Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heru Sundaru
Abstrak :
Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma. Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma. PENETAPAN MASALAH Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara. METODOLOGI PENELITIAN Disain dan analisis penelitian Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma. Populasi dan sampel penelitian Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Tempat dan waktu penelitian SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004. Cara kerja Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik kasus Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan. Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma. Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang. Prevalensi asma Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban. Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi. Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu). Prevalensi mengi 12 bulan terakhir Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2. Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123). Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%. Model prediksi, skoring dan titik potong Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3). Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%. Berat asma Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47). Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250). Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004). Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma. Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada. KESIMPULAN - Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak. - Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor. - Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%. - Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma. - Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma. SARAN - Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen. - Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta. - Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah. - Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati. - Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathul Jannah
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) di Indonesia masih menempati urutan ke-3 di dunia. Anak dengan tuberkulosis umumnya mengalami defisiensi zinc dan vitamin A. Defisiensi zinc dapat menyebabkan gangguan sistem kekebalan tubuh dan mengganggu sintesis retinol binding protein sehingga dapat menghambat proses penyembuhan TB. Penambahan zinc dan vitamin A dapat membantu meningkatkan respon kekebalan tubuh pada penderita TB. Tujuan: Membuktikan pengaruh suplementasi zinc dan vitamin A dalam meningkatkan status gizi dan perbaikan gejala klinis pada anak usia 5-10 tahun dengan tuberkulosis paru. Disain: Penelitian adalah kuasi eksperimen dengan pre post design dengan kontrol. Sebanyak 84 anak yang telah diseleksi dan terdiagnosis TB Paru yang berada di empat wilayah Puskesmas Kecamatan di Jakarta Pusat diambil menjadi subyek penelitian. Kelompok perlakuan dibagi secara acak menjadi dua kelompok yakni kelompok I yang mendapatkan Obat anti Tuberkulosis Standar DOTS dan suplemen (berisi 20 mg zinc elemental dan vitamin A asetat 1500 IU) dan kelompok II yang hanya mendapatkan OAT saja. Obat dan suplemen diminum setiap hari selama pengobatan TB. Respon kesembuhan dapat diukur dari membaiknya gejala klinis dan status gizi dibandingkan pada saat awal sebelum pengobatan. Analisis untuk melihat perbedaan dua kelompok menggunakan uji T-Test. Gejala klinis diukur dengan chi-square. Hasil: 84 Subyek terdiri atas kelompok intervensi (n=38) dan kelompok kontrol (n=46). Pada fase inisial (bulan ke dua) perubahan nilai zinc, retinol dan IMT-U pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, grup I dengan nilai p=0,087; p=0,002; p=0,449 berturut-turut. Perubahan kadar albumin dan hemoglobin kelompok kontrol lebih tinggi dibanding kelompok intervensi denan nilai p=0,000; p=0,142. Pada bulan ke enam terjadi kenaikan pada retinol, hemoglobin, IMT-U, kelompok intervensi lebih tinggi dari kelompok kontrol dengan p=0,879; p=0,142; p= 0,216. Perubahan kadar albumin lebih tinggi pada kelompok kontrol p=0,005. Kadar zinc mengalami penurunan pada kedua kelompok p=0,153. Perbaikan gejala klinis lebih cepat terjadi pada kelompok intervensi dan bermakna secara klinis namun tidak bermakna secara statisik. Simpulan: Pemberian suplemen disarankan pada anak TB yang mendapat OAT hingga bulan ke dua, karena dapat meningkatkan status gizi dan perbaikan gejala klinis.
ABSTRACT
Background: Indonesia is the 3rd in the world on Tuberculosis (TB). Most children with tuberculosis commonly have zinc and vitamin A deficiency. Zinc deficiency caused immune system disorders and disturb the synthesis of retinol binding protein, it inhibited the healing process of TB. Supplementation of zinc and vitamin A helped to improve the immune response in TB patients. Objective: To prove the effect of zinc and vitamin A supplementation in improving the clinical symptoms and nutritional status in children 5-10 years of tuberculosis. Design: This study was quasi experimental, was conducted in a pre post design. A total of 84 children who were selected and diagnosed with pulmonary TB in the four districts of the Public Health Center in Central Jakarta were invited as research subjects. Subjects were divided into two groups. Group I received the standard DOTS ATT and supplement (containing 20 mg zinc element, as a zinc sulfate and acetate vitamin A 1500 IU), while group II only received ATT. These drugs and supplements are taken daily during TB treatment. The recovery response can be measured by observing the improvement in clinical symptoms and nutritional status compared to the time before treatment. The analysis used to see the differences between the two groups is the T-Test. Clinical symptoms are measured by chi-square. Results: There are 84 subjects taken in the intervention group (n = 38) and the control group (n = 46). In intensive phase, delta of zinc, retinol, BMI/A on intervention group was higher than control ( p=0,087; =0,002; =0,449, respectively). Delta albumin and Hb were higher ol control than intervention (p=0,000; =0,142). On the 6th mo, delta of retinol, Hb increased higher than control (p=0,879; =0,142; =0,216, respectively). But zinc level decreased on both groups (p=0,153). Clinical symptoms provide good results and are clinically meaningful but not significant. Conclusion: Supplementation was valueable with ATT treatment up to two months due to it could improve nutritional status and clinical symptoms.
2019
D2622
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library