Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rendi Asmara
"Latar Belakang. Proses aterosklerosis menjadi penyebab kematian dan morbiditas utama dan berkaitan dengan penyakit jantung koroner (PJK) yang merupakan implikasi klinis proses aterosklerosis. Hipertensi dan dislipidemia menjadi salah satu faktor risiko proses aterosklerosis. Pemeriksaan ketebalan intima-media karotis (KIMK) dapat menjadi prediktor gangguan kardiovaskuler di kemudian hari. Studi Framingham merupakan penelitian yang memprediksi PJK dengan menggunakan kategori faktor risiko dan telah digunakan secara luas pada populasi yang berbeda. Populasi yang berbeda belum tentu memberikan perbedaan hasil analisis terhadap faktor risiko aterosklerosis.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan rasio LDL-HDL dengan plak karotis pada populasi hipertensi di Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Metode. Ini adalah penelitian potong lintang. Data dianalisis menggunakan regresi logistik dengan melihat besar dari nilai rasio odds (odds ratio, OR) 95% interval kepercayaan (confidence interval, CI), dan nilai p.
Hasil. Subyek penelitian sebanyak 115 orang terdiri atas 56 (48,7%) laki-laki dan 59 (51,3%) perempuan dengan rerata usia 47,61±7,92 tahun. Jenis kelamin laki-laki yang memiliki KIMK ≥ 1,5 mm lebih banyak dengan proporsi 0,72±0,46 (95% CI 0,57-0,87 ; p=0,0003). Kemungkinan kejadian plak meningkat pada quartile rasio LDL-HDL kolesterol yang lebih besar. Analisis quartile >75% terhadap kejadian plak dibandingkan quartile lebih rendah memberikan OR 4,15 (95% CI 1,74-9,89; p=0,001) dan setelah disesuaikan tetap menunjukkan kemungkinan kejadian plak lebih besar (OR 3,95; 95% CI 1,39-11,22; p=0,01). Didapatkan area under curve 0,8262.

Background. Atherosclerosis had become main problem in mortality and morbidity and related with coronary heart disease as a clinical implication of atherosclerosis process. Hypertension and dyslipidemia had become risk factors for atherosclerosis process. Carotid intima-media thickness (CIMT) measurement could be a predictor for future cardiovascular disease. Framingham study was an experiment that predicted coronary heart disease using risk factor categories and had been used widely in many regions in the world with various population. A different population might not always give different result related with atherosclerosis process.
Aim of study. To see the relaionship of LDL-HDL ratio with carotid plaque among hypertensive population in Mlati, Sleman, DIY.
Method. This is a cross-sectional syudy. Data were analyzed with logistic regression by seeing odds ratio (OR), 95% confidence interval (CI), and p value.
Result. There were 115 subjects in this experiment with 56 (48,7%) male and 50 (51,3%) female with age rate was 47,61±7,92 years old. Male subjects with CIMT value ≥1,5 mm were higher than female with proportion of 0,72±0,46 (95% CI 0,57- 0,87; p=0,0003). The possibility of plaque increased in subjects with higher LDL- HDL ratio. Analyzis of >75% quartile compared with lower quartile gave OR 4,15 (95% CI 1,74-9,89; p=0,001) and after being adjusted still gave higher possibility of plaque (OR 3,95; 95% CI 1,39-11,22; p=0,01). Area under curve was 0,8262.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meilani Kumala
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Survai Kesehatan Rumah Tangga 1992, menunjukkan angka kematian penyakit kardiovaskular di Indonesia telah menduduki urutan pertama. Platelet mempunyai peranan dalam terbentuknya aterosklerosis yang merupakan penyebab terjadinya penyakit kardiovaskular. Asupan asam lemak tak jenuh w-3 dalam makanan sehari-hari dapat mempengaruhi fungsi platelet yang meliputi menurunkan agregasi platelet dan pembentukan Tromboksan A2 (TXA2). Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh suplementasi asam lemak tak jenuh w-3 terhadap agregasi platelet dan TXA2 pada orang sehat. Penelitian dilakukan tehadap 11 orang laki-laki sehat, berusia 30-55 tahun dan tidak merokok.
Penelitian dilakukan dalam 3 periode yaitu periode pengamatan, periode suplementasi dan periode setelah suplementasi dengan masing-masing periode 21 hari lamanya. Dalam periode suplementasi, setiap subjek penelitian tiap hari mendapat 6 kapsul w-3 yang setara dengan 6 gram asam lemak tak jenuh w-3 dan mengandung 1080 mg EPA dan 720 mg DHA. Pada setiap awal periode dan pada akhir penelitian dilakukan pemeriksaan agregasi platelet dan TX A2. Pada saat yang lama juga dilakukan analisis asupan makanan.
Hasil dan Kesimpulan : Nilai rata-rata agregasi platelet pada awal periode pengamatan, awal periode suplementasi, hari pertama dan hari ke 22 periode setelah suplementasi berturut-turut adalah 57,10 ± 7,91; 56,62 ± 10,15; 49,97 ± 10,24 dan 61,12 ± 7,8. Hasil uji t berpasangan terhadap agregasi platelet pada awal periode suplementasi dengan awal periode pengamatan menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05). Hasil uji t berpasangan terhadap agregasi platelet pada hari pertama periode setelah suplementasi dengan awal periode suplementasi dan pada hari ke 22 dengan hari pertama periode setelah suplementasi ternyata terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asam lemak tak jenuh w-3 dapat menurunkan agregasi platelet pada orang sehat. Data kadar TXA2 dalam penelitian ini tidak dapat diperoleh dengan lengkap pada ke tiga periode. Hanya tiga data kadar TXA yang lengkap diperoleh dari ke tiga periode tersebut oleh karena itu, tidak dapat dilakukan analisis statistik terhadap kadar TXA2. Dengan demikian pengaruh asam lemak tak jenuh terhadap pembentukan TXA2 dalam penelitian ini belum dapat disimpulkan.

Scope and Method of Study : Household survey 1992, showed mortality rate of cardiovascular disease in Indonesia has become the highest. Platelets have a role in atherosclerosis formation leading to cardiovascular disease. Dietary intake of w-3 polyunsaturated fatty acids can influence platelet function including the decrease of platelet aggregation and thromboxane A2 (TXA2) formation. The purpose of this study is to evaluate the effect of w-3 polyunsaturated fatty acids supplementation on platelet aggregation and TXA2 in healthy men. The subjects were 11 healthy men, 30 - 55 years of age and non smokers.
