Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Makhdum Priyatno
"Perubahan besar hasil reformasi belum diimbangi dengan perubahan dalam birokrasi. Birokrasi masih berpola seperti sebelum reformasi.Perkembangan cepat di luar birokrasi mencemaskan birokrasi, karena akan terjadi kooptasi birokrasi oleh politik untuk kepentingan jangka pendeknya, sementara birokrasi hanya dapat menunggu dan tidak dapat berbuat apa-apa, dan sebaliknya.
Topik ini menjadi penting untuk dijadikan fokus penelitian disertasi karena meritokrasi sebagai alternatif pemecahan masalah, setelah rekonseptualisasinya dalam penempatan pejabat di NKRI, dapat befugsi sebagai katalisator bagi interaksi demokrasi dan birokrasi.
Masalah penelitian level makro adalah bagaimana menghasilkan rekonsptualisasi regulasi meritokrasi dalam penempatan pejabat; level meso-1 mengenai tata kelola hubungan kerja antar Paguyuban PAN dan antara Paguyuban PAN dengan Kemendagri dan kementerian teknis lainnya; level meso-2 tentang rekonsptualisasi sistem diklat berbasis kompetenensi; dan level mikro mengenai rekonsptualisasi peran lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan pencarian, penemuan dan penempatan pejabat yang kompeten dalam penyelengaraan pemerintahan.
Disertasi ini menggunakan Soft Systems Methodology (SSM)-Based Action Research untuk memperbaiki permasalahan di atas, menyempurnakan dan meningkatkannya sehingga rekonseptualisasi meritokrasi dalam penempatan pejabat untuk birokrasi yang lebih baik dapat dilakukan dengan efektif, efisien, dan sistemik. Tujuh tahap SSM adalah sebuah keniscayaan. SSM dipilih karena memenuhi kriteria yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam dunia nyata birokrasi.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pada level makro, meritokrasi bertumpu pada keberadaan undang-undang mengenai kepegawaian. Pada level meso-1, kordinasi belum diperankan secara stratejik dan pada level meso-2 sistem pendidikan dan pelatihan aparatur berbasis kompetensi belum dapat diwujudkan. Pada level mikro, proses pencarian, penemuan dan penempatan pejabat dalam dilakukan Baperjakat. Namun peran kepala daerah lebih menentukan. Rekomendasi level makro adalah pengesahan segera RUU ASN, meso-1 kordinasi intensif, meso-2 perubahan orientasi diklat berbasis kompetensi, level mikro adalah bahwa pencarian, penemuan, dan penempatan pejabat di daerah tidak dilakukan oleh Baperjakat melainkan oleh lembaga independen dan profesional.

Great change took place in several walk of lives as consequences of reforms in 1998 unfortunately were not followed by the bureaucracy. Changes that created new environment in politics, government, policy making, institutions, service delivery and others, in contrast, within bureaucracy are still absent. It still operates in an oldfashioned version as it used to be. The rapid development of its environment made it needs to reforms itself to anticipate the consequences of the growing democracy in the country.
This background revealed the research question in the field of regulation in macro level, coordination in meso level as well as competency-based training, and in the micro level is the possibility of utilising independent body in placing officers, the activity used to be done by Baperjakat.
This dissertation uses SSM-Based Action Research in order to improve, fix, and perfect the situation considered problematic in the real world. For that purpose, 7 standard steps of SSM used and followed. The research category chosen is following McKay and Marshal, that is research interest as well as problem solving interest.
Conceptualisation of meritocracy in each institutional level shows that potentiality of its application is relatively high, opposite with basic regulation in place, the law on personnel management. Such development accommodated already in the draft new law on State Civil Apparatus.
