Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dhiya Nadira
"Latar Belakang. Prevalensi balita wasting di Provinsi Nusa Tenggara Barat
mencapai 10%, hal ini dapat memengaruhi tumbuh kembang anak balita. Hasil
penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi dan
asupan nutrisi terhadap wasting. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui
karakteristik balita, prevalensi wasting, dan asupan karbohidrat, protein, dan lemak
serta hubungannya terhadap wasting pada balita di Desa Sembalun Bumbung, NTB.
Metode. Studi potong lintang telah dilaksanakan dengan melibatkan 112 balita usia
6-59 bulan di Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur,
NTB pada Agustus 2019. Data antropometri berupa tinggi badan dan berat badan
diukur untuk menentukan status gizi. Wawancara menggunakan kuesioner
dilakukan untuk mendapatkan data demografi, sedangkan untuk mendapatkan
asupan makronutrien balita menggunakan multiple-pass 2x24 hour food recall
terhadap ibu balita. Data antropometri diolah menggunakan WHO Anthro Survey
Analyser, sedangkan kuesioner diolah dengan bantuan perangkat lunak Epidata
versi 4.4. Data asupan makanan dari food recall diolah menggunakan Nutrisurvey
2004. Data dianalisis menggunakan uji Fisher’s Exact Test pada SPSS versi 20.
Hasil. Prevalensi balita wasting di Desa Sembalun Bumbung adalah 7%. Uji
bivariat menyatakan bahwa asupan karbohidrat, protein, dan lemak tidak memiliki
hubungan yang signifikan terhadap wasting (p>0.05).
Kesimpulan. Asupan karbohidrat, lemak, dan protein tidak memiliki hubungan
terhadap wasting pada balita usia 6-59 bulan di Desa Sembalun Bumbung

Background. Wasting prevalence in children under-five in Nusa Tenggara Barat
Province is 10%, while wasting is an important factor affecting children’s growth
and development. Current research shows that infection and nutrition intake affect
wasting. This research is aimed to identify characteristics, prevalence of wasting,
and association between carbohydrate, protein, and fat intake on wasting in children
under-five at Sembalun Bumbung Village, NTB.
Method. A cross sectional study was conducted in Desa Sembalun Bumbung,
Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB in August 2019; 112 children of 6-59
months age were recruited. Anthropometry data including height and weight was
obtained to analyze nutritional status. Children’s mothers were interviewed to
collect sociodemographic data and macronutrient intake through multiple multiplepass
2x24 hour food recall using food portion pictures from Indonesian Ministry of
Health. Anthropometry and questionnaire data were processed using WHO Anthro
Survey Analyser and Epidata version 4.4. According to Indonesian Ministry of
Health Food Composition Data, macronutrient intake from dietary recall was
processed using Nutrisurvey 2004. Statistical data was analyzed with Fisher’s Exact
Test using SPSS version 20.
Result. Wasting prevalence of children under-five in Sembalun Bumbung Village
was 7%. Bivariate analysis showed that carbohydrate, protein, and fat intake were
not statistically significant on wasting prevalence (p>0.05).
Conclusion. Carbohydrate, fat, and protein intake was not associated with wasting
in children under-five in Sembalunbumbung Village"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqy Amanatul Husna Pamungkas
"Asupan sodium yang berlebihan pada remaja dapat meningkatkan risiko megalami Penyakit Tidak Menular (PTM). Lingkungan menjadi salah satu faktor yang memicu peningkatan asupan sodium melalui pola makan “mindless eating”. Sebaliknya, makan dengan penuh kesadaran atau mindful eating dianggap mempunyai potensi untuk mengontrol asupan makanan termasuk mencegah asupan sodium yang berlebihan pada remaja. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan mindful eating dengan asupan sodium pada remaja.
Subjek berusia 15-18 tahun yang direkrut dari Sekolah Menengah Atas (SMA). Subjek diukur status gizi, dan mengisi kuesioner mindful eating questionnaire (MEQ) untuk menilai skor mindful eating. Asupan sodium diperoleh melalui wawancara dengan 24-hour recall.
