Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Muchtar
"Dewasa ini demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Tetapi masih terdapat kesulitan dalam menegakkan diagnosis demam tifoid secara tepat dan cepat. Sampai saat ini isolasi S.typhi dari penderita merupakan baku emas diagnosis demam tifoid. Namun yang menjadi permasalahan adalah membutuhkan waktu yang lama (sampai 7 hari). Selain itu hasilnya dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain metoda yang dipakai dan pemberian antimikroba sebelumnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dikembangkan suatu alat otomatis Bactec. Prinsip ke~a alat ini berdasarkan deteksi adanya C02 yang merupakan sisa metabolisme kuman, dan dimonitor secara otomatis tiap 10 menit. Selain
itu dalam media Bactec terdapat resin yang dapat menetralisir antimikroba. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Bactec dapat memberikan sensitivitas yang lebih baik dan waktu deteksi yang lebih cepat dibandingkan dengan biakan menggunakan media empedu. Selanjutnya ingin mengetahui pola kepekaan S.typhi terhadap beberapa antimikroba dan profil leukosit pada penderita dengan biakan positif. Subyek penelitian ini adalah 100 penderita demam tifoid yang dirawat di RS Persahabatan Jakarta, mulai bulan Januari 1997 sampai Agustus 1997. Dari hasil penelitian didapatkan 66 isolat positif pada Bactec dan 40 isolat positif pada media empedu, keduanya didapat perbedaan bermakna (p = 0,0000). Semua biakan positif pada media empedu positif pada Bactec. Rerata waktu deteksi S.typhi pada Bactec 4,03 hari dan pada media empedu 5,00 hari, keduanya didapatkan perbedaan bermakna (p = 0,0002). Hasil uji kepekaan : S. typhi sensitif terhadap kloramfenikol 98,48%, Ampisilin dan kotrimoksazol masingmasing
94,45%, seftriakson, sefoperazon, sefotaksim, siprofloksasin dan pefloksasin masing-masing 100%. Didapatkan profil leukosit sebagai berikut : jumlah leukosit normal 57,58%, aneosinofilia 74,24%,
neutropenia 46,97% dan limfositosis 56,06%. Aneosinofilia dan limfositosis mempunyai korelasi dengan biakan positif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betty Kalianda
"ABSTRAK
Infark miokard akut (IHA) merupakan Salah satu penyebab kematian utana pada orang dewasa. Dalam usaha untuk menurunkan angka kematian, diagnosis dini IHA dan komplikasinya amat penting agar penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan tepat. Diagnosis IHA pada umumnya ditegakkan dengan gejala klinis, pola elektrokardiogram dan hasil pemeriksaan enzim. Yang menjadi masalah gejala klinis ataupun pola elektrokardiogram sering tidak khas. Oleh karena itu penting sekali penilaian tes enzim. Penelitian ini bertujuan mencari pola perubahan aktivitas CK dan CK-HB pada IHA, menilai cara-cara pemeriksaan CK-HB yang tersedia, menilai kemampuan diagnostik dari tes CK, LDH dan iso-enzim keduanya, serta mendapatkan protokol kerja tes enzim untuk diagnosis IMA. Telah diteliti 12 penderita IHA yang tidak mendapat terapi
streptokinase, 15 penderita angina pektoris (AP) dan 10 orang sehat. Terhadap penderita INA diambil darah vena serial pada saat masuk rumah sakit, kemudian 8, 16, 24 dan 48 jam pasca infark. Sedangkan pada penderita AP dan orang sehat diambil darah vena satu kali saja. Dari darah dipisahkan serumnya lalu aktivitas CK dan CK-HB diperiksa secara kuantitatif dengan teknik imunoinhibisi. LDH total diperiksa dengan metode kinetik dan isoenzim CK serta LDH diperiksa secara elektroforesis. Hasil penelitian menunjukkan pola perubahan aktivitas CK sudah neningkat pada 4 jam pasca infark, mencapai puncak pada jam ke 20 dan masih didapatkan peningkatan pada 48 jam pasca infark. Pola CK-HB menyerupai pola CK total, namun aktivitas puncak dicapai 4 jam lebih cepat dan umumnya aktivitas enzim sudah kembali normal pada 48 jam pasca infark. Penilaian kedua metode pemeriksaan CK-HB menunjukkan korelasi yang baik hanya pada aktivitas enzim yang tinggi. Teknik imunoinhibisi mempunyai kelebihan dalam pengerjaannya yang relatif mudah dan cepat, namun kurang spesifik. Sedangkan teknik elektroforesis mempunyai kelebihan dapat mendeteksi adanya isoenzim atipik; nanun pada scanning dapat menunjukkan hasil overestimates terutama pada aktivitas yang rendah, selain itu pengerjaannya relatif sulit dan lama. Heskipun demikian kedua cara menunjukkan penampilan klinis yang sama baiknya. Kemampuan diagnostik tes enzim secara serial menunjukkan efisiensi lebih baik dari pada secara tunggal. Efi siensi tes CK, CK-HB dan rasio LDH1/LDH2 pada pemeriksaan serial masing-masing menunjukkan hasil 1002. Diusulkan Protokol kerja tes enzim untuk diagnosis IHA sebagai berikut: bila penderita datang sebelum 24 jam dari saat serangan maka dilakukan tes CK total (bila mungkin juga CK-HB) serial dimulai pada saat masuk rumah sakit kemudian B, 16, 24 dan 48 jam dari saat setangan; sedangkan bila 24 jam telah lewat maka dilakukan tes LDH dengan atau tanpa tes rasio LDH1/LDH2.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danielle Tahitoe
"ABSTRAK
Infeksi virus hepatitis ditemukan di seluruh dunia dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Dari semua infeksi virus hepatitis yang paling penting adalah Hepatitis B (WHO,1982).