The conclusion of the research shows that at the macro level, the application of the meritocracy in the placement of the officers relay heavily on the availability of the regulations on personnel. In the meso-1 level, coordination is not yet played in a strategic manner among the Menpan office and its affiliation institution, with ministry oh Home Affairs as well as technical ministries. In the meso-2 level, competency-based training is not in place yet. At the micro level, the process of recruitment, finding, and placement indeed done by Baperjakat. However, the head of the region plays more important decision than the functional body. This dissertation recommends at the macro level that the enaction of the law on State Civil Apparatus is a must and need to be perpetuated, at the meso-1 level intensive coordination is the key to develop meritocracy principles, meso-2 level the changing in the training orientation fo the competency-based is a must, and at the micro level the role Baperjakat should be replaced by the independent and professional body. Another important recommendation is that affirmative meritocracy as a derivation from affirmative actions relay heavily on the availability of affirmative policy in the form of law on State Civil Apparatus."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1506
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengernbangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperii diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis.
Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga semaoam ini ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikernbangkan Iembaga khusus yang otonom tersebut.
Penelitian ini membandingkan antara praktek pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, serta di Hulu Langat Malaysia. Alasan mengangkat ketiganya adalah sama-sama menangani persoalan air irigasi. Malaysia telah lama mengembangkan dewan sumberdaya air di tingkat Nasional dan Negara Bagian. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antar obyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya seoara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupatenf Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia.
Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Disamping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktek bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengaran ke dalam praktek desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenunnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing Praktek desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktekkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Sementara itu, pengaturan kawasan khusus pada level makro pun tidak terkait dengan fungsi irigasi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung ekonomi politik yang rendah dari sektor irigasi pada umumnya dan irigasi tersier pada khususnya.
Implikasi akademik dan praktis dari penelitian ini adalah bahwa konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam wacana akademik Indonesia khususnya memerlukan pengembangan konsep desentralisasi fungsional secara komprehensif terkait konstruksi adminisrasi negara. Kuatnya wacana desentralisasi teritorial menjadi penyebab konstruksi distribusi urusan irigasi hanya berpaku pada model distnbusi pada lingkup desentralisasi teritorial.
Selanjutnya perlu dilakukan penelilian mengenai daya jangkau organisasi ingasi Subak dan dharma tirta, disamping penelitian-penelitian terhadap perlunya mengotonomikan organisasi tersebut pada jenjang yang cukup radikal yang menempatkan petani sebagai bagian dalam proses pengisian struktur politik terlepas dari pemerintahan daerah yang selama ini ada. Penelitian mengenai dampak (ekstmalitas) organisasi pengelola irigasi perlu dilakukan bersamaan dengan uji kepentingan atau nilai strategis kelembagan tersebut bagi masyarakat. Kajian terhadap sektor Iain pun memungkinkan untuk dilakukan.
Terhadap aras empirik, Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian serta pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar Iebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda diperlukan dalam kerangka kepentingan kemajuan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat tergantung kepada urusan irigasi di Indonesia.

Irrigation management closely relates to the distribution of functions among levels of government. It also has a hierarchical system from primary to tertiary level of cannal. The jurisdiction of the irrigation management creates a territory which does not always be symmetric with the administrative governmental area. This nature of irrigation implies an ambiguity of some existing institutions for tertiary water irrigation management at the grassroot level in term of decentralization and local govemment in Indonesia.
In the Netherlands, there are waterschappens instititution which have been established based on functional decentralization for managing irrigation. In the developing countries, functional decentralization has been mis-interpreted by delegation concept according to Cheema, Rondinelli and Nellis_ Functional decentralization in developed countries such as Netherland, Japan, USA, and Germany, are indicated by the existence of autonomous body in the local level. This institution is specific in the nature according to the function should be carried out.
Within both the Unitary state and the Federal state, the aformentioned institution can be established to retiect the complexity of the state. It shows that social and economic problems can be managed not only by local government based on territorial decentralization as ordinary local public body, but also by local institution based on functional decentraiization mechanism as special local public body.
This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in govemmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments.
Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools.
This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deooncentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia.
At the micro level, it is showed that there are some failures in tertiary irrigation management. These failures were results from macro level condition on distribution of functions among levels of govemment that were being developed just based on territorial decentralization concept. This condition created a weak tertiary irrigation institution. Meanwhile, special territory which developed according the law number 32 of 2004 on Local Governance does not relate to irrigation function- lt happened because of low political economic capabilities of irrigation sector, especially in tertiary irrigation level.
