Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djarwanto
Abstrak :
Di alam banyak ditemukan jamur pelapuk kayu yang dapat dimakan. Salah satunya adalah genus Pleuratus (jamur tiram), yang merupakan salah satu perombak utama bahan lignoselulosa di hutan tropis (Kurtzman & Zadrazil, 1982). Jamur tersebut telah diterima masyarakat sebagai sumber bahan makanan tambahan (Suprapti, 1987). Jamur tiram memiliki nilai gizi cukup baik (Crisan & Sand, 1978; Bano & Rajarathnam, 1982, dan Djarwanto & Suprapti, 1992), Selain itu, jamur P. ostrecrrrrs dapat menghambat pertumbuhan tumor pada tikus sebesar 75,3% (Chang, 1993). Kayu akasia (Acacia mangium Willd.), damar (Agathis borneensis Warp.), dan karet (Hevecr brasiliensis Muell. Arg.) merupakan tiga dari beberapa jenis kayu yang dikembangkan sebagai pohon hutan tanaman industri. Di Indonesia, limbah lignoselulosa yang merupakan produk sampingan industri kehutanan terdapat melimpah. Tanpa perlakuan terhadap limbah tersebut maka proses pelapukan secara alami akan memakan waktu yang relatif lama, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Mempertimbangkan bahwa sumber daya kayu dan jamur pelapuk banyak terdapat di Indonesia, maka terbuka peluang untuk memanfaatkannya secara bersamaan sehingga akan diperoleh nilai tambah yang lebih baik dibandingkan apabila dimanfaatkan secara terpisah atau dibiarkan begitu saja. Dengan memanfaatkan kekayaan tersebut secara bijaksana, diharapkan akan mempunyai andil dalam pelestarian sumberdaya alam dan kemungkinan terbukanya lapangan kerja Baru. Ketahanan kayu yaitu daya tahan suatu jenis kayu terhadap beberapa faktor seperti jamur, serangga, dan binatang laut. Di daerah tropis, nilai suatu jenis kayu untuk keperluan konstruksi sangat ditentukan oleh keawetannya, karena kayu yang berkelas kuat satu, tidak akan ada artinya jika kelas awetnya rendah, sehingga kelas pakainya juga rendah. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan produktivitas sembilan isolat jamur Pleurolus dalam mengkonversi limbah lignoselulosa menjadi biomasa yang dapat dimakan, dan kemampuan jamur tersebut melapukkan balok tiga jenis kayu hutan tanaman. Jenis jamur yang diteliti yaitu Pleurolus flabellalrrs Berk. & Br., P. oslrealus Jacq. ex Fr., dan P. sajor-caju (Fr) Sing., masing-masing terdiri dari tiga isolat yang diperoleh dari lapangan di Jawa Barat dan koleksi Puslitbang Hasil Hutan, Bogor. Untuk mengetahui pertumbuhan miselium jamur pada media agar dipergunakan Malt Extract Agar (MEA), dan Potato Dextrose Agar (PDA) dalam cawan petri. Media produksi dibuat dari serbuk gergaji kayu akasia, damar, dan karet, masing-masing sebanyak 77,5%, ditambah dengan dedak 20%, gips 1,0%, CaCO3 1,0%, urea 0,5%, dan air suling secukupnya. Masing-masing komposisi dicampur hingga homogen dan dimasukkan ke dalam kantong plastik PVC sebanyak 450 gram, kemudian disterilkan dan diinokulasi dengan isolat jamur tersebut. Efisiensi konversi biologi (EKB) dinyatakan dalam persentase bobot tubuh buah jamur segar terhadap bobot bahan media kering, sesuai dengan penelitian Silverio el al. (1981), Royse (1985), Diable & Royse (1986), dan Madan el al. (1987). Kemampuan jamur dalam melapukkan balok kayu diuji dengan metode Kolleflask sesuai standar DIN 52176. Sebagai pembanding digunakan Schizophyllum commune Fr. Data bobot tubuh buah, jumlah pilaus, frekuensi panen, nilai EKB dan pengurangan berat balok kayu dianalisis dengan menggunakan rancangan faktorial 3x3x3 (jenis kayu, jenis jamur dan isolat) dengan lima ulangan. Hasilnya menunjukkan bahwa miselium jamur Pleurolus dapat tumbuh baik pada media MEA maupun PDA. Laju pertumbuhan miselium pada media agar berkisar antara 5,5-8,8 mm/hari. Laju pertumbuhan yang tinggi ditemukan pada P. ostreatus isolat II, sedangkan yang rendah pada P. flabellatus isolat II. Isolat jamur yang cepat tumbuh untuk masing-masing jenis yaitu P. flabellatus isolat III, P. ostreatus isolat I dan II, dan P. sajor-caju isolat I dan III. Sampai umur tiga minggu setelah inokulasi, pertumbuhan miselium pada permukaan media serbuk gergaji kayu akasia paling cepat. Laju pertumbuhan miselium berturut-turut adalah P. ostreatus, diikuti P. sajor-caju, dan yang paling lambat adalah P. flabellatus. Laju pertumbuhan yang cepat adalah P. ostreatus isolat I & II, dan P. sajor-caju isolat I & III. Permulaan panen jamur tercepat adalah P. flabellatus isolat III, diikuti oleh P. flabellatus isolat II & I, dan yang paling lambat adalah P. sajor-caju isolat II. Frekuensi panen dan jumlah pileus P. flabellatus adalah paling tinggi. Frekuensi panen yang tinggi umumnya pada isolat II, sedangkan jumlah pileus isolat I umumnya paling banyak. Kemampuan jamur Neuron's dalam mengkonversi media