Terdapat 240 responden yang terdiri dari 60.4% perempuan dengan asupan sodium mencapai 1665.60 (76.1 – 3550.9) mg/day. Rata rata skor mindful eating adalah 2. 69 ± 0.19. Hasil menunjukan terdapat korelasi negatif yang signifikan antara mindful eating dan asupan sodium (β = - 0.14; p = 0.04). analisis lebih lanjut dengan disesuaikan dengan faktor perancu (jenis kelamin), mindful eating dan asupan sodium tetap menunjukan korelasi negatif yang signifikan (β = - 0.13; p = 0.04).
Mindful eating mempunyai korelasi negatif yang signifikan dengan asupan sodium pada remaja. Semakin tinggi skor mindful eating, semakin rendah asupan sodium

Objective: The excessive sodium in adolescents is associated with Non-Communicable Diseases (NCDs). Environment as one of factor that can led to increase the sodium intake through eating mindlessly. As the opposite term from mindless eating, the eating behaviour that involves mindfulness is considered to have the potency to control food intake including to prevent excessive sodium intake in adolescents. Therefore, this study aimed to determine the correlation between mindful eating and sodium intake in adolescents.
Method: Participants aged 15-18 years who were recruited from senior high school. Participants were measured nutritional status, and asked to fill the mindful eating questionnaire (MEQ) to assess the mindful eating score. the sodium intake is obtained from repeated 24 hours food recall.
Result: There are 240 participants, consist of female (60.4%), with sodium intake is 1665.60 (76.1 – 3550.9) in mg/day. The mindful eating score is 2.69 ± 0.19. There is negatively significant correlation between mindful eating and sodium intake (β = - 0.14; p = 0.04). After adjusted with gender, mindful eating remains have a negatively significant correlation (β = - 0.13; p = 0.04).
Conclusion: Mindful eating had a negatively correlation with sodium intake in adolescents, a higher mindful eating, lower sodium intake.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Dianasari Devana
"

Defisiensi vitamin D rentan terjadi pada tenaga kesehatan dan berakibat pada gangguan sintesis cathelicidin, peptida antimikrobial dengan efek proteksi terhadap virus. Studi terdahulu menunjukkan adanya korelasi positif antara 25-OH-D dengan cathelicidin, sementara data terkait pada populasi obesitas masih terbatas. Penelitian dengan desain potong lintang dilakukan di Rumah Sakit rujukan pasien COVID-19 di Jakarta dan Depok. Consecutive sampling dan randomisasi dilakukan untuk memperoleh sampel. Asupan makronutrien dan vitamin D dinilai menggunakan Food recall 24 jam dan semi kuantitatif Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). Kadar 25-OH-D dan cathelicidin serum dianalisa dengan metode Chemiluminescence Immunoassay (CLIA) dan Enzyme Linked Immunosorbentassay (ELISA). Uji Mann Whitney dan Kruskal Wallis dilakukan untuk menilai perbedaan rerata kadar cathelicidin, sementara korelasi 25-OH-D dan cathelicidin serum dinilai dengan regresi linear setelah penyesuaian terhadap Indeks Massa Tubuh (IMT). 80 subjek usia 22 hingga 47 tahun dianalisa, dengan 70% subjek memiliki status gizi obesitas dan 30% berat badan lebih. 93.7% subjek belum mencukupi kebutuhan asupan harian Vitamin D dengan median asupan Vitamin D 2.8 µg per hari. Median kadar 25-OH-D dan cathelicidin subjek 14.3 ng/ml dan 211.6 ng/ml. 85% subjek tergolong defisiensi vitamin D dan subjek dengan obesitas II memiliki kadar cathelicidin yang lebih tinggi. Tidak didapatkan korelasi antara kadar 25-OH-D dengan cathelicidin serum pada subjek tenaga kesehatan dengan berat badan lebih dan obesitas (p 0.942 𝛃-0.077 95% CI -2.182-2.029). Hasil penelitian ini membutuhkan analisa lebih lanjut mengingat peningkatan kadar cathelicidin dapat dipengaruhi oleh variabel perancu sehingga efek protektif dari cathelicidin belum dapat disimpulkan.


