Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfa Antariksa
"ABSTRAK
Wabah penyakit Ebola di Afrika Barat yang meledak pada tahun 2014 menyebabkan dampak
kerugian yang besar pada bidang ekonomi, politik dan sosial sehingga mendorong PBB
mengeluarkan Resolusi 2177. Disusul pada tahun 2015, terjadi peningkatan penularan penyakit
MERS dari Timur Tengah sampai ke wilayah Korea Selatan dan ASEAN. Ebola dan MERS
merupakan jenis penyakit Zoonosis, yaitu penyakit (infeksi) yang dapat menular dari hewan ke
manusia dan sebaliknya. Untuk mencegah masuknya penyakit Zonosis dari luar negeri ke Indonesia
diperlukan kondisi Biosecurity disertai dengan Sistem Kesehatan Nasional yang kuat. Hal tesebut
disebabkan karena perang Asimetrik (Asymetric Warfare) dewasa ini tidak hanya melibatkan senjata
konvensional, namun juga wabah penyakit dan penguasaan ekonomi.
Kebarhasilan penanganan penyakit Zoonosis juga dipengaruhi oleh kemampuan industri
vaksin nasional suatu negara. Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi penyakit
zoonosis (terutama tropical disease) yang besar. Kemandirian suatu negara untuk membuat vaksin
sendiri dari penyakit-penyakit zoonosis yang mewabah akan meningkatkan kemampuan Biosecurity
negara tersebut, sehingga tidak terlalu bergantung dan dapat ?disetir? oleh industri vaksin global.
Tesis ini membahas mengenai penilaian terhadap ancaman dan peluang Biosecurity di Indonesia,
yang salah satunya melibatkan kemampuan industri vaksin nasional. Melalui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap obyek penelitian, penelitian ini memberikan penjelasan (eksplanasi) terhadap
kondisi kemampuan Biosecurity Nasional. Penilaian terhadap kondisi Biosecurity Nasional ini
diharapkan dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi stakeholder terkait untuk melihat dan
mengevaluasi bagaimana peluang dan ancaman pengembangan industri vaksin di masa mendatang

ABSTRACT
Ebola Virus Disease (EVD) outbreaks in West Africa that was exploded in 2014 causing
huge impact on economic, political and social. The spread of Ebola and this impact encouraged the
United Nations to adopt Resolution 2177. One year after Ebola outbreak, in 2015, the case number
of another zoonotic disease like Middle East Respiratory Syndrome (MERS) have increased, and
transmitted to South Korea and also to ASEAN region. Ebola and MERS are zoonotic disease that
can be transmitted from animals to human. Indonesia needs strong Biosecurity to prevent zoonotic
disease from another country or region. Biosecurity condition is accompanied by a strong National
Health System. Asymmetric warfare involves not only conventional weapons, but also the uses of
diseases and control of the economy.
The ability of handling zoonotic diseases in a country is also affected by the condition of
their national vaccine industry. Indonesia is one country with the potential for zoonotic diseases
(called tropical disease country). The independence of a country to make its own vaccine will
increase the ability of Biosecurity of the country, so it is not too dependent and can be "driven" by
the global vaccine industry. This thesis discusses the assessment of the threats and opportunities for
Biosecurity in Indonesia, one of which involves the ability of national vaccine industry. This research
also provides an explanation of the condition of the ability of the National Biosecurity. An
assessment of the condition of the National Biosecurity is expected to be used as recommendations to
the relevant stakeholders to see and evaluate how the opportunities and threats in Indonesian
Biosecurity in the future."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudarto Ronoatmodjo
"Derajat kesehatan adalah tingkat kesehatan perseorangan atau kelompok masyarakat yang diukur dengan indikator angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (Depkes RI, 1989). Angka kematian bayi (AKB), angka kematian di bawah umur satu tahun, lebih sering dipakai sebagai indikator jika dibandingkan dengan indikator kematian yang lainnya.
