Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ressi Dwiana
"Disertasi ini membahas bagaimana para pendukung radio komunitas berusaha mempertahankan eksistensi penyiaran tersebut di tengah kondisi regulasi yang mempersulit penyiaran komunitas. Regulasi, berupa produk hukum dan proses implementasinya, diasumsikan sebagai penyebab utama kemunduran radio komunitas. UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 adalah regulasi yang mengakui keberadaan penyiaran komunitas. Meskipun demikian, di dalam UU tersebut, radio komunitas dituntut agar menjadi penyiaran yang utopis: bersifat independen, tidak komersial, dan melayani kepentingan komunitasnya. Di sisi lain, tidak ada dukungan nyata dari negara, bahkan dalam aturan-aturan pelaksanaan, pemerintah membuat batasan-batasan yang sangat ketat sehingga mempersulit kehidupan radio komunitas. Persoalan-persoalan yang muncul akibat regulasi yaitu terkait masalah perizinan, keuangan, alokasi frekuensi, pembatasan kekuatan jangkauan dan siaran, dan pencapaian tujuan radio komunitas. Selain tekanan regulasi, radio komunitas juga kehilangan dukungan dari kelompok masyarakat sipil karena perkembangan teknologi media dan polarisasi kepentingan masing-masing kelompok. Dalam iklim regulasi yang menekan dan gerakan masyarakat sipil yang semakin lemah, upaya para praktisi untuk mempertahankan eksistensi radio komunitas dilakukan dengan berbagai cara. Upaya-upaya tersebut ada yang berhasil membuat radio komunitas dapat terus bertahan. Namun, akar permasalah utama radio komunitas, yaitu regulasi, tidak pernah terselesaikan.
This dissertation discusses about how community radio supporters try to maintain the existence of this media in the midst of regulatory conditions that complicate community broadcasting. Regulation and its implementation process, are assumed to be the main cause of the decline of community radio. Broadcasting Law No. 32/2002 is the regulation that recognizes the existence of community broadcasting. However, community radio required to be a utopian broadcast: independent, noncommercial, and serves the interests of its community. On the other hand, there is no real support from the state, even in the implementing regulations, the government makes very strict restrictions that complicate the life of community radio. Problems that arise as a result of regulation are related to licensing, finance, frequency allocation, limitation of coverage and broadcast power, and achievement of community radio goals. Apart from regulatory pressure, community radio also lost support from civil society groups due to developments in media technology and the polarization of interests in civil society. In a climate of oppressive regulations and a weakening civil society movement, practitioners' efforts to maintain the existence of community radio are carried out in various ways. Some of these efforts have succeeded in making community radio sustainable. However, the root of the main problem of community radio, regulation, has never been resolved."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Angeliqa
"ABSTRAK
Iklan adalah sebuah produk media yang merepresentasikan realitas dalam berbagai
tanda yang ditentukan oleh para pekerja iklan. Sayangnya sebagaimana produk media
lain yang mengakomodir budaya patriarki, iklan masih menggambarkan ruang lingkup
perempuan dalam ranah privat atau sebagai objek dengan unsur sensualitas semata.