Vitamin D deficiency is prevalent among healthcare workers, resulting in impairment of cathelicidin, an antimicrobial peptide with antiviral properties. Former studies show a positive correlation between 25-OH-D and cathelicidin, yet data on the obese population is still scarce. We conducted a cross-sectional study in the COVID-19 referral hospitals in Jakarta and Depok. Samples were collected using consecutive sampling followed by randomization. A repeated 24-hour food recall and a semi-quantitative food frequency questionnaire (SQ-FFQ) were used to estimate intake. The Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) and Chemiluminescence Immunoassay (CLIA) were used to measure serum cathelicidin and 25-OH-D. Mann Whitney and Kruskal Wallis analyses were done to assess the mean difference of cathelicidin, and linear regression adjusted for body mass index was done to assess the correlation between 25-OH-D and cathelicidin. 80 subjects aged 22 to 47 years were included, where 70% of the subjects were categorized as obese and 30% were overweight. 93.7% of the subjects did not meet their daily intake of vitamin D requirements, with a median intake of vitamin D of 2.8 µg daily. The subject’s median serum of 25-OH-D and cathelicidin were 14.3 ng/ml and 211.6 ng/ml, respectively. 85% of the subjects were classified as vitamin D deficient, and subjects with class II obesity had significantly higher levels of cathelicidin. Serum 25-OH-D and cathelicidin did not correlate in overweight and obese healthcare workers (p 0.942 𝛃-0.077 95% CI -2.182-2.029). Further research is essential to better understand the findings of this study since the protective effects of cathelicidin cannot be determined because confounding factors may cause cathelicidin levels to rise.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karima Yudhistina
"Obesitas adalah faktor risiko terjadinya penyakit seperti diabetes melitus tipe 2 dan penyakit jantung dan pembuluh darah. Akumulasi lemak stimulasi proses peroksidasi lipid yang menghasilkan malondialdehida (MDA) dan mengurangi antioksidan endogen seperti katalase dalam tubuh. Puasa intermiten merupakan cara alternatif untuk menurunkan radikal bebas dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek puasa intermiten terhadap status stres oksidatif pada karyawan dengan obesitas di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak dengan kontrol. Subjek penelitian ini adalah pria berusia 19-59 tahun dengan indeks massa tubuh (IMT) ≥25 kg/m2 yang terbagi menjadi kelompok puasa dan kontrol melalui randomisasi sederhana. Puasa intermiten 5:2 dilakukan selama 8 minggu setiap hari Senin dan Kamis, tidak diperkenankan untuk makan dan minum selama 14 jam. Sebelum intervensi, kedua kelompok diberikan edukasi diet seimbang. Kadar MDA dan katalase dianalisis dengan spectofotometer. Asupan makan dinilai dengan 2x24 hr food recall dan food record. Hasil penelitian menunjukan kadar MDA setelah intervensi pada kelompok puasa berbeda signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,02). Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar katalase pada kelompok puasa dan kontrol (p>0,05). Puasa intermiten 5:2 selama 8 minggu dapat menurunkan kadar MDA pada karyawan dengan obesitas di Jakarta

Obesity is a major risk factor for many non-communicable diseases. Fat accumulation stimulates the lipid peroxidation process, which produces malondialdehyde (MDA) and reduces endogenous antioxidants such as catalase. Intermittent fasting is an alternative way to reduce free radicals in the body. This study aimed to determine the effect of intermittent fasting 5:2 on MDA and catalase levels in obese employees in Jakarta. This study's subject was men aged 19-59 years with body mass index ≥25 kg/m2, who were divided into fasting and control groups through simple randomization. Intermittent fasting 5:2 was performed for eight weeks, done every Monday and Thursday, and not allowed to eat and drink during 14 hours of fasting. Before the intervention, both groups were given nutrition education on a balanced diet. Food intake was assessed by the 2x24 h food recall and food recall method. MDA and catalase levels were measured using a spectrophotometer. There was a significant difference (p<0,001) in pre-post intervention MDA and catalase levels within the fasting and control groups. MDA post-intervention levels in the fasting group were significantly different compared to the control group (p=0,02). Intermittent fasting 5:2 for eight weeks can reduce MDA levels in obese employees in Jakarta."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anni Rahmawati
"Latar belakang: Prevalensi penduduk dewasa di Indonesia yang obesitas mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, demikian juga dengan angka obesitas pada karyawan. Puasa intermiten dapat menjadi alternatif solusi dalam tatalaksana obesitas, terutama terhadap ukuran lingkar pinggang dan resistensi insulin yang diketahui melalui nilai HOMA-IR.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek puasa intermiten 5:2 terhadap lingkar pinggang dan resistensi insulin pada karyawan obesitas di Jakarta.
