Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Nurul Qomariyah
"ABSTRAK
Dalam upaya penatalaksanaan penderita penyakit kelenjar tiroid, harus dibuat diagnosis anatomik atau etiologik untuk mengetahui penyebab yang mendasari penyakit dan diagnosis fungsional untuk mengetahui status produksi hormon tiroid. Pemeriksaan laboratorium sangat berguna dalam membedakan fungsi kelenjar tiroid tersebut termasuk hipotiroid, eutiroid atau hipertiroid.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemeriksaan TSH-sensitif metode IRMA dan ICMA dapat membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dengan kata lain apakah pemeriksaan tersebut dapat dipakai sebagai uji saring untuk hipertiroidisme. Disamping itu ingin mendapatkan nilai rujukan TSH-IRMA dan ICMA yang dapat dipakai di UPF Patologi Klinik FKUI/RSCM.
Subyek penelitian adalah 35 penderita hipertiroidisme, terdiri atas 25 orang wanita dan 10 orang laki-laki, berusia 21-59 {30,2) tahun. Sebagai kontrol adalah 70 orang yang mempunyai fungsi kelenjar tiroid eutiroid, terdiri atas 40 laki-laki dan 29 perempuan, berusia 15-73 (37) tahun. Kriteria diagnostik didasarkan pada temuan klinik dan hasil pemeriksaan laboratorium FT4I. Terhadap subyek penelitian dan kontrol dilakukan pemeriksaan T4 total, T3U, TSH-IRMA (DPC) dan TSH-ICMA (Amerlite).
Hasil pemeriksaan kontrol: T4=4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I=0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA=O,25-3,60 (1,38) mIU/L dan TSH-ICMA=0,54-3,12 (1,34) mIU/L. Terdapat korelasi terbalik antara nilai T4 total, T3U dan FT4I dengan TSH-IRMA maupun TSH-ICMA. Tidak terdapat perbedaan nilai TSH kontrol laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat hubungan antara umur dan nilai TSH. Nilai rujukan TSH-IRMA = 0,39-3,63 mIU/L, dan TSH-ICMA = 0,49-2,97 mIU/L.Hasil pemeriksaan penderita hipertiroid: T4 = 16,0->24 ng/dL; T3U=30,3-43,7 (38,3)7.; FT4I = 5,36->10,49; 31 (88,51.) orang mempunyai nilai TSH-IRMA dan ICMA tidak terukur dan, 4 Orang mempunyai nilai TSH-IRMA 0,09; 0,12; 0,16; 0,18 dan TSH-ICMA 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. Nilai TSH-IRMA dan TSH-ICMA penderita hipertiroid berbeda bermakna dengan kontrol eutiroid. Terdapat korelasi antara nilai TSH-IRMA dengan TSH-ICMA (r = 0,9922). Nilai TSH-ICMA lebih rendah 6,6% dibanding TSH-IRMA. Nilai batas deteksi TSH-IRMA = 0,09 mIU/L dan TSH-ICMA = 0,04 mIU/L. Biaya per tes TSH-IRMA lebih mahal dibanding TSH-ICMA, karena pemeriksaan TSH-IRMA harus dilakukan in duplo. Pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH-ICMA sensitif secara analitik dan klinik untuk diagnosis hipertiroidisme.
Kesimpulan penelitian ialah pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH﷓ICMA mampu membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dan dapat dipakai sebagai uji saring hipertiroidisme. Batas deteksi pemeriksaan TSH-ICMA lebih rendah dari pada TSH-IRMA. Nilai rujukan TSH-IRMA berbeda dengan TSH-ICMA.
Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subyek penelitian dan kontrol (penderita rawat tinggal dan rawat jalan) yang lebih banyak agar dapat ditentukan nilai batas TSH untuk diagnosis hipertiroidisme, dan mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat. Disarankan pula untuk menilai kemampuan pemeriksaan TSH untuk memantau pengobatan hipertiroidisme dan pengobatan hormon tiroid.

In managing patients with thyroid diseases, an anatomical or etiological diagnosis should be made for knowing the basic causes, and functional diagnosis for knowing the thyroid hormone production. Laboratory tests are necessary to differentiate whether the condition is hypothyroid, euthyroid or hyperthyroid.
The goal of this study was to know whether TSH-IRMA and ICMA tests can clearly differentiate hyperthyroid patients from euthyroid, and whether this test can be used as the first test for hyperthyroidism. More over, to determine the reference range of TSH-IRMA and ICMA which can be used in the Departement of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo hospital / Faculty of Medicine University of Indonesia.
The subjects of this study were 35 patients with hyperthyroidism. They consist of 25 women and 10 men, who were 21-59 (30,2) years old. We took 70 people who were in euthyroid condition, about 15-73 (37) years old as controls. The criteria of diagnosis were based on clinical finding and FT4I test. Subjects and controls were examined for total T4, T3U, TSH-IRMA (DPC) and TSH-ICMA (Amerlite) levels.
Values of the controls were T4 = 4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I = 0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA = 0,25-3,60 (1,3B) mIU/L and TSH-ICMA = 0,54-3,12 (1,34) mIU/L. There was negative correlation between total T4, T3U or FT4I level and TSH-IRMA or TSH-ICMA. There was no difference between TSH level in male and female controls. No correlation was found between age and TSH level. The reference value of TSH-IRMA was 0,39-3,63 mIU/L and TSH-ICMA was 0,49-2,97 mIU/L.
