Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rajiv Hidhayatullah
"ABSTRAK
Indonesia merupakan negara dengan beban ganda pada penyakit menular dan tidak menular. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang memiliki prevalensi cukup tinggi dengan Indonesia berperingkat dua dari seluruh negara dalam hal jumlah pasien tuberculosis, diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular yang memiliki prevalensi cukup tinggi juga. Konvergensi keduanya menimbulkan implikasi serius terhadap morbiditas dan mortalitas dari masing-masing penyakit tersebut, pada tuberkulosis dengan adanya komorbiditas ini meningkatkan resiko munculnya kavitas; kavitas inilah yang memiliki implikasi untuk memperlambat konversi. Dengan menggunakan metode cross-sectional serta analisisi chi-square pada pasien tuberkulosis dengan komorbiditas diabetes mellitus diteliti. Hasilnya tidak ditemukan adanya hubungan yang jelas pada subjek yang memiliki lesi kavitas dan tidak terutama pada konversi pasca 2 bulan pengobatan. Sehingga terdapat perbedaan antara pasien dengan komorbid diabetes mellitus dan tuberkulosis pada umumnya. Perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan desain kohort prospektif dengan menghitung kontrol gula darah pada diabetesnya

ABSTRACT
Indonesia is a country with a double burden of both transmissible and intransmissible disease. Tuberculosis is one of the transmissible disease that is quite prevalent in Indonesia and currently Indonesia is second in number of tuberculosis patient, meanwhile one of the leading chronic disease in number in Indonesia is diabetes Mellitus. The convergence of both disease could lead to serious implication in both the morbidity and mortality of each, from tuberculosis standpoint it could lead to delays in elongated duration in treatment; also cavitary lesion is shown to be more common in diabetes mellitus patient, and in general tuberculosis patient it can result in delay of conversion. So, using chi-square analysis the relationship between cavitary lesion and conversion in patient with tuberculosis comorbidity diabetes mellitus is studied. The result is inconclusive (p=0.906) with the realiton between cavitary lesion and conversion in tuberculosis patient with diabetes mellitus after 2 month intensive treatment. Thus this study should be reassessed by using prospective study design and with the control of glucose level to be respected
"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muammar Emir Ananta
"Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi insiden TB terbanyak di dunia, dengan prevalensi TB sekitar 0,24%. Tingginya kasus TB di Indonesia disebabkan oleh iklim Indonesia yang tropis, serta lingkungan yang padat, kotor, basah, kumuh, dan miskin sehingga memudahkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis untuk tumbuh. Jenis TB yang banyak ditemukan di Indonesia adalah TB paru. Anemia penyakit kronis adalah salah satu komplikasi tersering dari TB paru. Berdasarkan beberapa penelitian, anemia ini dapat meningkatkan kejadian komplikasi dan mortalitas pada pasien TB paru sehingga perlu diteliti lebih mendalam. Jadi, dilakukan penelitian tentang hubungan anemia dengan durasi gejala TB.
Penelitian ini menggunakan desain studi studi potong lintang. Sampel penelitian dikumpulkan dari rekam medis pasien RSUP Persahabatan melalui teknik. Pasien TB paru dikelompokan menjadi tiga kelompok berdasarkan durasi gejala tuberkulosis yang dialam, dengan jumlah subjek pada setiap kelompok adalah 49, 57, dan 44 subjek. Data dianalisis dengan uji ki kuadrat, kemudian dikur Odds Ratio Prevalensi anemia pada 150 subjek penelitian. Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian anemia pada pasien TB paru dengan durasi gejala. Namun, terdapat perbedaan bermakna kejadian anemia antara pasien TB paru kelompok durasi gejala lebih dari 3 bulan terhadap < 1 bulan.
