Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nelmi Silvia, auhtor
"Latar Belakang : Industri pemotongan batu memiliki potensi bahaya berupa debu batu yang dihasilkan dari proses pemotongan batu. Debu batu berpotensi besar masuk dan mengendap di saluran napas pekerja yang terpajan debu batu tersebut. Dalam penelitian ini ingin diketahui hubungan pajanan debu batu dan faktor lainnya dengan gangguan fungsi paru.
Metode Penelitian : Desain penelitian cross sectional dengan analisis regresi logistik. Subjek penelitian diambil secara cluster sampling. Tingkat pajanan debu batu ditentukan dengan metode semikuantitatif dan faktor-faktor lainnya dengan kuesioner. Pemeriksaan fungsi paru dilakukan dengan menggunakan alat spirometer.
Hasil : Subjek penelitian adalah 70 pekerja laki-laki industri pemotongan batu informal dengan masa kerja lebih dari 5 tahun. Sebanyak 21,4% subjek mengalami gangguan fungsi paru, dengan gangguan fungsi paru restriksi sebanyak 14,3% dan gangguan fungsi paru obstruksi sebanyak 7,1%. Faktor risiko yang berhubungan bermakna dengan gangguan fungsi paru adalah tingkat pajanan debu batu. Faktor umur, pendidikan, status gizi, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, masa kerja, kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (APD) dan penyediaan APD tidak memperlihatkan hubungan bermakna dengan gangguan fungsi paru. Subjek dengan tingkat pajanan debu batu tinggi mempunyai risiko 5,889 kali mengalami gangguan fungsi paru dibandingkan subjek dengan tingkat pajanan debu batu rendah [ odds rasio suaian (ORa) = 5,889; interval kepercayaan (CI) 95% = 1,436-24,153)].
Kesimpulan : Didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pajanan debu batu dengan gangguan fungsi paru. Perlu dilakukan pengendalian terhadap pajanan debu batu untuk mencegah risiko gangguan fungsi paru pada pekerja industri pemotongan batu.

Background : Stone cutting industry have a potential hazard in stone dust resulted from stone cutting process. Stone dust has a significant potential to enter and settle inside exposed worker’s respiratory tract. This study aims to identify the relationship between stone dust exposure and other factors with lung function disorder.
Method : This study was a cross-sectional study with logistic regression analysis. Study’s subjects were taken with cluster sampling method. Level of stone dust exposure was determined by semi-quantitative method and the other factors were identified by a questionnaire. Lung function was tested with a spirometer.
Results : Study’s subject was 70 male informal stone cutting industry workers with more than 5 years of service. In this study, it was found that lung function disorders was 21.4%, which restrictive lung function disorder was 14.3% and the obstructive lung function disorder was 7.1%. Risk factor significantly related to lung function disorder was stone dust level of exposure. Age, education, nutritional status, exercise habit, smoking habit, length of employment, habit of using personal protective equipment (PPE) and provision of PPE showed no significant relationship with lung function disorder. Subjects with high level of stone dust exposure had 5.889 times the risk of lung function disorder compared to subjects with low level of stone dust exposure [adjusted odds ratio(ORa) = 5.889; 95% confidence interval (CI) = 1.436 - 24.153)].
Conclusion : The level of stone dust exposure significantly related to lung function disorder. Control measures are needed for stone dust exposure to prevent the risk of lung function disorder in stone cutting industry workers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
L. Meily Kurniawidjaja
"Latar Belakang. Industri semen di Indonesia telah berkembang dengan pesat, terutama dalam tahun-tahun terakhir ini. Hal ini disebabkan antara lain karena permintaan yang meningkat baik dari dalam maupun luar negeri. Peningkatan industri semen di dalam negeri sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemakaian semen meningkat sesuai dengan peningkatan pembangunan di sektor pemerintah maupun swasta, seperti pembangunan prasarana jalan dan jembatan, perumahan, gedung-gedung bertingkat, bendungan dan irigasi. Gambar 1 menunjukkan kenaikan konsumsi semen di dalam negeri dari tahun 1978 sampai dengan tahun 1990 <1). Peningkatan permintaan dari luar negeri dimulai sejak awal 1988. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena Jepang mengurangi produksi semennya secara drastis. Sebelumnya Jepang adalah pemasok semen terbesar di dunia dengan kapasitas lebih dari 70 juta ton pertahun (2). Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang mengalami surplus semen, dengan kapasitas terpasang nasional sebesar 17,41 juta ton per tahun pada akhir Pelita 2 lalu. Semen Indonesia yang diproduksi oleh 10 grup pabrik semen, berpeluang besar untuk meningkatkan produksi pada tahun-tahun mendatang.
