Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wendy Ivannal Hakim
"Penelitian ini mengenai fenomena bertempat tinggal yang dilakukan oleh beberapa migran Jawa di Balikpapan. Mereka merupakan migran muda berstatus lajang dan kerabat mereka masing-masing yang tergabung dalam unit rumah tangga. Penelitian ini bertujuan memahami fenomena tersebut sebagai persoalan housing dalam keilmuan Arsitektur. Penelitian ini melihat housing sebagai keragaman dan kompleksitas serta memperhatikan aspek mikro kehidupan manusia dan serta dimensi sosio-kultural kehidupan manusia. Hal ini diselami melalui ragam rumah tangga dan keluarga serta tahapan kehidupan manusia. Penelitian ini menyandarkan diri pada perspektif yang melihat rumah sebagai kehadiran, dengan menginvestigasi keberadaan manusia pelakunya serta menguak ide bertinggal mereka. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan khususnya Grounded Theory. Pelaku menamai kegiatan bertinggal ini sebagai “nderek” dan dapat dilihat sebagai koresidensi. Namun “nderek” berbeda dengan varian ko-residensi lainnya pada poin jenis hubungan kekerabatan, wujud dukungan antara kerabat tersebut, dan sutau tahap kehidupan tertentu. “Nderek” merupakan kegiatan merumah dan persoalan bermukim, yang secara khusus mengacu pada ide mukim (dwelling) menurut Heidegger. “Nderek” sebagai dwelling memuat pemahaman bahwa melalui sorge (care) –suatu karakteristik mendasar dari dwelling yang dalam hal ini adalah saling berbagi antar kerabat dalam pengasuhan anak muda menuju “mentas” –para aktor tidak menghadirkan dwelling yang meruang secara terikat di satu lokasi geografis saja, melainkan pada rentangan keterhubungan dan keterbukaan antara dua rumah dan dua daerah.

This research is about housing phenomenon conducted by some Javanese migrants in Balikpapan. They are young single migrants and their respective relatives who are members of the household unit. This study aims to understand this phenomenon as a housing problem in architecture. This study sees housing in diversity and complexity and pays attention to micro aspects and the socio-cultural dimensions of human life. This is explored through the variety of households and families as well as the life courses. This research relies on a perspective that sees the house as an existence, by investigating the existence of the human actors and uncovering their idea of housing. This research employs qualitative research methods and specifically Grounded Theory. The actors name this activity as “nderek” and it can be seen as a coresidency. However, “nderek” differs from other co-residency variants in terms of the type of kinship relationship, the form of support between these relatives, and a certain stage of life. “Nderek” is a housing and also dwelling, which specifically refers to the idea of dwelling according to Heidegger. “Nderek” as a dwelling conveys understanding that through sorge (care) – a fundamental characteristic of dwelling, as in this case is sharing between relatives in nurturing young people towards “mentas” – the actors do not present dwelling that is bounded in one geographic location, but on the gamut of connectedness and openness between two houses and two areas."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olga Nauli Komala
"Urban foodscape merepresentasikan kemelekatan makanan dengan lanskapnya di ruang kota. Berbagai penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa foodscape bersifat nested, interconnected, dan multidimensi. Namun, gagasan foodscape belum memberikan pemahaman bagaimana pengkondisian fit atau kesesuaian dari kehadiran makanan pada lanskapnya. Gagasan form (bentuk) menekankan fitness sebagai pengkondisian yang ideal dari kehadiran makanan pada habitat urban. Habitat urban merujuk pada pengkondisian yang khusus dari lanskap, dengan gagasan form dari foodscape yang tergantung pada konteks spasialnya. Kawasan Pancoran, Glodok, Jakarta, sebagai salah satu urban foodscape, memiliki karakter fisik dan nonfisik sebagai suatu Pecinan, termasuk karakter urban form sebagai struktur pembentuk habitat urbannya. Tujuan penelitian ini adalah menelusuri form dari urban foodscape, yang mengindikasikan fitness dari urban foodscape dan hubungan di antara food patches. Penelitian ini mempertanyakan gagasan form dari urban foodscape pada suatu konteks habitat. Pertanyaan ini merujuk pada kesesuaian atau fitness dari suatu urban foodscape dalam skala makro dan mikro; serta bagaimana relasi antara urban food system dengan berbagai elemen urban form. Metode multilayer yang komprehensif dalam pendekatan studi kasus ini bertujuan untuk menelusuri aspek makanan dan lanskap. Pemodelan habitat urban dengan land mosaic sebagai the puzzle-pieces-plan merujuk pada keberagaman elemen spasial, yang terdiri dari matriks, patch, dan koridor. Patch merupakan unit spasial yang dianalisis sebagai suatu set (himpunan) yang berhubungan dengan urban food system dan urban form. Pemetaan superimposed berfungsi menelusuri enam layer terkait kehadiran makanan, yaitu ruang-ruang yang menghadirkan komoditas makanan; aktivitas dalam urban food system; jenis komoditas makanan; sifat permanen ruang yang menghadirkan komoditas makanan; fungsi sekitar kawasan; dan pusat kegiatan. Temuan pertama mengungkapkan bahwa kawasan Pancoran, Glodok, memiliki sembilan tipe food patch sebagai pengkondisian fit, yaitu food corridor; street food festival; food patch di sekitar pusat kegiatan; food patch di sekitar simpul pergerakan; food patch di ruang kota dengan skala intim; street market; food node; food patch makanan tidak halal; dan transisi antara food patch (embrio atau jejak food patch terdahulu). Temuan kedua mengungkapkan empat tipe relasi antara food patches yaitu relasi set yang sama; bagian; berpotongan atau beririsan; dan saling lepas. Temuan ketiga menekankan food mosaic sebagai gagasan form dari foodscape yang memiliki sifat nested di dalam food patches dan interconnected dalam hubungannya dengan food patches lainnya. Pemahaman mengenai food mosaic akan memberikan panduan arah pengembangan urban foodscape sesuai habitat urbannya.

