Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eko Poerwanto
"Latar belakang: Peningkatan suhu tubuh ekstrim menyebabkan denaturasi protein,
terhentinya reaksi enzimatik, hilangnya aktivitas dan integritas membran, serta
memicu terjadinya kerusakan sel. Peningkatan suhu tubuh juga mempengaruhi
terjadinya efek inotropik dan kronotropik positif pada jantung. Diperkirakan bahwa
pajanan panas dapat meningkatkan ekspresi protein Transient Receptor Potential
Vanilloid 1 (TRPV1), Heat Shock Factor 1 (HSF1) dan Heat Shock Protein 70
(Hsp70) pada kardiomiosit berperan penting dalam proses termotoleran dan
aklimatisasi terhadap panas serta berguna sebagai mekanisme adaptasi secara sistemik
dan seluler. Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisis ekspresi TRPV1, HSF1,
dan Hsp70 pada jantung sebagai respons protektif terhadap pajanan panas.
Metode: Penelitian bersifat eksperimental in vivo menggunakan hewan coba tikus
jenis Sprague Dawley (SD) berumur 12 minggu dengan berat badan 200-300 gram di
laboratorium hewan Balitbangkes Kemenkes RI, pada Oktober-Desember 2014.
Sebanyak 28 ekor tikus jantan dengan n=4 pada tiap kelompoknya, dibagi dalam
kelompok Kontrol (K) dan kelompok Perlakuan (P). Kelompok perlakuan terdiri dari
6 subkelompok (kelompok hari ke-1,3,7,10,14 dan 21) mendapatkan pajanan panas di
dalam hyperthermic chamber bersuhu (45oC ± 0.3oC) dan kelembaban relatif (70% ±
3%) selama 60 menit. Dilakukan pengukuran berat badan, suhu kulit, suhu rektal dan
frekuensi denyut jantung. Perubahan morfologi kardiomiosit diamati menggunakan
pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Ekspresi TRPV1, HSF1 dan Hsp70 diperiksa
menggunakan metode imunohistokimia dan ELISA.
Hasil: Penelitian menunjukan pajanan panas 45oC; kelembaban relative 70% selama
60 menit menyebabkan penurunan berat badan sejak hari ke-1 hingga hari ke-21
perlakuan. Terjadi peningkatan suhu kulit, suhu rektal dan heart rate yang puncaknya
terjadi pada hari ke-7, dan menurun mulai pada hari ke-10 sampai pada hari ke-21
meskipun intensitas pajanan panas tetap sama. Hal tersebut menandakan mekanisme
aklimatisasi dan proses termotoleransi telah terjadi pada hari ke-7 perlakuan. Terjadi
penambahan ukuran lebar kardiomiosit dan peningkatan berat pada jantung seiring
lamanya pajanan panas, Hasil ini menunjukkan terjadinya hipertrofi jantung namun
tidak disertai adanya fibrosis. Secara molekuler melalui pemeriksaan Imunohistokimia
dan ELISA pada kardiomiosit menunjukkan ekspresi TRPV1, HSF1 dan Hsp70 yang
bersifat sebagai protein protektif dan kardioprotektor cenderung mengalami
peningkatan sejak hari ke-1 sampai pada hari ke-7 perlakuan dan cenderung menurun
pada hari ke-10 sampai dengan hari ke-21. Perubahan kadar ekspresi TRPV1, HSF1
dan Hsp70 sejalan dengan perubahan yang terjadi pada suhu kulit, suhu rektal dan
heart rate.
Kesimpulan: Pajanan panas pada tubuh memberikan pengaruh pada jantung berupa
terjadinya hipertrofi konsentris disertai adanya peningkatan ekspresi TRPV1, HSF1
dan Hsp70 yang berperan penting sebagai protein protektif dan kardioprotektor
Background: Increased extreme body temperature causes protein denaturation,
cessation of enzymatic reactions, loss of membrane activity and integrity, and triggers
cellular damage. Increased body temperature also affects the occurrence of positive
inotropic and chronotropic effects on the heart. It is postulated that increase in
expression Transient Receptor Potential Vanilloid 1 (TRPV1), Heat Shock Factor 1
(HSF1), Heat Shock Protein 70 (Hsp70) in cardiomyocytes is activated by extreme
temperatures and has an important role in thermotolerance and heat acclimatization
processes -and as a mechanism of systemic and cellular adaptation. The aim of the
study was to analyze the expression of TRPV1, HSF1, and Hsp70 on cardiac muscle
as a protective response to heat exposure.