Angka di atas menunjukkan tingkat permasalahan yang langsung berhubungan dengan kematian bayi, tingkat kesehatan ibu dan anak, tingkat upaya kesehatan ibu dan anak, upaya keluarga berencana, kondisi kesehatan lingkungan, dan tingkat perkembangan sosial ekonomi keluarga (Depkes RI, 1989).
Angka kematian bayi di Indonesia pada kurun waktu tahun delapan puluhan turun dengan cepat (Depkes RI, 1980c; Budiarso, 1987; Biro Pusat Statistik, 1985; Dirjen Binkesmas, Depkes RI, 1990; Sumantri, 1995).
Angka kematian neonatal (angka kematian bayi berumur di bawah 28 hari) merupakan kira-kira 40% dari angka kematian bayi; sedangkan kira-kira 28% dari kematian neonatal itu terjadi pada masa neonatal dini (di bawah umur 8 hari) yang merupakan sebagian dari kematian perinatal (kematian janin umur 28 minggu sampai dengan bayi berumur kurang dari 8 hari) (Budiarso, 1987).
Kematian neonatal kebanyakan terjadi karena tetanus neonatorum, sebab-sebab perinatal, diare, dan infeksi saluran napas. Frekuensi yang tertinggi diakibatkan oleh tetanus neonatorum dan problem perinatal. Kematian neonatal dan keadaan bayi berat lahir rendah sangat berkaitan. Cukup tinggi kematian neonatal dapat disebabkan oleh bayi berat lahir rendah (GOI-UNICEF 1988).
Kematian neonatal diduga berkaitan dengan keadaan ibu sebelum hamil, keadaan ibu pada saat kehamilan, serta perilaku dan lingkungan sosial ibu hamil. Faktor biologis berpengaruh terhadap kesehatan ibu hamil dan pemanfaatan layanan antenatal yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap hasil akhir (outcome) suatu kehamilan. Keadaan bayi yang dilahirkan dan pemanfaatan layanan pertolongan persalinan juga mempunyai akibat terhadap kejadian kematian neonatal. Baik di negara maju maupun negara berkembang banyak upaya telah dilakukan untuk menurunkan angka kematian neonatal melalui Program Kesejahteraan Ibu dan Anak (Oakly, 1982; Lesser, 1985).
Pemeriksaan antenatal merupakan upaya penting untuk menjaga kesehatan ibu pada masa kehamilan dan merupakan tempat melakukan penyuluhan gizi serta pemantauan terhadap kenaikan berat badan ibu hamil. Kesehatan ibu hamil penting untuk keselamatan janin yang dikandungnya. Berdasarkan Progam Kesehatan Ibu dan Anak yang berlaku di Indonesia, ibu hamil mendapat pemeriksaan berupa pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundus uteri, pemeriksaan timbang berat badan, pemberian tablet besi, dan pemberian suntikan tetanus toksoid. Pemberian paket pil besi bertujuan menurunkan angka kejadian anemia ibu hamil di Indonesia, sedangkan pemberian vaksinasi toksoid tetanus bertujuan mencegah kematian bayi karena serangan penyakit tetanus neonatorum yang menduduki peringkat pertama sebagai penyebab kematian neonatal di Indonesia. (Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Depkes RI, 1990)"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
D284
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soenarjo Soejoso
"Pemerintah di dunia sedang berkembang memberi semua ibu hamil mendapat antenatal care, memberi tablet besi dan asam folat (IFO) sedini mungkin dalam jumlah cukup. Lembaga Internasional di dunia mendorong pemberian suplemen mikronutrien multipel (MNM) pada ibu hamil, dimaksudkan memberi efek positip pada pertumbuhan fetus dalam umur gestasi cukup bulan. Pemberian MNM pada semua ibu hamil hasilnya inkonsisten.