There are some academic and practical implications of this research. First, the discourse on decentralization and local government in Indonesia should be developed towards the concept of functional decentralization. Strong discourse on territorial decentralization an sich caused the distribution of functions among levels of government limited to this model distribution of functions in Indonesian local govemment.
Second, advanced research for analyzing tapering of Subak or Dharma Tirta should be conducted, rather than research that analyze the urgency of this organization's autonomy to radical stage which place the farmer as a part of political structure. Future research on irrigation management should be conducted with regards to its positive as well as negative externalities.
Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Unifah Rosyidi
"Kecamatan merupakan struktur tertua dalam struktur pemerintahan subnasional. Sebelum lahir Undang-Undang (UU) Desentralisasi Tahun 1903, Belanda hanya membangun struktur pemerintahan subnasional menurut asas dekonsentrasi dengan kecamatan (onderdistrict) selaku struktur terbawah yang terus dipertahankan hingga jaman kemerdekaan. UU No. 5/1974 menentukan kecamatan tetap sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi yang dipimpin oleh camat sebagau Kepala Wilayah. Lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mengubah secara drastik struktur dan status kecamatan sebagai wilayah kerja Camat selaku perangkat daerah otonom kabupaten/kota. Perubahan drastik tersebut dipandang sebagai reformasi administrasi subnasional sehingga berbagai perubahan yang terjadi, konflik yang diakibatkan oleh reformasi tersebut, dan solusi pemerintah subnasional menarik dikaji.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatiif, unit analisis adalah kecamatan di kota Bogor. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, studi dokumentasi, wawancara mendalam, pengamatan dan diskusu terfokus. Key informan bersifat snow ball. Analisis dilakukan pada pemerintah Kota Boogor dan kecamatan. Data dianalisis melalui tahapan pengumpulan data mentah, transkip, koding, penyimpulan sementara, trianggulasi, dan kesimpulan akhir.
Temuan pada pemerintahan subnasional adalah: Pertama, struktur orga nisasi perangkat daera )OPD) cukup ramping, tetapi dengan dibentuknya 26 UPTD menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Pembentukan UPTD sarat konflik kepentingan elit lokal, dan dalam hal tertentu menjadi sumber konflik antar lembaga. Kedua, Pelimpahan wewenang dari walikota kepada camat merupakan aspek positif tetapi belum didukung oleh pelimpahan personil, peralatan dan pem biayaan (3P), yang memadai. Ketiga, Kewenangan yang diterima dipandang aparat kecamatan sebagai kewenangan setengah hari, dan kurang memberikan nilai ekonomis pada kecamatan.
Temuan pada tingkat kecamatan: Pertama, struktur kecamatan lebih ramping, lebih fleksibel dengan sistem, prosedur dan tata kerja pelayanan mengalami perbaikan, tidak berbelit-belit, dan lebih transparan tetapi disiplin dan kecepatan kerja masih rendah. Kecamatan memiliki anggaran berbasis kinerja tetapi sangat terbatas apalagi dengan dilikuidasinya cabang dinas membuat urusan kecamatan semakin banyak dengan kewenangan terbatas. Kepemimpinan Camat sangat strategis, ke atas menyampaikan aspirasi masyarakat ke bawah melaksanakan misi pembangunan. Camat harus dapat berperan ga da sebagai pemimpin masyarakat dan manager kantor kecamatan. Kedua, Perubahan struktur belum diikuti dengan perubahan kinerja individu secara signifikan. Kualifikasi pendidikan aparat masih rendah, tidak memiliki ketrampilan teknis memadai, dan training hampir tidak ada. Budaya kerja meningkat ke arah positif tetapi masih bersifat paternalistik. Cara pandang aparat mengalami perubahan, lebih melayani, lebih ramah, dan lebih bertanggung jawab tetapi penggunaan waktu belum efektif, kurang responsif dna kaku (rule driven).
Konflik yang teramati terjadi pada level individu, lembaga dan dengan masyarakat. Konflik individu sering terjadi pada Camat yang kekuasaannya berkurang signifikan, sehingga secara alamiah kurang responsif terhadap perubahan. Konflik antar lembaga terjadi karena adanya konlik kepentingan, ketidak jelasan dan tumpang tindih tugas dan tanggung jawab, sikap curiga, dan koordinasi yang tidak berjalan baik. Konlik dengan masarkat disebabkan karena menguatnya posisi tawar masyarakat sebagai dampak dari berkembangnya demokrasi dan kesadaran terhadao HAM. Masarakat cenderung menjadi kelompok penekan (pressure groups).