The level of total T4, T3U and FT4I in hyperthyroid were 16,0->24 ng/dL, 30,3-43,7 (38,3)7 and 5,36-7.10,49 respectively. TSH-IRMA and TSH-ICMA value were undetectable in 31(88,5%) persons, and 4 persons have TSH-IRMA level of 0,09; 0,12; 0,16; 0,1B and TSH-ICMA level of 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. TSH﷓IRMA and TSH-ICMA level in hyperthyroid were significantly lower than in euthyroid.
There was a good correlation between TSH-IRMA and TSH-ICMA (r = 0,9922). T5H-ICMA was 6,6% lower than TSH-IRMA. The detection limit of TSH-IRMA was 0,09 mIU/L and TSH-ICMA was 0,04 mIU/L. One TSH-IRMA test was more expensive than one TSH-ICMA test, because TSH-IRMA test must be performed in duplicate. TSH-IRMA and TSH-ICMA assays were analytically and clinically sensitive and specific for diagnosing hyperthyroidism.
In conclusion, TSH-IRMA and TSH-ICMA assays could clearly differentiate hyperthyroid from euthyroid patients, and suitable as screening tests for hyperthyroidism. The detection limit of TSH-ICMA was lower than T5H-IRMA. The reference range of TSH-IRMA was different from TSH-ICMA.
Further study with more subjects is still needed to determine TSH lower limit value for diagnosing hyperthyroidism and a more acceptable reference value. We suggest another study to evaluate TSH values in controlling treatment of hyperthyroidism and thyroid hormones supplementation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fuisal Muliono
"Selama kehamilan terjadi perubahan hormonal dan metabolik yang kompleks pada wanita hamil, yang dapat memperlihatkan gambaran klinik klasik mirip hipertiroid, sehingga diagnosis hipertiroid pada masa kehamilan menjadi lebih sulit. Perubahan hasil tes fungsi tiroid pada masa kehamilan lebih mempersulit lagi diagnosis tersebut, sehingga perlu dicari parameter yang relatif tidak dipengaruhi kehamilan. Diharapkan pemeriksaan kadar TSH dapat menggantikan parameter yang dipakai sekarang.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui adakah perbedaan kadar TSH antara wanita hamil dengan wanita tidak hamil dan antara wanita hamil trimester II dengan trimester III. Selain itu untuk mendapatkan nilai rujukan kadar TSH pada wanita hamil.
Dari bulan April sampai September 1990 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI- RSCM telah dilakukan pemeriksaan kadar TSH-IRMA terhadap 30 orang wanita usia subur dan 60 orang wanita hamil trimester II, pemeriksaan diulang kembali pada kehamilan trimester III.
Kadar TSH-IRMA pada 30 orang wanita usia subur berkisar antara 0,4 - 3,1 mIU/l dengan nilai rata- rata 1,2 mIU/l. Kadar TSH-IRMA 60 orang wanita hamil trimester II berkisar antara 0,2 - 3,1 mIU/1 dengan nilai rata- rata 1,26 mIU/l. Nilai rujukan kadar TSH-IRMA wanita hamil trimester II adalah 0,29-3,73 mIU/1. Dan kadar TSH-IRMA pada 52 orang wanita hamil trimester III berkisar antara 0,2 - 3,3 mIU/1 dengan nilai rata- rata 1,17 mIU/l. Nilai rujukan kadar TSH-IRMA wanita hamil trimester III adalah 0,26-3,59mIU/1.
Hasil uji distribusi dari ke 3 kelompok data dengan tes Anderson Darling didapat distribusi log Gaussian.
Uji student's t test untuk membandingkan antara wanita usia subur sebagai kontrol dengan wanita hamil trimester II didapat kadar TSH-IRMA ke 2 kelompok tidak berbeda bermakna ( p=O,6955 ). Juga antara kontrol dengan trimester III dan antara trimester II dengan trimester III dengan p=0,7333 dan p=0,297.
Uji korelasi antara trimester II dan trimester III dengan Pearson's r product moment correlation didapat adanya korelasi antara ke 2 kelompok dengan r=0,5783 dan persamaan garis regresi y = 0,6251x± O,38O3.
Kesimpulan penelitian ini adalah kadar TSH wanita usia subur yang tidak hamil tidak berbeda dengan kadar TSH wanita hamil trimester II dan trimester III. Juga tidak terdapat perbedaan antara kadar TSH wanita hamil trimester II dengan trimester III.
Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subjek yang lebih banyak termasuk wanita hamil trimester I untuk mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat.
Juga disarankan melakukan penelitian kadar TSH pada wanita hamil yang menderita hipo/ hipertiroid.

During pregnancy, there are hormonal and metabolic changes, which can mimic the classical picture of hyperthyroid, so diagnosis of hyperthyroid during pregnancy is difficult. The changes of thyroid function test results make the diagnosis even more difficult. It is necessary to find a parameter which is relatively not influence by pregnancy.
The aims of this study are to evaluate the differences of TSH level between pregnant women with non pregnant women and between pregnant women trimester II with trimester III. Beside these, to get the reference range of TSH level in pregnant women.