Methods: This in vivo experimental research was conducted using Sprague-Dawley
(SD) rats (age 12 weeks, 200-300 gram) in animal laboratory National Institute of
Health Research and Development, Indonesian Ministry of Health, October-December
2014. A total of 28 male rats with n = 4 in each group, divided into Control group (K)
and Treatment group (P). The treatment group consisted of 6 sub-groups (i.e.
1,3,7,10,14 and 21 days) received heat exposure in hyperthermic chamber at (45oC ±
0.3oC) and (70% ± 3%) with relative humidity of 60 minutes. Body weight, skin
temperature, rectal temperature and heart rate were measured. Changes in
cardiomyocyte morphology were observed using Hematoxylin-Eosin staining.
Expressions of TRPV1, HSF1 and Hsp70 were examined using immunohistochemical
and ELISA methods.
Results: The results of this study showed that heat exposure at 45oC;70% RH for 60
minutes resulted in weight loss from day 1st to day 21st of the treatment. Peaks
elevation in skin temperature, rectal temperature and heart rate were reached at day
7th, and decreased gradually from day 10th to day 21st even though the intensity of
heat exposure was unchanged. This indicated the mechanism of acclimatization and
thermotolerance process had occurred on the 7th day of heat treatment. There was
increased in the size of the cardiomyocyte width and heart weight along with the
duration of heat exposure. These results indicated the occurrence of heart hypertrophy
but not accompanied by fibrosis. Molecular aspects on cardiomyocytes through
Immunohistochemistry and ELISA showed TRPV1, HSF1 and Hsp70 expression as
protective proteins and cardioprotectors, which tended to increase from day 1st to 7th
day of treatment and decrease gradually on day 10th to day 21st. Changes in
expression levels of TRPV1, HSF1 and Hsp70 coincided with changes in skin
temperature, rectal temperature and heart rate.
Conclusion: Heat exposure to the body induced the development of heart hypertrophy
and coincided with the increased expression of TRPV1, HSF1 and Hsp70 which act as
a protective protein and cardioprotector."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zolaiha
"Latar belakang: Pada pelaksanaan ibadah haji ada ketentuan yang harus dipenuhi oleh setiap jemaah agar pelaksanaan ibadah haji dilaksanakan secara dan sempurna memenuhi syarat, rukun, dan wajib haji. Kebugaran fisik untuk meningkatkan kapasitas pelaksanaan ibadah pada jemaah haji Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh tingkat kebugaran fisik (VO2maks) terhadap ketidaklengkapan pelaksanaan ibadah haji pada jemaah Indonesia tahun 2016 / 1437 H. Metode: Desain penelitian adalah kohort retrospektif, menggunakan cox regression, STATA versi 13.00, untuk menganalisa pengaruh kebugaran terhadap ketidaklengkapan pelaksanaan ibadah haji setelah mengendalikan variabel kovariat, dan mengukur insiden masalah kesehatan. Variabel independen adalah tingkat kebugaran fisik (prediksi VO2maks), variable dependen adalah ketidaklengkapan pelaksanaan ibadah haji, variabel kovariat adalah: karakteristik individu; status Risti, status Istithaah, gelombang keberangkatan, perilaku merokok, pre-existing diseases. Penelitian ini menggunakan data sekunder Siskohatkes Kementerian Kesehatan 2016. Data meliputi data awal hasil pemeriksaan jemaah haji tahap 1 di Puskesmas dalam bentuk Buku Kesehatan Jemaah Haji (BKJH) dan data rawat inap jemaah di Saudi Arabia. Hasil: Hasil analisis multivariat memperlihatkan interaksi antara kebugaran fisik dengan gelombang keberangkatan terhadap ketidaklengkapan ibadah haji. Interaksi Kebugaran cukup dengan gelombang keberangkatan II terhadap ketidaklengkapan ibadah haji berisiko sebesar 3,17 (CI-95% = 1,68-5,97). Interaksi kebugaran kurang dengan gelombang keberangkatan II terhadap ketidaklengkapan ibadah haji berisiko sebesar 7,15 (CI-95% = 3,66-13,96). Kesimpulan: Tingkat kebugaran fisik berpengaruh terhadap ketidaklengkapan pelaksanaan ibadah haji jemaah Indonesia tahun 2016/ 1437 H setelah mengendalikan variabel umur, jenis kelamin, faktor risiko, merokok, gelombang keberangkatan, dan penyakit yang ada sebelumnya