Pemerintah subnasional dan kecamatan menyelesaikan konflik dengan musyawarah dialog, kesepakatan dan koinsesnsus untuk menciptakan situasi sama-sama menang atau sama-sama tidak dirugikan. Selanjutnya, sedang dikaji kewenangan lai yang akan didelegasikan pada kecamatan dengan melibatkan berbagai pihak. Selain itu, keberadaan UPTD juga akan dikaji karena cenderung memperpanjang birokrasi dan tidak efisien. Walikota memberikan diskresi kepada camat untuk menyelesaikan permaslahan secara otonom. Lebih jauh konflik diselesaika berdasarkan kasus per kasus. Belum ditemukan grand design dalam penyelesaian konflik dengan menggali akar permasalahan yang sesungguhnya.
Berdasarkan analisis hasil penelitian, keberadaan kecamatan masih sangat dibutuhkan sebagai pusat pelayanan yang paling dekat dengan masyarakt. Kecamatan perlu lebih diberikan kewenangan riil, diskresi dan dukungan personil, fasilitas dan dana yang memadai. Di atas semuanya adalah political will, komitmen dan konsistensi pemerintah subnasional dalam menjadikan kecamatan sebagai lini terdepan pelayanan. Implikasi teoritik penelitian ini adalah pengembangan model=model pelayanan kecamatan apakah sebagi single atau multi ouroose agency yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Sub-distnct (kecamatan) is the oldest structure in sub-national/local govemment structure. Before Law of Decentralization in 1903 issued, Dutch only developed the structure in line with deconcentration principle in which sub-district (onderailstricb remained the lowest structure till the independence. Law No. 5/1974 determined that sub-district was still as an administrative region in the context of deconcentration, led by Camat as head of the sub-district. The introduction of Law No. 22/1999 and Law No. 32/2004 as the bases of transforming centralistic system to decentralistic one with the implication of shifting sub-district structure from administrative region to the working area of Camat; and the status of Camat as central apparatus to be the local apparatus. The drastic change is considered as a sub-national administrative reform so that any changes occurred, conflicts as the result of the reform, and the solution of sub-national govemment are interesting to study.
This study used qualitative method with sub-districts in Bogor municipality as the analysis unit. Data was collected by observation technique, document studv, intensive interview, observation, and focused discussion. Key informants were snow ball. The analysis was conducted at the government of Bogor Municipality and sub-districts. Data was analyzed through collecting raw data, transcribing, coding, interim concluding, triangulating, and final concluding.
Findings at sub-national government are: Firstly, local instrument body (LIB) is slim enough, however, the establishment of 26 UPTDs (local technical service unit) makes LIB ineffective and inefficient. The establishment of 26 UPTDs is full conflict of interest of local elites, and, in any cases, becomes the source of conflict among bodies and agencies. Secondly, the delegation of authority from the Mayor to Camat is a positive aspect, but has not been supported yet by the appropriate delegation ofpersonnel, facilities, and budge. Thirdly, the accepted authority is considered by the sub-district apparatus as the half hearted, and gives less economic value for the sub-district.
Findings at sub-district level: Hrslin the sub-district structure is simpler, more flexible where the system and procedure of services have changed. The services are not complicated and more transparent, whereas the discipline and the working velocity are still low. Sub-district has very limited performance-based budget. Moreover, by the liquidation of sub-agency (cabang dinas), it makes sub-district get more and more duties with the restricted authority. The role of Camat is very strategic-delivering the community?s aspiration to the local govemment and conducting the development mission to the community- thus require Camat to function as a community leader and a sub-district manager. Secandig the structure change has not been followed significantly by the change of individual perfonnance. The education qualification of apparatus is still low. They dont have enough technical skills, and hardly take part of in trainings. Working culture improves positively, although it is soil paternalistrc. The apparatus? point of view changes as well. They are more helpful, friendlier and more responsible, but they still spend the times ineffectively, less responsive and rule driven.