Diperkirakan di dunia terdapat sekitar 300 juta karier virus hepatitis B (VHS) kronis (WH0,1988). Prevalensi karier terendah terdapat di Amerika Utara dan Eropa Barat (0,1-0,5 %) sedangkan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara dan Afrika Sub Sahara (8-20%).
Di dunia sebagian besar karier VHB nya terdapat di Asia menyusul Afrika (WHO,1988).
VHB mengakibatkan manifestasi klinis berupa hepatitis B akut dan berbagai komplikasinya. VHB sangat penting dalam epidemiologi penyakit, bila dikaitkan dengan karier VHB kronis yang dapat merupakan sumber penularan bagi lingkungannya (WH0,1988).
Karier VHB dapat ditentukan bila dalam darahnya mengandung hepatitis B surface antigen (HBsAg). Adanya HBsAg dapat diukur dengan cara radio immuno assay (RIA) atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Selain HBsAg dalam darah pengidap juga dapat (hepatitis B "e"antigen ) dan anti HBe.
Prevalensi HBsAg di Indonesia berkisar 5 - 10% dan di beberapa daerah mencapai 15% - 19%. Keadaan ini membuat Indonesia tergolong daerah dengan endemisitas hepatitis B sedang sampai tinggi. Tingginya prevalensi HBsAg dan petanda VHB lainnya pada penyakit hati kronis, terutama karsinoma hepatoseluler menimbulkan dugaan bahwa penyakit hati kronis di Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan infeksi VHB (Sulaiman,1987).
Sebelum penemuan HBsAg oleh Blumberg pada tahun 1964, diperkirakan bahwa penularan virus hepatitis terjadi secara parenteral, yaitu melalui penyuntikan darah dari pengidap. Lebih lanjut diperjelas bahwa cara penularan klasik VHB dengan jalan parenteral justru hanyalah merupakan bagian kecil saja dari cara penyebaran VHB (Prince, 1970 ; Blumberg, 1970).
Pada awal penelitian penderita Hepatitis B di negara tropis, diketahui bahwa sebagian besar penderita hepatitis B tidak mempunyai riwayat mendapat suntikan, transfusi darah atau cara penularan lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi oleh virus."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca Rosa Tanihatu
"Penyakit ginjal merupakan masalah yang besar di seluruh dunia. Permasalahan yang timbul di negara maju berbeda dengan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Jumlah penderita gagal ginjal kronik (GGK) di Indonesia khususnya Jakarta,
cukup banyak dan mempunyai banyak faktor penyebab. Tindakan hemodialisis (HD) merupakan Salah satu pengobatan untuk penderita GGK disamping transplantasi ginjal. Tetapi tindakan ini dapat menimbulkan beberapa komplikasi antara lain penurunan kadar asam folat dengan segala akibatnya.
Tujuan penelitian ini untuk menentukan prevalensi defisiensi Serta perubahan kadar asam folat dan vitamin B12 pada kelompok GGK dan GGK pasca HD dengan pemberian asam folat 20 mg/bari. Selain itu juga menentukan klasifikasi anemia pada GGK
berdasarkan morfologi eritrosit dan melihat efektivitas pemberian aaam folat sebanyak 20 mg/hari pada penderita GGK pasca HD.