Tingginya prevalensi anemia pada pasien TB paru disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama, TNF-alfa dan IL-6 pada infeksi TB paru menyebabkan disregulasi homeostasis ion Fe2+ melalui peningkatan hepcidin dan DMT 1, serta penurunan ferroportin 1. Hal ini menyebabkan malabsorpsi ion Fe2+ dan peningkatan oleh makrofag. Kedua, penurunan produksi eritropoetin akibat inhibisi oleh IFN-gamma. Ketiga, penurunan respon CFU terhadap eritropoetin. Akibatnya, terjadi penurunan produksi Hb yang semakin memburuk pada pasien dengan durasi gejala lebih panjang. Selain itu, terjadi penurunan IMT yang memperburuk anemia. Prevalensi anemia pada pasien TB paru termasuk tinggi. Pada kelompok durasi gejala yang lebih panjang, proporsi kejadian anemia meningkat. Oleh karena itu, edukasi pada masyarakat perlu dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang gejala TB paru dan pentingnya datang ke rumah sakit sesegera mungkin apabila mengalami gejala TB paru.

Indonesia is the country with the second highest incidence of tuberculosis (TB) in the world, with an approximate prevalence of 0,24%. The high number of TB cases in Indonesia is due to its tropical climate and its dense, dirty and humid environment, which makes it easier for Mycobacterium tuberculosis (MTB) bacteria to grow. Lung tuberculosis is the most common form of TB in Indonesia. One of the most frequent complications of lung TB is anemia, which can increase the occurrence of complications and mortality among TB patients according to several studies. Therefore, a study about the relationship between anemia occurrence and duration of TB symptoms in lung TB patients in conducted.
This is a cross-sectional study that uses consecutive sampling. The data was taken from medical records of patients diagnosed with lung TB in Persahabatan Central General Hospital during the year 2014-2018. Lung TB patiens were grouped according to their duration of symptoms. The number of subjects enrolled in each group were 49, 57 and 44 respectively. The data was analysed with chi-square test and the Odds Ratio (OR) was calculated for each group. The prevalence of anemia in lung TB patiens in the study is 58,67%. The proportion of lung TB patients who had anemia in each group were 83,67%, 54,39% and 36,36% respectively. There is no significant relation between the duration of symptoms and anemia occurrence between the 1-3 month group and the <1 month group. However, there is a significant relation between the duration of symptoms and anemia occurrence.
The high prevalence of anemia in Lung TB patiens can be caused by several mechanism. The first mechanism is iron homeostasis dysregulation due to the high levels of TNF-alpha and IL-6. These cytokines increase hepcidin levels and DMT 1 transporter expression and decrease ferroportin 1 expression, which cause iron malabsorption and macrophage iron retention. The second mechanism is decreased erythropoetin production due to inhibiton by IFN-gamma. The third mechanism is decreased CFU response to erythropoetin. As a result, Hb production is decresed in lung TB patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachri Anugrah Salaksa
"Infeksi HIV dan bakteri Mycobacterium tuberculosis (Mtb) telah lama dianggap sebagai faktor risiko dari satu sama lain. Penelitian ini merupakan observasi potong lintang terhadap rekam medis dari pasien poliklinik paru RSUP Persahabatan selama bulan September-Oktober 2018. Pengambilan sampel dilakukan secara acak konsekutif. Hasil penelitian menemukan 94 pasien TB paru tanpa koinfeksi HIV (22 BTA positif, 72 BTA negatif; 52 lesi paru luas, 42 lesi paru minimal pada diagnosis) dan 14 pasien TB paru dengan koinfeksi HIV (1 BTA positif, 13 BTA negatif; 8 lesi paru luas, 6 lesi paru minimal pada diagnosis).
Penelitian menemukan bahwa pasien infeksi TB tanpa HIV cenderung memiliki hasil BTA negatif yang tidak signifikan secara statistik (OR=0,202, p=0,163). Infeksi TB tanpa HIV memiliki kecenderungan sedikit lebih rendah untuk mengalami lesi paru minimal, namun tidak signifikan secara statistik (OR=0,941, p=1). Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa koinfeksi HIV pada TB paru tidak menyebabkan perbedaan kecenderungan Bacterial Load yang signifikan.