The study conducted in three periods ; the run in period, the supplementation period and the post supplementation period, which each of lasted 21 days. During the supplementation period, each subject was administered 6 omega-3 capsules which equal 6 grams of w-3 polyunsaturated fatty acids and containing 1080 mg EPA and 720 mg DHA. Platelet aggregation and TXA2 measurement were conducted at the beginning of each period and the end of the study. At the corresponding points of time dietary intake analysis were also carried out.
Findings and Conclusions : The mean value of platelet aggregation at the beginning of the run in period, the beginning of supplementation period, the first and the twenty second day of the post supplementation period were 57,10 ± 7,91; 56,62 ± 10,15; 49,97 ± 10,24 and 61,12 ± 7,82, respectively. T test dependent statistical analysis on platelet aggregation in the beginning of supplementation period against at the beginning of the run in period showed no significant change (p>0,05). T test dependent statistical analysis on platelet. aggregation at the first day of post supplementation period against at the beginning of supplementation period also at the twenty second day against the first day of the post supplementation period showed that there were significant change (p<0,05).
It can be concluded that in healthy men supplementation of w-3 polyunsaturated fatty acids decreased platelet aggregation. Data of TXA2 levels in this study could not be completely obtained from all the three periods. Since only three datas of TXA2 could be obtained completely, no statistical analysis could be made. The effect of supplementation of w-3 polyunsaturated fatty acids on TXA2 formation in this study is still inconclusive.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Purcahyo
"Tujuan akhir yang diharapkan dari pemberian trombolitik adalah terbukanya arteri koroner penyebab infark (Patency Infarc Related Artery), perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan penurunan angka kematian. Pada saat pemberian trombolitik yaitu dengan streptokinase terjadi defibrinasi awal yang hebat yang dapat dievaluasi dengan pemeriksaan waktu trombin dan kadar fibrinogen. Defibrinasi awal yang hebat setelah pemberian streptokinase yang ditunjukkan dengan adanya perpanjangan waktu trombin merupakan jaminan lebih efektifnya trombolisis dan lebih besar terbukanya arteri koroner penyebab Infark (Patency Infarc Related Artery) sehingga dengan demikian lebih baik menjaga fungsi ventrikel kiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara waktu trombin dan kadar fibrinogen dengan fungsi ventrikel kiri pada infark miokard akut yang diberikan streptokinase. Dilakukan penelitian pada 24 pasien penderita IMA yang diberikan streptokinase dengan onset kurang dari 12 jam, terdiri dari laki-laki 22 orang (91, 8%) dan wanita 2 orang (8,28) dengan umur rata-rata 57,7 (SD 9,89) tahun. Pemeriksaan dilakukan terhadap waktu trombin dan kadar fibrinogen sebelum pemberian streptokinase dan 1 jam setelah selesai pemberian streptokinase. Didapatkan penurunan yang bermakna kadar fibrinogen dari 360,4 (SD 100,5) mg/dl menjadi 32, 10 (SD 7,52) Mg/d1 setelah pemberian dengan p < 0,001. Waktu trombin memanjang secara bermakna dari 12,95 (SD 1, 11) detik menjadi 51,5 (SD 23,9) detik setelah pemberian (p < 0,001) Terdapat hubungan antara waktu trombin setelah pemberian streptokinase dengan FEVK pada seluruh pasien infark, dengan r = 0, 42 dengan nilai kemaknaan p = 0,04 dan lebih bermakna pada pasien infark anterior, r = 0,59 p = 0,023. Berarti bahwa perpanjangan waktu trombin berhubungan secara bermakna dengan tingginya nilai FEVK walaupun hubungan tersebut tidak kuat. Sedangka untuk infark inferior hubungan tersebut r = 0,48 lemah namun p = 0,1 tidak bermakna. Terdapat hubungan lemah tidak bermakna antara variabel fibinogen dengan FEVK, dengan r = -0,18, p = 0,39. Tidak terdapat hubungan bermakna antara onset dengan perpanjangan waktu trombin (p=0, 36) dan tingginya nilai FEVK (p = 0,24). Kesimpulan: Perpanjangan waktu trombin 1 jam setelah pemberian streptokinase berhubungan secara bermakna dengan tingginya nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hervin Ramadhani
"ABSTRAK
Latar belakang.
Pada pasien SA fraksi ejeksi ventrikel kiri dapat normal bahkan supra normal untuk
jangka waktu yang lama walaupun proses remodeling ventrikel kiri sudah mulai terjadi..
Ekokardiografi speckle tracking dua dimensi (EST) mempunyai kelebihan untuk
digunakan dalam menilai penurunan fungsi kontraktilitas miokard subklinis, dimana
keadaan tersebut dapat mempengaruhi prognosis pasien SA. sST2 merupakan biomarker
yang relatif baru, dapat meningkat pada regangan otot jantung (myocardial stretch),
fibrosis, inflamasi, dan injuri miokard, apakah berhubungan dengan disfungsi dini
ventrikel kiri masih belum diketahui.
Tujuan. Mengetahui korelasi sST2 terhadap nilai GLS EST pada pasien SA berat dengan
FEVK normal
Metode. Merupakan studi potong lintang. Evaluasi dilakukan pada 29 pasien stenosis
aorta berat dengan fraksi ejeksi normal yang datang ke poliklinik RS Jantung Harapan
Kita periode Februari 2015 sampai November 2015. Dilakukan pengambilan figur
ekokardiografi untuk menilai severitas SA dan untuk perhitungan nilai global longitudinal
strain speckle tracking kemudian dilakukan pengambilan sampel darah di laboratorium
RS Jantung Harapan Kita untuk menilai sST2.
Hasil Penelitian. Dua puluh sembilan subjek ikut dalam penelitian ini dengan rerata usia
adalah 59.7±12.1 tahun. Fungsi intrinsik ventrikel kiri pasien SA berat pada penelitian ini
mengalami penurunan dengan nilai rerata GLS -11±4.5%. Hasil uji korelasi menunjukan
terdapat korelasi positif dengan kekuatan korelasi sedang yang bermakna (r=0.429,
p=0.02). Analisis multivariat tetap menunjukkan adanya hubungan antara kadar sST2
dengan nilai GLS EST (r=0,282 p=0.036).
Kesimpulan. Terdapat korelasi sST2 dengan global longitudinal strain speckle tracking
pada pasien SA berat dengan fraksi ejeksi normal.ABSTRACT
Background. In severe aortic stenosis (AS), cardiac performance measured at the
ventricular chamber is typically normal or supranormal, whereas Global Longitudinal
Strain providing comprehensive information on LV myocardial contractility and is
superior in detecting subtle deteriorations. Impaired LV GLS is associated mortality risk
and reflect fibrosis. sST2 is a novel biomarker of mechanical stress, fibrosis, inflamation,
and myocardial injury. Whether sST2 is increased in relation to the subclinical LV
dysfunction assessed by GLS in AS is unknown.