Penelitian ini dilakukan terhadap 50 penderita GGK tanpa tindakan HD, 20 penderita GGK pasoa HD dengan suplementasi asam folat sebanyak 20 mg/hari dan vitamin B12 2 ug dalam tablet Unioap-M selama 24 - 36 minggu. Sebagai kelompok kontrol dipakai 20 penderita penyakit ginjal tampa gagal ginjal. Terhadap ketiga kelompok ini dilakukan pemeriksaan kadar asam folat eritrosit dan serum Serta vitamin B12 dengan cara CPB menggunakan kit Vitamin B12/falaf dual count Amersham CT_301_ Pemeriksaan parameter Hb, Ht, hitung eritrosit, VER, HER dan KHER dilakukan
dengan penghitung sel darah otomatis. Hitung Rt dilakukan dengan pulasan vital Brilliant cresyl blue, sedangkan sediaan hapus darah tepi dipulas dengan pewarnaan Wright.
Pada penelitian ini belum dapat dipastikan adanya defisiensi asam folat pada kedua kelompok GGK (dibandingkan kontrol). Kadar asam folat eritrosit kelompok GGK (nt= 208 ng/mL) lebib rendah dari pada kontrol (nt= 504 ng/mL)(p <0,05). Hal yang sama dijumpai pada kelompok GGK pasca HD (nt= 407 ng/mL). Kadar aaam folat serum kelompok GGK (nt = 4,2 ng/mL) sama dengan kadar asam folat serum GSK pasca HD. Kadar asam folat serum pada kelompok GGK tampa HD maupun GGK pasca HD,
lebih tinggi dari kelompok kontrol (nt = 2,9 ng/mL)(p > 0,05).
Kadar vitamin B12 serum pada kelompok GGK (865 pg/mL) dan GGK pasea HD (1043 pg/mL} lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (351 pg/mL).
Enam puluh persen penderita GGK, 65% GGK pasca HD- dengan suplementasi asam folat dan 90% kelompok kontrol memberikan gambaran anemia normositik normokrom. Pemeriksaan hematologi seperti Hb, Ht dan hitung eritrosit pada kedua kelompok yang
diteliti memberikan basil lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hipersegmentasi pada kedua kelompok GGK tidak disebabkan defisiensi asam folat dan /vitamin B12, tetapi mungkin disebabkan proses degenerasi leukosit.
Kadar Hb, Ht dan hitung eritrosit pada kedua kelompok GGK lebih rendah dibandingkan kontrol (p < 0,05). Tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna pada pemeriksaan nilai eritrosit rata-rata, dan indeks produksi Rt antara kedua kelompok GGK
dibandingkan kontrol.
Hitung leukosit kelompok GGK tanpa HD lebih tinggi dibandingkan kontrol (p >0,05) dan GGK pasea HD (p <0,05). Hitung trombosit kelompok GGK tampa HD lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (p > 0,05}, tetapi lebih tinggi dibandingkan kelompok GGK pasca HD (p <0,05).
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan nilai rujukan asam folat eritrosit dan serum, Serta vitamin B12 serum untuk orang Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Setiawan Fakkar
"Patogenesis insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dihubungkan dengan proses autoimun yang merusak sel beta pankreas, sedangkan non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) dihubungkan dengan resistensi insulin. Namun pada sebagian penderita NIDDM juga dapal ditemukan proses autoimun dan penderita tersebut biasanya dalam beberapa tahun akan berkembang menjadi defisiensi insulin absolut. Salah satu petanda proses autoimun sel beta pankreas adalah anti glutamic acid decarboxylase (GAD) Tujuan penelitian ini pertama untuk menentukan prevalensi anti GAD pada penderita IDDM, NIDDM yang mendapat insulin dan NIDDM yang tidak memerlukan insulin. Tujuan kedua untuk menentukan prevalensi anti GAD pada IDDM dihubungkan dengan etnis, lama penyakit, usia saat diagnosis, jenis kelamin dan riwayat keluarga. Tujuan ketiga untuk menilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP) dan nilai prediksi negatif (NPN) anti GAD untuk menentukan keperluan insulin pada penderita NIDDM Tujuan keempat untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara lama terapi oral pada penderita NIDDM yang mendapat insulin dengan status dan kadar anti GAD. Tujuan kelima untuk mengetahui kadar anti GAD pada penderita IDDM dan NIDDM serta hubungannya dengan lama penyakit Subjek penelitian adalah 32 penderita IDDM, 40 penderita NIDDM yang mendapat insulin dan 40 penderita NIDDM tidak memerlukan insulin yang berobat jalan di Poliklinik Subbagian Endokrin Bagian limu Penyakil Dalam dan Bagian llmu Kesehatan Anak FKUI-RSUPNCM Pada kelompok NIDDM usia saat diagnosis harus > 35 tahun. Pada