HIV Infection and Mycobacterium tuberculosis (Mtb) infection has long been thought as a risk factor of each other. This study is a cross-sectional observation of the medical records of RSUP Persahabatan Lung Polyclinics patients in September-October 2018. The sampling was done using the consecutive random sampling method. The study found 94 pulmonary Tuberculosis patients without HIV coinfection (22 positive AFB, 72 negative AFB; 52 extensive lung lesion, 42 minimal lung lesion) and 14 pulmonary Tuberculosis patients with HIV coinfection (1 positive AFB, 13 negative AFB; 8 extensive lung lesion, 6 minimal lung lesion).
This study found that lung TB without HIV infection is a statistically insignificant risk factor of positive AFB result (OR=0.202, p=0.163). TB infection without HIV also has a slightly lower odd of having minimal lung lesion, however, this is neither statistically nor clinically significant. From this study, it can be inferred that HIV coinfection in pulmonary TB does not cause significant difference in Bacterial Load tendency.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Imam Pratana
"ABSTRACT
Latar Belakang. Kavitas merupakan salah satu penampakan lesi paru yang paling umum ditemukan pada pasien TB. Namun demikian, tidak banyak penelitian yang memelajari mengenai prevalensi dan risiko pembentukan kavitas pada pasien TB terkait dengan kebiasaan merokoknya. Metode Penelitian. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan dengan metode potong lintang. Populasi target adalah pasien yang terdiagnosis TB pada tahun 2016-2018 yang memeriksakan diri ke RSUP Persahabatan. Hasil. Didapatkan 148 subjek penelitian. Sebagian besar pasien adalah laki-laki dengan jumlah 96 orang dan perempuan sebanyak 52 orang. Dari segi usia, didapatkan mayoritas responden adalah berusaia 17 hingga 45 tahun. Sebanyak 65 pasien teramati memiliki kavitas pada paru dan 83 pasien tidak memiliki kavitas pada paru. Berdasarkan indeks brinkmannya, didapati bahwa 65 (43,9%) orang bukan perokok, 19(12,8%) orang perokok berat, 25 (16,9%) perokok sedang, dan 39(26,4%) orang perokok ringan. Dari hasil analisis, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik p<0,05 antara kebiasaan merokok dengan keberadaan lesi paru pada pasien TB. Pasien yang termasuk kedalam indeks brinkman sedang-berat memiliki PR=2,41 IK95% 1,578-3,683 sedangkan pasien dengan indeks brinkman ringan memiliki PR=1,316 IK95% 0,760-2,277 (tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan : ada hubungan antara kelas merokok brinkman sedang-berat dengan lesi kavitas pada paru pasien dengan TB.

ABSTRACT
Background. Cavity is one of pulmonary lesion that is most common in tuberculosis patients. But, studies about prevalence and cavity-forming risk in TB patients related to their smoking habit is not much known. Methods. Data are collected at Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan with cross-sectional method. Target population are patients at Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan that are diagnosed with TB in 2016-2018. Result. As much as 148 research subject are recorded. Most patient are men (96 persons), while 52 are women. Respondents age are between 17 and 45 years old. As much as 65 patients have lung cavity while the other 83 patients do not have lung cavity. Based on Brinkmans Index, 65 persons (43.9%) are not smoker, 19 persons (12.8%) are heavy smoker, 25 persons (16.9%) are moderate smoker, and 39 persons (26.4%) are light smoker. Data analysis showed that there is a statistically significant assosication ( p<0,005 ) between smoking habits and prevalence of cavitary lesion in patients with TB. Patients that are included into moderate-heavy smokers group have PR = 2,41 CI95% 1,578-3,683 while patients that are included into light smokers have PR=1,316 CI 95% 0,760-2,277 (statistically insignificant). Conclusion : There is an association between moderate-heavy smoking and the appearance of cavitary lesion in TB patients."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rizki
"Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksius yang menjadi salah satu penyebab kematian karena infeksi di seluruh dunia. Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan adalah dengan menentukan konversi sputum. Status gizi yang baik akan dapat mempengaruhi perubahan konversi sputum Tuberkulosis Paru dan keberhasilan terapi. Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan tahun 2013 - 2015. Desain studi penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel penelitian sebanyak 100. Sampel penelitian diambil dari data rekam medis dan dianalisis dengan uji Chi-Square.