Penelitian ini bertujuan melihat efek MNM khusus pada ibu hamil tanpa komplikasi terhadap outcome kelahiran yaitu: pertumbuhan (berat lahir), perkembangan (lingkar kepala lahir) dan maturitas (umur gestasi) bayinya. Harapannya adalah setiap bayi lahir bisa dibekali dengan pertumbuhan, perkembangan dan maturitas yang optimal sebagai satu kesatuan hasil kelahiran. Masih diragukan apakah suplementasi MNM pada ibu hamil lebih baik jika dibandingkan dengan IFO untuk memperbaiki antropometri dan umur gestasi. Pertanyaan tersebut ingin dipecahkan melalui pemberian suplemen MNM pada ibu hamil tanpa komplikasi dibandingan IFO. Penelitian ini mengeluarkan faktor yang menyebabkan hambatan pertumbuhan fetus dari populasi studi, memanfaatkan data sekunder studi SUMMIT di Pulau Lombok 2001 ? 2004, desainnya randomized control trial double blind.
Analisis data melihat efek MNM terhadap rata-rata tiga outcome dengan statistik MANOVA; terhadap masing-masing outcome secara tersendiri yaitu berat lahir di bawah normal, lingkar kepala di bawah normal dan umur gestasi di bawah normal; terhadap status gizi prahamil rendah dibanding status gizi prahamil baik.
Suplementasi MNM meningkatkan rata-rata berat lahir 38,52g lebih tinggi dibanding IFO, secara statistik bermakna. Risiko terjadinya berat lahir <2.600 g pada suplementasi IFO ibu hamil tanpa komplikasi sebesar 1,2 kali dibanding MNM, apabila menggunakan batas α=0,10 secara statistik bermakna, 90%CI: 1,00-1,46. Jika pemberian IFO diganti dengan MNM, akan tercegah sebanyak 13/1.000 bayi dengan berat lahir <2.600 g. Kejadian berat lahir <2.600 g pada pemberian IFO bisa dikurangi 15,1% dari kejadian 83/1.000 bayi lahir bila diganti MNM. Risiko terjadinya berat lahir <2.600 g pada suplementasi IFO jika diganti dengan MNM lebih jelas pada IMT prahamil <18,50 sebesar 1,7 kali bila menggunakan batas α=0,10 secara statistik bermakna, 90%CI: 1,08-2,65. Jika pemberian IFO pada ibu hamil tanpa komplikasi dengan status gizi prahamil rendah diganti dengan MNM, akan tercegah sebanyak 70/1.000 bayi dengan berat lahir <2.600g. Kejadian berat lahir <2.600g pada pemberian IFO ibu hamil tanpa komplikasi dengan IMT prahamil <18,50 bisa dikurangi 40,7% dari kejadian 172/1.000 bayi lahir bila diganti MNM.

Government on developing countries care to all pregnant women for ANC access, give iron?folic acid (IFO) as soon as possible. International agencies on the world stimulate multiple micronutrients (MMN) suplement to pregnant women, that is aimed for giving good of fetal growth in appropriate gestation age. MMN distribution for all pregnant women still have inconsisten result.
The purposes of this study look for MMN effect especially on pregnant women without complication for birth outcome: growth (birth weight), development (head circumference at birth) and maturity (gestation age). It is doubted that MMN suplementation on pregnant women is better than IFO for increasing anthropometry and gestation age. This research need specific care with restrict factors that delay fetal growth, using SUMMIT secondary data at Lombok Island 2001-2004 with RCT double blind design.
Analyzing data was looking the MMN effect for three mean outcome values by MANOVA statistic, was looking the MMN effect for each outcome individually: birth weight below normal cut-off, head circumference at birth below normal cut-off and gestasion age below normal cut-off, was look at low prepregnancy BMI stratum comparing by normal prepregnancy BMI.