kelompok NIDDM yang tidak memerlukan insulin, kadar glukosa darah harus terkontrol (HbA1c 4-8%) dan lama penyakit minimal 5 tahun. Pada kelompok NIDDM yang mendapat insulin, sebelumnya glukosa darah pernah terkontrol dengan diet dan atau obat hipoglikemik oral (OHO) minimal selama 6 bulan Pemeriksaan anti GAD menggunakan kit Diaplets anti GAD dari Boehringer Mannheim dengan metode ELISA Pemeriksaan HbA1c menggunakan kit HbA1c Unimate 3 dari Roche dengan metode imunoturbidimetri. Analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan Fisher's exact. Pada penelitian ini didapatkan prevalensi anti GAD pada IDDM, NIDDM yang mendapat insulin dan NIDDM yang tidak memeriukan insulin masing-masing berturut-turut 28,1%, 7,5% dan 0% Prevalensi anti GAD pada IDDM tidak berbeda bermakna dihubungkan dengan etnis, lama penyakit, usia saat diagnosis, jenis kelamin dan riwayat keluarga (P > 0,05) Sensitivitas. spesifisitas, NPP dan NPN anti GAD untuk menentukan keperluan insulin pada NIDM masing masing berturut-turut 7,5%, 100%, 100% dan 51,9%. Penderita NIDDM dengan anti GAD positif cenderung lebih cepat memerlukan insulin dibandingkan penderita NIDDM dengan anti GAD negatif, namun kadar anti GAD tidak berhubungan dengan makin cepat atau lambatnya penderita memerlukan insulin. Kadar anti GAD pada NIDDM cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan IDDM Kadar anti GAD pada IDDM dan NIDDM tidak berhubungan dengan lama penyakit Pemeriksaan anti GAD dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pemeriksaan tambahan pada penderita NIDDM saat diagnosis pertama kali ditegakkan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurul Qomariyah
"ABSTRAK
Dalam upaya penatalaksanaan penderita penyakit kelenjar tiroid, harus dibuat diagnosis anatomik atau etiologik untuk mengetahui penyebab yang mendasari penyakit dan diagnosis fungsional untuk mengetahui status produksi hormon tiroid. Pemeriksaan laboratorium sangat berguna dalam membedakan fungsi kelenjar tiroid tersebut termasuk hipotiroid, eutiroid atau hipertiroid.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemeriksaan TSH-sensitif metode IRMA dan ICMA dapat membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dengan kata lain apakah pemeriksaan tersebut dapat dipakai sebagai uji saring untuk hipertiroidisme. Disamping itu ingin mendapatkan nilai rujukan TSH-IRMA dan ICMA yang dapat dipakai di UPF Patologi Klinik FKUI/RSCM.
Subyek penelitian adalah 35 penderita hipertiroidisme, terdiri atas 25 orang wanita dan 10 orang laki-laki, berusia 21-59 {30,2) tahun. Sebagai kontrol adalah 70 orang yang mempunyai fungsi kelenjar tiroid eutiroid, terdiri atas 40 laki-laki dan 29 perempuan, berusia 15-73 (37) tahun. Kriteria diagnostik didasarkan pada temuan klinik dan hasil pemeriksaan laboratorium FT4I. Terhadap subyek penelitian dan kontrol dilakukan pemeriksaan T4 total, T3U, TSH-IRMA (DPC) dan TSH-ICMA (Amerlite).
Hasil pemeriksaan kontrol: T4=4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I=0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA=O,25-3,60 (1,38) mIU/L dan TSH-ICMA=0,54-3,12 (1,34) mIU/L. Terdapat korelasi terbalik antara nilai T4 total, T3U dan FT4I dengan TSH-IRMA maupun TSH-ICMA. Tidak terdapat perbedaan nilai TSH kontrol laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat hubungan antara umur dan nilai TSH. Nilai rujukan TSH-IRMA = 0,39-3,63 mIU/L, dan TSH-ICMA = 0,49-2,97 mIU/L.Hasil pemeriksaan penderita hipertiroid: T4 = 16,0->24 ng/dL; T3U=30,3-43,7 (38,3)7.; FT4I = 5,36->10,49; 31 (88,51.) orang mempunyai nilai TSH-IRMA dan ICMA tidak terukur dan, 4 Orang mempunyai nilai TSH-IRMA 0,09; 0,12; 0,16; 0,18 dan TSH-ICMA 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. Nilai TSH-IRMA dan TSH-ICMA penderita hipertiroid berbeda bermakna dengan kontrol eutiroid. Terdapat korelasi antara nilai TSH-IRMA dengan TSH-ICMA (r = 0,9922). Nilai TSH-ICMA lebih rendah 6,6% dibanding TSH-IRMA. Nilai batas deteksi TSH-IRMA = 0,09 mIU/L dan TSH-ICMA = 0,04 mIU/L. Biaya per tes TSH-IRMA lebih mahal dibanding TSH-ICMA, karena pemeriksaan TSH-IRMA harus dilakukan in duplo. Pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH-ICMA sensitif secara analitik dan klinik untuk diagnosis hipertiroidisme.