Hasil penelitian ini adalah secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien tuberkulosis paru di RS Persahabatan tahun 2013-2015 p=0,433 Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksius yang menjadi salah satu penyebab kematian karena infeksi di seluruh dunia. Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan adalah dengan menentukan konversi sputum. Status gizi yang baik akan dapat mempengaruhi perubahan konversi sputum Tuberkulosis Paru dan keberhasilan terapi.
Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan tahun 2013 - 2015. Desain studi penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel penelitian sebanyak 100. Sampel penelitian diambil dari data rekam medis dan dianalisis dengan uji Chi-Square. Hasil penelitian ini adalah secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien tuberkulosis paru di RS Persahabatan tahun 2013-2015 p = 0,433 "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzikrie Za`iemullah
"TB resistan obat (MDR-TB) sampai saat ini masih menjadi permasalahan kompleks dengan pengobatan lebih sulit, efek samping obat, dan tingkat kematian yang tinggi dibandingkan TB sensitif obat. Infeksi TB-MDR dapat terjadi pada pasien TB setelah selesai pengobatan OAT yang dikenal sebagai kasus TB-MDR relaps/kambuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya TB-MDR relaps di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta tahun 2016-2018. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross sectional) dengan jumlah subjek 80 pasien di Poli Paru dan TB-MDR RSUP Persahabatan. Data diambil dengan menggunakan rekam medis dan wawancara langsung dengan pasien. Berdasarkan karakteristik, pasien didominasi oleh laki-laki, usia 36-55 tahun, pendidikan terakhir SMA, tingkat pendapatan per bulan rendah (Rp1.825.000,00-Rp3.299.999,00/bulan), menjalani pengobatan dengan patuh, bukan perokok, tidak ada komorbid diabetes melitus (DM) maupun koinfeksi HIV.
Melalui analisis bivariat didapatkan kepatuhan berobat p= 0,002 bermakna terhadap kejadian TB-MDR relaps. Sementara itu, hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik hasil signifikan didapatkan variabel pendapatan per bulan sangat rendah (

Nowadays, multidrug-resistant TB (MDR-TB) still faces many problems including harder treatment with more toxic drugs and higher mortalities among patients compared than drug-sensitive TB infection. MDR-TB can occur in patients who have already been cured or completed their previous TB treatment, known as MDR-TB relapse cases. The aims of this research to identified risk factors among MDR-TB relapse patients in Persahabatan Central General Hospital in 2016-2018. This study used cross-sectional design and involved 80 patients at Poli Paru and MDR-TB in Persahabatan Hospital. Data were collected using medical records and direct interview with patients. Among them, most of were dominated by male, age 36-55 years old, senior high-school education, lower income (Rp1,825,000.00-3,299,999.99/month), good adherence during previous treatment, non-smoker, and without the presence of diabetes mellitus (DM) and HIV-infection.