Urban foodscape represents the attachment of food to its landscape in an urban spatial context. Previous studies reveal that foodscape is nested, interconnected, and multidimensional. However, the idea of foodscape is not sufficient to comprehend how food fits in its landscape. The concept of form highlights fitness as the ideal condition for the presence of food in urban habitat. Urban habitat constitutes a distinctive landscape so that the form of foodscape depends on its spatial context. Pancoran, Glodok, as one of Jakarta’s urban foodscape, has specific physical and non-physical aspects as Jakarta’s Chinatown, which characterize its urban forms as the structure of urban habitat. The objective of this research is to explore the form of urban foodscape in relation to food system and urban form. This research questions the form of foodscape, which indicates the fitness of urban foodscape and the relationship between food patches. A comprehensive multilayered method in this case study is applied to explore the multidimensional aspects of food and landscape. In the case of urban habitat, the approach of land mosaic as the puzzle-pieces-plan refers to the heterogeneity of spatial elements constructed by matrix, patch, and corridor. Patch as a spatial unit is analyzed as a set of urban food systems related to urban forms. The superimposed mapping functions to separate, sequence, and overlay the spatial presence of food patch in urban forms in six layers, such as the layer of food spatial distribution; activities related to food or urban food system; food types; the spatial permanency of food spots; surrounding context; as well as centers of activities around food environment. This research has three findings regarding the concept of urban foodscape form. The first finding discovers that Pancoran, Glodok, has nine types of food patch considered as fitness, such as: food corridor; street food festival; food patch around activities center; food patch around an intersection; food patch in intimate scale; street market; food node; non-halal food patch; and food patch as a transition zone. The second finding reveals four types of relationship between food patches which can be categorized as “including it; being included by it; partially including; and partially excluding it”, in order to be fit in its landscape. Furthermore, the third finding highlights food mosaic as the form of foodscape, which refers to the fitness of part-to-whole-relationship, determined by the relationship between food and the urban form. Food mosaic represents the concept of being nested in food patches and interconnected with other food patches and elements within the food environment. Understanding food mosaic will lead to prescriptive purposes in the development of urban foodscape that fits in its urban habitat."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Mira Sophia
"Kalimantan adalah pulau terbesar ketiga di dunia, yang memiliki ratusan, bahkan ribuan, sungai dan anak sungai. Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, dengan panjang 1.143 kilometer, merupakan sungai terpanjang di Indonesia, yang selama berabad-abad telah membentuk masyarakat yang berkebudayaan sungai, dalam wujud kota-kota tepi sungai dari hulu hingga hilir sungai-sungainya. Dengan mengangkat 'lanting', salah satu bentuk permukiman tepi sungai di Kalimantan, penelitian ini ingin mengungkap fenomena kehadiran permukiman tepi sungai dalam konstitusi masyarakat perkotaan di Kalimantan. Ekologi politik digunakan sebagai pendekatan untuk mengungkap proses-proses sosial, ekonomi dan politik serta lingkungan pada permukiman lanting, untuk memberikan makna yang lebih mendalam terhadap hubungan kota dan sungai, yang merupakan representasi hubungan manusia dan alam yang kompleks. Lokasi studi adalah Kota Sintang, Kalimantan Barat. Penelitian di lapangan dilaksanakan dalam rentang waktu Oktober 2016 hingga Januari 2018. Partisipan berjumlah 25 orang, dengan penentuan partisipan melalui teknik purposive sampling dan snowball sampling, untuk menghasilkan sampel ilustratif. Data-data diolah dengan mengikuti kaidah teori beralas klasik (classic grounded theory), yang meliputi tahapan pengodean terbuka, penyusunan kategori dan properti (sub kategori) serta kategori inti, yang dijalin oleh proses penulisan memo dan perbandingan konstan hingga mencapai tahap saturasi. Penelitian ini menghasilkan usulan teori substantif baru yaitu 'urbanisme jejaring berbasis sungai' atau 'urbanisme dendritik' yang menawarkan cara pandang baru dalam memahami permukiman tepi air perkotaan sebagai manifestasi dari 'nexus' sosial-ekonomi-politik-lingkungan yang kompleks.