Kesimpulan penelitian ialah pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH﷓ICMA mampu membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dan dapat dipakai sebagai uji saring hipertiroidisme. Batas deteksi pemeriksaan TSH-ICMA lebih rendah dari pada TSH-IRMA. Nilai rujukan TSH-IRMA berbeda dengan TSH-ICMA.
Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subyek penelitian dan kontrol (penderita rawat tinggal dan rawat jalan) yang lebih banyak agar dapat ditentukan nilai batas TSH untuk diagnosis hipertiroidisme, dan mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat. Disarankan pula untuk menilai kemampuan pemeriksaan TSH untuk memantau pengobatan hipertiroidisme dan pengobatan hormon tiroid.

In managing patients with thyroid diseases, an anatomical or etiological diagnosis should be made for knowing the basic causes, and functional diagnosis for knowing the thyroid hormone production. Laboratory tests are necessary to differentiate whether the condition is hypothyroid, euthyroid or hyperthyroid.
The goal of this study was to know whether TSH-IRMA and ICMA tests can clearly differentiate hyperthyroid patients from euthyroid, and whether this test can be used as the first test for hyperthyroidism. More over, to determine the reference range of TSH-IRMA and ICMA which can be used in the Departement of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo hospital / Faculty of Medicine University of Indonesia.
The subjects of this study were 35 patients with hyperthyroidism. They consist of 25 women and 10 men, who were 21-59 (30,2) years old. We took 70 people who were in euthyroid condition, about 15-73 (37) years old as controls. The criteria of diagnosis were based on clinical finding and FT4I test. Subjects and controls were examined for total T4, T3U, TSH-IRMA (DPC) and TSH-ICMA (Amerlite) levels.
Values of the controls were T4 = 4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I = 0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA = 0,25-3,60 (1,3B) mIU/L and TSH-ICMA = 0,54-3,12 (1,34) mIU/L. There was negative correlation between total T4, T3U or FT4I level and TSH-IRMA or TSH-ICMA. There was no difference between TSH level in male and female controls. No correlation was found between age and TSH level. The reference value of TSH-IRMA was 0,39-3,63 mIU/L and TSH-ICMA was 0,49-2,97 mIU/L.
The level of total T4, T3U and FT4I in hyperthyroid were 16,0->24 ng/dL, 30,3-43,7 (38,3)7 and 5,36-7.10,49 respectively. TSH-IRMA and TSH-ICMA value were undetectable in 31(88,5%) persons, and 4 persons have TSH-IRMA level of 0,09; 0,12; 0,16; 0,1B and TSH-ICMA level of 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. TSH﷓IRMA and TSH-ICMA level in hyperthyroid were significantly lower than in euthyroid.
There was a good correlation between TSH-IRMA and TSH-ICMA (r = 0,9922). T5H-ICMA was 6,6% lower than TSH-IRMA. The detection limit of TSH-IRMA was 0,09 mIU/L and TSH-ICMA was 0,04 mIU/L. One TSH-IRMA test was more expensive than one TSH-ICMA test, because TSH-IRMA test must be performed in duplicate. TSH-IRMA and TSH-ICMA assays were analytically and clinically sensitive and specific for diagnosing hyperthyroidism.
In conclusion, TSH-IRMA and TSH-ICMA assays could clearly differentiate hyperthyroid from euthyroid patients, and suitable as screening tests for hyperthyroidism. The detection limit of TSH-ICMA was lower than T5H-IRMA. The reference range of TSH-IRMA was different from TSH-ICMA.
Further study with more subjects is still needed to determine TSH lower limit value for diagnosing hyperthyroidism and a more acceptable reference value. We suggest another study to evaluate TSH values in controlling treatment of hyperthyroidism and thyroid hormones supplementation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Witono Santoso
"ABSTRAK
Talasemia β merupakan penyakit herediter yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan fisik maupun mental. Penyebaran penyakit ini terutama bersifat etnis dan adanya perkawinan antar bangsa menyebabkan angka kejadian semakin tinggi dan merata.
Penemuan penderita talasemia β heterozigot berdasarkan pemeriksaan analisis Hb dinilai mahal dan cukup sulit.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pola kadar HbA2 dan HbF penderita talasemia β heterozigot serta gambaran parameter hematologis penderita talasemia β heterozigot dan talasemia β-HbE; mendapatkan fungsi diskriminasi yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring talasemia β heterozigot serta menilai perubahan kadar HbA2 pada talasemia β heterozigot yang disertai defisiensi besi setelah pengobatan besi selama 3 bulan.