From April to September 1990 in Department of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo Hospital/ University of Indonesia, 30 women in child bearing period and 60 pregnant women trimester II had been evaluated their TSH-IRMA level, this test had been repeated in pregnancy trimester III.
TSH-IRMA level in 30 women was between 0,4-3,1 mIU/1 (mean : 1,2 mIU/1). In 60 pregnant women trimester II TSH level was between 0,2 - 3,1 mIU/l (mean 1,28 mIU/1). The reference range was between 0,29 - 3,73 mIU/1. In 52 women trimester III TSH-IRMA level was between 0,2 - 3,3 mIU/1 (mean : 1,17 mIU/1). The reference range was between 0,28 - 3,59 mIU/l.
The data of these 3 groups with Anderson Darling's test were found to be log Gaussian distribution.
TSH-IRHA level of pregnant women trimester II and trimester Ill were not significantly different from control. (p = 0,6955 and p = 0,7333). Also between trimester II and trimester III with p = 0, 297.
There is a correlation between trimester II and trimester III' with r = 0,5783 and regression line Y = 0,6251X ± 0,3803.
In conclusions, TSH level in non pregnant woman, did not differ to pregnant women trimester II and trimester III. There was no difference between TSH level trimester II; and trimester III.
We suggest to make the same evaluation with more subject included pregnant women in trimester I for getting more acceptable reference range.
Also we suggest to evaluate TSH level in pregnant women who suffer hypo/ hyperthyroidism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronika Petri Andriani
"Ekuivalen hemoglobin retikulosit menggambarkan banyaknya besi dalam retikulosit yang akan digunakan dalam proses pembentukan hemoglobin. Pada alat Sysmex parameter tersebut dikenal sebagai Ret-He. Namun demikian, saat ini parameter tersebut belum digunakan secara rutin di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai cut off, sensitivitas dan spesifisitas Ret-He untuk penilaian status besi pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis. Desain penelitian potong lintang, terdiri dari 120 subyek PGK dengan hemodialisis. Dilakukan pemeriksaan hematologi lengkap, Ret-He serta pemeriksaan besi serum dan unsaturated iron binding capacity (UIBC) untuk menghitung nilai saturasi transferin. Penentuan nilai cut off Ret-He berdasarkan kurva receiver operating characteristic (ROC) dengan saturasi transferin sebagai baku emas. Untuk penilaian status besi, didapatkan nilai cut off Ret-He 30,3 pg dengan sensitivitas 81,6% dan spesifisitas 76,8% . Parameter Ret-He dapat digunakan sebagai alternatif untuk penilaian status besi pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis.

Hemoglobin reticulocyte equivalent represent the iron content in the reticulocyte that will be used in hemoglobinization process. In Sysmex hematology analyzer this parameter known as Ret-He. However, this parameter has not been routinely used in Indonesia. The objective of this study is to determine cut-off, sensitivity and specificity of Ret-He to assess iron deficient state in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis. One hundred and twenty patients undergoing hemodialysis were included in the study. Complete blood count, Ret-He and transferin saturation were determined. The receiver operating characteristic curve were demonstrated to obtain the cut off value of Ret-He. In 30.3 pg Ret-He cut off point, the sensitivity and spesificity to assess iron deficient state were 81.6% and 76.8% respectively. Ret-He can be used as an alternative parameter to assess iron deficient state in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melly Juliawati Haliman
"Gangguan sirkulasi sering menimbulkan penyakit dengan angka kematian yang tinggi. D Indonesia gangguan sirkulasi sudah merupakan masaiah utama kesehatan Peningkatan kekentalan atau viskositas darah dapat merupakan penyebab langsung kegagalan sirkulasi Dengan semakin banyaknya kematian disebabkan oleh gangguan sirkulasi maka diperkirakan dimasa yang akan datang di Indonesia permintaan pemeriksaan rheologi seperti viskositas akan semakin meningkat. Tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi viskometer yang dimilik Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM sebelum dapat digunakan untuk kepentingan diagnosis dan mengikuti perkembangan suatu penyakit serta menetapkan nilai rujukan viskositas darah, plasma dan serum Selain itu juga dilakukan uji korelası dan dan uji regresi untuk mengetahui faktor-taktor seluler dan non seluler mana yang paling mempengaruhi viskositas darah dan faktor non seluler mana yang paling mempengaruhi viskositas plasma dan serum Subyek penelitian adalah 139 subyek berasal dari mahasiswa dan penderita yang memeriksakan darahnya di Laboratorium Patolog Klinik FKUI-RSCM Pada subyek tersebut dilakukan uji korelasi dan regresi antara viskositas darah, plasma dan serum dengan parameter seluler dan non seluler Khusus untuk uj korelasi antara viskositas darah dengan vanabel bebas dilakukan uji korelasi parsial dengan melakukan kontrol terhadap variabel yang pengaruhnya pada viskositas darah paling besar yaitu Ht, Hb