Metode: Penelitian uji klinis acak terkontrol ini dilakukan pada 50 karyawan obesitas berusia 19-59 tahun, dan memiliki lingkar pinggang ≥ 90 cm. Sampel dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diminta untuk berpuasa pada hari senin dan kamis selama 8 minggu, sementara kelompok kontrol melanjutkan pola makan seperti biasa. Tidak terdapat pembatasan kalori pada kedua kelompok. Data dikumpulkan melalui kuesioner, food recall 2x24 jam, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan resistensi insulin yang diketahui melalui nilai HOMA-IR. Analisis menggunakan uji t tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney, dan uji t berpasangan atau Wilcoxon.
Hasil: Setelah 8 minggu intervensi, perubahan lingkar pinggang pada kelompok intervensi ialah 0,00 (-5,0-8,0) cm dan pada kelompok kontrol 1 (-4,0 – 4) cm. Sementara perubahan kadar HOMA-IR pada kelompok intervensi ialah 0,29 (-17,78 – 6,84) dan kelompok kontrol -0,46 (-18,94 – 10,55).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna perubahan lingkar pinggang dan resistensi insulin pada kelompok yang berpuasa dibandingkan kelompok yang tidak melakukan puasa (p>0,05).

Introduction: The prevalence of the obese adult population in Indonesia has increased from year to year. So is the obesity rate in employees. Intermittent fasting could be an alternative solution in managing of obesity, especially for waist circumference and insulin resistance levels.
Objective: This study aims to determine the effects of intermittent fasting 5:2 on waist circumference and insulin resistance in obese employees in Jakarta.
Method: This randomized controlled clinical trial was conducted on 50 obese employees aged 19-59 years, and had a waist circumference ≥ 90 cm. The subjects were divided into intervention groups and control groups. The intervention group was asked to fast on Mondays and Thursdays for eight weeks, while the control group continued their usual diet. There were no calorie restrictions in either group. Data is collected through the interview, food recall 2x24 hours, anthropometry asssessment and measurement of insulin resistance by HOMA-IR index. The data were analyzed using t-test or a Mann-Whitney test, and a paired t-test or Wilcoxon.
Results: After 8 weeks of intervention, the change in waist circumference in the intervention group was 0.00 (-5.0-8.0) cm and in the control group 1 (-4.0 - 4) cm. While the change in HOMA-IR levels in the intervention group was 0.29 (-17.78 - 6.84) and the control group was -0.46 (-18.94 - 10.55).