Bivariate analysis showed only adherence to previous treatment (p = 0,002) to be statistically significant. Meanwhile, after adjusted other factors through multivariate analysis, it was found very low monthly income ("
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dela Ryana Swaraghany
"Tuberkulosis multidrug resistant (TB MDR) merupakan penyakit infeksi yang terus mengalami peningkatan jumlah kasus setiap tahunnya. Indonesia menempati peringkat ke-delapan dari 27 negara dengan kasus TB MDR paling banyak di dunia (WHO, 2013). Pengobatan yang lebih kompleks dengan durasi yang lebih lama, menjadikan pasien TB MDR seringkali mengalami kegagalan konversi sputum. Kegagalan konversi sputum ini dipengaruhi oleh banyak faktor (multifaktorial). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor demografi (usia dan jenis kelamin), riwayat merokok serta penyakit komorbid (diabetes melitus dan HIV/AIDS) terhadap kejadian gagal konversi sputum pasien TB MDR di RSUP Persahabatan Jakarta tahun 2014-2016. Penelitian ini tergolong penelitian potong lintang dengan data sekunder yang diperoleh dari 51 rekam medis di Poli TB MDR RSUP Persahabatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi pasien TB MDR dengan gagal konversi sputum sebesar 5.6%. Hasil analisis univariat menunjukkan pasien TB MDR dengan gagal konversi sputum didominasi oleh laki-laki (62.7%); usia dewasa (80.4%); memiliki kebiasaan merokok (58.8%); tidak memiliki riwayat diabetes melitus (82.4%); dan tidak memiliki riwayat HIV/AIDS (100%). Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara usia (p=0.084); jenis kelamin (p=0.421); kebiasaan merokok (p=0.550); riwayat diabetes melitus (p=0.799) dengan kegagalan konversi sputum pasien TB MDR. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa usia, jenis kelamin, riwayat merokok, diabetes melitus, dan HIV/AIDS tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian gagal konversi sputum pasien TB MDR di RSUP Persahabatan Jakarta tahun 2014-2016.

Multidrug resistant tuberculosis (MDR TB) is an infectious disease that continues to increase in the number of cases every year. Indonesia is on 8th rank among 27 countries with the most cases of MDR TB in the world (WHO, 2013). More complex treatment with longer duration, makes MDR TB patients often have sputum conversion failure. This sputum conversion failure is influenced by many factors (multifactorial). The aim of this study is to determine the relationship between demographic factors (age and gender), smoking habit, comorbid diseases (diabetes mellitus and HIV/AIDS) with sputum conversion failure of MDR TB patients at RSUP Persahabatan Jakarta in 2014-2016. The design of this study is a cross-sectional study with secondary data obtained from 51 medical records in MDR TB Polyclinic at Persahabatan Hospital.
The results of this study showed the prevalence of MDR TB patients with sputum conversion failure is 5.6%. The results of univariate analysis showed that MDR TB patients with sputum conversion failure were dominated by men (62.7%); adult age (80.4%); have a smoking habit (58.8%); have no history of diabetes mellitus (82.4%); and have no history of HIV/AIDS (100%). The results of bivariate analysis showed an insignificant relationship between age (p=0.084); gender (p=0.421); smoking habits (p=0.550); history of diabetes mellitus (p=0.799) with sputum conversion failure of MDR TB patients. From these results, it can be concluded that age, gender, smoking habit, diabetes mellitus, and HIV/AIDS do not have significant relationships with sputum conversion failure of MDR TB patients at RSUP Persahabatan Jakarta in 2014-2016.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Revina Tiara Putri
"Tuberkulosis yang resisten terhdap obat merupakan ancaman bagi pengobatan dan pencegahan kasus tuberkulosis, sehingga masih menjadi perhatian utama pada sektor kesehatan di seluruh dunia. Indonesia menempati posisi keempat negara dengan insidensi TB MDR terbanyak di dunia yaitu mancapai 32.000 kasus di tahun 2016. TB MDR dapat terjadi karena beberapa sebab yang salah satunya disebabkan oleh gagal pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko TB MDR dengan riwayat gagal terapi di RSUP Persahabatan periode 2016-2018. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan melibatkan 80 subjek dengan rincian 40 subjek berasal dari poli TB MDR dan 40 subjek berasal dari poli paru. Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan (tidak sekolah dan SD) dengan kejadian gagal terapi TB (p=0,016 ; OR= 9,552 ; 95% CI= 1,531 – 59,610).