Objectives. To study correlation beetwen sST2 and GLS in patients with AS severe
Methods. This is a correlation study with cross sectional design. The subject was aortic
stenosis severe patient (aortic valve area <1.0 cm2) with preserved EF (>50%) at our
outpatient clinic in Harapan Kita Hospital from February 2015 until Novenber 2015. A
comprehensive transthoracic echocardiography was performed to evaluate severity of
aortic stenosis. and echocardiographic figure recordings were stored in digital for off-line
subsequent GLS analysis. sST2 measurements were drawn after echocardiography.
Results. Twenty nine patient were enrolled in this study. The mean ages was 59.7±12.1
years. left ventricle intrinsic function in aortic stenosis patient was decreased with GLS 11±4.5%.
A
Pearson
correlate
revealed
significant
positive
correlation
between
sST2
and
GLS
(r=0.429, p=0.02). Multivariate analysis with introduced confounding factor still
showed a positive correlation between sST2 and GLS (r=0,282 p=0.036).
Conclusion. This cross sectional study demonstrated a moderate correlation between
sST2 with left ventricle global longitudinal strain speckle tracking in patients with severe
aortic stenosis with preserved EF.
;Background. In severe aortic stenosis (AS), cardiac performance measured at the
ventricular chamber is typically normal or supranormal, whereas Global Longitudinal
Strain providing comprehensive information on LV myocardial contractility and is
superior in detecting subtle deteriorations. Impaired LV GLS is associated mortality risk
and reflect fibrosis. sST2 is a novel biomarker of mechanical stress, fibrosis, inflamation,
and myocardial injury. Whether sST2 is increased in relation to the subclinical LV
dysfunction assessed by GLS in AS is unknown.
Objectives. To study correlation beetwen sST2 and GLS in patients with AS severe
Methods. This is a correlation study with cross sectional design. The subject was aortic
stenosis severe patient (aortic valve area <1.0 cm2) with preserved EF (>50%) at our
outpatient clinic in Harapan Kita Hospital from February 2015 until Novenber 2015. A
comprehensive transthoracic echocardiography was performed to evaluate severity of
aortic stenosis. and echocardiographic figure recordings were stored in digital for off-line
subsequent GLS analysis. sST2 measurements were drawn after echocardiography.
Results. Twenty nine patient were enrolled in this study. The mean ages was 59.7±12.1
years. left ventricle intrinsic function in aortic stenosis patient was decreased with GLS 11±4.5%.
A
Pearson
correlate
revealed
significant
positive
correlation
between
sST2
and
GLS
(r=0.429, p=0.02). Multivariate analysis with introduced confounding factor still
showed a positive correlation between sST2 and GLS (r=0,282 p=0.036).
Conclusion. This cross sectional study demonstrated a moderate correlation between
sST2 with left ventricle global longitudinal strain speckle tracking in patients with severe
aortic stenosis with preserved EF.
;Background. In severe aortic stenosis (AS), cardiac performance measured at the
ventricular chamber is typically normal or supranormal, whereas Global Longitudinal
Strain providing comprehensive information on LV myocardial contractility and is
superior in detecting subtle deteriorations. Impaired LV GLS is associated mortality risk
and reflect fibrosis. sST2 is a novel biomarker of mechanical stress, fibrosis, inflamation,
and myocardial injury. Whether sST2 is increased in relation to the subclinical LV
dysfunction assessed by GLS in AS is unknown.
Objectives. To study correlation beetwen sST2 and GLS in patients with AS severe
Methods. This is a correlation study with cross sectional design. The subject was aortic
stenosis severe patient (aortic valve area <1.0 cm2) with preserved EF (>50%) at our
outpatient clinic in Harapan Kita Hospital from February 2015 until Novenber 2015. A
comprehensive transthoracic echocardiography was performed to evaluate severity of
aortic stenosis. and echocardiographic figure recordings were stored in digital for off-line
subsequent GLS analysis. sST2 measurements were drawn after echocardiography.
Results. Twenty nine patient were enrolled in this study. The mean ages was 59.7±12.1
years. left ventricle intrinsic function in aortic stenosis patient was decreased with GLS 11±4.5%.
A
Pearson
correlate
revealed
significant
positive
correlation
between
sST2
and
GLS
(r=0.429, p=0.02). Multivariate analysis with introduced confounding factor still
showed a positive correlation between sST2 and GLS (r=0,282 p=0.036).
Conclusion. This cross sectional study demonstrated a moderate correlation between
sST2 with left ventricle global longitudinal strain speckle tracking in patients with severe
aortic stenosis with preserved EF.
;Background. In severe aortic stenosis (AS), cardiac performance measured at the
ventricular chamber is typically normal or supranormal, whereas Global Longitudinal
Strain providing comprehensive information on LV myocardial contractility and is
superior in detecting subtle deteriorations. Impaired LV GLS is associated mortality risk
and reflect fibrosis. sST2 is a novel biomarker of mechanical stress, fibrosis, inflamation,
and myocardial injury. Whether sST2 is increased in relation to the subclinical LV
dysfunction assessed by GLS in AS is unknown.
Objectives. To study correlation beetwen sST2 and GLS in patients with AS severe
Methods. This is a correlation study with cross sectional design. The subject was aortic
stenosis severe patient (aortic valve area <1.0 cm2) with preserved EF (>50%) at our
outpatient clinic in Harapan Kita Hospital from February 2015 until Novenber 2015. A
comprehensive transthoracic echocardiography was performed to evaluate severity of
aortic stenosis. and echocardiographic figure recordings were stored in digital for off-line
subsequent GLS analysis. sST2 measurements were drawn after echocardiography.
Results. Twenty nine patient were enrolled in this study. The mean ages was 59.7±12.1
years. left ventricle intrinsic function in aortic stenosis patient was decreased with GLS 11±4.5%.
A
Pearson
correlate
revealed
significant
positive
correlation
between
sST2
and
GLS
(r=0.429, p=0.02). Multivariate analysis with introduced confounding factor still
showed a positive correlation between sST2 and GLS (r=0,282 p=0.036).
Conclusion. This cross sectional study demonstrated a moderate correlation between
sST2 with left ventricle global longitudinal strain speckle tracking in patients with severe
aortic stenosis with preserved EF.