Gambar 1. Konsumsi Semen di Indonesia, 1978 ? 1990 (Untuk melihat gambar silahkan link ke file pdf.)
Meningkatnya produksi semen sangat berpengaruh terhadap peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian, kewaspadaan terhadap kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh proses produksi semen harus selalu mendapat perhatian. Termasuk dampak negatif debu semen yang beterbangan di udara. Paparan debu semen dengan kadar tertentu di udara dapat menimbulkan penyakit, seperti penyakit saluran napas, penyakit kulit serta penyakit saluran cerna (3 - 9).
Penelitian mengenai pengaruh debu semen terhadap saluran napas telah banyak dilakukan. Di Indonesia penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Hariadi dan Hargono di Surabaya (1979), Harsono dan Musauaris {1983). Soedirman (1987) dan Hariana di Citeureup {I98E3) (10-14). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan keragaman hasil sesuai dengan latar belakang penelitian masing-masing, namun pada umumnya menyimpulkan bahwa upaya perlindungan khusus terhadap bahaya debu semen belum sepenuhnya dilakukan secara memadai dan menyeluruh. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, untuk mencegah timbulnya penyakit saluran napas perlu dilakukan upaya pemantauan secara berkelanjutan. Dengan pemantauan ini diharapkan bahwa apabila sewaktu-waktu terjadi penyimpangan dapat segera diketahui dan segera dilaksanakan tindakan koreksi yang diperlukan (3,15).
Pemantauan ini secara khusus dilaksanakan terhadap para pekerja, untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya penyakit sedini mungkin melalui pemeriksaan kesehatan berkala serta pemantauan terhadap lingkungan kerja. Cara ini dapat dipandang sebagai diagnosis dini yang mempunyai peran amat penting, sebagai salah satu indikator paparan debu di lingkungan kerja, untuk kemudian dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan bila perlu pengobatannya (3,15)?"
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gina Amanda
"ABSTRAK
Latar belakang: Streptococcus pneumoniae adalah etiologi yang paling sering ditemukan pada pneumonia komunitas. Studi di Semarang mendapatkan bahwa angka kejadian pneumonia pneumokokus adalah sebesar 13,5% dari seluruh kasus pneumonia komunitas. Beberapa faktor termasuk vaksinasi mempengaruhi kejadian pneumonia pneumokokus dan komplikasi penyakit pneumokokus invasif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi dan karakteristik pneumonia pneumokokus pada pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang yang dilakukan pada pasien pneumonia komunitas di rumah sakit umum pusat Persahabatan Jakarta pada bulan April-Oktober 2018. Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan apabila terdapat infiltrat baru pada foto toraks disertai dua dari lima gejala demam, sesak napas, batuk, batuk darah, atau nyeri dada yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua minggu. Pada tiap subjek penelitian akan dilakukan wawancara medis, pemeriksaan fisis, foto toraks, pemeriksaan laboratorium, dan biakan spesimen seperti sputum, darah, dan cairan pleura. Hasil biakan positif S. pneumoniae akan diperiksakan serotipe, uji kepekaan dan resistensi antibiotik.
Hasil: Dari 92 subjek penelitian didapatkan proporsi pneumonia pneumokokus sebesar 12%. Sebagian besar subjek pasien pneumonia pneumokokus berusia 19-64 tahun (72,7%), laki-laki (72,7%), memiliki komorbid paru (54,5%) dan ekstra paru (45,5%), malnutrisi (72,7%), tidak merokok saat ini (81,8%), dan tidak pernah divaksinasi pneumokokus (100%). Sesak napas, batuk, dan demam adalah gejala klinis yang sering ditemukan. Gambaran radiologis yang terbanyak ditemukan adalah infiltrat. Derajat penyakit pada kelompok ini adalah nilai CURB-65 ≤ 2 (100%). Pada penelitian ini didapatkan angka penyakit pneumokokus invasif sebesar 18,2%. Serotipe pada pasien pneumonia pneumokokus dengan penyakit pneumokokus invasif adalah 6A/6B dan 7F/7A, sedangkan pada pasien tanpa penyakit pneumokokus invasif adalah serotipe 3, 6A/6B, 4, 9V/9A, 15A/15F, dan 16F. Telah ditemukan beberapa serotipe pneumokokus yang resisten terhadap antibiotik seperti golongan penisilin, makrolid, tetrasiklin, kloramfenikol, dan klindamisin. Kesimpulan: Proporsi pneumonia pneumokokus pada pasien pneumonia komunitas dewasa di penelitian ini adalah sebesar 12% dan angka kekerapan penyakit pneumokokus invasif sebesar 18,2%. Beberapa karakteristik tampak dominan pada subjek pasien pneumonia pneumokokus, namun hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang tidak bermakna.
