AIDS. This research was conducted in June 2018 by using cross sectional study on 223 subjects. The result shows that 56.5% respondents have low knowledge on HIV/AIDS. 60.2% respondents shows negative attitude. 51.6% respondents engage in high risk behavior, while 48.4% having low risk behavior. 54% of married respondents have extramarital unprotected sex, while 15.2% occasionally use condom. 49% unmarried respondents are having sex with a girlfriend or a regular partner, while 40.6% with non-regular/one time only partner/s. There was a significant correlation between HIV/AIDS knowledge and access to HIV information sources (p-value = 0.021), education status (p-value = 0.005), marital status (p-value = 0.009). However, there was no significant correlation between all of the major factors and the respondents' attitude toward HIV. There is a significant correlation between the accessibility of information sources (p = 0,033), age group (p = 0,013), attitude/high risk behavior (p = 0,004) and HIV."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Sari
"Latar Belakang: Formaldehida memiliki efek iritan dan karsinogenik. Keganasan yang sering disebut sebagai akibat pajanan zat ini adalah karsinoma nasofaring, namun berbagai penelitian menunjukkan zat ini juga dapat menyebabkan kelainan leukosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pajanan formaldehida dengan perubahan leukosit pada pekerja yang menggunakan dan tidak menggunakan formaldehida dalam proses kerjanya.
Metode penelitian: Penelitian dengan desain potong lintang komparatif dilakukan pada 108 responden laki-laki sehat yang bekerja di dipping dan weaving unit selama minimal satu tahun. Data dikumpulkan dari wawancara, kuisioner, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium (jumlah leukosit, hitung jenis dan morfologi darah tepi). Kriteria eksklusi penelitian ini adalah pekerja dengan riwayat keganasan, kemoterapi/radioterapi, dan infeksi. Pengukuran formaldehida lingkungan dilakukan dengan metode NIOSH 3500 dan NIOSH 2541. Pengukuran jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit dilakukan dengan menggunakan Hematology Analyzer ABX PENTRA 6, sementara pemeriksaan morfologi darah tepi dilakukan dengan pemeriksaan sediaan apus darah tepi.
Hasil: Walaupun pajanan formaldehida lingkungan di dipping unit menunjukkan nilai < 0,032 ppm, kelompok dipping unit memiliki risiko 4,74 kali lebih tinggi untuk mengalami gangguan morfologi leukosit dibandingkan responden kelompok weaving unit. Tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara unit kerja dengan jumlah dan hitung jenis leukosit. Hasil serupa ditemukan pada variabel faktor perancu seperti usia, indeks massa tubuh, masa kerja, kebiasaan merokok, dan penggunaan alat pelindung diri.
Kesimpulan: Pajanan kronis formaldehida dosis rendah dapat menyebabkan kelainan morfologi leukosit yang dapat menjadi penanda gangguan leukosit yang lebih serius.

Background: Formaldehyde is an irritant and carcinogenic agent. Nasopharynx carcinoma is the most frequent cancer caused by formaldehyde exposure, but many studies showed that formaldehyde exposure can lead to leukocyte disorders. The aim of this study was to find the relationship between formaldehyde exposure with leukocyte changes among workers who worked with formaldehyde compared to workers who did not work with formaldehyde.
Methods: A comparative cross sectional study was conducted, involving 108 male respondents who worked in dipping and weaving unit for a minimal of one year. Data collected by interview, questionnaire, physical and laboratory examination (leukocyte count, differential count, morphology). Exclusion criteria for this study were respondents with malignancy, chemotherapy/radiotherapy, and infection. Environmental formaldehyde was measured using NIOSH 3500 and NIOSH 2541 methods. Leukocyte count and differential leukocyte count was analyzed using Hematology Analyzer ABX PENTRA 6, while leukocyte morphology was conducted by peripheral blood smear.
Results: Eventhough the environmental formaldehyde level at dipping unit was < 0,032 ppm, dipping unit respondent group has a 4,74 times higher risk to get leukocyte morphology abnormality than worker from weaving unit’s. There were no significant relationship between working unit and leukocyte count and differential count. The same results were found with confounding factor variables such as age, body mass index, working duration, smoking, and personal protective equipment variabels.
Conclusion: This study showed chronic low exposure of formaldehyde can cause leukocyte morphology abnormality which in turn can lead to more serious leukocytes disorder.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>