Conclusion: There was no significant difference in waist circumference and insulin resistance in the fasting group compared to the control group (p>0.05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nurul Kirana
"ABSTRAK
Latar belakang: Kerusakan oksidatif berperan dalam proses penuaan dan juga beberapa penyakit degeneratif. Menjaga status antioksidan tubuh merupakan hal penting dalam mencegah terjadinya kerusakan oksidatif. Selenium adalah mineral yang penting mengingat perannya dalam pembentukan enzim antioksidan (selenoprotein), salah satunya glutation peroksidase untuk perlindungan terhadap radikal bebas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan antara asupan selenium dan aktivitas glutation peroksidase dengan karbonil plasma pada usia lanjut. Metode Penelitian: Penelitian potong lintang ini dilakukan di 5 Posbindu di Jakarta Selatan. Dilakukan wawancara untuk mengetahui identitas dan riwayat penyakit kronis. Data aktivitas fisik didapat melalui wawancara dengan kuesioner Physical Activity Scale for the Elderly (PASE). Indeks massa tubuh diperoleh dari hasil pemeriksaan antropometri berupa berat badan dan tinggi badan dari konversi tinggi lutut. Data asupan makan subjek diperoleh dari wawancara food recall 24 jam pada satu hari kerja dan satu hari libur serta Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). Pemeriksaan laboratorium dilakukan di laboratorium biokimia FKUI untuk mengetahui aktivitas glutation peroksidase, dan karbonil plasma. Hasil: Sebanyak 94 usia lanjut dengan rerata usia 70,34 ± 6,079 tahun mengikuti penelitian ini. Sebanyak 40% subjek mempunyai status gizi normal dengan 69,1% subjek memiliki riwayat penyakit kronis. Sebanyak 75,5% subjek pada penelitian ini belum mencukupi kebutuhan asupan selenium yang direkomendasikan Rerata kadar karbonil plasma 5,83 ± 1,95 nmol/ml dan 69,1% subjek mempunyai aktivitas glutation peroksidase yang rendah.. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat korelasi antara asupan selenium dengan aktivitas glutation peroksidase. Pada analisis multivariat asupan selenium dan tiga variabel perancu yaitu usia, indeks massa tubuh, dan asupan beta karoten hanya mempengaruhi kadar karbonil plasma sebanyak 3,7%. Diskusi: Hasil asupan selenium pada penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya. Makanan sumber selenium banyak berasal dari makanan berprotein yang dikonsumsi sehari-hari sehingga data asupan selenium didapat dari gabungan antara food recall 2 x 24 jam dan SQ-FFQ. Pemeriksaan status kognitif subjek juga perlu dilakukan untuk memastikan ada tidaknya gangguan kognitif. Pemeriksaan status antioksidan endogen lain seperti glutation (GSH) juga perlu dilakukan pada penelitian berikutnya untuk mengetahui faktor lain yang mempengaruhi aktivitas glutation peroksidase dalam menekan kerusakan oksidatif pada usia lanjut.

ABSTRACT
Introduction: Oxidative stress contributed in aging process and several degenerative diseases. Maintaining the body's antioxidants status were important to prevent oxidative stress. Selenium was an important trace element due to as a component of antioxidants enzymes (selenoproteins), including glutathione peroxidase for protection against free radical. We aimed to study the association between selenium intake and glutathione peroxidase activity with plasma carbonyl in elderly. Methods: Cross sectional study was held in 5 elderly communities in south Jakarta. Identity and chronic disease history were obtained from interview and Physical activity scale for the elderly (PASE) questionnaire used for assess physical activity. Weight and knee height measurement used to determine body mass index. Dietary intake data obtained from repeated 24 hours recall and Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). laboratory examination held in laboratory of biochemistry FKUI for assess glutathione peroxidase activity and plasma carbonyl level. Results: There were 94 elderly with mean of age 70.34 ± 6.079 years old contributed to this study. 40 % subjects had normal nutritional status and 69.1 % subject had history of chronic disease. There were 75.5 % subject had low intake of selenium. Mean of plasma carbonyl was 5.83 ±1.95 nmol/ml and 69.1% subject had low glutathione peroxidase activity. Statistical analysis results showed there were no significant correlation between selenium intake and glutathione peroxidase. In multivariate analysis selenium intake, age, body mass index, and beta-carotene intake explained 3,7% of the plasma carbonyl. Discussion: The result of selenium intake in current study much lower than previous study. Dietary selenium data obtained from repeated 24 hours recall combine with FFQ-SQ because the selenium food source similar with protein foods that consume daily. Assessment of cognitive function among subject needed for ensure cognitive status related to ability to remember dietary intake. Status of endogen antioxidant including glutathione (GSH) need to be considered for understanding about another factor that influence glutathione peroxidase in preventing oxidative stress."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thia Juniaty Manik