dan jumlah eritrosit Dari 139 subyek di atas diambil 20 subyek pria dan 20 subyek wanita baik yang memenuhi kriteria untuk dilakukan penetapan nilai rujukan viskositas darah, plasma dan serum Didapatkan hasil uji ketelitian dan ketepatan viskometer Brookfield LVDV-III Didapatkan nilai rujukan viskositas darah pada pria 3 77- 497 mPa s dan pada wanita 3.36-4 20 nilai rujukan viskositas plasma pada pria dan wanita sama yaitu 1 38-1 70 mPa s. Didapatkan mPa s, Sedangkan nilai rujukan viskositas serum pria lebih tinggi dani wanita yaitu 1 18-1 54 vs 1.19- 1.43. Pada uji korelasi bivariat didapatkan korelasi antara viskositas darah Hb (r =0.8281. p 0.000), Ht (r = 0.8358, p = 0.000), hitung enitrosit (r = 0.7454, p=0000) Sedangkan pada uji korelasi parsial setelah dilakukan kontrol terhadap Ht Hb dan entrosit didapatkan korelasi antara viskositas darah dengan log. hitung leukosit (r = 0.3694, p = 0.000), log LED (r = 0.3575, p 0 000), log. hitung trombosit (r= 0.2340, p= 0 006), log trigliserida (r = 0.3707, p = 0 000), log K total (r 0.3331, p = 0.000), K LDL (r = 0 2812, p = 0.001), protein total ( r 0 1981, p 0.021) globulin (r = 0.2598, p 0.002, log glukosa (r = 0 2462, p 0 004), asam urat (r = 0.2667, p= 0.002) dan log fibrinogen ( r = 0 4387, p = 0.000) Pada uji korelasi bivariat didapatkan korelasi antara viskositas plasma dengan log fibrinogen (r = 0.2705 p = 0.001), protein total (r= 0.2362. p = 0.005 dan globulin (r = 0.2420, p = 0.004). Pada uji korelasi bivarial didapatkan korelasi antara viskositas serum dengan protein total (r = 0.1786, p = 0.035) dan log trigliserida (r = 0.2037, p= 0.016). Pada uji regresi ganda bertahap didapatkan viskositas darah dipengaruhi oleh Ht, log hitung leukosit, log fibrinogen, albumin dan log trigliserida dengan R² persamaan 077 Pada regresi ganda bertahap didapatkan viskositas plasma dipengaruhi oleh log fibrinogen dan protein total denga R persamaan 0.11. Pada uji regresi ganda bertahap didapatkan viskositas serum hanya dipengaruhi oleh log trigliserida dengan R² persamaan hanya 0.04. Dari hasi uji korelasi tampak bahwa faktor seluler terpenting yang mempengaruhi viskositas darah adalah eritrosit (Ht, r = 0.8358) sedangkan faktor non seluler terpenting yang mempengaruhi viskositas darah adalah log fibrinogen (r = 0.4367). Faktor terpenting yang mempengaruhi viskositas plasma adalah log fibrinogen (r = 0.2705) dan faktor terpenting yang mempengaruhi viskositas serum adalah log triglisenda (r = 0.2037) Sebagai kesimpulan didapatkan korelasi yang baik antara viskositas darah dengan Ht dan Hb dan korelasi sedang antara viskositas darah dengan jumlah eritrosit. Didapatkan korelasi lemah antara viskositas darah dengan log jumlah leukosit, log LED, log jumlah trombosit. log trigliserida, log K total, K LDL, log fibrinogen, protein total, globulin, log glukosa dan asam urat. Didapatkan korelasi lemah antara viskositas plasma dengan log fibrinogen, protein total dan log traglisenda Didapatkan kontribusi Ht, log. leukosit, log fibrinogen, albumin dan log trigliserida pada viskositas darah. Didapatkan kontribusi log fibrinogen dan protein total pada viskositas plasma Didapatkan kontribusi log trigliserida pada viskositas serum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57266
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banjarnahor, Reny Damayanti
"Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan hiperglikemia sebagai karakteristik utama. Hiperglikemia terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, dan atau keduanya. Sekitar 50% penyandang diabetes di Indonesia belum terdiagnosis sehingga komplikasi akibat DM tidak dapat dihindari. Pengendalian terjadinya komplikasi dilakukan dengan kontrol glikemik secara teratur. Pemeriksaan kontrol glikemik antara lain dengan glukosa darah puasa, HbA1c, dan fruktosamin.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kadar fruktosamin dan HbA1c pada diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol, mengetahui perubahan kadar fruktosamin dan HbA1c setelah terapi 2 minggu dan 8 minggu, serta hubungan antara keduanya.
Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 33 subyek yang terdiri dari 24 orang perempuan dan 9 orang laki-laki. Subyek penelitian diikuti selama 2 minggu dan 8 minggu sejak dilakukan perubahan terapi. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai April 2015. Subyek yang termasuk dalam penelitian adalah diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol dengan HbA1c>7%.
Hasil penelitian diperoleh nilai median dan rentang fruktosamin pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 berturut-turut 362 μmol/L (257-711), 327 μmol/L (234-616), dan 350 μmol/L (245-660). Kadar HbA1c memiliki nilai median dan rentang pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 yaitu 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7), dan 8.4% (5.9-14.2). Terdapat penurunan bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c dengan p<0.001. Adanya korelasi yang kuat dan arah korelasi yang positif antara fruktosamin dan HbA1c (minggu ke-0, r=0.86; minggu ke-2, r=0.82; minggu ke-8, r= 0.84).