MMN suplementation increases mean birth weight as 38,52g more than IFO with statistical significant. The risk of <2,600 g birth weight happened at IFO supplementation on pregnant women without complication were 1.2 time comparing with MNM. If it used at α=0.05 level, it was not statistical significant, but when it used at α=0.10 level, it was statistical significant with 90%CI: 1.00-1.46. If IFO supplementation on pregnant women without complication be replaced by MNM, it would prevent as 13/1,000 infant with <2,600 g birth weight. Incidence of <2.600 g birth weight at IFO supplementation on pregnant women without complication could be decreased 15.1% of 83/1,000 at birth babies happened if it were replaced by MNM. The risk of <2,600 g birth weight happened at IFO supplementation on pregnant women without complication if it be replaced by MNM were clearer on pregnant women without complication at <18.50 prepregnancy BMI stratum as 1.7 time. If it used at α=0.05 level, it was not statistical significant, but when it used at α=0.10 level, it was statistical significant with 90%CI:1.08-2.65. If IFO supplementation on pregnant women without complication at low nourish prepregnancy status were replace with MNM, it would be prevent as 70/1,000 infant with <2,600g birth weight. Incidence of <2,600g birth weight at IFO supplementation on pregnant women without complication at <18.50 prepregnancy BMI stratum could be decreased as 40,7% of 172/1,000 at birth babies happened if it were replaced by MNM."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
D1304
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adik Wibowo
"Pelita V di bidang kesehatan merupakan suatu era di mana perhatian dan upaya ditujukan kepada peningkatan keselamatan dan kesehatan ibu (Gerakan Safe Motherhood). Tekad yang telah digalang adalah menurunkan kejadian kematian ibu di Indonesia yang sekarang ini masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama negara-negara di Asia.
Telah pula dibuktikan oleh para ahli, bahwa angka kesakitan dan kematian ibu meningkat drastis selama kurun kehamilan, melahirkan dan pascalahir. Kehamilan, yang pada dasarnya merupakan suatu proses fisiologis, ternyata dapat terganggu oleh berbagai macam penyakit dan kelainan yang dapat membahayakan kesehatan ibu ataupun janin. Oleh karena itu, setiap keadaan selama hamil yang mengganggu kesehatan dan keselamatan jiwa ibu maupun janin haruslah diketahui sedini mungkin sehingga dapat dilakukan pencegahan ataupun pengobatan yang sebaik baiknya. Pemeriksaan kehamilan merupakan salah satu cara terbaik.
Pemeriksaan kesehatan selama hamil, yang dalam dunia medis lebih dikenal dengan istilah "pelayanan antenatal", diartikan sebagai suatu rangkaian tindakan pengamatan, pemeriksaan, dan bimbingan kesehatan yang terencana bagi ibu yang sedang hamil (Ingalls:1975). Tujuan pelayanan antenatal adalah dicapainya keadaan-keadaan sebagai berikut:
kehamilan dengan gejala dan keluhan fisik dan psikis minimal; persalinan dengan status kesehatan ibu dan bayi di dalam keadaan prima; lahirnya bayi sehat tanpa kelainan; tertanamnya kebiasaan hidup sehat yang memberi manfaat bagi anggota keluarga yang lain; penyesuaian yang baik terhadap keadaan pascamelahirkan.
Harapan jangka panjang dari pemeriksaan kehamilan ini adalah membantu menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Jellife (1976) secara lebih spesifik menjabarkan tujuan pelayanan antenatal sebagai berikut:
1. pengawasan dan pemeliharaan kesehatan ibu selama hamil melalui pemeriksaan kesehatan dan kehamilannya secara berkala;
2. penemuan sedini mungkin gejala atau kelainan yang diperkirakan dapat membahayakan kesehatan ibu dan janin;
3. perlakuan tindakan tepat guna termasuk pengobatan bila ibu hamil dideteksi masuk kedalam kelompok risiko tinggi;
4. penyediaan kesempatan penyuluhan kesehatan khususnya yang menyangkut pemeliharaan kesehatan ibu selama hamil (penyuluhan gizi, kebersihan perorangan, dan persiapan dalam pemeliharaan bayi);
5. perencanaan persalinan sehingga dilahirkan bayi yang sehat dan ibu berada dalam keadaan selamat.