"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Suraya
"Uji fit APR merupakan satu prosedur yang seharusnya dilakukan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya pencegahan pajanan dengan penggunaaan alat pelindung respirasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas uji fit APR dalam mencegah penurunan VEP1 yang dipicu kromium pada pengelas baja stainless dan menilai kenyamanan pemakaian APR tersebut.
Metode : Penelitian menggunakan desain clinical tral (cross over) antara dua kelompok pekerja yaitu yang menggunakan APR teruji fit dan pengguna APR tanpa uji fit dengan tersamar tunggal pada pemeriksa VEP1. Efek penurunan VEP1 diukur pada 24 responden dengan membandingkan nilai VEP1 sebelum dan sesudah bekerja dalam 1 shift. Kenyamanan pemakaian APR dinilai dengan kuesioner. Uji fit APR menggunakan metode kualitatif dengan instrument FT- 30 bitter dari 3M. Kadar kromium lingkungan kerja diukur dengan metode NIOSH 7027-1994.
Hasil: Kadar kromium lingkungan adalah 3,45 μg/m3. Rata-rata VEP1 ketika responden menggunakan APR biasa sebelum bekerja adalah 3403,8 ml dan sesudah bekerja adalah 3247,5 ml. Rata-rata VEP1 ketika menggunakan APR fit sebelum bekerja adalah 3359,0 ml dan sesudah bekerja adalah 3339,6 ml. Terdapat perbedaan yang signifikan dimana penurunan VEP1 saat menggunakan APR biasa lebih tinggi dibanding saat menggunakan APR fit (uji t berpasangan p=0,011 ). APR fit juga lebih nyaman digunakan dibanding APR biasa (uji Mc Nemar p= 0,022)
Kesimpulan : APR teruji fit terbukti efektif mencegah penurunan VEP1 yang terlihat dari (1) terdapat penurunan VEP1 yang signifikan saat responden menggunakan APR biasa dalam 1 shift kerja namun tidak terjadi penurunan bermakna saat menggunakan APR fit, (2) perbedaan penurunan VEP1 antara saat menggunakan APR yang teruji fit dan saat menggunakan APR biasa secara statistik bermakna. APR teruji fit mempunyai tingkat kenyamanan yang lebih baik dibandingkan dengan APR tanpa uji fit.

Introduction: Respirator fit-testing is one of the procedures which should be performed as an integrated part of hazard prevention effort by respirator protection device usage. The purpose of this research was to evaluate effect of RPE fit testing aimed at preventing an acute decline in FEV1 induced by chromium in stainless steel welder and to assess the convenience of RPE usage.
Methods: This research was conducted on clinical trial (cross over) design between workers who wore tight fitting RPE and workers who wore regular RPE with single blind at FEV1 evaluator. Declining of FEV1 was measured on 24 respondents by comparing prior working FEV1 value and end working FEV1 value in a work shift. The convenience of RPE usage was assessed by questionnaire. Respirator fit-testing was conducted by qualitative method with FT-30 bitter instrument from 3M. Chromium level at working environment was measured by NIOSH 7072-1994 method.
Results: Chromium environment level was 3.45 ug/m³. Should respondents worn regular RPE, the mean of FEV1 prior working was 3403,8 ml and end working was 3247,5 ml. Having worn tight fitting RPE, the mean of FEV1 of respondents prior working was 3359,0 ml and end working was 3339,6 ml. There was a significant differences that FEV1 declining when respondents wore regular RPE was higher than that on wearing tight fitting RPE (dependent t test p=0.011). Tight fitting RPE was also more convenient to wear compare to regular RPE (Mc Nemar test p= 0.022).
Conclusions: Tight fitting RPE proved to be effective in preventing an acute decline in FEV1 which were visible from (1) There was significant acute decline in FEV1 when respondents wore regular RPE but not when wearing fit RPE, (2) The differences of FEV1 declining on both treatment was statistically significant. Tight fitting RPE had better convenience level compare to non fitting RPE."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Sri Wiryaningsih
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Pada tahun 2004 telah dilakukan penelitian oleh peneliti terdahulu tentang dampak buruk dari debu kayu terhadap kesehatan dan telah dilakukan intervensi terhadap dampak tersebut. Dalarn penelitian ini dilakukan penelitian kros-seksional dengan anaiisis perbedaan proporsi serta populasi yang sama yang pen-nah dilakukan Lahun 2004 yaitu sebanyak 135 orang pekelja dengan rentang usia 18-60 ormg.