;Background. In severe aortic stenosis (AS), cardiac performance measured at the
ventricular chamber is typically normal or supranormal, whereas Global Longitudinal
Strain providing comprehensive information on LV myocardial contractility and is
superior in detecting subtle deteriorations. Impaired LV GLS is associated mortality risk
and reflect fibrosis. sST2 is a novel biomarker of mechanical stress, fibrosis, inflamation,
and myocardial injury. Whether sST2 is increased in relation to the subclinical LV
dysfunction assessed by GLS in AS is unknown.
Objectives. To study correlation beetwen sST2 and GLS in patients with AS severe
Methods. This is a correlation study with cross sectional design. The subject was aortic
stenosis severe patient (aortic valve area <1.0 cm2) with preserved EF (>50%) at our
outpatient clinic in Harapan Kita Hospital from February 2015 until Novenber 2015. A
comprehensive transthoracic echocardiography was performed to evaluate severity of
aortic stenosis. and echocardiographic figure recordings were stored in digital for off-line
subsequent GLS analysis. sST2 measurements were drawn after echocardiography.
Results. Twenty nine patient were enrolled in this study. The mean ages was 59.7±12.1
years. left ventricle intrinsic function in aortic stenosis patient was decreased with GLS 11±4.5%.
A
Pearson
correlate
revealed
significant
positive
correlation
between
sST2
and
GLS
(r=0.429, p=0.02). Multivariate analysis with introduced confounding factor still
showed a positive correlation between sST2 and GLS (r=0,282 p=0.036).
Conclusion. This cross sectional study demonstrated a moderate correlation between
sST2 with left ventricle global longitudinal strain speckle tracking in patients with severe
aortic stenosis with preserved EF.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chorniansyah Indriyanto Rahayu
"ABSTRAK
Latar Belakang : Hipertensi merupakan faktor resiko utama penyakit kardiovaskular,
terutama sindrom koroner akut dan stroke. Peningkatan konsumsi garam berhubungan
dengan kenaikan tekanan darah. Beberapa studi randomized-controlled trial (RCT)
menyatakan bahwa konsumsi rendah garam dapat menurunkan tekanan darah pada
populasi dewasa dengan atau tanpa hipertensi. Variabilitas tekanan darah selama 24 jam
bersifat dinamis. Peningkatan darah nokturnal memiliki makna klinis yang cukup besar,
merupakan salah satu prediktor dari penyebab kerusakan target organ, terutama kejadian
kardiovaskular dan stroke. Asupan garam dapat mempengaruhi variasi tekanan darah 24
jam, yang dalam hal ini dapat juga berpengaruh pada hipertensi nokturnal. Obat penyekat
EKA merupakan obat hipertensi lini pertama yang sering digunakan, terutama pada usia
muda dan hipertensi yang disertai sindrom metabolik, mengingat peranan Sistem Renin
Angiotensin memiliki peranan yang sangat penting dalam patofisiologi hipertensi. Asupan
garam juga memiliki peranan pada patofisiologi terjadinya hipertensi dalam sistem Renin
Angiotensin. Sedikit studi yang meneliti perpaduan obat penyekat EKA dengan asupan
rendah garam dalam menrunkan kejadian hipertensi. Oleh karena itu, Menarik untuk diteliti
pengaruh asupan garam dengan tekanan darah nokturnal pada pasien yang mengkonsumsi
obat penyekat EKA.
Tujuan : Menilai pengaruh asupan garam dengan tekanan darah nokturnal pada pasien
hipertensi yang mendapatkan terapi penyekat EKA.
Metode : Pasien poliklinik berusia 30 ? 50 tahun yang terdiagnosis hipertensi dan belum
pernah mendapatkan anti-hipertensi sebelumnya, dibagi menjadi 2 kelompok (asupan
rendah garam (Na <15 g/hari) dan asupan tinggi garam ≥15 g/hari). Kedua kelompok akan
diberikan lisinopril dan dilakukan pemeriksaan natrium urin 24 jam dan home blood
pressure monitoring..
Hasil Penelitian : Sebanyak 80 pasien hipertensi pasien hipertensi yang belum
mendapatkan terapi diikutsetakan dalam penelitian ini, yang terdiri dari 37 pasien
kelompok rendah garam dan 43 pasien kelompok tinggi garam. Kelompok pasien dengan
asupan rendah garam memliki delta penurunan darah nokturnal sistolik (p<0,001),
diastolic (p<0,001), dan rerata arteri (p<0,001) yang lebih besar dibandingkan pada
kelompok asupan tinggi garam. Rerata asupan garam pada penelitian ini sebesar 16,77
gram/hari. Pada analisa multivariat didapatkan delta penurunan tekanan darah tidak
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dislipidemia, IMT, dan durasi tidur.
Kesimpulan : Penelitian ini membuktikan asupan rendah garam dapat mempengaruhi efektivitas terapi penyekat EKA dalam menurunkan tekanan darah nokturnal. ABSTRACT
Background : Hypertension is one of important risk factor of cardiovascular
disease, especially acute coronary syndrome and stroke. High salt intake correlates
to high blood pressure. Some Randomized-Controlled-Trials stated that low salt
intake may decrease blood pressure in adult population with or without
hypertension. Blood pressure variation in 24 hours is not static but dynamically
changes. Increasing nocturnal blood pressure has significantly impacts, and become
one of predictor of target organ damage, especially cardiovascular events and
stroke. Salt intake may interferes both 24 hours blood pressure variation and
nocturnal blood pressure. Angiotensin Converting Enzyme(ACE) Inhibitors is first
drug of choice anti-hypertensive therapy, especially in young age and associated
with metabolic syndrome, due to important role of Renin Angiotensin Aldosterone
System in pathophysiology of hypertension, whereas salt intake also has role in that
system. Only few of studies that had proved combination of ACE Inhibitors and
low salt intake in decreasing blood pressure in hypertension population. Therefore,
it is so important to know the impact of low salt intake to nocturnal blood pressure
in hypertension patient treated with ACE Inhibitors.
Objectives : To know impact of low salt intake to nocturnal blood pressure in
hypertension patient treated with ACE Inhibitors.
Methods : There are 30 ? 50 years old ambulatory patients diagnosed as untreated
hypertension, divided into two groups (low salt intake (Na <15 grams/day) and high
salt intake (≥15 grams/day). Both of groups were administered Lisinopril 10mg and
underwent 24-hours sodium urine collection and home blood pressure monitoring
periodically.