Pada awal abad ke-20, pelayanan antenatal yang dilakukan baik oleh dokter maupun oleh perawat hanya ditujukan pada kebutuhan fisik ibu saja. Dengan berjalannya waktu, makin diketahui bahwa suatu proses kehamilan dan kelahiran melibatkan faktor psikis sehingga pendekatan pelayanan antenatal yang modern berubah kearah pendekatan fisiopsikologi yang melihat ibu hamil dan keluarga sebagai suatu kesatuan yang utuh (Walker:1974)?"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1992
D421
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholis Ernawati
"Tambak terlantar merupakan man made breeding places pada daerah endemis malaria di ekosistem pantai Pengelolaan habitat perindukan vektor dapat memutuskan rantai penularan malaria Penerapan manajemen terpadu yaitu manajemen kasus dan manajemen lingkungan dalam pengendalian malaria merupakan key alternative terutama pada daerah endemis dengan jumlah habitat perindukan vektor berupa tambak terlantar yang luas Pengelolaan tambak terlantar perlu menerapkan prinsip berkelanjutan yaitu mempertimbangkan aspek ekologi ekonomi sosial kelembagaan dan teknologi Tujuan penelitian ini adalah merumuskan model pengendalian malaria melalui pengelolaan habitat perindukan vektor berkelanjutan Lokasi penelitian adalah desa Sukarame Sukamaju dan Kampung Baru Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung Metode yang digunakan untuk pemilihan alternatif pengelolaan tambak terlantar berkelanjutan yaitu Analytical Network Process ANP Penyusunan model pengendalian malaria melalui pengelolaan habitat perindukan vektor menggunakan metode System Dynamics Hasil penelitian menunjukkan bahwa urutan alternatif pengelolaan tambak terlantar agar tidak menjadi habitat perindukan vektor yang mempertimbangkan aspek aspek keberlanjutan adalah budi daya ikan Nila Bandeng 27 Budi daya udang 22 rehabilitasi mangrove 18 mengeringkan tambak 12 mengalirkan air laut ke tambak 10 dan membersihkan ganggang atau lumut 9 Urutan kriteria yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan alternatif pengelolaan tambak terlantar adalah aspek lingkungan 26 sosial 24 Teknologi 18 Kelembagaan 17 dan ekonomi 15 Skenario terbaik pada model pengendalian malaria melalui pengelolaan habitat perindukan vektor berkelanjutan dilakukan dengan intervensi predator 60 dan rehabilitasi mangrove 10 Pengelolaan tambak terlantar membutuhkan keterlibatan lintas sektor yaitu instansi Dinas Perikanan 70 pengusaha tambak 80 peran serta aktif masyarakat 50 dan keterlibatan instansi Dinas Kesehatan 70 dalam manajemen kasus malaria Pengendalian malaria melalui pengelolaan habitat perindukan vektor berkelanjutan dapat menurunkan habitat perindukan vektor 8 28 kepadatan larva Anopheles sp 55 2 nyamuk Anopheles sp 11 68 dan kasus malaria 25 78

Derelict ponds are man made breeding places in endemic areas in coastal ecosystems Vector breeding habitat management can break the chain of transmission of malaria Implementation of the integrated management of case management and environmental management in malaria control is a key alternative especially in endemic areas by the number of vector breeding habitats such as ponds abandoned areas Management of abandoned farms need to apply sustainable principles that consider the ecological economic social institutional and technological The purpose of this study is to formulate a model of malaria control through sustainable management of vector breeding habitats The research location is the village Sukarame Sukamaju and Kampung Baru Punduh Pedada subdistrict Pesawaran district Lampung province The method used for the selection of alternative sustainable management of derelict ponds were Analytical Network Process ANP Modeling the control of malaria through vector breeding habitat management using System Dynamics The results showed that the sequence of alternative farm management so as not to be stranded vector breeding habitats that considers aspects of sustainability are Tilapia aquaculture Milk 27 shrimp cultivation 22 rehabilitation of mangroves 18 dry ponds 12 sea water flowing into the pond 10 and cleaning algae or moss 9 The order of the criteria to be considered in the selection of alternative to derelict farm management are environment 26 social 24 technology 18 institutional 17 and economy 15 The best case scenario in a model of malaria control through sustainable management of vector breeding habitat is done by the intervention predators 60 and mangrove rehabilitation 10 Management of abandoned farms that require cross sector involvement Fisheries agencies 70 farm employers 80 public participation 50 and the Public Health Service agency involvement 70 in malaria case management Control of malaria vector breeding habitat through sustainable management can reduce vector breeding habitats of 8 28 density of larval Anopheles sp 55 2 the mosquito Anopheles sp 11 68 and decrease malaria cases of 25 78 "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Ahda
"Respon wanita usia reproduktif yang mengikuti program reproduksi berbantuan sangat bervariasi terhadap induksi FSH. Variasi respon berkisar dari tidak ada respon/respon yang sangat lemah sampai menyebabkan sindrom hiperstimulasi. Hiperstimulasi dapat menyebabkan komplikasi serius seperti terjadinya pembesaran ovarium dan ekstravasasi cairan pada rongga perut sehingga terjadi ascites, hypovolemia dan hemoconcentration. Hasil studi menunjukkan bahwa genotip receptor FSH merupakan salah satu faktor penentu respon ovarium terhadap FSH. Sampai saat ini dlketahui ada dua polimorfisme pada gen reseptor FSH. Sensitivitas reseptor FSH ditentukan oleh kombinasi alel yang terbentuk. Namun yang menjadi pertanyaan apakah hanya polimorfisme pada gen struktur yang menentukan sensitivitas reseptor FSH.