Data didapatkan dari wawancara, pemeriksaan fisik serta pengukuran fungsi paru pada Januari 2008, juga dilakukan pemeriksaan debu lingkzmgan kemja baik total rnaupun respirabel. Analisa bivaxiat digunakan untuk menilai hubungan semua faktor risiko tersebut dengan timbulnya asma kerja.
Hasil dan Kesimpulan: Dari Populasi penelitian, prcvalensi asma 21 orang (15.5%) yang terdiri dari asma kerja I3 orang (9.6%) dan 8 orang (5.9%) asma memburuk akibat kcrja. Setelah dilakukan analisa multivaxiat, dikctahui faktor risiko maupun yang berpenganih terhadap terjadinya asma kezja yaitu riwayat atopi (P = 0.170, OR suaian 3.044 dan CI 95% 0.622-14.91 I), riwayat asma (P = 0188, OR suaian 2.570 dan CI 95% 0.631-10.469), bila dibandingkan dengan hasil penelitian tahun 2004, terlihat adanya pcnurunan prevalensi asma. Dengan dcmikian dapat disimpulkan bahwa intervensi yang dianjurkan oleh peneliti terdahulu telah dilaksanakan dengan baik.

Scope and methodology: At 2004 had done the Activation by the formelybacurate, about bad effect of the Wood dust to healthy and had done intervention for that effect in this acuration done the cross sectional with proportionally acuration with the same population which done at 2004 namely as much as 135 person workers between I8 up to 60 years old.
The data gets from interview, Physical examinations, and lung function test during at January 2008,the circumference work had done checked too,measuring if dust at working environment had been conducted, either against total dust or respirable. Bivariate analysis was used to examine the association among all risk factors and work-related asthma.
Result and conclusion: From the actuation of population, prevalensi asthma 21 person(l5.5%). Were divided into occupational asthma 13 person (9.6%), and work aggravated asthma 8 person (5.9%).After conducting multivariate analyses- logistic regression,1isk factors which related to work-related asthma, were atopic historical (P = 0.i70, OR 3.044 and CI 95% 0.622-14.91 I), and asthma historical (P = 0.I88, OR 2.570 and CI 95% 0.631-l0.469). If compared with the acuration result at 2004, was view the asthma prevalence subtractions. Therefore, be concluding that intervention as formerly acuter protrude had done well.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29204
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Isep Supriyana
"ABSTRAK
Background : The BODE index is generally used for predicting mortality risk of COPD
patients. The BODE index included the body mass index, degree of airflow obstruction (FEV1),
dyspnea (MMRC questionnaire), and exercise capacity (6-minute walk test). Exacerbation of
COPD associated with decreased health related quality of life (HRQoL). HRQoL has become an
important outcome in respiratory patients as proved by St.George’s Respiratory Questionnaire
(SGRQ). We hypothesized that the greater BODE score the more frequent occurrence of
exacerbation and increase SGRQ total score.
Methods : Prospective cohort study of COPD patients in Persahabatan Hospital assessed for
BODE index (baseline) and followed at 3, 6, 9 and 12 months. Patient were also examined with
SGRQ (baseline) and followed at 6 and 12 months. We monitored the occurrence of exacerbation
by telephone, visiting to COPD’s clinic or emergency unit every month for one year.
Results : Eighty five patient were examined at baseline with mean of BODE index 4.29 and
SGRQ total score 41.42%. After one year monitored 52 patients have completed examination, 29
patient have not complete examination and four patient died. Using t-test analysis the correlation
of BODE index between single and frequent exacerbation is significant (p<0.05), the correlation
of SGRQ between single and frequent exacerbation is significant (p<0.05) and correlation
between BODE and SGRQ is significant (p=0.045).

ABSTRACT
Latar belakang : Indeks BODE dapat memprediksi mortalitas pada PPOK. Indeks BODE
terdiri dari indeks masa tubuh, VEP1, skala sesak MMRC dan Uji jalan 6 menit. Kuesioner
SGRQ digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien PPOK. Menurunnya kualitas hidup pasien
PPOK dapat disebabkan oleh eksaserbasi. Hipotesis penelitian ini adalah semakin tinggi indeks
BODE maka semakin sering eksaserbasi dan meningkatkan nilai SGRQ.