Background: To complete the Hajj pilgrimage and fulfill the religious obligations, there are conditions which must be met by every hajj pilgrim. Physical fitness is one of the important factors that influence the capacity of Hajj pilgrims to complete the Hajj. The aim of this study is to determine the relationship of physical fitness level based on maximal oxygen consumption VO2max associated with incompleteness pilgrimage amongs Indonesian Hajj pilgrims. Methods: A retrospective cohort design study was designed on it. Descriptive statistics were performed on health incidents issues related with sirculatory, respiratory, syndrom metabolic, mental illness, neoplasm, musculoskletal and infectious diseases. Secondary statistical data were gathered from Siskohatkes (the Ministry Of Health’s Hajj surveillance database). The Hajj surveillance database contained data on the preliminary stage of Hajj health assessments from the community health center. Cox regression was used to study the physical fitness effects on the Hajj incompletion. The analysis was done in STATA version 13.00 after all covariate variables were adjusted. The physical fitness levels to be independent variable and incompleteness of hajj pilgrimage to be dependent variable. Covariates include demographic characteristics, refer to such variables as smoking behaviours, pre-existing co-morbidities, inpatients were hospitalized with a focus on the high risk status group. Result: Results from the multi-variable analysis shown an interaction between physical fitness, routes 2 covariate with incompleteness to hajj pilgrimage. The risk of average physical fitness status influences to incompleteness to hajj pilgrimage shown with RR 3.17 (CI-95%: 1.68-5.97). while the risk of less physical fitness status on the outcome was RR 7.15 (CI-95%: 3.66-13.96). Conclusion: The physical fitness levels influence on incompleteness of hajj pilgrimage amongs Indonesia hajj pilgrims."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delima Engga Maretha
"Latar belakang: Pola hidup sedenter pada usia produktif berpengaruh terhadap kualitas hidup pada lansia, antara lain dapat menimbulkan penurunan massa dan fungsi otot atau sarkopenia. Salah satu pendekatan untuk menjaga kualitas hidup lansia adalah dengan latihan fisik. Latihan fisik intensitas tinggi dengan interval (high intensity interval training, HIIT) dan latihan fisik intensitas sedang (moderate intensity training, MIT) diketahui dapat menjaga dan meningkatkan kualitas hidup. Meskipun HIIT dinilai bermanfaat, kelayakannya pada individu dewasa tua masih belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh HIIT untuk mencegah sarkopenia pada proses penuaan hewan coba.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Litbangkes Depkes dari September 2016-Maret 2017. Tikus Wistar jantan usia dewasa muda (6 bulan) dan dewasa tua (12 bulan), diberi perlakuan HIIT dan MIT selama 8 minggu. Masing-masing kelompok usia dibagi secara acak menjadi 4 kelompok yaitu: K1 (kontrol, didekapitasi pada hari-1 penelitian sebagai baseline; K2 (kontrol, sedenter); HIIT dan MIT. Pada akhir minggu ke-8 dilakukan pemeriksaan kadar Troponin-T, PGC-1α (ELISA); kadar asam laktat (spektrofotometri); morfologi otot rangka (HE); serta marker apoptosis (Caspase3, imunohistokimia).
Hasil: Kadar Troponin T kelompok HIIT dan MIT lebih tinggi dibandingkan K2 baik pada usia dewasa muda dan usia dewasa tua. Kadar PGC-1α lebih tinggi pada kelompok HIIT dan MIT dibandingkan kelompok K2 pada usia dewasa tua. Tidak terdapat perbedaan kadar asam laktat darah pada kelompok HIIT dan MIT usia dewasa muda dan dewasa tua dibandingkan dengan K2. Akan tetapi, kadar asam laktat darah K1-T dan K2T berbeda signifikan, namun tidak melebihi 4,0 mmol/L. Tidak terdapat perbedaan pada jumlah serat otot rangka kelompok HIIT dan MIT tikus dewasa muda dan dewasa tua dibandingkan K2. Pada tikus dewasa muda, luas penampang serat otot rangka lebih rendah bermakna pada kelompok HIIT dan MIT dibandingkan K2-M. Ekspresi Caspase3 pada jaringan otot rangka hanya ditemukan pada kelompok usia dewasa tua, namun tidak terdapat perbedaan antara kelompok HIIT dan MIT dengan K2.