Results : There are 80 ambulatory patients diagnosed as untreated hypertension,
consist of 37 patients in low salt intake group and 43 patients in high salt intake
group. Low salt intake group has lower nocturnal systolic (p<0.001), diastolic
(p<0.001), and mean arterial (p<0.001) blood pressure compared with high salt
intake group. Mean salt intake in this study was 16.77 grams/day. Multivariate
analyzes showed that the difference of decreasing nocturnal blood pressure was not
interfered by age, sex, dyslipidemia, BMI, and sleep duration.
Conclusion : This study has proved that low salt intake may interfere ACE Inhibitors therapy effectiveness in decreasing nocturnal blood pressure.;Background : Hypertension is one of important risk factor of cardiovascular
disease, especially acute coronary syndrome and stroke. High salt intake correlates
to high blood pressure. Some Randomized-Controlled-Trials stated that low salt
intake may decrease blood pressure in adult population with or without
hypertension. Blood pressure variation in 24 hours is not static but dynamically
changes. Increasing nocturnal blood pressure has significantly impacts, and become
one of predictor of target organ damage, especially cardiovascular events and
stroke. Salt intake may interferes both 24 hours blood pressure variation and
nocturnal blood pressure. Angiotensin Converting Enzyme(ACE) Inhibitors is first
drug of choice anti-hypertensive therapy, especially in young age and associated
with metabolic syndrome, due to important role of Renin Angiotensin Aldosterone
System in pathophysiology of hypertension, whereas salt intake also has role in that
system. Only few of studies that had proved combination of ACE Inhibitors and
low salt intake in decreasing blood pressure in hypertension population. Therefore,
it is so important to know the impact of low salt intake to nocturnal blood pressure
in hypertension patient treated with ACE Inhibitors.
Objectives : To know impact of low salt intake to nocturnal blood pressure in
hypertension patient treated with ACE Inhibitors.
Methods : There are 30 ? 50 years old ambulatory patients diagnosed as untreated
hypertension, divided into two groups (low salt intake (Na <15 grams/day) and high
salt intake (≥15 grams/day). Both of groups were administered Lisinopril 10mg and
underwent 24-hours sodium urine collection and home blood pressure monitoring
periodically.
Results : There are 80 ambulatory patients diagnosed as untreated hypertension,
consist of 37 patients in low salt intake group and 43 patients in high salt intake
group. Low salt intake group has lower nocturnal systolic (p<0.001), diastolic
(p<0.001), and mean arterial (p<0.001) blood pressure compared with high salt
intake group. Mean salt intake in this study was 16.77 grams/day. Multivariate
analyzes showed that the difference of decreasing nocturnal blood pressure was not
interfered by age, sex, dyslipidemia, BMI, and sleep duration.
Conclusion : This study has proved that low salt intake may interfere ACE Inhibitors therapy effectiveness in decreasing nocturnal blood pressure.;Background : Hypertension is one of important risk factor of cardiovascular
disease, especially acute coronary syndrome and stroke. High salt intake correlates
to high blood pressure. Some Randomized-Controlled-Trials stated that low salt
intake may decrease blood pressure in adult population with or without
hypertension. Blood pressure variation in 24 hours is not static but dynamically
changes. Increasing nocturnal blood pressure has significantly impacts, and become
one of predictor of target organ damage, especially cardiovascular events and
stroke. Salt intake may interferes both 24 hours blood pressure variation and
nocturnal blood pressure. Angiotensin Converting Enzyme(ACE) Inhibitors is first
drug of choice anti-hypertensive therapy, especially in young age and associated
with metabolic syndrome, due to important role of Renin Angiotensin Aldosterone
System in pathophysiology of hypertension, whereas salt intake also has role in that
system. Only few of studies that had proved combination of ACE Inhibitors and
low salt intake in decreasing blood pressure in hypertension population. Therefore,
it is so important to know the impact of low salt intake to nocturnal blood pressure
in hypertension patient treated with ACE Inhibitors.
Objectives : To know impact of low salt intake to nocturnal blood pressure in
hypertension patient treated with ACE Inhibitors.
Methods : There are 30 ? 50 years old ambulatory patients diagnosed as untreated
hypertension, divided into two groups (low salt intake (Na <15 grams/day) and high
salt intake (≥15 grams/day). Both of groups were administered Lisinopril 10mg and
underwent 24-hours sodium urine collection and home blood pressure monitoring
periodically.
Results : There are 80 ambulatory patients diagnosed as untreated hypertension,
consist of 37 patients in low salt intake group and 43 patients in high salt intake
group. Low salt intake group has lower nocturnal systolic (p<0.001), diastolic
(p<0.001), and mean arterial (p<0.001) blood pressure compared with high salt
intake group. Mean salt intake in this study was 16.77 grams/day. Multivariate
analyzes showed that the difference of decreasing nocturnal blood pressure was not
interfered by age, sex, dyslipidemia, BMI, and sleep duration.
Conclusion : This study has proved that low salt intake may interfere ACE Inhibitors therapy effectiveness in decreasing nocturnal blood pressure."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Priscilla Ardianto
"Latar belakang: Kanker serviks merupakan salah satu jenis kanker terbanyak pada wanita. Studi terdahulu telah mendemonstrasikan hubungan antara proses inflamasi yang dimediasi oleh COX-2 dengan proliferasi sel kanker. Asam salisilat telah diteliti dan berpotensi untuk menjadi terapi antikanker karena dapat menghambat enzim COX.
Tujuan: Penelitian ini diadakan untuk menilai dan membandingkan efek derivat asam salisat teralkilasi terhadap proliferasi sel kanker serviks HeLa.
Metode: Derivat asam salisilat teralkilasi disintesis dengan mereaksikan asam salisilat dan n-alkohol menggunakan teknik esterifikasi Steglich. Sifat fisika dan kimia produk reaksi ditentukan dengan observasi, melting point apparatus, dan pelarutan dalam air. Produk reaksi dianalisa menggunakan teknik kromatografi lapis tipis. Derivat asam salisilat teralkilasi diuji menggunakan teknik MTT untuk mengetahui persentase inhibisi dan nilai IC50 terhadap sel HeLa. Nilai IC50 tersebut dibandingkan dengan nilai IC50 senyawa awal asam salisilat.
Hasil: Profil kromatografi lapis tipis dari asam salisilat teralkilasi menggunakan eluen non-polar (n-heksana:etil asetat = 4:1) adalah: metil salisilat (Rf=0.75), etil salisilat (Rf=0.78), butil salisilat (Rf=0.90), isoamil salisilat (Rf=0.95), dan oktil salisilat (Rf= 0.81). Hasil uji MTT menunjukan bahwa baik asam salisilat maupun derivat teralkilasinya menunjukan aktifitas sitotoksik terhadap sel HeLa.