Keterlibatan perempuan dalam industri iklan ternyata tidak dibarengi dengan produk
teks iklan yang berperspektif gender. Hal ini disebabkan karena setiap arena selalu
dipenuhi dengan kontestasi dan kekerasan simbolik. Penelitian ini bertujuan melihat
logika praktis perempuan dalam menampilkan teks yang mengarusutamakan gender
pada praktek keseharian sebagai bentuk tampilan habitus dan penempatan kapital pada
banyak arena industri iklan. Penelitian ini menggunakan teori Habitus-Arena-Kapital
dari Pierre Bourdieu. Serta didukung pula dengan konsep tentang gender. Paradigma
yang digunakan adalah critical constructionism, dan penelitian ini dikategorikan dalam
kelompok eksploratif dengan pendekatan fenomenologi hermeneutik berdasarkan
pemikiran Paul Ricoeur. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam dan observasi non-partisipan kepada CEO perempuan. Hasil yang
diperoleh adalah gambaran berbagai kapital sejak subjek kecil hingga capaian di masa
dewasa. Penelitian juga menggali habitus primer yang diinternalisasi pada perempuan
pemimpin. Habitus ini diwariskan dalam bentuk peniruan (untuk habitus yang
berkenaan dengan kebertubuhan), pengingatan (untuk habitus pemikiran), serta
pengalaman yang dialami sendiri maupun sekedar melihat/mendengar pengalaman
orang-orang terdekat. Habitus menubuh maupun habitus pemikiran banyak tinggal
menetap hingga subjek dewasa. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa di masa
dewasa, habitus bertransformasi dalam berbagai arena dan memperlihatkan
kecenderungan terdominasi oleh doxa kapitalis yang sangat kuat. Sedangkan kekerasan
simbolik yang dialami subjek pada masa kecil berkelindan dengan doxa kapitalis dan
diduplikasi tanpa sadar dalam konteks-konteks yang memiliki kemiripan. Pada
akhirnya, diskusi penelitian juga membahas tentang munculnya implikasi-implikasi
teoritis, metodologis, dan praktis berdasarkan temuan. Implikasi teoritis ditandai oleh
temuan tentang kontestasi habitus subjek dengan aktor yang sama dalam beberapa
arena dengan doxa yang jauh lebih kuat dan resiko yang lebih mengikat. Sementara
implikasi metodologis ditandai oleh kemampuan fenomenologi hermeneutik dalam
mengungkap fakta-fakta lain yang menyertai pengalaman esensial subjek. Penggunaan
fenomenologi hermeneutik dalam penelitian dengan trilogi habitus-arena-kapital
dengan lokus gender adalah salah satu poin utama yang mensahkan Bourdieu sebagai
tokoh post-strukturalis. Sementara implikasi praktis berupa saran memasukan aspek
habitus dan kapital dalam rekrutisasi calon pemimpin perempuan untuk mendapatkan
aktor yang memiliki visi pemberdayaan

ABSTRACT
Advertising is a media product that represents reality in various signs determined by
advertising workers. Unfortunately, as with other media products that accommodate
patriarchal culture, advertising still describes the scope of women in the private sphere
or as objects with mere sensuality. Gender-based advertisement text products did not
accompany with the involvement of women in the advertising industry. It is because of
contestation and symbolic violence that are filling every field. This study aims to look
at the womens logic of practice in presenting texts that mainstream gender into daily
practice as a form of display of Habitus and the placement of capital in many fields of
the advertising industry. This study used the Habitus-Arena-Capital theory of Pierre
Bourdieu, and also supported by the concept of gender. The paradigm applies critical
constructionist, and this study is using an exploratory perspective with a hermeneutic
phenomenology approach based on Paul Ricoeurs thinking. Data collection techniques
used in-depth interviews and non-participant observation to female CEOs. Stages of
hermeneutic phenomenology analysis are used as data analysis techniques. The results
obtained are a description of various capital from a small subject to achievement in
adulthood. Research also explores primary habitus internalized in female leaders in
childhood. This habitus is inherited in the form of imitation (for habitus relating to
physicality), remembrance and experience (for habitus of thoughts), as well as direct
experience by saw or heard of the relatives. The embodied habitus, as well as many
thought habitus, stay settled until adult. The results of the study also show that in
adulthood, habitus transformed in various fields and showed a tendency to be
dominated by very strong capitalist doxa. While symbolic violence experienced by
subjects in childhood intertwined with capitalist doxa and duplicated unconsciously in
their adulthood in similar contexts. Finally, the research discussion also discussed the
emergence of theoretical, methodological and practical implications based on the
findings. The theoretical implications are describing subject habitus contestation with