Kesimpulan: HIIT dan MIT selama 8 minggu pada tikus dewasa tua dapat mempertahankan kadar Troponin T dan PGC-1α yang penting untuk kontraksi otot rangka. Penerapan kedua latihan ini pada usia dewasa tua tidak meningkatkan kadar laktat darah yang melebihi ambang normal serta tidak menyebabkan kerusakan dan apoptosis pada otot rangka. Penelitian ini menunjukkan bahwa HIIT dan MIT keduanya dapat diterapkan pada usia dewasa tua dan bermanfaat dalam mencegah sarkopenia.

Background: SSedentary lifestyle duringproductive age will influences the quality of life in the elderly, . among others, cIt can cause a decrease in function and muscle mass or which known as sarcopenia. One approach to maintaining the quality of life of thein elderly is physical exercise. High intensity interval training (HIIT) and moderate intensity training (MIT) are known to be able to maintain and improve quality of life. Although HIIT is considered beneficial, its feasibility in older adult individuals is still not widely known. This study aims to determine investigate the effect of HIIT to in preventing sarcopenia in the aging process of experimental animals.
Methods: This study was conducted at Animal Laboratory of Ministry of Health RI from September 2016-March 2017. Male of young adults (6 months) and older adults (12 months) Wistar rats, treated with HIIT and MIT for 8 weeks. Each age group was divided randomly into 4 groups, namely: K1 (control, decapitated on study day-1 as baseline); K2 (control, sedenter); HIIT and MIT. At the end of the 8th weeks, we examined Troponin T levels were examined, PGC-1α (ELISA); lactic acid levels (spectrophotometry); skeletal muscle morphology (HE); as well asand Caspase-3 as markers of apoptosis (Caspase-3, immunohistochemistry).
Results: Troponin-T levels of HIIT and MIT groups were higher than K2 in both in young adult and old adult rats. PGC-1α levels were higher in the HIIT and MIT groups than in thecompared to K2 group in old adult rats. There were no differences in blood lactic acid levels in the HIIT group and MIT groups in both young and older adults compared to K2. HoweverInterestingly, blood lactic acid levels were significantly difference between K1old adult and K2-old adult rats in older adult rats differ significantly, but do not exceed 4.0 mmol /L. There was no difference in the number of skeletal muscle fibers in the HIIT and MIT groups of young and old adult rats compared to K2all groups. In young adult rats, cross sectional area (CSA) skeletal muscle was significantly lower in HIIT training than K2. Caspase-3 expression in skeletal muscle tissue was only found in the old adult group rats, but there was no difference between HIIT and MIT groups with compared to K2 group.
Conclusion: Our study revealed that HIIT and MIT for 8 weeks in old adult rats can maintain levels of Troponin T and PGC-1α which are important for skeletal muscle contraction of skeletal muscles. The application of these two exercises in older adult rats does not increase blood lactate lactic acid levels that exceed the normal threshold and does not cause damage and apoptosis in skeletal muscles. This research Therefore our study shows that both HIIT and MIT can both be applied in older adult rats and are useful beneficial in preventing sarcopenia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika
"ABSTRAK
Latihan naik turun bangku LNTB dan latihan jalan kaki LJK adalah aktivitas bersifat weight bearing yang dapat meningkatkan massa tulang. Kedua latihan fisik tersebut memiliki karakter biomekanik yang berbeda yang akan memengaruhi proses formasi dan resorbsi tulang. Densitas massa tulang rendah berhubungan dengan polimorfisme gen TNFSF11 dan TNFRSF11B.