Pada penelitian ini diperoleh penurunan yang bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c pada 2 minggu dan 8 minggu setelah terapi dengan korelasi yang kuat ( r > 0.8) dan arah korelasi positif. Fruktosamin lebih baik digunakan untuk kontrol glikemik jangka menengah (2 minggu) sedangkan HbA1c lebih baik dipakai untuk kontrol glikemik jangka panjang (8 minggu).

Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with hyperglycemia as the main characteristics. Hyperglycemia occurs due to abnormalities in insulin secretion, insulin action, or both. Approximately 50% of people with diabetes in Indonesia have not been diagnosed, thus complications due to diabetes cannot be avoided. Taking control of diabetes mellitus can be done through glycemic control measurements on a regular basis. Fasting blood glucose, HbA1c, and fructosamine tests are lists of key features for glycemic control measurements.
The aims of this study was to overview the levels of fructosamine and HbA1c in uncontrolled type-2 diabetes mellitus, determine changes in fructosamine and HbA1c levels after two weeks and eight weeks of treatment, and analyze the relationship between the two.
This study used a prospective cohort design with 33 subjects consisted of 24 women and 9 men. Subjects were followed for two weeks and eight weeks after the initial therapy amendment. The study began in February and April 2015. The subjects included in the study were uncontrolled type-2 diabetes mellitus with HbA1c> 7%.
Fructosamine concentration, given as median and range values, at weeks 0, 2, and 8 were 362 μmol/L (257-711), 347 μmol/L (234-660), and 333 μmol/L (235-676), respectively. HbA1c levels (median and range) at weeks 0, 2, and 8 were 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7) and 8.4% (5.9-14.2). There was a significant reduction of fructosamine and HbA1c levels (p <0.001). A strong and positive correlation were found between fructosamine and HbA1c (week 0, r = 0.86; week 2, r = 0.82; week 8, r = 0.84).
From this study, it can be concluded that fructosamine and HbA1c levels were significantly reduced at weeks 2 and 8 after treatment, with a positive strong correlation (r> 0.8). Thus, fructosamine is preferable for medium-term (two weeks) glycemic control while the HbA1c is preferred for long-term (eight weeks) glycemic control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Maani
"DIC ialah suatu keadaan yang timbul karena terjadinya pembekuan di dalam pembuluh darah secara luas, yang menghasilkan deposit fibrin di dalam mikrosirkulasi sehingga mengakibatkan skernik dan kerusakan organ. DIC bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi merupakan komplikasi dan berbagai penyakit atau keadaan yang dapat mencetuskan pernbekuan darah. Pada DIC akut manifestasi kiinis yang paling sering dijumpai adalah perdarahan mulai dari yang ringan sampai berat, sehingga memerlukan penanganan yang cepat dan tepat. Untuk dapat menangani DIC dengan baik seorang klinikus perlu memahami patofisiologi DIC serta mengenali kelainan laboratorium yang sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. DIC terjadi karena adanya aktivasi sistem pembekuan darah baik melalui jalur intrinsik, ekstrinsik atau langsung ke F X, protrombin atau fibrinogen. Proses pembekuan darah akan diikuti dengan proses fibrinolisis sehingga aktivitas trombin dan plasmin meningkat. Pada DIC akut terjadi keadaan dekompensasi karena kecepatan produksi trombosit dan faktor-faktor pembekuan tidak dapat mengimbangi konsumsi yang meningkat sehingga akan ditemui penurunan jumlah trombosit dan kadar fibrinogen, pemanjangan TT, PT dan APTT, DP terutama fragmen D dimer positif seta tes parakoagulasi positif. Pada DIC kronis biasanya terjadi keadaan terkompensasi atau overkompensasi sehingga hasil pemeriksaan laboratorium bervariasi, dapat sedikit menurun, normal atau meningkat. Diagnosis DIC ditegakkan berdasarkan keaadaan klinis dan kelainan laboratorium. Prinsip pengobatan DIC adalah memperbaiki keadaan umum,
mengobati atau menghilangkan penyakit dasar. Bila perlu diberikan trombosit dan faktor pembekuan hepanin dan antifibrinolitik.
Dalam, makalah ini dikemukakan lima kasus DIC pada penderita DHF derajat III dan IV dengan berbagai tingkat perdarahan dan petekia sampai hematemesis-melena. Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis dan laboratori Kelainan laboratorium jelas menunjukkan penurunan Jumlah trombosit dan kadar fibrinogen, Pemanjangan PT, APTT dan TT serta fragmen D dimer positif di dalam darah. Pada sediaan hapus ditemukan sel burr dan limfosit atipik pada sebagian besar kasus. Dan kelima kasus, dua meninggal kemungkinan karena perdarah yang tidak dapat diatasi.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony Susanto
"ABSTRAK
Pada kehamilan terjadi perubahan metabolisme karbohidrat yang bertujuan menunjang pertumbuhan janin. Dari penelitian dinyatakan adanya diabetes gestasional akan meningkatkan angka penyulit bagi ibu maupun janin. untuk mengatasi hal ini dibutuhkan pengenalan dan diagnosis dini kasus diabetes gestasional.
Tujuan penelitian ini yaitu ingin mengetahui tentang nilai normal TTGO, HbA1 dan fruktosamin pada wanita hamil trimester II dan III serta perubahannya.