Dari bulan Maret 1988 sampai akhir tahun 1990 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM telah dilakukan pemeriksaan analisis Hb terhadap 740 contoh darah penderita. Sejumlah 31,1% (230/740) didiagnosis sebagai talasemia β heterozigot dan sejumlah 2,2% (16/740) sebagai talasemia β-HbE. Rasio penderita wanita terhadap pria adalah 1,1:1 untuk talasemia β heterozigot dan 1,67:1 untuk talasemia β-HbE. Pola HbA2
normal HbF tinggi merupakan bentuk talasemia β heterozigot yang paling sedikit ditemukan, namun mempunyai gambaran parameter hematologis yang lebih berat dibandingkan pola lainnya.
Kadar Hb pada talasemia β heterozigot berkisar antara 5,8-16,5 g/dl dengan rata-rata 11,63 g/dl dan pada talasemia β-HbE antara 3,2-8,2 g/dl dengan rata-rata 6,10 g/dl. Nilai Ht pada talasemia β heterozigot berkisar antara 20,9-57,1% dengan rata-rata 35,48% dan pada talasemia β-HbE antara 9,4-26,5% dengan rata-rata 19,57%. Terdapat kadar Hb dan nilai Ht yang lebih rendah secara bermakna pada penderita talasemia β heterozigot dibandingkan talasemia bentuk HbA2 tinggi. Demikian juga halnya pada penderita wanita dibandingkan pria.
Hitung eritrosit pada penderita talasemia β heterozigot berkisar antara 2,20-8,27 juta/μl dengan rata-rata 4,67 juta/μl dan pada talasemia p - HbE antara 1,54-4,08 juta/μl dengan rata-rata 3,01 juta/μl. Pada penderita wanita hitung eritrosit lebih rendah dibandingkan penderita pria.
Nilai VER pada penderita talasemia β heterozigot berkisar antara 55-111 fl dengan rata-rata 76,9 fl, sedangkan pada talasemia β-HbE antara 52-80 fl dengan rata-rata 64,7 fl. Nilai HER pada penderita talasemia β heterozigot antara 15,1-33,5 pg dengan rata-rata 25,19 pg dan pada talasemia β-HbE 17,0-23,9 pg dengan rata-rata 20,27 pg. Kedua parameter ini berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.
Hitung trombosit yang meningkat pada talasemia β heterozigot, dan talasemia β-HbE, karena peningkatan eritrosit mikrositik dan poikilosit yang terukur sebagai trombosit. Hitung retikulosit absolut yang meningkat dengan RPI normal menunjukkan terjadinya eritropoisis yang tidak efektif.
Pada 3 penderita talasemia β heterozigot dengan defisiensi besi setelah diobati besi diperoleh peningkatan kadar HbA2 dari rata-rata 2,56% sebelum pengobatan menjadi 4,95% pada akhir pengobatan disertai peningkatan kadar feritin serum.
Fungsi diskriminasi Hb+(4xHER)-(0,5xVER)-83, memberikan sensitifitas 73%, spesifisitas 95% dan efisiensi 76,3%. Fungsi diskriminasi 4,657.(0, lxHb)-SASARAN-MIKR, memberikan sensitifitas 92%, spesifisitas 100% dan efisiensi 95%. Dengan menggunakan gabungan kedua fungsi tersebut diperoleh peningkatan sensitifitas, spesifisitas dan efisiensi sampai 100%.
Kesimpulan penelitian ini adalah Talasemia β heterozigot pola HbA2 tinggi HbF normal merupakan pola paling banyak ditemukan. Talasemia β heterozigot dan talasemia β-HbE mengakibatkan terjadinya perubahan parameter hematologis. Perubahan ini meliputi kadar Hb, nilai Ht, nilai VER & HER, hitung trombosit dan hitung retikulosit absolut serta morfologi eritrosit pada sediaan hapus darah tepi. Pada penderita wanita perubahan parameter ini menjadi semakin nyata.
Kadar HbA2 dipengaruhi oleh anemia defisiensi besi. Dengan demikian pemeriksaan kadar HbA2 pada penderita dengan dugaan adanya anemia defisiensi besi, sebaiknya dilakukan setelah penderita diobati terlebih dahulu.