the same actors in several fields with doxa that is much stronger and more binding
risks. While the methodological implications are pointing on the ability of hermeneutic
phenomenology to uncover other facts that accompany the essential experience of the
subject. The interwind of hermeneutic phenomenology in research with the habitusarena-
capital trilogy with a gender locus is one of the main points that legitimizes
Bourdieu as a post-structuralist figure, while the practical implications in the form of
suggestions include aspects of habitus and capital in the recruitment of prospective
female leaders to get actors who have a vision of empowerment"
2018
D2606
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliyanto Budi Setiawan
"Studi ini mengeksplorasi ideologi dominan yang melatarbelakangi penyebab pelabelan-pelabelan atas janda di media televisi (khususnya tayangan FTV ‘Kisah Nyata’ Indosiar); sekaligus mencari data tentang konsumsi teks serta praksis sosial yang terkait dengan pelabelan-pelabelan janda di media televisi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan wacana kritis dan memilih pemikiran Howart S. Becker mengenai labeling sebagai pemikiran utama, dipadukan dengan perspektif feminis sosialis dan Standpoint Theory. Paradigma dalam penelitian ini sendiri berupa paradigma kritis. Adapun hasil penelitian dalam studi ini yaitu: berdasarkan hasil temuan Analisis Wacana Kritis di level mikro menunjukkan adanya dua klasifikasi besar pelabelan, yakni pertama, adanya label identitas yang melekat (bahwa janda oleh media, selalu dilekatkan dengan karakter jahat/negatif yang tentunya berbeda dengan perempuan-perempuan pada umumnya), dan kedua, janda digambarkan sebagai sosok yang patut disalahkan. Selanjutnya, produksi teks level meso menunjukkan bahwa koordinator FTV sama sekali tidak memiliki kesadaran gender dan menilai janda memang berperilaku ‘miring’ dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan hasil temuan praktik konsumsi teks di level meso, semua informan ternyata tetap menonton tayangan sarat label atas janda tersebut, bahkan ada yang menikmatinya. Sementara itu, untuk temuan di level makro menunjukkan kuatnya praktik patriarki dan kapitalisme dalam berbagai konteks kehidupan. Adapun dua kebaruan yang ditawarkan dalam studi ini, yakni pertama, belum ada teori media yang memadai dan mampu menjawab fenomena komunikasi yang sedang peneliti kaji, sehingga peneliti menarik teori labeling Becker dari ranah sosiologi ke ranah komunikasi (media studies), karena teori ini mampu dan memadai dalam menjelaskan adanya pelabelan atas kaum minoritas (janda) di konten media massa. Hal ini didukung dengan studi-studi terdahulu yang biasa menggunakan pemikiran labeling untuk penelitian komunikasi. Kedua, Minority Labeling Theory sebagai perpaduan konsep mengenai pemikiran labeling dari Becker, dipadukan dengan perspektif feminis sosialis dan Standpoint Theory.

This study explored about dominant ideology that underlying the caused of labels toward janda on television (especially Film Television (FTV) Programme ‘Kisah Nyata’ Indosiar); and also searched data about text consumption dan social praxis that related with labeling toward janda on television. Therefore, to answer it, the researcher use critical discourse analysis and Howard S. Becker’s concept about labeling as background of way of thinking, then that was combined with sosialis feminist perspective and Standpoint Theory. This research paradigm is critical paradigm. Thus, this research result were: based on finding on micro level of critical discourse analysis stated that there are two major classified of labeling, the first, there are identity labels which attached (janda always be labeled by media as bad character/negative that different from another women’s character that has not janda status); the second, janda is depicted as a figure who deserves the blame. Beside that, on meso level analysis shown that FTV Program Production Coordinator have no gender sensitivity at all, he also thinks that janda was bad person on reality. Whereas, consumption practice on level meso found that all of the informants still watch every labeling content of janda on FTV, even there is informant who enjoy to watch it. Meanwhile, the findings at the macro level show the strong practice of patriarchy and capitalism in various contexts of life. There are two novelties on this study, the first, there are not yet media theory that capable to answer communication phenomena which the researcher did, so that the researcher picked Labeling Theory (Becker) from sosyology field to communication field (media studies), because this theory capable to explain labeling of minority (janda) on media content. Based on the prior studies, there are several research about labeling on communication field. The second, this research had resynthesis Minority Labeling Theory as fusion of Becker’s labeling and feminist socialist perspective and also Standpoint Theory."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuria Astagini