Metode : Menggunakan disain kohort prospektif, indeks BODE pasien PPOK dinilai pada awal
kunjungan (0bulan) bulan ke-3,6,9 dan 12. Pasien mengisi lembar kerja penelitian dan mengisi
kuesioner SGRQ pada awal kunjungan, bulan ke-6 dan 12. Peneliti memonitor terjadinya
eksaserbasi setiap bulannya melalui telepon, saat kunjungan ke poli asma PPOK atau instalasi
gawat darurat selama setahun
Hasil : Didapat 85 pasien pada kunjungan awal dengan rerata indeks BODE 4.29 dan rerata
SGRQ skor total 41.41%. Setelah 12 bulan pemantauan didapatkan 52 pasien yang melengkapi
pemeriksaan, 29 pasien keluar dan 4 pasien meninggal dunia karena PPOK atau komplikasi.
Analisis statistik t-test didapatkan perbedaan bermakna antara indeks BODE kelompok sekali
eksaserbasi dengan kelompok sering eksaserbasi (p<0.05). Terdapat perbedaan bermakna SGRQ
skor total pada kelompok sekali eksaserbasi dengan kelompok sering ekaserbasi (p<0.05) serta
hubungan bermakna antara indeks BODE dengan SGRQ skor total (p=0.0457).
Kesimpulan : Indeks BODE dapat digunakan untuk memprediksi eksaserbasi dan kualitas hidup
pasien PPOK."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Sri Hastuti
"Pendahuluan : PPOK eksaserbasi akut dikaitkan dengan risiko kematian yang tinggi. Sebuah studi prospektif menemukan bahwa skor CURB-65 berhubungan dengan kematian pada PPOK eksaerbasi akut. Komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian pada PPOK derajat sedang dan berat. Hipotesis kami modifikasi skor CURB-65 skor (CURB-65 ditambah komorbid kardiovaskular) dapat memprediksi risiko kematian pada PPOK eksaserbasi akut.
Metode : Kami melakukan analisis secara prospektif dalam 1 tahun untuk mortalitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi potensi kematian pada pasien PPOK eksaserbasi akut antara Maret dan November 2012. Modifikasi skor CURB-65 dihitung dari penilaian awal saat pasien masuk ke IGD atau poli asma/PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta. Skor terdiri dari satu poin untuk variabel confusion, urea> 7 mmol / L, frekuensi napas ≥ 30/min, tekanan darah sistolik <90 mmHg atau tekanan darah diastolik <60 mmHg, usia ≥ 65 tahun dan penyakit kardiovaskular (dinilai dengan EKG dan ekokardiografi). Setelah 12 bulan evaluasi, dilakukan analisis hubungan antara modifikasi skor CURB-65 dan risiko kematian menggunakan uji Chi Square, uji Fisher dan Kolmogorov Smirnov.
Hasil : Terdapat 76 subjek penelitian. Angka kematian selama 30 hari adalah 9,2% dan dalam satu tahun adalah 27,6%. Prevalensi penyakit kardiovaskular adalah 63,2%. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, frekuensi napas dan modifikasi skor CURB-65 dengan risiko mortalitas dalam 30 hari pasca eksaserbasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, IMT, lama PPOK, derajat PPOK, VEP1%, APE dan frekuensi napas dengan risiko mortalitas dalam 6 bulan. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, IMT, lama PPOK, derajat PPOK, VEP1%, APE dan frekuensi napas, komorbiditas kardiovaskuler dan modifikasi skor CURB-65 dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan. Modifikasi skor CURB-65 ≥ 2 dapat digunakan sebagai titik potong untuk memprediksi mortalitas dalam 12 bulan pasca PPOK eksaserbasi akut.
Kesimpulan : Angka mortalitas dalam satu tahun pada PPOK pasca eksaserbasi cukup tinggi. Modifikasi skor CURB-65 dapat memprediksi mortalitas dalam dalam 1 tahun pada PPOK eksaserbasi. Skor ini mungkin berguna dalam memprediksi prognosis untuk pasien PPOK dan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengobatan secara optimal.

Introduction : Acute exacerbation of COPD (AECOPD) is associated with a high risk of mortality. A prospective study found that CURB-65 score was associated with mortality in AECOPD. Comorbidity such as cardiovascular disease is major causes and, in mild-to-moderate COPD, are the leading causes of mortality. We hypothesized a risk-prediction model using modification of CURB-65 score (CURB-65 with cardiovascular disease) can predicted risk of death in AECOPD.