Fungsi diskriminasi yang terdiri dari parameter hematologis sebagai variabel dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring talasemia β heterozigot. Karena fungsi diskriminasi berbeda antara satu alat dengan alat yang lain, maka dianjurkan mencari fungsi diskriminasi yang sesuai untuk masingmasing alat tersebut.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fuisal Muliono
"Selama kehamilan terjadi perubahan hormonal dan metabolik yang kompleks pada wanita hamil, yang dapat memperlihatkan gambaran klinik klasik mirip hipertiroid, sehingga diagnosis hipertiroid pada masa kehamilan menjadi lebih sulit. Perubahan hasil tes fungsi tiroid pada masa kehamilan lebih mempersulit lagi diagnosis tersebut, sehingga perlu dicari parameter yang relatif tidak dipengaruhi kehamilan. Diharapkan pemeriksaan kadar TSH dapat menggantikan parameter yang dipakai sekarang.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui adakah perbedaan kadar TSH antara wanita hamil dengan wanita tidak hamil dan antara wanita hamil trimester II dengan trimester III. Selain itu untuk mendapatkan nilai rujukan kadar TSH pada wanita hamil.
Dari bulan April sampai September 1990 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI- RSCM telah dilakukan pemeriksaan kadar TSH-IRMA terhadap 30 orang wanita usia subur dan 60 orang wanita hamil trimester II, pemeriksaan diulang kembali pada kehamilan trimester III.
Kadar TSH-IRMA pada 30 orang wanita usia subur berkisar antara 0,4 - 3,1 mIU/l dengan nilai rata- rata 1,2 mIU/l. Kadar TSH-IRMA 60 orang wanita hamil trimester II berkisar antara 0,2 - 3,1 mIU/1 dengan nilai rata- rata 1,26 mIU/l. Nilai rujukan kadar TSH-IRMA wanita hamil trimester II adalah 0,29-3,73 mIU/1. Dan kadar TSH-IRMA pada 52 orang wanita hamil trimester III berkisar antara 0,2 - 3,3 mIU/1 dengan nilai rata- rata 1,17 mIU/l. Nilai rujukan kadar TSH-IRMA wanita hamil trimester III adalah 0,26-3,59mIU/1.
Hasil uji distribusi dari ke 3 kelompok data dengan tes Anderson Darling didapat distribusi log Gaussian.
Uji student's t test untuk membandingkan antara wanita usia subur sebagai kontrol dengan wanita hamil trimester II didapat kadar TSH-IRMA ke 2 kelompok tidak berbeda bermakna ( p=O,6955 ). Juga antara kontrol dengan trimester III dan antara trimester II dengan trimester III dengan p=0,7333 dan p=0,297.
Uji korelasi antara trimester II dan trimester III dengan Pearson's r product moment correlation didapat adanya korelasi antara ke 2 kelompok dengan r=0,5783 dan persamaan garis regresi y = 0,6251x± O,38O3.
Kesimpulan penelitian ini adalah kadar TSH wanita usia subur yang tidak hamil tidak berbeda dengan kadar TSH wanita hamil trimester II dan trimester III. Juga tidak terdapat perbedaan antara kadar TSH wanita hamil trimester II dengan trimester III.
Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subjek yang lebih banyak termasuk wanita hamil trimester I untuk mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat.
Juga disarankan melakukan penelitian kadar TSH pada wanita hamil yang menderita hipo/ hipertiroid.

During pregnancy, there are hormonal and metabolic changes, which can mimic the classical picture of hyperthyroid, so diagnosis of hyperthyroid during pregnancy is difficult. The changes of thyroid function test results make the diagnosis even more difficult. It is necessary to find a parameter which is relatively not influence by pregnancy.
The aims of this study are to evaluate the differences of TSH level between pregnant women with non pregnant women and between pregnant women trimester II with trimester III. Beside these, to get the reference range of TSH level in pregnant women.
From April to September 1990 in Department of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo Hospital/ University of Indonesia, 30 women in child bearing period and 60 pregnant women trimester II had been evaluated their TSH-IRMA level, this test had been repeated in pregnancy trimester III.
TSH-IRMA level in 30 women was between 0,4-3,1 mIU/1 (mean : 1,2 mIU/1). In 60 pregnant women trimester II TSH level was between 0,2 - 3,1 mIU/l (mean 1,28 mIU/1). The reference range was between 0,29 - 3,73 mIU/1. In 52 women trimester III TSH-IRMA level was between 0,2 - 3,3 mIU/1 (mean : 1,17 mIU/1). The reference range was between 0,28 - 3,59 mIU/l.
The data of these 3 groups with Anderson Darling's test were found to be log Gaussian distribution.
TSH-IRHA level of pregnant women trimester II and trimester Ill were not significantly different from control. (p = 0,6955 and p = 0,7333). Also between trimester II and trimester III with p = 0, 297.
There is a correlation between trimester II and trimester III' with r = 0,5783 and regression line Y = 0,6251X ± 0,3803.
In conclusions, TSH level in non pregnant woman, did not differ to pregnant women trimester II and trimester III. There was no difference between TSH level trimester II; and trimester III.
We suggest to make the same evaluation with more subject included pregnant women in trimester I for getting more acceptable reference range.