Dalam pelaksanaan penelitian dilakukan TTGO dengan beban glukosa 75 g, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan secara otomatis dengan alat Autoanalyzer Technican I yang berdasarkan prinsip reduksi; pemeriksaan HbA1 dengan kit produksi Human yang
berdasarkan metode ion exchange chromatography dan pemeriksaan fruktosamin dengan kit dari Boehringer Mannheim dengan prinsip reduksi NBT.
Sebagai subyek penelitian diperoleh 53 wanita hamil normal yang memeriksakan kehamilannya di poliklinik obstetri Bagian Obstetri Ginekologi FKUI/RSCM, yang memenuhi kriteria penelitian. Pemeriksaan pertama kali dilakukan pada kehamilan trimester II dan kedua kali pada trimester III. Sebagai kelompok kontrol, diperoleh 25 wanita tidak hamil yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil pemeriksaan kelompok wanita hamil trimester II untuk TTGO ialah: kadar gula darah puasa = 46,0-85,2 (65,7) mg/dL; kadar gula darah 1 jam setelah pemberian glukosa 75 g - 112,0-135,4 (123,7) mg/dL; kadar gula darah 2 jam setelah pemberian glukosa 75 g = 94,2-113,5 (103,9) mg/dL. HbA1 = 3,7-5,2 (4,4)`7.. Fruktosamin = 182,9-224,7 (218,8) umol/L.
Hasil pemeriksaan kelompok wanita hamil trimester III untuk TTGO ialah: kadar gula darah puasa = 46,0-81,4 (63,8) mg/dL; kadar gula darah 1 jam setelah pemberian glukosa 75 g = 126,4-148,3 (137,4) mg/dL; kadar gula darah 2 jam setelah pemberian glukosa 75 g = 103,9-133,1 (118,5) mg/dL. HbA1 = 4,8-6,7 (5,8) %. Frukosamin = 163,4-243,2 (203,3) umol/L.
Kadar gula darah puasa lebih rendah pada kehamilan trimester II dan III dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ditemukan perbedaan tidak bermakna antara kadar gula darah puasa hamil trimester II dan III. Terjadi penurunan toleransi glukosa selama kehamilan yang lebih nyata pada kehamilan trimester III dibandingkan trimester II. HbA dan fruktosamin lebih rendah pada kehamilan trimester II dan III dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Ditemukan korelasi yang buruk antara nilai HbA1 maupun fruktosamin dengan kadar gula darah puasa, 1 jam dan 2 jam setelah pemberian glukosa pada saat yang sama. Juga ditemukan korelasi yang buruk antara nilai HbA1 dan fruktosamin balk pada kehamilan trimester II maupun trimester III.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soetardhio
"ABSTRAK
Perdarahan merupakan salah satu penyulit dan penyebab kematian yang sering dijumpai pada penderita gagal ginjal akut maupun kronik. Angka kematian yang disebabkan karena perdarahan pada penderita gagal ginjal sekitar 10 %.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis gangguan hemostasis pada penderita gagal ginjal terminal sehingga usaha untuk mengatasinya lebih terarah. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh hemodialisis terhadap gangguan hemostasis tersebut.
Penelitian dilakukan terhadap 30 penderita gagal ginjal terminal yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam Subdivisi Ginjal dan Hipertensi FKUI-RSCM Jakarta, yang terdiri dari 21 pria dan 9 wanita, berusia antara 33 sampai 62 tahun. Kelompok kontrol terdiri atas 30 orang sehat yang tidak termasuk kriteria tolakan.
Pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian ini ialah masa perdarahan, hitung trombosit, masa protrombin plasma, masa tromboplastin parsial teraktivasi, masa trombin, EDP, PF3 dan agregasi trombosit terhadap ADP 10uH, 5uM dan luM. Pengambilan bahan penelitian untuk penderita ialah sesaat sebelum dilakukan hemodialisis dan segera sesudah hemodialisis, untuk kontrol, pengambilan bahan penelitian segera setelah memenuhi kriteria.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan yang bermakna antara kelompok GGX sebelum HD dengan kelompok kontrol dijumpai pada masa perdarahan, hitung trombosit faktor trombosit 3, MT dan FDP, sedangkan MP, MTPT dan agregasi trombosit tidak berbeda bermakna. Karena rata-rata hitung trombosit pada kelompok GGK masih dalam batas normal, maka disimpulkan penyebab masa perdarahan yang memanjang adalah gangguan fungsi trombosit yaitu aktivitas faktor trombosit 3, MT yang memanjang mungkin disebabkan fungsi atau kadar fibrinogen yang menurun atau mungkin karena adanya inhibitor.
Dari penelitian ini ternyata efek HD tidak terlihat pada masa perdarahan maupun hitung trombosit, sedangkan terhadap tes koagulasi dan faktor trombosit 3 efek HD adalah memperburuk, mungkin ini karena efek heparin.
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai gangguan hemostasis pada gagal ginjal terminal, untuk mengetahui penyebab MT memanjang, perlu diperiksa fibrinogen baik kadar, fungsi maupun adanya inhibitor. FDP dilanjutkan dengan D. diner. Faktor von Willebrand dan adhesi trombosit untuk mengetahui fungsi trombosit.