Methods: We investigated prospectively the 1-year mortality rate and potential determinants of mortality for all patients admitted to the hospital with an AECOPD between March and November 2011. The modification of CURB-65 Score were calculated from information obtained at initial hospital presentation. The modification of CURB-65 Score are one point each for Confusion, Urea > 7 mmol/L, Respiratory rate ≥30/min, Sistolic Blood pressure < 90 mmHg or diastolic blood pressure < 60 mmHg, age ≥ 65 years and present of cardiovascular disease (use echocardiography). After 12 months of evaluation, the relation between modification of CURB-65 score and risk of mortality will analyze using Chi Square test, Fisher?s test and Kolmogorov Smirnov.
Result: 76 patients have been collected. The mortality rate during 30 days was 9,2% and one-year mortality was 27,6%. The prevalence of cardiovascular disease was 63,2%. There was significant correlation between smoking status, respiratory rate and modification of CURB-65 score with 30 days risk of mortality. There was significant correlation between smoking status, BMI, duration of COPD, severity of COPD, FEV1%, PFR and respiratory rate with 6 months risk of mortality. There was significant correlation between smoking status, BMI, duration of COPD, severity of COPD, FEV1%, PFR and respiratory rate, cardiovascular comorbidity and modification of CURB-65 score with 12 months risk of mortality. Curb-65 Modifications score ≥ 2 can be used as a cut-off point for predicting mortality in 12 months in acute exacerbations of COPD.
Conclusion : 1-year mortality after AECOPD admission is high. The modification of CURB-65 score was effective in predicting mortality in our cohort of acute COPD exacerbations. This model may be useful in predicting prognosis for individuals and thus in guiding treatment decisions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Adhyaksanti
"Pneumonia komunitas adalah penyebab kematian terbesar di Indonesia. Sistem skor PSI dan CURB-65 telah digunakan dalam menentukan keparahan penyakit dan keputusan tempat rawat berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan sistem skor modifikasi PSI dan modifikasi CURB-65 pada pasien CAP sebagai prediktor mortalitas 30 hari di RS Persahabatan. Penelitian ini adalah kohort prospektif yang dilakukan pada pasien CAP yang dirawat di RS Persahabatan sejak bulan Oktober 2012-Maret 2013. Gejala klinis nilai laboratorium, foto toraks, penyakit penyerta skor PSI dan CURB-65 serta hasil akhir berupa kematian dicatat untuk dianalisis. Selama 30 hari subjek penelitian diikuti. Sebanyak 167 pasien CAP mengikuti penelitian ini didapatkan angka kematian sebesar 18,6%. Sensitivitas PSI sama dengan CURB-65 yaitu sebesar 77,4%. Spesifisitas PSI sedikit lebih tinggi dari pada CURB-65 (58,1% vs 53,7% p < 0,001). Risiko relatif mortalitas berdasarkan PSI pada kelompok risiko tinggi sebesar 3,64 kali dibandingkan kelompok risiko rendah, sedangkan risiko relatif mortalitas berdasarkan CURB-65 pada kelompok risiko tinggi sebesar 3,15 kali dibandingkan kelompok risiko rendah. Skor CURB-65 dapat dipertimbangkan sebagai prediktor mortalitas pada pasien CAP yang di rawat inap.

Community Acquired Pneumonia (CAP) is the first leading disease with the highest mortality in hospitalized patient in Indonesia. Pneumonia severity assessment systems such as the pneumonia severity index (PSI) and CURB-65 were designed to predict severity of illness and site of care base on 30-d mortality. The purpose of this study is to comparing the PSI with CURB-65 in patient admitted with CAP as predictor 30 days mortality in Persahabatan Hospital, Jakarta. This is a prospective cohort study in hospitalized community acquired pneumonia patients in Persahabatan Hospital since October 2012- Maret 2013. Clinical symptoms, laboratory findings, chest x-ray , comorbidities, score of PSI and CURB-65, 30 days mortality were recorded for analysis. Thirty days mortality outcome were recorded to analysis which score system as the best to predict 30 days mortality. One hundred and sixtty seven patients CAP were studied with an overall 30-d mortality of 18,6%. Sensitivity of PSI were simillar with CURB-65 for predicting patients who died within 30 d (77,4% ; p < 0.001). Specificity of PSI was slighty higher than CURB-65 (58,1% vs 53,7% p < 0,001). Score PSI have risk mortality 3,64 times in high risk group CAP than low risk group CAP. Score CURB-65 have risk mortality 3,15 times in high risk group CAP than low risk CAP. CURB-65 modification was considerable to predict mortality in CAP patients hospitalized.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Darmawan
"ABSTRAK