"Perempuan PRT adalah perempuan pekerja yang menerima upah dengan melakukan pekerjaan domestik. Di Indonesia, perempuan PRT masih dikategorikan sebagai anggota keluarga sekaligus pekerja. Oleh karena itu muncul pemahaman yang mempersepsikan bahwa perempuan PRT bukanlah pekerja profesional. Hal ini mengakibatkan relasi yang tidak setara antara perempuan PRT dan pihak lain, dan memunculkan perbedaan kewenangan bagi mereka. Salah satu upaya perempuan PRT untuk mensetarakan posisi adalah melalui ekspresi narasi terkait profesi profesi mereka. Studi ini mengkaji narasi identitas profesi yang diekspresikan oleh perempuan PRT dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik. Serta dengan memasukkan konsep kewenangan serta aspek emosi yang muncul dari proses interaksi. Pengumpulan data dilakukan dari enam perempuan partisipan penelitian yang berprofesi sebagai PRT di daerah Jabodetabek, ditambah tujuh orang partisipan penelitian yang merupakan pengguna jasa dan anggota keluarga perempuan PRT. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh beberapa temuan, antara lain bahwa proses pembentukan identitas profesi pada perempuan PRT terjadi melalui interaksi antara mind, self dan society dalam interaksi soaial dengan pihak lain. Partisipan menggunakan istilah pembantu dan asisten untuk mengidentifikasi profesi mereka. Namun partisipan melekatkan makna baru pada kata pembantu, yaitu sebagai pekerja keras yang berpengalaman dan terampil, jauh berbeda dari konsep pembantu yang dikenal masyarakat selama ini. Pembentukan makna profesi yang dipahami oleh para partisipan tidak lepas dari peranan significant others yaitu keluarga yang berinteraksi dengan partisipan.Dalam interaksinya dengan keluarga, partisipan mempertukarkan simbol posisi. Sedangkan dalam interaksi dengan pengguna jasa mereka mempertukarkan simbol profesi. Dalam interaksi ini, para partisipan tidak hanya menerapkan aspek Me yang bersifat sosial tetapi juga mengedepankan aspek I yang aktif untuk menunjukkan bahwa perempuan PRT memiliki posisi tawar. Proses interaksi juga merupakan sarana pembelajaran bagi perempuan PRT untuk mendapatkan sumber daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai strategi penolakan untuk mensetarakan posisi mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Domestic workers are women who receive wages by doing domestic work. In Indonesia, domestic workers still categorized as a family member as well as a worker. Therefore, they are not perceived as professional workers which make them unequal with other parties and lead to differentiation of power. To equalize their position, women domestic workers expressing narratives regarding their profession. This study is observing the narrative expression of work identity by women domestic workers with the use of Symbolic Interactionism theory. Also, by incorporating the concept of power and emotional aspects that emerge through the interaction process. Data collection was conducted on six women research participants who work as domestic workers in the Greater Jakarta area (Jabodetabek), with the addition of seven research participants consist of the employer and domestic worker’s member of the family. Based on the results of data analysis, several findings were obtained, among others work or profession identification in women domestic workers occurs through the interactions of mind, self and society in their social interactions with other parties. The participants were using term helper and assistant to identify their profession. Yet, research participants embed new meaning in the term of helper, which is identified as hardworking women, experienced and skillful. This definition differs from the existing definition of helper in society. The meaning making of the profession by the participants cannot be separated from the significant others, namely the family who interacts with the participants. In their interaction with the family, the participants are exchanging the symbols of position. While interacting with the employers, they are exchanging the symbols of profession. In these interactions, the participants apply not only the social aspect of me but also put forward the I aspect which is active to show that women domestic workers do have bargaining position. Interaction process also become a learning field for women domestic workers to gain capital and formulating resistance strategy which they use to equalize their position in their daily lives."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library