Hasil penelitian pendahuluan kami pada daerah promotor reseptor FSH sepanjang 231 pb menunjukkan adanya dua mutasi titik pada posisi -29 dan -114. Untuk mengetahui apakah daerah promotor reseptor FSH manusia polimorfik dan apakah polimorfisme mempengaruhi sensitivitas ovarium terhadap FSH, maka dilakukan skrining polimorfisme promotor reseptor FSH pada 262 sampel wanita Jarman dan 54 sampel wanita Indonesia yang mengikuti program IVF/ICSI menggunakan teknik PCR-SSCP-sekuensing dan TaqMan, dan melihat korelasi antara polunorfisme dengan level FSH basal dan kebutuhan ampul FSH untuk induksi ovarium. Untuk mengetahui apakah polimorfisme tersebut mempengaruhi aktivitas promotor, dilakukan analisis fungsional dengan cara mendeteksi aktivitas gen reporter luciferase pada sel COS-7, JC-414 dan SK-11. EMSA dilakukan untuk mengetahui apakah polimorfisme mempengaruhi kemampuan binding faktor transkripsi pada situs spesifiknya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah promotor reseptor FSH polimorfik yang dibuktikan dengan ditemukannya lima single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada posisi 29, 37, -114, -123, dan -138 di samping ditemukannya variasi jumlah basa adenin (A) pada promotor inti reseptor FSH. Polimorfisme pada posisi -29 (G -> A) ditemukan dengan frekuensi tertinggi. Pada wanita Jerman distribusi frekuensinya adalah 7,25% homozigot AA, 30,92% heterozigot AG, dan 61,83% homozigot GG, sedangkan pada wanita Indonesia distribusi frekuensi alel yang didapatkan adalah 22,2% homozigot AA, 50% heterozigot AG, dan 27,8% homozigot GG. Terdapat perbedaan yang bermakna dari distribusi alel polimorfisme pada posisi -29 di antara kedua etnic yang diteliti Polimorhsme pada empat posisi lainnya (-37, A -> G), (-114, T -> C), (-123, A -> G), dan (-138, A -> T) ditemukan dalam frekuensi yang rendah (< 5%).
Polimorfisme pada posisi -123 menurunkan aktivitas promotor secara bermakna (p < 0,05) yang terukur dari penurunan ekspresi gen reporter luciferase, sebaliknya polimorfisme pada posisi -37 dan -138 meningkatkan aktivitas promotor secara bermakna (p < 0,05). Polimorfisme pada dua posisi lainnya. (-29 dan -114) menurunkan aktivitas promotor secara tidak bermakna. Hasil EMSA pada probe yang mengandung polimorfisme pada -138 memperlihatkan terbentuknya kompleks DNA-protein spesifik dengan ukuran yang lebih kecil dibanding probe wild type yang diduga sebagai hasil terlepasnya satu protein dari situs bindingnya akibat adanya polimorfisme. EMSA yang dilakukan menggunakan probe yang mengandung polimorfisme pada -123 menunjukkan terjadinya penurunan intensitas sinyal pita yang dihasilkan dibanding wild type probe. Diduga polimorfisme menurunkan kemampuan binding faktor transkipsi pada situs spesifikaya.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada level FSH basal di antara ketiga alel berdasarkan polimorfisme pada posisi -29 pada kelompok wanita Jerman dan Indonesia, di samping tidak ditemukannya perbedaan yang bermakna di antara ketiga alel dari kedua kelompok sampel wanita terhadap jumlah ampul FSH yang dibutuhkan untuk stimulasi ovarium. Namun terdapat kecenderungan bahwa wanita dengan alel GG mempunyai level FSH basal yang lebih tinggi dan membutuhkan jumlah ampul FSH yang lebih banyak dibanding wanita dengan alel AA.