yang paling tinggi adalah pada kayu karet, dan yang paling rendah pada kayu damar. Produktivitas dan biokonversi yang tinggi dihasilkan oleh P. ostretus isolat I dan II, P. flabellatus isolat I, sedangkan P. sajor-caju hampir sama untuk masing-masing isolat. P. flabellatus isolat I dan II merupakan strain yang berbeda dengan isolat III, P. ostreatus isolat I adalah satu strain dengan isolat III yang berbeda dengan isolat II, sedangkan P. sajor-caju isolat I dan III memiliki strain yang berbeda dengan isolat II. Pemanfaatan limbah serbuk gergaji tersebut merupakan salah satu upaya mengefisiensikan pemanfaatan sumber daya kayu yang berimplikasi pada konservasi sumber daya alam, karena biokonversi membantu mempertahankan lingkungan dari timbunan sisa bahan organik yang berlebihan, dan memberikan nilai tambah berupa biomassa jamur yang dapat dimakan. Kemampuan P. sajor-caju melapukkan kayu rendah, sedangkan kemampuan P. ostrealus lebih tinggi. Pada umumnya ketiga jenis jamur Pleurotus isolat II dan lII lebih merusak kayu daripada isolat I. Derajat pelapukan kayu akasia oleh jamur Pleurolus tidak berbeda dengan damar, sedangkan pada kayu karet lebih tinggi. Pengurangan berat kayu yang tinggi ditemukan pada kayu karet yang diinokulasi dengan P. ostreatus isolat II dan P. flabelatus isolat III. Kemampuan jamur Pleura's dalam melapukkan contoh uji balok kayu umumnya lebih rendah dibandingkan dengan S. commune.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhian Kusumawardhani
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini menganalisis implementasi kebijakan difusi teknologi dan proses difusi teknologi di level operasional dalam konteks pemberdayaan UMK melalui iptekda LIPI di beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat dan Jawa Timur selama kurun waktu 2000-2011. Pengalaman pelaksanaan iptekda LIPI dalam melaksanakan kegiatan difusi teknologi di kedua wilayah sangat bermanfaat untuk menentukan pola pemberdayaan UMK melalui difusi teknologi. Guna menunjang hasil analisis, pendekatan post-positivisme dengan metode pengumpulan data secara kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa baik aspek isi dan lingkungan kebijakan menentukan keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan difusi teknologi di kedua wilayah penelitian. Hasil penelitian ini merekomendasikan agar pembelajaran dari studi kasus iptekda LIPI dapat menghasilkan mekanisme difusi teknologi secara bottom-up yang dapat menciptakan para pemimpin opini di daerah yang didukung oleh perubahan sistem pelaksanaan kegiatan difusi teknologi maupun sistem penghargaan bagi para pelaku UMK maupun agen perubah dan lembaga pelaksananya sehingga kebijakan difusi teknologi bagi pemberdayaan UMK tidak lagi dilihat sebagai proyek semata. Disamping itu, penambahan mitra kerjasama yang memiliki kewenangan dan kekuasaan yang lebih besar di tingkat kementerian/lembaga, dinas-dinas terkait, desa, dan asosiasi UMK merupakan strategi bagi aktor-aktor difusi teknologi untuk mengembangkan cakupan penerima manfaat dan keberlanjutannya
ABSTRACT
This dissertation analyzes the implementation of technology diffusion policy and the process of technology diffusion at the operational level in the context o f Micro and Small Enteprises (MSEs) empowerment in several regencies and cities in West Java and Malang Raya during the period of 2000-2001. The experience of the iptekda LIPI implementation in conducting technology diffusion in both areas is useful for determining the design of MSEs empowerment through technology diffusion. To support the results of the analysis, post-positivism approach with qualitative data collection method is employed in this research. The findings indicate that both the aspect of content and policy environment determine the success or failure of the implementation of the technology diffusion policy in the two research contexts. The findings of this research suggest that from the case study of iptekda LIPI, a bottom-up mechanism of technology diffusion which can create opinion leaders supported by the transformation of the implementation system of technology diffusion and remunerations for agents of change and institutions implementing the technology diffusion. Thus, the technology diffusion policy for the empowerment of MSEs is no longer seen merely as a project. Furthermore, the involvement of partners which have bigger authority and power at the level of ministry/institution, related agencies, villages and MSEs association becomes a strategy for the actors of technology diffusion, such as LIPI and universities, to expand the scope of beneficiaries and sustainability.
2016
D2236
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library