Efek heparin sebaiknya dinetralkan dengan menambah protamin sebelum pengambilan sample sesudah HD.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi Yanto
"Terdapat dua macam perubahan faali yang terjadi dalam tu buh selama gerak badan. Pertama, perubahan faali yang terjadi akibat kerja fisik (exercise) dan kedua, perubahan faali yang terjadi secara bertahap dalam tubuh akibat latihan fisik (training) yang teratur. Beberapa peneliti melaporkan selama kerja fisik terjadi peningkatan kadar elektrolit serum, sedangkan latihan fisik dapat menyebabkan turunnya kadar elektrolit serum.
Penelitian ini bertujuan membuktikan adanya pengaruh ker ja fisik dengan beban maksimal dan latihan fisik yang teratur selama 6 minggu terhadap kadar elektrolit serum, sehingga diharapkan dapat memberikan sumbangan data yang bermanfaat dalam menentukan apakah perlu penambahan air atau elektrolit sesudah kerja fisik dan latihan fisik.
Telah dilakukan penelitian terhadap 10 atlit balap sepeda dari Pelatda DKI Jaya mengenai kadar elektrolit serum (natrium, kalium, klorida, kalsium dan magnesium) yang dilakukan sebelum dan sesudah menjalani latihan fisik selama 6 minggu. Pemeriksaan kadar elektrolit serum baik sebelum maupun sesudah latihan fisik dilakukan masing-masing 4 kali, yaitu sebelum kerja fisik (menit ke 0), waktu melakukan kerja . fisik menggunakan ergosikel Monark dengan beban maksimal {150 watt) menit ke 5, saat kerja fisik maksimal dan waktu melakukan pemulihan aktif pada menit ke 20 sesudah kerja fisik maksimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama kerja fisik dengan beban maksimal kadar natrium, kalium, korida, kalsium total dan magnesium total serum meningkat secara bermakna, se dangkan sesudah pemulihan aktif kadarnya menurun dan tidak berbeda lagi dengan kadar sebelum kerja fisik. Sesudah latihan fisik selama 6 minggu terjadi penurunan kadar semua elektrolit serum yang diperiksa, baik sebelum maupun sesudah latihan fisik menunjukkan pada perubahan kadar elektrolit serum yang hampir sama.
Melihat hasil pemeriksaan kadar elektrolit serum sesudah latihan fisik selama 6 minggu dan kurangnya ?intake? natrium, kalium, kalsium dan magnesium, penulis mengusulkan selama latihan fisik perlu penambahan air dan elektrolit terutama kalsium dan magnesium. Sedangkan sesudah kerja fisik dengan beban maksimal, tidak perlu penambahan air dan elektrolit.
untuk mengetahui apakah turunnya kadar elektrolit serum sesudah latihan fisik selama 6 minggu mengganggu peningkatan prestasi yang diharapkan, serta membuktikan kebenaran hipotesis turunnya kadar elektrolit serum karena kehilangan lewat keringat atau karena masuknya elektrolit ke dalam eritrosit dan sel otot yang sedang berkontraksi, penulis mengusulkan dilakukan penelitian lanjutan antara PKO Senayan dan Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM mengenal hal-hal tersebut. Di usulkan pula untuk melanjutkan penelitian serupa pada berbagai cabang olahraga yang lain untuk mengetahui apakah ada pola khusus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwito Sartafuta
"[ABSTRAK
Pendahuluan:
Antinuclear antibodies (ANA) adalah autoantibodi terhadap berbagai antigen
intranuklear seperti deoxyribonucleic acid (DNA), small nuclear
ribonucleoproteins (snRNPs) dan lain-lain. Hasil pemeriksaan ANA dilaporkan
dalam titer dan polanya. Pada saat ini sesuai anjuran manufacturer, interpretasi
titer ANA menggunakan kit Mosaic HEp-20-10/Liver (Monkey) dari Euroimmun
hanya berdasarkan pengenceran 1/100 dan 1/1000 dengan intensitas fluoresensi
strong, moderate atau weak, dan dilaporkan hasil titer 1/100, 1/320, 1/1000 atau
>1/1000. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan ANA dengan pengenceran
1/100, 1/320 dan 1/1000. Interpretasi pembacaan dinilai dengan (3 pengenceran)
dan tanpa pengenceran 1/320 (2 pengenceran), kemudian dibandingkan
kesesuaian antara keduanya. Terdapat lebih dari 35 pola ANA-IFA yang telah
diidentifikasi, dengan sekitar 100 jenis kemungkinan autoantibodi. Pola tersebut
dapat dijadikan langkah awal identifikasi jenis autoantibodi. Tersedia tes dengan
kombinasi berbagai antigen yang dikenal sebagai profil ANA. Penelitian ini juga
dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pola ANA-IFA dengan profil ANA.
Metodologi Penelitian:
Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang, dilakukan di
laboratorium imunologi RSCM selama Juni-Juli 2015. Subjek penelitian adalah
serum yang dikirim ke laboratorium RSCM untuk pemeriksaan ANA dengan
besar sampel 75 sampel. Data dilaporkan dalam bentuk deskriptif analitik. Data
dari interpretasi 2 pengenceran (1/100 dan 1/1000) dengan 3 pengenceran (1/100,
1/320 dan 1/1000) dinilai kesesuaiannya dengan menggunakan uji statistik Kappa.