It has been known that the response to FSH stimulation varies broadly among women undergoing assisted reproduction. The variations of response range from no response/ extremely low response to one leading to hyper stimulation syndrome. Hyper stimulation may lead to serious complication manifested in ovarian enlargement and extravasations of fluid to the abdominal cavity resulting in ascites, hypovolemia and hemoconcentration. Previous studios indicated that the FSHR genotype is one of the critical factors for ovarian response to FSH stimulation. Two polymorphisms of FSHR have been known so far where the sensitivity of FSHR is determined by the allelic combination involved.. Nevertheless, it was still unclear whether the polymorphism of the structural gene is the sole factor determining the FSHR sensitivity.
Our preliminary study on promoter region of FSHR gene span over 231 bp found two point mutations at position -29 and -114. In order to get understanding of whether promoter region of human FSHR gene is polymorphic and whether the polymorphisms influence the promoter activity leading to ovarian sensitivity to FSH stimulation, the study of this FSHR promoter polymorphisms were carried out on 262 samples of German women and 54 Indonesian women participating in IVFIICSI program by means of PCR-SSCP-sequencing and TaqMan technology. Functional analysis were done to know whether the polymorphic promoter have different activity than the wild type by measuring the luciferase gene expressions in COS-7, JC-410 and SK 11. We also did EMSA to know whether polymorphisms influence the binding capacity of transcription factors to their specific binding sites.
The results indicated that the promoter region of FSHR gene is polymorphic, which was proved by the discovery of five single nucleotide polymorphisms (SNPs) at positions: - 29, -37, -114, -123 and -138 in addition to the finding of adenines (As) base content variation in the core promoter of FSHR gene. The polymorphism at position -29 (G -~ A) was found to be the highest frequency. In German women the distributions of allelic frequency were 7.25% for homozygous AA, 30.92% for heterozygous AG and 61.83% for homozygous GG, while in Indonesian women the distributions of allelic frequency were 22.2% for homozygous AA, 50% for heterozygous AG and 27.8% for homozygous GG. There were significantly different in allele distributions at position -29 between two ethnic groups involved.
The polymorphisms at four alternative position (--37, A -> G), (-114, T -> C), (-123, A -> G), and (-138, A -> T) were found at low frequency (< 5%). Polymorphism at position -123 lead to significantly decrease in promoter activity (p < 0.05) as indicated by the decreasing of luciferase reporter gene expression. Conversely, the polymorphism at positions -37 and -138 lead to significantly increase in promoter activities (p < 0.05). The polymorphisms in other two positions (-29 and -114) lead to insignificant decreasing the promoter activities. EMSA studies on probe with polymorphism at position -138 indicated the formation of specific DNA-protein complex with smaller size than the wild type probe. This is considered to the dissociation of protein from its binding site due to polymorphism on it. EMSA studies using probe with polymorphism at position -123 indicated the decreasing of band intensity as compared to wild type probe. It is assumed that polymorphism on this site lead to decreasing the capacity of transcription factor to bind to its site.
This study also indicated that there were no significant differences on the FSH basal levels in the three alleles groups or the number of FSH ampoules needed for ovarian stimulation according to polymorphism at position -29 in German or Indonesian women either. However, there was a tendency that women carrying GG alleles have the higher FSH levels and need more FSH ampoules than the AA women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D778
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library