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh perbedaan peningkatan kadar osteokalsin sebagai petanda formasi dan penurunan CTX-1 sebagai petanda resorbsi setelah LNTB dan LJK dan pengaruh polimorfisme gen TNFSF11 SNPs-290C>T, -643C>T, -693G>C dan gen TNFRSF11B SNPs 163A>G, 950T>C, 1181G>C terhadap perbedaan peningkatan kedua petanda. Disain penelitian adalah studi eksperimental. Subjek penelitian adalah perempuan osteopenia sebanyak 59 orang yang diberi LNTB 30 subjek dan LJK 29 subjek dan ditentukan secara acak. Kadar osteokalsin dan serum diukur pra dan pascalatihan setelah 12 sesi selama 3 bulan latihan. Identifikasi polimorfisme gen TNFSF11 dan gen TNFRSF11B dianalisis dengan metode PCR dilanjutkan RFLP. Perbedaan peningkatan kadar osteokalsin dan CTX-1 diuji dengan uji T-tidak berpasangan. Hubungan polimorfisme dengan perubahan kadar osteokalsin dan CTX-1 dianalisis dengan odds ratio. Analisis haplotype dan uji Kruskall Wallis dilakukan untuk melihat hubungan pasangan haplotype dengan kadar osteokalsin dan CTX-1. Kadar osteokalsin dan CTX-1 setelah latihan pada kedua kelompok latihan meningkat p < 0,05 . Peningkatan CTX-1 setelah LNTB lebih kecil dibanding LJK p < 0,05 . Tidak ditemukan hubungan antara polimorfisme gen TNFSF11 dan gen TNFRSF11B dengan perubahan kadar osteokalsin dan CTX-1 p>0,05 Meskipun tidak bermakna, terdapat kecenderungan alel heterozigot/resesif berhubungan dengan peningkatan kadar osteokalsin, alel homozigot dominan berhubungan penurunan kadar CTX-1, serta haplotype gen TNFRSF11B dan haplotype gen TNFSF11 dengan perubahan osteokalsin dan CTX-1. Kedua latihan fisik terbukti dapat meningkatkan formasi tulang. LNTB mencegah resorbsi tulang lebih baik dibanding LJK. Polimorfisme mungkin memengaruhi formasi dan resorbsi tulang akibat latihan fisik. LNTB dan LJK meningkatkan osteokalsin. Peningkatan CTX-1 setelah LNTB lebih rendah dari LJK. Perubahan osteokalsin tidak berhubungan dengan polimorfisme gen TNFSF11 dan TNFRSF11B sedangkan perubahan CTX-1 tidak dipengaruhi polimorfisme gen TNFSF11 tetapi terdapat hubungan antara haplotype ATG dengan ACG dan GCC gen TNFRSF11B dengan perubahan CTX-1. Kata Kunci: gen TNFRSF11B, gen TNFSF11, karakter biomekanik, latihan naik turun bangku, polimorfisme, remodeling tulang

Bench step exercise BSE and walking exercise WE have a different biomechanical characteristics that can affect bone formation and resorbtion. Low bone mass density was associated with TNFSF11 SNPs 290C T, 643C T, 693G C and TNFRSF11B 163A G, 950T C, 1181G C genes polymorphism.The purpose of the studi is to analyze the difference effect of BSE and WE on changes in bone formation osteocalcin and bone resorbtion CTX 1 markers and the association of TNFSF11 and TNFRSF11B genes polymorphism. This is an experimetal study involving 59 postmenopausal women with osteopenia. Participants were grouped randomly according to the type of exercise bench step exercise 30 subjects and walking exercise 29 subjects . Subjects performed exercise for 12 sessions in 3 months. Osteocalcin and CTX 1 serum was measured pre and post exercise. The TNFSF11 gene and TNFRSF11B gene polymorphism was identified by PCR and RLFP methods. The difference in changes on osteocalcin and CTX 1 between groups were analysed by independent T test. Association between changes in osteocalcin and CTX 1 polymorphism and haplotype were analysed using odss ratio and Kruskall Wallis, respectively. Osteocalcin and CTX 1 increased significantly after BSE and WE P 0.05 , with no difference between group. BSE increased CTX 1 lower than WE P 0.05 . There is no association between polymorphism and the changes on osteocalcin and CTX 1 levels after BSE and WE P 0.05 . However, some tendencies were observed. Heterozygous recessive alleles had association with increased osteocalcin, homozygous dominant alleles had association with decreased CTX 1, haplotype TNFRSF11B gene had associaton with changes in osteocalcin and CTX 1 levels, whereas haplotype TNFSF11 gene with changes in CTX 1 level only. This results indicate that both BSE and WE increased bone formation. TNFSF11 gene polymorphism did not affect changes in formation and resorbtion after BSE and WE. Both exercises increased osteocalcin but was not different even though level of CTX 1 in BSE is lesser compared to WE. TNFSF11 gene polymorphism did not associate to the changes in osteocalcin and TNFRSF11B gene polymorphism did not associate to the changes in osteocalcin despite haplotype ATG had association with ACG and GCC in TNFSF11B gene for the changes in CTX 1 level after BSE and WE. Keywords Bench step exercise, biomechanical character, bone remodelling, gene TNFRSF11B, gene TNFSF11, polymorphism"
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library