"KORELASI ANTARA KADAR VITAMIN D DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA SISWA SMA DI DEPOK, JAWA BARATThia Juniaty Manik1, Novi Silvia Hardiany2, Erfi Prafiantini1 1. Departemen Ilmu Gizi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia2. Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler, Fakuktas Kedokteran Universitas IndonesiaE-mail :tjmanik@gmail.com AbstrakKeberhasilan dalam pendidikan tidak hanya ditentukan oleh sistem pendidikan, tetapi juga kemampuan kognitif para siswa. Siswa dengan kemampuan kognitif tinggi akan dapat menyerap pelajaran dengan baik. Nutrisi yang dikonsumsi merupakan faktor penting yang berkontribusi pada pengembangan daya kognitif. Penelitian-penelitian sebelumnya telah menghubungkan mikronutrien vitamin D dengan berbagai hasil yang berkaitan dengan kesehatan. Namun, hanya sedikit yang meneliti hubungan vitamin D dengan fungsi kognitif dan hasilnya masih belum konklusif terutama pada remaja. Penelitian ini mengeksplorasi hubungan vitamin D dengan fungsi kognitif pada siswa sekolah menengah atas di Kota Depok. Sebanyak 64 siswa dari 4 SMA di Kota Depok, menjalani tes fungsi kognitif. Hasil utama yang dinilai adalah tes kognisi untuk fleksibilitas kognitif BCST test , planning tower test , dan working memory digit span backward test . Hasil sekunder adalah status sosial ekonomi, asupan vitamin D, skor paparan sinar matahari, kadar haemoglobin, skor family assessment device, skor strenght and difficulties dan aktivitas fisik siswa. Tiga jenis tes yang digunakan adalah : BCST test, Tower Hanoi test, dan Digit backward test. Dari 64 subyek yang ikut penelitian ini 62,5 mengalami kekurangan vitamin D

Success in education is not only determined by the education system, but also the cognitive power of the students. The students with high cognitive abilities will be able to absorb the lessons well. Nutrition consumed is one of the important factors that contributes to cognitive power development. Previous studies have linked micronutrient vitamin D to various health related outcomes. However, only few examined the correlation of vitamin D to cognitive function, and the result is still inconclusive especially in adolescent. This study explores the correlation of vitamin D to cognitive function in high school students. A samples of 64 adolescents from 4 high schools in Depok City, underwent cognitive function tests. The main outcomes assessed were cognitive flexibility, planning, and working memory test. The secondary outcomes were social economic status, dietary intake of vitamin D, sun light exposure score, haemoglobin level, family assessment device, strenght and difficulties score and physical activity. Sixty four participants 62,5 were vitamin D deficiencies "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Rachmat Kurniawan
"Kekuatan otot adalah salah satu tanda vital yang dapat menentukan risiko fungsi fisik serta risiko mortalitas. Laju penurunan kekuatan otot terjadi lebih cepat dibandingkan dengan laju penurunan massa otot. Kami menghubungkan salah satu faktor yang dapat memengaruhi penurunan kekuatan otot dengan fase awal diabetes, yang juga terkait dengan resistensi insulin. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan nilai HOMA-IR dengan kekuatan relatif genggaman tangan pada wanita dewasa di Jakarta. Kami menggunakan metode cross sectional dan diperoleh 68 subjek. Data diperoleh melalui handgrip dynamometry, sampel darah, food recall 3 x 24 jam, pengukuran antropometri, dan kuesioner aktivitas fisik. Median nilai HOMA-IR 2,765 (0,62 – 6,12). Rerata kekuatan absolut genggaman tangan 25,32 ± 2,27 kg. Hasil kekuatan relatif genggaman tangan melalui perhitungan kekuatan absolut genggaman tangan dibagi berat badan diperoleh median 0,39 (0,22 – 0,61). Hasil uji statistik regresi linier dengan metode Enter menunjukkan tidak ada asosiasi yang signifikan antara HOMA-IR dengan kekuatan relatif genggaman tangan setelah dikontrol dengan IMT sebagai faktor perancu.