Diskusi: Semua derivat asam salisilat teralkilasi yang diuji memiliki efek anti-proliferatif yang lebih baik dari senyawa awal asam salisilat. Namun, efek tersebut tidak sebaik efek proliferatif dari obat anti-kanker doxorubicin. Panjang rantai alkil tidak mempengaruhi efek anti-proliferatif. Butil salisilat memiliki efek anti-proliferatif yang terbaik dibandingkan dengan derivat asam salisilat teralkilasi lainnya.
Kesimpulan: Asam salisilat teralkilasi, terutama butil salisilat, memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obat antikanker serviks.

Background: Cervical cancer is one of the most frequently found cancer in women. Various studies have demonstrated the correlation between inflammation mediated by COX-2 enzyme and cancer proliferation. Salicylic acid has been studied for its anti-cancer properties due to its ability in inhibiting COX enzymes.
Purpose: This research was conducted to observe and compare the effects of alkylated salicylic acid derivatives on the proliferation of cervical cancer HeLa cell.
Methods: Alkylated salicylic acid was synthesized by reacting salicylic acid with n-alcohol through Steglich esterification. Its products’ physical and chemical properties were determined by observation, meting point apparatus, and dissolving them in water. The products of reaction were analysed by thin layer chromatography. Alkylated derivatives of salicylic acid were tested using MTT assay to determine their percentage inhibition and IC50 value against HeLa cell. IC50 values were compared with the IC50 value of salicylic acid.
Result: The thin layer chromatography profile for alkylated salicylic acids using non-polar eluent (n-hexane : ethyl acetate = 4 :1 ) are as: methyl salicylate (Rf=0.75), ethyl salicylate (Rf=0.78), butyl salicylate (Rf=0.90), isoamyl salicylate (Rf=0.95), and octyl salicylate (Rf=0.81). The MTT result shows that both salicylic acid and its alkylated derivatives showed cytotoxic activity.
Discussion: All alkylated derivatives of salicylic acid has better anti-proliferative activity compared to salicylic acid, however those properties were lacking compared to established anti-cancer drug doxorubicin. The length of alkyl chain was not related with anti-proliferative activity. Out of all alkylated salicylic acid derivatives, butyl salicylate had the best anti-proliferative activity
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Budiono
"Shear stress tinggi terbukti berkaitan dengan penglepasan dan peningkatan sintesa EDRF, khususnya nitrogen monoksida (NO). Telah diketahui bahwa konsep respon endotil terhadap shear stress mendasari perbaikan fungsi endotil pada penelitian in vitro maupun in vivo. Penelitian mengenai efek olah raga terhadap fungsi endotil pada binatang percobaan maupun penderita gagal jantung, menjelaskan dugaan bahwa stimulus peningkatan aliran darah yang berlangsung lama, dapat merangsang pemulihan disfungsi endotil. Adanya peningkatan aliran darah (shear stress) juga telah dibuktikan pada penderita yang menjalani enhanced external counterpulsation (EECP), sehingga diduga akan menimbulkan respon yang mirip dengan aktivitas olah raga, yaitu pelepasan NO oleh sel endotil. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah terdapat peningkatan kadar NO plasma pada penderita penyakit jantung koroner yang mendapat perlakuan EECP. Dilakukan penelitian eksperimental dengan desain pra-pasca pada 20 penderita penyakit jantung koroner (PJK), di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama periode Mei - Juli 1999. Seluruh penderita berjenis kelamin laki koronerangiografi dengan hasil 9 (47,4%) penderita dengan penyempitan di tiga pembuluh koroner utama, 5 (26,3%) penderita dengan penyempitan laki, dengan rerata umur 58,1 ± 7,72 tahun, telah menjalani pemeriksaan dua pembuluh koroner utama dan 5 (26,3%) penderita dengan penyempitan pada satu pembuluh koroner utama. Satu orang penderita dikeluarkan dari penelitian karena akan operasi tumor paru. Seluruh penderita tersebut mendapat perlakuan EECP satu jam perhari sampai tiga puluh enam kali, minimal lima kali seminggu. Setelah puasa 12 jam, pengambilan sampel darah dari vena kubiti dilakukan sesaat sebelum EECP pertama dimulai dan sesaat sesudah EECP pertama selesai. Pengambilan sampel darah berikutnya dilakukan sesaat sebelum dan sesudah EECP ke tiga puluh enam. Kadar NO plasma diukur secara tidak langsung memakai reagen Griess. Analisa statistik dilakukan dengan uji non parametrik Wilcoxon sign rank test untuk distribusi tidak normal atau paired t test bila distribusi sampel normal, menggunakan perangkat Sigma Stat Jandel Scientific Software 1994. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kadar NO sebelum dan sesudah EECP ke-1 (p-0,046), sebelum EECP ke-1 dan sebelum EECP ke-36 (p=0,003) dan kadar NO sesudah EECP ke-36 dan sebelum EECP ke-1 (p=0,002). Sedangkan efek langsung peningkatan kadar NO pada EECP ke-36 tidak signifikan (p=0,181). Dari analisa statistik, kelompok umur < 60 tahun, memiliki peningkatan signifikan kadar NO3 dibanding dengan NO (p= 0,043) dibanding dengan kelompok umur ≥ 60 tahun (p= 0,077). Data tersebut memperlihatkan bahwa pada kelompok usia < 60 tahun memiliki respon lebih baik terhadap perlakuan EECP kumulatif dibandingkan dengan kelompok usia > 60 tahun. Keadaan ini sejalan dengan konsep bahwa proses penuaan berpengaruh terhadap fungsi endotil. Pengelompokan berdasar jumlah vessel disease memperlihatkan adanya peningkatan signifikan rerata kadar NO3 dibandingkan dengan NO (p=0,04) dan NO4 dengan NO1 (p=0,015) pada kelompok 1-2 vessel disease, sedangkan kelompok 3 vessel disease hanya terjadi peningkatan signifikan kadar NO4 dibandingkan dengan NO, (p=0,021). Peningkatan kadar NO yang belum signifikan, sekalipun telah mendapat perlakuan EECP 35 kali, mencerminkan bahwa perlakuan tersebut belum cukup adekuat untuk meningkatkan kemampuan memproduksi NO. Hal ini sesuai dengan penelitian Neunteufl dkk, yang mengatakan