Also we suggest to evaluate TSH level in pregnant women who suffer hypo/ hyperthyroidism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Karmali Ruslim
"Maraton adalah salah satu jenis olah raga aerobik, sehingga sangat memerlukan hantaran oksigen yang baik di otot yang sedang aktif bekerja. Untuk ini diperlukan kadar dan fungsi hemoglobin yang normal, serta adanya perubahan fisiologis dari jantung, paru, pembuluh darah dan otot, untuk dapat bekerja lebih baik. Walaupun demikian, berbagai peneliti melaporkan adanya perubahan hemodinamik yang kurang menguntungkan, seperti misalnya hemokonsentrasi, hemolisis intravaskuler, perdarahan saluran kemih dan perdarahan saluran cerna. Perubahan hemodinamik ini dapat mempengaruhi prestasi atlit.
Oleh karena kadar dan fungsi hemoglobin yang normal sangat dibutuhkan dalam olah raga maraton, maka atlit dengan kelainan hemoglobinopati menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data frekuensi Hbpati pada atlit maraton Indonesia, serta untuk mengetahui pengaruhnya pada perubahan hemodinamik yang dialami atlit maraton Indonesia setelah perlombaan maraton.
Peserta penelitian adalah 35 orang atlit maraton pria yang mengikuti prokiamaton pada tanggal 5 Agustus 1990 di Jakarta. Dari 35 orang ini, yang bersedia untuk meneruskan penelitian sampai selesai berjumlah 17 orang, sedang sisanya 21 orang hanya bersedia untuk diambil bahan pemeriksaan 1x saja, yaitu 1 hari sebelum perlombaan berlangsung.
Didapatkan 17 (48,6%) dari 35 atlit mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 3,6-7,3% dengan 5 orang diantaranya disertai peningkatan kadar HbF berkisar antara 1,02-1,27%. Kelompok ini didiagnosis sebagai talasemia R heterozigot. Empat dari 35 atlit (11,4%) mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 27,20-30,60%. Elektroforesis Hb dengan dapar pH alkali dan asam menunjukkan bahwa ke 4 atlit ini adalah penderita HbE heterozigot. Atlit dengan hasil elektroforesis Hb, kadar HbA2 dan HbF normal, berjumlah 14 orang (40,0%).
Dari 17 orang atlit yang bersedia mengikuti penelitian sampai selesai, 8 atlit (47,1%) didiagnosis sebagai talasemia A heterozigot, 2 atlit (11,7%) sebagai HbE heterozigot dan 7 atlit (41,2%) adalah normal.
Bila dibandingkan hasil pemeriksaan berbagai parameter antara kelompok atlit normal, talasemia dan HbE, maka pada umumnya tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, kecuali pada kadar Hb plasma dan kadar haptoglobin. Kadar Hb plasma atlit kelompok talasemia dan HbE lebih tinggi dibanding atlit kelompok normal. Kadar haptoglobin atlit kelompok talasemia dan HbE lebih rendah dibanding atlit kelompok normal.
Perubahan hemodinamik yang dapat ditemukan pada 17 atlit yang bersedia melanjutkan penelitian sampai selesai adalah hemokonsentrasi dengan penurunan volume plasma rata rata sebesar 5,44%; hemolisis intravaskuler dengan berbagai derajad pada 16 dari 17 atilt (94,12%), dan hematuria pada 3 dari 17 atlit (17,65%). Hemoglobinuria dijumpai pada 5 dari 17 atlit (29,41%). Proteinuria +1-+4 terdapat pada 14 dari 17 atlit (82,30%). Peningkatan jumlah leukosit dalam urin.
Bila ke 17 atlit tersebut dipisahkan menjadi kelompok atlit normal dan talasemia, maka hemokonsentrasi pada kelompok atlit normal sebesar 2,5%, dan hemokonsentrasi pada kelompok atlit talasemia sebesar 9,1%. Tidak terdapat perbedaan hemolisis intravaskuler yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Iskemia ginjal pada kelompok atlit talasemia lebih berat dibanding pada kelompok atlit normal. Prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit normal lebih baik secara bermakna dibanding prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit talasemia.
Tiga hari setelah perlombaan maraton, didapatkan perubahan hemodinamik berupa hemodilusi dengan peningkatan volume plasma rata rata sebesar 3,2%, dibanding keadaan sebelum perlombaan. Hemodilusi pada kelompok atlit normal sebesar 2,7% dan hemodilusi pada kelompok atlit talasemia sebesar 3,2%. Tidak dijumpai lagi hemolisis intravaskuler dan perdarahan saluran kemih serta tanda iskemia ginjal lainnya. Radar haptoglobin dan jumlah eritrosit mulai meningkat, tetapi belum mencapai kadar seperti sebelum perlombaan berlangsung.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library