Drug-resistant tuberculosis is a threat to the treatment and prevention of tuberculosis cases, so it is still a major concern in the health sector throughout the world. Indonesia ranks fourth in the world with the highest incidence of MDR TB, reaching 32,000 cases in 2016. MDR TB can occur due to several reasons, one of reason is caused by treatment failure. This study aims to determine the risk factors for MDR TB with a history of treatment failure in RSUP Persahabatan for the period of 2016-2018. This study is a cross-sectional study and involved 80 subjects with details of 40 subjects from poly MDR TB and 40 subjects from pulmonary poly. The results of bivariate and multivariate analysis showed that there was a significant relationship between the level of education (not in school and elementary school) with TB treatment failure (p = 0.016; OR = 9.552; 95% CI = 1.531 - 59.610)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laura Amanda Suryana
"Latar Belakang
N-asetilsistein (NAC) merupakan kandidat potensial untuk strategi drug repurposing dalam menangani pandemi COVID-19, terutama untuk menurunkan progresi COVID-19 derajat berat yang dapat diprediksi oleh rasio neutrofil-limfosit (RNL). Namun, belum banyak studi yang meneliti hubungan NAC dengan RNL. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan pemberian NAC dengan RNL pasien COVID-19 derajat berat di RSUP Persahabatan.
Metode
Penelitian potong lintang dilakukan melalui rekam medis 60 pasien COVID-19 derajat berat di RSUP Persahabatan (mendapat NAC: 30; tidak mendapat NAC: 30). Studi ini meninjau karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, komorbiditas, dan riwayat pengobatan lain. Fokus penelitian ini adalah parameter RNL sebelum dan setelah perawatan. Analisis dilanjutkan dengan menilai hubungan pemberian NAC terhadap RNL.
Hasil
Secara keseluruhan, terdapat 60 subjek yang mayoritas terdiri atas laki-laki (53,3%) dengan median usia 54 (23 – 69). Tidak ada perbedaan sebaran jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan riwayat pengobatan lain antara kedua kelompok yang bermakna secara statistika. RNL kelompok yang mendapat NAC lebih rendah daripada kelompok yang tidak mendapat, baik sebelum perawatan (6,21 [2,21 – 33,32] vs 6,92 [2,25 – 36,15]) maupun setelah perawatan (5,14 [0,99 – 17,16] vs 5,74 [1,88 – 21,95]), tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistika (p = 0,941; p = 0,451, masing-masing). Pemberian NAC tidak mempengaruhi penurunan RNL secara bermakna (p = 0,060). Adapun perbedaan median perubahan RNL antara dua kelompok tidak ditemukan bermakna (p = 0,460).
Kesimpulan
NAC tidak signifikan secara statistik dalam menurunkan RNL pasien COVID-19 derajat berat.

Introduction
N-acetylcysteine (NAC) is a potential candidate for drug repurposing strategies in dealing with the COVID-19 pandemic, especially in reducing the development of severe COVID- 19 which can be predicted by the neutrophil-lymphocyte ratio (NLR). However, due to limited research of NAC’s effect on NLR, this study aims to assess their relationship in severe COVID-19 patients at Persahabatan Central General Hospital.
Method
A cross-sectional study from medical records of 60 severe COVID-19 patients at Persahabatan Central General Hospital (received NAC: 30; not received NAC: 30) reviewed the characteristics of the subjects based on age, gender, comorbidities, and other treatment history. This study focused on NLR before and after treatment, assessing the relationship between NAC administration and NLR.