bahwa luasnya stenosis arteri koroner sebanding dengan luasnya disfungsi endotil sistemik. Seperti halnya pada organ lain, proses pemulihan fungsi akan sangat dipengaruhi oleh seberapa berat gangguan fungsi yang dihadapi. Secara umum hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Daisuke Masuda, dkk. Mereka, menggunakan tehnik pemeriksaan kadar NO dengan reagen Griess, melaporkan bahwa pada 11 pasien PJK yang dilakukan EECP selama 35 kali mengalami kenaikan rerata kadar NO dari 50 ± 26 menjadi 108 ± 9 uMolar/ L. Penelitian yang dilakukan oleh Giu-Fu Wu dkk, juga melaporkan terjadinya kenaikan rerata kadar NO secara signifikan pada 43 pasien PJK sejak jam pertama (1,26 ±0,06 menjadi 1,48 0,06 mg/ L, (1 pg/ul = 1μM)) dan kenaikan kadar NO tertinggi terjadi setelah EECP ke-36 (2,11 ± 0,20 mg/l). Kenaikan kadar NO diikuti penurunan kadar endotelin-1 sehingga rasio endotelin-1/ NO turun bermakna dari 96,37 5,95 menjadi 35,15 ± 4,39. Pada populasi penelitian kami, kadar basal NO lebih rendah. Populasi penelitian Masuda memiliki rerata kadar basal NO pra EECP 50 ± 26 Mol/L, sedangkan populasi penelitian kami 12,30 ± 6,82 µMol/L. Kadar NO basal yang lebih rendah mungkin menggambarkan kondisi disfungsi endotil yang lebih berat. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya ialah; 1. Jumlah sampel kecil. 2. Tidak dilakukan pemeriksaan pada beberapa hal yang dapat mempengaruhi respon endotil terhadap stimulus shear stress seperti kadar gula darah dankadar kolesterol. KESIMPULAN:
1. Terjadi peningkatan kadar NO pada penderita PJK yang diberi perlakuan EECP
2. Pada kelompok usia kurang dari 60 tahun terjadi peningkatan kadar NO yang lebih tinggi daripada kelompok usia lebih dari 60 tahun.
3. Pada kelompok 2 vessel disease terjadi peningkatan kadar NO yang lebih tinggi daripada kelompok 3 vessel disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57279
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Mei Lestari
"Tindakan bedah perlu dilakukan pada semua penderita Tetralogi Fallot (TF) untuk melakukan koreksi kelainan anatomi. mengatasi simptom serta memperbaiki status hemodinamik. Keberhasilan bedah total koreksi tidak hanya terlihat pada berkurangnya tekanan pada ventrikel kanan, tidak adanya defek residual, tapi juga preservasi miokardium yang merupakan hal penting untuk morbiditas dan mortalitas. Timbulnya radikal bebas pada saat iniuri reperfusi adalah salah satu penyebab menurunnya fungsi ventrikel yang terjadi sewaktu pembedahan pada penderita TF. Pada percobaan binatang terdapat hubungan antara diet asam lemak tak jenuh dengan produksi radikal bebas. Timbul pemikiran apakah ada hubungan antara komposisi asam lemak tak jenuh atau rasio asam arakidonat (AA) dan asam ekosapentanoat(EPA) plasma dengan produksi radikal bebas dan fungsi ventrikel pascabedah jantung TF Dilakukan penelitian cross sectional terhadap 26 penderita TF yang menjalani bedah koreksi di RS Jantung Harapan Kita periode Mei s/d November 1997, dari jumlah ini 6 orang dikeluarkan dari penelitian oleh karena telah menjalani bedah pirai sebelumnya dan saturasi oksigen> 85%. Terdapat 20 penderita terdiri 10 laki-laki dan 10 wanita dengan usia 74,20±56,20 bulan. Analisa stasistik dilakukan dengan cara Wilcoxon dan Spearman rank Correlation. Hasil penelitian didapatkan kadar AA 17,34±11,15 µg. kadar EPA 1,25±0,9 pg dan rasio AA/EPA 16,62±9,42. Terdapat peningkatan yang bermakna dari lipid peroksida selama tindakan operasi ( 0,29±1,03 vs 0,61±0,28 µM, p= 0,0001) Tidak terdapat hubungan antara rasio AA/EPA dengan peningkatan radikal bebas Terdapat hubungan antara peningkatan radikal bebas darah dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r-0,45 dan t= 2,4) Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara rasio AA/EPA plasma dengan peningkatan radikal bebas, dan terdapat hubungan antara peningkatan radikal bebas darah dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Herry
"Latar belakang masalah : pada bedah pintos koroner (BPK) yang bertujuan memperbaiki miokard, dapat terjadi suatu keadaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, fenomena ini dikenal sebagai injuri reperfusi. Salah satu hipotesis patofisiologi injuri reperfusi adalah pembentukan radikal bebas oksigen (RBO), dimana RBO yang sangat reaktif dan sitotoksik akan merusak membran fosfolipolipid sel sehingga terbentuk peroksida lipid. Salah satu sumber RBO yang penting berasal dari metabolisme arakidonat. Kadar asam arakidonat (AA) yang tinggi pada membran sel akan meningkatkan produksi RBO. Sebaliknya, diit suplementasi asam ekosapentanoat (AEP) terbukti menurunkan produksi RBO meskipun mekanismenya belum diketahui. TuJuan penelltlan : untuk membuktikan bahwa terjadi peningkatan peroksida lipid pascapintas jantung-paru (PJP), rasio AEP/AA dalam plasma berhubungan dengan peningkatan produksi peroksida lipid dan terdapat hubungan rasio AEP/AA dengan parameter klinis injuri reperfusi pada penderita PJK yang dilakukan BPK. Bahan dan Cara kerJa : penelitian ini bersifat observasional dengan jumlah sampel 20 penderita, semuanya laki-laki, belum pemah dilakukan angioplasti atau BPK sebelumnya, fraksi ejeksi ~ 50% berdasarkan kateterisasi koroner dan tidak minum obatobat yang mempengaruhi aktivitas radikal bebas. Kriteria eksklusi : kadar kreatinin serum > 2 mg/dl, terdapat gangguan fungsi hepar dan sedang dalam pengobatan kortikosteroid. Sampel darah diambil dari sinus koronarius sebelum PJP untuk pemeriksaan kadar AEP, AA dan peroksida lipid, kemudian 5-10 menit sesudah PJP darah diambil lagi untuk pemeriksaan peroksida lipid, semua pemeriksaan dilakukan dengan alat HPLC (high performance liquid chromatography). Parameter klinis injuri reperfusi yang dinilai adalah kejadian arimia reperfusi dan cardiac index. Hasll penelltlan : didapatkan kadar AEP rataan 1,971 I 1,716 j.lgT, kadar AA rataan 25,386 I 12,657 pgr dan rasio AEP/AA rataan 0,08 I 0,05. Kadar peroksida lipid sesudah PJP meningkat sangat