Muscle strength is one of the vital signs that can determine the risk of physical function and overall mortality. The rate of decline in muscle strength occurs faster than the rate of decline in muscle mass. We relate one of the factors that can influence the decrease in muscle strength to the early phase of diabetes, which is also associated with insulin resistance. We aim to determine the association between HOMA-IR value and relative hand grip strength in adult women in Jakarta. We used a cross-sectional method and obtained 68 subjects. Data were obtained through handgrip dynamometry, blood samples, 3 x 24 hours food recall, anthropometric measurements, and IPAQ-SF questionnaires. The HOMA-IR value was obtained with a median of 2.765 (0.62 - 6.12). An average of 25.32 ± 2.27 kg resulted from absolute hand grip strength. While the results of the relative handgrip strength are dividing the absolute handgrip strength by body weight, a median of 0.39 (0.22 - 0.61) was obtained. The linear regression statistical test using the Enter method showed no significant relationship between HOMA-IR and relative hand grip strength after controlling for BMI as a confounding factor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Fauziyana
"Diet quality among elderly could benefit to support healthy ageing, but data on these issues were still limited to be found in Indonesia. This study aimed to analyze the association between diet quality with different domains of healthy aging among elderly in urban area. A cross-sectional study was conducted among 126 elderly aged > 60 years in five community health center across Jakarta province. Diet quality was scored based on Healthy Eating Index (HEI) 2015. Healthy aging domains measured were physical function based on Activity Daily Living (ADL); cognitive function assessed by Mini-Mental State Examination (MMSE); psychological health measured by Geriatric Depressive Screening Scale (GDS); and social engagement index. General characteristics of subjects measured using a structured questionnaire to obtained data on age, sex, education, income, smoking status, disease history, and nutritional status based on Mini Nutritional Assessment – Short Form (MNA-SF). Association of diet quality with healthy aging domains was analyzed using linear regression test. The study showed the majority of subjects were early elderly (94.4%), female (57.1%), have high education (49.2%) and income of 2 million rupiahs (45.2%). Diet quality among subjects was poor with mean HEI score 46.1 + 8.5. Prevalence of functional disability (56.3%) and cognitive impairment (46.8%) were high. While the indication of depression was 9.5% and active engagement was 86.5%. There was no significant association found between HEI score with all healthy aging domains. However, improvement in diet quality, functional, and cognitive ability need to be considered. Further investigation using different approach need to be conducted in future studies.

Kualitas asupan makan pada lansia dapat mendukung status penuaan yang sehat. Namun, data yang mendukung dalam isu ini masih terbatas ditemukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kualitas asupan makan lansia dengan beberapa domain status penuaan sehat di daerah perkotaan. Studi potong lintang dilakukan pada 126 lansia usia > 60 tahun di lima Puskesmas wilayah DKI Jakarta. Kualitas asupan makan dinilai berdasarkan Healthy Eating Index (HEI) 2015. Domain status penuaan sehat yang diukur adalah kemampuan fungsional yang dinilai dengan Activity Daily Living (ADL); fungsi kognitif dinilai dengan Mini-Mental State Examination (MMSE); domain psikologis diukur dengan Geriatric Depressive Screening Scale (GDS); dan indeks keterlibatan dalam aktifitas sosial. Karakteristik subjek yang diukur antara lain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, penghasilan, riwayat merokok dan penyakit kronis, serta status gizi yang diukur berdasarkan Mini Nutritional Assessment – Short Form (MNA-SF). Asosiasi antara kualitas asupan makan dengan domain penuaan sehat dianalisis menggunakan tes regresi linier. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas subjek merupakan lansia awal (94,4%), perempuan (57,1%), tingkat pendidikan tinggi (49,2%), dan berpenghasilan 2 juta rupiah (45,2%). Kualitas asupan makan pada subjek rendah dengan rata-rata skor HEI 46,1+8,5. Prevalensi ketergantungan fungsional (56,3%) dan gangguan kognitif (46,8%) cukup tinggi, sedangkan prevalensi depresi sebesar 9,5% dan tingkat keterlibatan sosial sebesar 86,5%. Tidak ada hubungan signifikan yang ditemukan antara skor HEI dengan semua domain status penuaan sehat, namun peningkatan kualitas asupan makan, kemampuan fungsional, dan kognitif perlu diperhatikan. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode pengukuran dan pendekatan yang berbeda perlu dilakukan pada studi selanjutnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library