Background research : Air pollution due to road traffic is a serious health hazard and thus the collector toll who are continuously exposed to pollutant, may be at an increased risk. Types of main pollutants in the outdoor air pollution will significantly influence lung function. This study determined the factors that affect spirometry lung function, chest x-ray, and respiratory symptoms of collector toll working in the area of Jagorawi toll in East Jakarta. Methods: This study is a cross sectional study was conducted among collector toll of Jagorawi toll in East Jakarta in the period of December 2012 with total sampling method. This study has assessed respiratory clinical symptoms using questionnaires of Pneumobile Project Indonesia, examined spirometry, and chest x-ray. Results: A total of 129 subjects were included in this study. Most of them are men (71,3%), aged 40 to 49 years (48,8%), were over weight (46,5%), active smokers (55%), most of them have worked 15 to 19 years, did not use masker properly (65,9%), and had abnormal chest x-ray (3,9%). Results of spirometry examination showed mild restriction in 12 subjects (9,3%), mild obstruction in 2 subjects (1,6%). There are significant association between age and period of working with spirometry abnormalities (p<0,05), but no significant association found between nutritional status, smoking history, chest x-ray, using of masker, place of working with spirometry of collector toll (p>0,05). There is significant association between respiratory clinical symptoms with mild lung restriction (p<0,05). There are significant association between age and smoking history with respiratory clinical symptoms (p<0,05). There is significant association between period of working with chest x-ray abnormalities. Conclusion: This study showed that there are significant association between age and period of working with spirometry abnormalities (p<0,05), but no significant association found between nutritional status, smoking history, chest x-ray abnormalities, using of masker, place of working with spirometry abnormalities of collector toll (p>0,05).

ABSTRACT
Latar belakang penelitian: Petugas gerbang tol merupakan profesi yang mempunyai risiko sangat besar untuk terpajan zat-zat polutan yang berasal dari asap kendaraan bermotor yang akan memberikan efek berupa penurunan fungsi paru dan keluhan respirasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran spirometri, foto toraks dan keluhan respirasi pada petugas gerbang tol Jagorawi di Jakarta Timur. Metode penelitian : Penelitian ini dilakukan di wilayah Tol Jagorawi di Jakarta Timur bulan Desember 2012 dengan desain uji potong lintang. Pengambilan sampel menggunakan total sampling melalui kuesioner, pemeriksaan spirometri, foto toraks PA. Hasil : Seratus dua puluh Sembilan subjek diikutkan dalam penelitian ini, laki-laki (71,3%) terbanyak usia 40-49 tahun yaitu 63 orang (48,8%), berat badan lebih 60 orang (46.5%) , perokok aktif 71 orang (55%) dengan IB ringan 41 orang (31,8%), bekerja selama 15-19 tahun sebanyak 46 orang (30,7%). Prevalens kelainan spirometri sebanyak 14 orang (10,9%) yaitu restriksi ringan 12 orang (9,3%) dan obstruksi ringan didapatkan pada 2 orang (1,6 %). Penggunaan APD masker buruk (65,9%), kelainan foto toraks (3,9%), keluhan respirasi (10,1%). Secara statistik terdapat hubungan bermakna antara usia, masa kerja dengan kelainan obstruksi. Terdapat hubungan bermakna antara usia, masa kerja dengan kelainan restriksi. Terdapat hubungan bermakna antara keluhan respirasi dan indeks brinkman dengan kelainan restriksi. Terdapat hubungan bermakna antara masa kerja dengan kelainan foto toraks. Terdapat hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dan usia dengan keluhan respirasi. Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara usia, masa kerja dengan kelainan obstruksi. Hubungan bermakna antara usia, masa kerja dengan kelainan restriksi. Hubungan bermakna antara keluhan respirasi dan indeks brinkman dengan kelainan restriksi. Hubungan bermakna antara masa kerja dengan kelainan foto toraks. Hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dan usia dengan keluhan respirasi."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasetyo Hariadi
"ABSTRACT
Latar belakang: Berat badan lahir rendah, lingkar kepala yang kecil, berkurangnya panjang badan dan peningkatan kelahiran prematur telah diketahui sebagai akibat pajananan rokok selama kehamilan. Masih sedikit penelitian di Indonesia yang menilai kadar karbon monoksida ekshalasi, kadar kotinin darah tali pusat untuk melihat tingkat pajanan akibat rokok selama masa kehamilan. Pajanan asap rokok dalam jangka panjang berpotensi menurunkan respon inflamasi. Pengukuran kadar TNF-alfa untuk melihat respon inflamasi akibat pajanan rokok.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Subyek penelitian adalah ibu hamil yang melahirkan di Rumah sakit Persahabatan dan dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu perokok aktif, perokok pasif dan tidak merokok. Pengukuran kadar karbon monoksida ekshalasi dengan menggunakan alat smoke analyzer, untuk pengukuran kadar kotinin dan TNF-alfa darah tali pusat menggunakan teknik ELISA.