Borneo is the third-largest island in the world, boasting hundreds, if not thousands, of rivers and tributaries. The Kapuas River in West Kalimantan, with a length of 1,143 kilometers, is the longest river in Indonesia, which for centuries has shaped the culture of the community. By using 'lanting', a form of a river settlement in Kalimantan, this study aims to reveal the phenomenon of the river settlements in the constitution of urban society. Political ecology is used as an approach to reveal social, economic, and political as well as environmental processes in the lanting settlement, to give a deeper understanding of the relationship between the city and the river, which represents a complex relationship between human and nature. The study was conducted in Sintang City, West Kalimantan. In carrying out this research, the Glaserian grounded theory method is used. Field research was carried out in the period from October 2016 to January 2018, at two lanting settlements in Sintang City: Pasar Durian and Tanjung Puri, with 25 participants, which were chosen following the purposive and snowball sampling. This research produces a new substantive theory, 'river-based network urbanism' or 'dendritic urbanism' which offers a new perspective in understanding urban waterfront settlements as a manifestation of a complex socio-economic-political-environmental 'nexus'. The political ecology itself can be seen as a novelty to fill the methodological gap in architectural research and urban settlement studies."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aristyowati
"Disertasi ini bertujuan menelusuri interaksi dinamis antara fungsi ekologis; estetika dan budaya; serta sosial dan ekonomi dalam pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial-spasial; dari sudut pandang persepsi pengunjung, kelompok pedagang kaki lima, dan kebijakan pemerintah; melalui pendekatan campuran yang terdiri dari metode kuantitiatif survei dan metode kualitatif studi kasus. Kesetaraan sosial-spasial dalam penelitian ini akan meninjau terlebih dulu faktor aksesibilitas dan ketersediaan RTH, berupa pilot project taman-taman kantung di Jakarta. Penelitian ini kemudian mengeksplorasi fenomena sosial kehadiran RTH sebagai daya tarik ekonomi yang memberi peluang bagi Ruang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah melalui studi kasus di Kawasan Setu Babakan. Penelitian ini menemukan bahwa baik pengunjung maupun Pedagang Kaki Lima (PKL) menyoroti perlunya akses yang adil terhadap RTH sebagai ruang publik. Studi kasus di Kawasan Setu Babakan ini menjadi spesifik karena kehadiran enam tipe apropriasi warung PKL yang secara spontan muncul di ruang interstisial antara Ruang Terbuka Hijau-Biru dan lahan yang dimiliki masyarakat. Hal ini menggarisbawahi tantangan pemerintah dalam merancang kebijakan yang mencapai aspek sosial-spasial yang legal, inklusif, dan adil. Perpaduan unik antara nilai-nilai budaya, sosial, dan lingkungan tersebut kemudian memosisikan kembali pemahaman bagaimana RTH secara multifungsi dapat memenuhi beragam kebutuhan sekaligus meningkatkan kesejahteraan warga kota.

This dissertation explores the dynamic interactions between ecology; aesthetics and culture, and social and economic aspects in the use of Green Open Space (GOS). This research uses a social-spatial approach; from the perspective of visitors, street vendors, and government policy; through a mixed methods of quantitative survey and qualitative case study. Socio-spatial analysis will review the accessibility and availability of GOS in the form of pilot projects for pocket parks in Jakarta; then explores the social phenomenon of GOS presence as an economic attraction that provides opportunities for Micro, Small and Medium Enterprises through a case study in the Setu Babakan area. This research found that both visitors and street vendors highlighted the need for equal access to GOS. The case study in the Setu Babakan area is specific because of the presence of six types of street vendor’s appropriation spontaneously appear in the interstitial space between the Blue-Green Open Space and private land. This underlines the government's challenge in designing policies that achieve socio-spatial aspects that are legal, inclusive and equal. The combination of cultural, social and environmental values repositions the understanding of how multifunctional GOS can meet various needs while improving the welfare of citizen."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library