Results
Most of the overall subjects were male (53.3%) with a median age of 54 (23–69). There was no statistically significant difference in the distribution of gender, age, comorbidities, and other treatment history between two groups. Group that received NAC had lower NLR than group that didn’t, both before treatment (6.21 [2.21–33.32] vs 6.92 [2.25– 36.15]) and after treatment (5.14 [0.99–17.16] vs 5.74 [1.88–21.95]), but the difference was not statistically significant (p = 0.941; p = 0.451, respectively). NAC administration did not significantly decrease NLR (p = 0.600). The difference in median changes in NLR between two groups was also not found to be significant (p = 0.460).
Conclusion
NAC did not statistically significant in reducing NLR in severe COVID-19 patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Dian Saraswati
"ABSTRAK Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan angka kematian yang tinggi diseluruh dunia. Vaksin pencegah yang tersedia saat ini adalah Bacillus Calmette-Guerin (BCG) yang berasal dari Mycobacterium bovis. BCG memiliki beberapa kelemahan yakni efikasi yang berbeda pada setiap individu, tidak memberikan perlindungan TB paru pada individu dewasa serta reaktivasi subsekuen. Hal ini mendorong penelitian terkait perlunya vaksin jenis baru untuk TB. Protein yang terbentuk dari gen resuscitation promoting factors B (rpfB) M. tuberculosis memiliki karakteristik biologi dan imunologi tertinggi diantara protein lain dalam famili Rpfs. Protein ini mampu menginduksi proliferasi bakteri TB dorman pada infeksi laten TB. Oleh karena itu protein ini kemudian banyak dikembangkan sebagai kandidat vaksin TB. Pada penelitian ini gen rpfB M. tuberculosis strain Beijing diamplifikasi dengan PCR kemudian diklon kedalam plasmid pcDNA3.1. Kemampuan plasmid rekombinan pcDNA3.1-rpfB dalam menginduksi respon imun humoral diuji dengan memberikan imunisasi plasmid rekombinan pada mencit Balb/C jantan. Hasil western blot menggunakan serum mencit hasil imunisasi menunjukkan bahwa gen rpfB berhasil menginduksi respon imun humoral mencit dengan adanya pita spesifik pada kisaran 66 kDa, sedangkan transfeksi plasmid rekombinan pada sel CHO-K1 memperlihatkan protein RpfB berhasil terekspresi pada sel mamalia berdasarkan uji imunostaining. Dengan demikian penelitian ini berhasil memperlihatkan bahwa protein RpfB M. tuberculosis strain Beijing mampu diekspresikan pada sel mamalia serta terbukti merupakan antigen yang dapat menginduksi respon imun humoral pada mencit.

ABSTRACT
Tuberculosis (TB) is a chronic infection disease caused by Mycobacterium tuberculosis and has a high death-rate worldwide. Bacillus Calmette-Guerin is the only TB vaccine which is currently available with several drawbacks, such as its different efficacy for different individuals, lack of protection for lung TB in adults and subsequent reactivation which lead the research for novel TB vaccine approach. Resuscitation-promoting factor (rpf) protein in M. tuberculosis is a protein cluster which play a big role in TB dormancy during latent infection. Member from this cluster protein is RpfB which shows the greatest biological and immunological characteristics among other proteins in the rpf family, now is widely explored as novel TB vaccine candidate. In this study, the rpfB gene of the M. tuberculosis Beijing strain was amplified using PCR and then cloned into pcDNA3.1 plasmids. The ability of recombinant pcDNA-rpfB to induce humoral immune response was tested through Balb/C mice immunization. A positive recombinant RpfB protein ~66 kDa was detected through western blot analysis using immunized mice sera. Meanwhile, recombinant pcDNA-rpfB was transfected in to CHO-K1 mammalian cell line and recombinant rpfB antigen expression was confirmed through immunostaining. Therefore, we have succesfully express the recombinant RpfB proten of M. tuberculosis strain Beijing in mammalian expression system which proven to be antigenically induced humoral immune response in mice model.
"
[Depok;Depok;Depok;Depok, Depok]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>