Hasil: Dari total 85 subyek yang mengikuti penelitian rerata umur ibu adalah 30 tahun (16-24) tahun. Dengan distribusi ibu hamil perokok aktif 20 (23,6 %), perokok pasif 35 (41,2 %) dan tidak merokok 30 (35,3%) subyek. Rerata berat badan bayi lahir pada kelompok perokok aktif lebih rendah 2886±658 dari kelompok perokok pasif 3098±479 dan tidak merokok 3098±279. Rerata berat plasenta lebih rendah pada kelompok perokok aktif (463) gram dari kelompok perokok pasif (497) gram dan bukan perokok (527) gram. Kadar karbon monoksida ekshalasi ibu perokok aktif lebih tinggi (rerata 11,4 ppm), dari perokok pasif (7,9 ppm) dan tidak merokok (3,8 ppm) dan bermakna secara statistik (p 0,001). Berat badan lahir tidak berhubungan dengan derajat pajanan rokok (p 0,153). Terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar kotinin dan TNF-alfa darah tali pusat antara kelompok ibu perokok aktif dengan perokok pasif dan tidak merokok. Kadar CO ekshalasi memiliki korelasi negatif dengan kadar TNF-alfa darah tali pusat.
Simpulan: Kadar karbon monoksida ekshalasi pada perokok aktif didapatkan lebih dari 11 ppm. Kadar kotinin perokok aktif didapatkan 3 pg/ml. Kadar CO ekshalasi dan kadar kotinin darah tali pusat dapat digunakan untuk menilai pajanan rokok dan status merokok pada ibu hamil. Kadar karbon monoksida ekshalasi dan kadar kotinin darah tali pusat didapatkan korelasi negatif terhadap berat badan bayi. Didapatkan perbedaan yang bermakna pada kadar TNF-alfa, kelompok ibu perokok aktif lebih rendah dibanding kelompok ibu yang tidak merokok, Berat badan lahir bayi dan berat plasenta pada kelompok ibu terpajan rokok memiliki kecenderungan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok ibu yang tidak terpajan rokok.

ABSTRACT
Background : Low birth weight, small head circumference, reduced body length and an increase in premature births has been known as a result of smoking exposure during pregnancy. Few studies in Indonesia, which assesses levels of carbon monoxide exhaled, levels of cord blood cotinin and measure the level of smoke exposure during pregnancy. Cigarette smoke exposure in the long term potentially reduce the inflammatory response. Measurement of levels of TNF-alpha to see the inflammatory response due to exposure to cigarette.
Methods of study : This study was a cross sectional study. Subjects were pregnant women who gave birth in Persahabatan hospital and grouped into 3 categories: active smokers, passive smokers and non-smokers. Measurement of carbon monoxide levels exhaled using smoke analyzer, to measure the levels of TNF – alpha and cotinin cord blood using ELISA.
Results : From a total of 85 subjects were recruited in this study, with mean maternal age of 30 years (16-24) years. The distribution of maternal active smokers 20 (23.6 %), 35 passive smokers (41.2 %) and 30 non-smokers (35.3 %) subjects. The mean birth weight in the group of active smokers is lower (2883) than passive smokers (3031) and non-smokers (3098). The mean placental weight was lower in the group of active smokers (463) grams of passive smoking group (497) grams and non smokers (527) grams. Carbon monoxide levels active smokers was higher (mean 11.4 ppm), from passive smokers (7.9 ppm) and non-smoker (3.6 ppm) and statistically significant (p 0.001). Birth weight not associated with the degree of smoking exposure (p 0.153). There are significant differences in the levels of TNF-alpha and cotinin cord blood between the group of active smokers, passive smokers and non smokers. Levels of CO exhaled have negative correlation with levels of TNF-alpha cord blood .
Conclusions : Levels of exhaled carbon monoxide in active smokers more than 11 ppm. Levels of active smokers cotinin 3 pg/ml. Levels of cord blood cotinin and CO exhaled can be used to assess exposure and cigarette smoking status in pregnant women. Exhaled carbon monoxide levels and levels of cord blood cotinin have negative correlation to the weight of the baby. Statistically significant differences in the levels of TNF-alpha, an active smoker is lower than non smoker mothers. Low birth weight and reduced placental weight was commonly found in active smoker mother.
"
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>