bermakna dibanding sebelum PJP (0,802 I 0,281 vs 0,532 I 0,13 J.ITT1ol/L, p = 0,0003) dengan peningkatan peroksida lipid (8 PL) rataan sebesar 0,27 ::t 0,336 f.lTT1ol/L. Analisis regresi linier menunjukkan hubungan yang bermakna antara AEP us 8 PL (/3 = 0,798, p = 0,000), AA us 8 PL (/3 = 0,451, p = 0,046) dan rasio AEP/AA us 8 PL (/3 = 0,509, p = 0,022) sedangkan uariabellain seperti lama klem aorta, lama mesin PJP dan jumlah tandur tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Pada analisis regresi multipel, hanya kadar AEP yang menunjukkan hubungan bermakna dengan peningkatan peroksida lipid (/3 = 1,084, p = 0,03). Terhadap parameter klinis injuri reperfusi, hanya rasio AEP/AA yang menunjukkan hubungan bermakna dengan aritmia reperfusi (p = 0,044), sedangkan terhadap cardiac index tidak menunjukkan hubungan bermakna. Demikian pula, kadar peroksida lipid sesudah PJP tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan parameter klinis injuri reperfusi. Keslmpulan : teTjadi peningkatan peroksida lipid pasca PJP, terdapat hubungan antara rasio AEP/AA dalam plasma dengan produksi peroksida lipid dan terdapat hubungan antara rasio AEP/AA dalam plasma dengan kejadian aritmia reperfusi pada penderita PJK yang dilakukan BPK. Saran : agar dilakukan penelitian lanjutan berupa pene/itian kasus-kontrol yang bertujuan untuk memperbaiki rasio AEP/AA sebagai upaya pencegahan terhadap injuri reperfusi yang akan teTjadi pada penderita PJK yang dilakukan BPK."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T58340
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vallas Aditiar Widodo
"Menjadi kanker terbanyak ke empat yang dialami oleh wanita, diagnosis yang cepat dan tepat diperlukan dalam tatalaksana kanker serviks. Terdapat beberapa cara dalam diagnosis kanker serviks, seperti colposcopy dan biopsi. Namun masih terkendala dengan waktu yang terlalu lama, biaya yang besar, dan interpretasi hasil pada manusia yang kerap kali berbeda. Seriring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan akan teknologi baru meningkat untuk mengatasi kendala tersebut. Differential Scanning Calorimetry (DSC) menjadi suatu pilihan dalam mengkarakteristikan nilai profil termogram yang khas ada pada sel kanker serviks mengingat DSC sangat sensitif terhadap perubahan suhu.
Penelitian ini menggunakan sampel yang dikelompokkan menjadi sel normal serviks, sel kanker serviks HeLa tanpa perlakuan, dan sel kanker serviks HeLa dengan pemberian doxorubicin. Tiap kelompok memuat 4 sampel. Sel dikultur dan di ekstraksi sebanyak 5 mL dengan konsentrasi 2,5 x 108 /ml. Kemudian sel beserta medium RPMI 1640 diambil 10 μl dan diletakkan kedalam DSC-60 plus series (shimadzu) sebagai pembaca nilai profil termogram.
Hasil pembacaan pada DSC berupa grafik yang dianalisis bagian puncaknya untuk mendapatkan komponen nilai profil termogram, yakni titik lebur dan entalpi lebur. Selanjutnya nilai titik lebur dan entalpi lebur dilakukan pengujian dengan uji ANOVA satu arah. Hasil pembacaan DSC menunjukkan adanya 1 puncak transisi pada kelompok sel kanker serviks HeLa tanpa perlakuan. Khususnya pada kelompok sel kanker serviks HeLa dengan pemberian doxorubicin, grafik menunjukkan 2 puncak transisi. Nilai titik lebur dan entalpi lebur pada kelompok sel kanker serviks HeLa tanpa perlakuan adalah 143,12 ± 10,2 oC dan 1,35 ± 0,34 kJ/g Kedua nilai tersebut berbeda bermakna diantara kelompok sel normal serviks serviks dan sel kanker serviks HeLa dengan pemberian doxorubicin. DSC dapat membedakan nilai profil termogram sel kanker serviks HeLa dengan sel normal serviks dan sel kanker serviks HeLa dengan pemberian doxorubicin sehingga DSC diharapkan menjadi pilihan dalam diagnosis dan pemantauan terapi.

Being the fourth most cancer experienced by women, a prompt and appropriate diagnosis is needed in the management of cervical cancer. There are several modalities in the diagnosis of cervical cancer cells, such as colposcopy and biopsy. But there is still obstacles such too long time, large costs, interpretation of results in humans that are often different, and procedures that are less comfortable for patients. Along with the development of science and technology, the need for new technologies is increasing to overcome these obstacles. Differential Scanning Calorimetry (DSC) is an option in characterizing typical thermogram profile values in cervical cancer cells because DSC is very sensitive to temperature changes.
This study used samples grouped into normal cervical cells, untreated HeLa cervical cancer cells, and HeLa cervical cancer cells with doxorubicin administration. Each group contains 4 samples. Cells were cultured and extracted as much as 5 mL with a concentration of 2.5 x 108/ ml. Then the cell with RPMI 1640 medium was taken 10 µl and placed into DSC-60 plus series (shimadzu) as a reader for the thermogram profile value.
The reading results on the DSC in the form of a graph that analyzed the transisional peak to get the thermogram profile value component, which is the melting point and enthalpy change. Furthermore, the value of the melting point and enthalpy changes were tested by one-way ANOVA test. DSC readings showed a transition peak in the HeLa cervical cancer cell group without treatment. Especially in the HeLa cervical cancer cell group with doxorubicin administration, the graph shows 2 transition peaks. Melting point values and enthalpy changes in the HeLa cervical cancer cell group without treatment were 143.12 ± 10.2 oC and 1.35 ± 0.34 kJ/g. Both values were significantly different between normal cervical cell groups and HeLa cervical cancer cells with doxorubicin administration. DSC can differentiate the profile value of the thermogram of HeLa cervical cancer cells with normal cervical cells and HeLa cervical cancer cells by administering doxorubicin so that DSC is expected to be an option in therapeutic diagnosis and monitoring.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>