Hasil Penelitian:
Pola ANA-IFA tersering yang ditemukan adalah spekel kasar (35,2%), spekel
halus (32,4%), nukleoli (13%), homogen (6,5%), sitoplasma granuler (6,5%),
sentriol (3,7%), sentromer (0,9%), nuclear dots (0,9%) dan negatif (0,9%).
Interpretasi yang sama antara 2 pengenceran dengan 3 pengenceran sebesar
80,6%. Pada perhitungan uji statistik kappa, didapatkan nilai kappa sebesar 0,67.
Kesesuaian pola ANA-IFA dengan profil ANA adalah sebesar 20,8%.
Kesimpulan:
Nilai kappa sebesar 0,67 menunjukkan kesesuaian pada tingkat good. Walaupun
demikian, kesalahan interpretasi titer ANA-IFA dengan menggunakan 2
pengenceran terjadi pada 19,4% kasus. Kesesuaian pola ANA-IFA dengan profil
ANA sebesar 20,8%.

ABSTRACT
Background:
Antinuclear antibodies (ANA) are autoantibodies which react with various
intranuclear antigens such as deoxyribonucleic acid (DNA), small nuclear
ribonucleoproteins (snRNPs) and others. Laboratory results of ANA were shown
as titer and pattern. Nowadays, manufacturer recommend ANA interpretation
using Mosaic HEp-20-10/Liver kit (Monkey) from Euroimmun with 1/100 and
1/1000 dilutions and strong, moderate or weak fluorescence intensity. The titer
should reported as 1/100, 1/320, 1/1000 or >1/1000. In this research, the dilution
used were 1/100, 1/320 and 1/1000. The data were interpreted from 3 dilutions
and 2 dilutions (without 1/320 dilution), the conformity from two interpretations
were compared. There are more than 35 ANA-IFA patterns identified, with about
100 autoantibodies possibility. Those patterns act as baseline identification of
autoantibodies. The test using few antigen combinations known as ANA profile.
The purpose of this study also to compare the conformity of ANA-IFA pattern and
ANA profile.
Methods:
This study is a cross-sectional research in immunology laboratory RSCM during
June-July 2015. The subjects were serum sample for ANA test. The sample was
75. Data were shown as analytical descriptive data. The conformity of
interpretation data from 3 dilutions and 2 dilutions were assessed using Kappa
statistical analysis.
Results:
The ANA-IFA pattern shown were coarse speckled (35,2%), fine speckled
(32,4%), nucleolar (13%), homogenous (6,5%), granular cytoplasm (6,5%),
centriole (3,7%), centromere (0,9%), nuclear dots (0,9%) and negative (0,9%).
The similar interpretation between 2 dilutions and 3 dilutions were 80,6%. Kappa
statistical analysis showed Kappa score 0,67. The conformity between ANA-IFA
pattern and ANA profile were 20,8%.
Conclusion:
Kappa score 0,67 showed the conformity in good level. Nevertheless, there are
mistakes of ANA-IFA interpretation using 2 dilutions in 19,4% cases. The
conformity of ANA-IFA pattern with ANA profile were 20,8%., Background:
Antinuclear antibodies (ANA) are autoantibodies which react with various
intranuclear antigens such as deoxyribonucleic acid (DNA), small nuclear
ribonucleoproteins (snRNPs) and others. Laboratory results of ANA were shown
as titer and pattern. Nowadays, manufacturer recommend ANA interpretation
using Mosaic HEp-20-10/Liver kit (Monkey) from Euroimmun with 1/100 and
1/1000 dilutions and strong, moderate or weak fluorescence intensity. The titer
should reported as 1/100, 1/320, 1/1000 or >1/1000. In this research, the dilution
used were 1/100, 1/320 and 1/1000. The data were interpreted from 3 dilutions
and 2 dilutions (without 1/320 dilution), the conformity from two interpretations
were compared. There are more than 35 ANA-IFA patterns identified, with about
100 autoantibodies possibility. Those patterns act as baseline identification of
autoantibodies. The test using few antigen combinations known as ANA profile.
The purpose of this study also to compare the conformity of ANA-IFA pattern and
ANA profile.
Methods:
This study is a cross-sectional research in immunology laboratory RSCM during
June-July 2015. The subjects were serum sample for ANA test. The sample was
75. Data were shown as analytical descriptive data. The conformity of
interpretation data from 3 dilutions and 2 dilutions were assessed using Kappa
statistical analysis.
Results:
The ANA-IFA pattern shown were coarse speckled (35,2%), fine speckled
(32,4%), nucleolar (13%), homogenous (6,5%), granular cytoplasm (6,5%),
centriole (3,7%), centromere (0,9%), nuclear dots (0,9%) and negative (0,9%).
The similar interpretation between 2 dilutions and 3 dilutions were 80,6%. Kappa
statistical analysis showed Kappa score 0,67. The conformity between ANA-IFA
pattern and ANA profile were 20,8%.
Conclusion:
Kappa score 0,67 showed the conformity in good level. Nevertheless, there are
mistakes of ANA-IFA interpretation using 2 dilutions in 19,4% cases. The
conformity of ANA-IFA pattern with ANA profile were 20,8%.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>