The observed conflicts occurred in the individual, institutional and community levels. The individual conflict happened frequently to Camat whose authority decreases significantly so that he/she becomes, naturally, less responsive toward any changes. Conflicts between institutions occurred due to the conflict of interest, me ambiguous and overlapping duties and responsibilities, the skeptical atdtude, and the bad running cardination. Conliict with the community is caused by the better bargaining sition of the community- as the consequences of the development of democracy and gf time awaren s of human rights. The community tends to be the pressure groups.
Sub-national govemment and sub-district make conliict resolution through discussion, dialog, agreement, and consensus rn order to create the win-win solution. Concerning me auighgfiry, the local government is going to review the other authorities given to me sob district with any parties. Besides, the existence of UPTDS is also going to be Fewiewed doe to the fact that UPTDS tend to lengthen bureaucracy and be inefficient. The Mayor gives Camat discretion to solve the problems autonomously. Above all, the local government has not yet developed grand design to resolve the conflict and to make the sub district become a service center.
Based on the result of the study, the existence of sub-district as the closest service centre to the community is still needed in the future. Sub-district also needs more real authority, discretion and the support of personnel, facility and budget. The most important thing is that the local government has good political will, commitment, and consistency to develop sub-district. The theoretical implication of this study is the development of sub-district service models whether it is as a single or as a multi purpose agency. Those models are interested to study further."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D728
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanungkalit, Janry Haposan U.P.
"Tujuan utama penelitian ini adalah: (1) menganalisis keadilan sistem kompensasi PNS yang berlaku hingga saat ini (internal dan eksternal); (2) menganalisis kelayakan sistem kompensasi PNS yang berlaku hingga saat ini bagi PNS dan keluarganya; (3) menganalisis dampak sistem kompensasi PNS yang berlaku hingga saat ini terhadap produktivitas PNS; dan (4) memfor- mulasikan strategi kompensasi PNS yang mendukung optimalisasi perwujudan reformasi kepegawaian ke depan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma post-positivisme dan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kompensasi PNS di Indonesia yang berlaku hingga saat ini masih belum memenuhi prinsip keadilan dan kelayakan bagi PNS dan keluarganya serta belum mampu memacu PNS dalam berproduktivitas. Penelitian menghasilkan tiga pilihan strategi, yaitu Strategi Pesimistis (Minimal), Strategi Moderat, dan Strategi Optimistis (Maksimal). Strategi Moderat diusulkan untuk diimplementasikan dengan melakukan perubahan secara incremental yang merujuk pada rasio harga pasar di beberapa negara. Pada strategi ini, dalam Jangka Pendek dilakukan evaluasi dan penyempurnaan sistem dan kebijakan tentang kompensasi PNS, penghentian kebijakan "remunerasi", pelaksanaan evaluasi jabatan PNS dengan Metode FES, dan penetapan rasio gaji pokok dan tunjangan 70% : 30%. Kemudian, dalam Jangka Menengah, mengimplemen- tasikan hasil evaluasi jabatan, penetapan indikator kinerja PNS, menjadikan tingkat pendidikan, kompetensi, masa kerja, dan tingkat jabatan sebagai input penyusunan kompensasi, benchmarking dengan swasta dan negara lain, mengaitkan kompensasi dengan kinerja PNS, menetapkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) PNS, rasionalisasi anggaran belanja pegawai, penegakan hukum di kalangan PNS, dan kenaikan kompensasi berkala. Sementara dalam Jangka Panjang adalah melakukan revitalisasi reformasi sistem kepegawaian dan pembiayaan pensiun dengan Metode Sharing APBN. Implementasi atas Strategi Moderat ini jika dapat dijalankan dengan baik akan menjadi landasan yang baik pula menuju penerapan Strategi Optimistis (Maksimal).

The main objective of this study were: (1) to analyze the equity (internal and external) of the implementation of the civil service compensation system; (2) to analyze the feasibility of living of the civil service compensation system for civil servant and his/her family; (3) to analyze the impact of the civil service compensation system on his/her productivity; and (4) to formulate a compensation strategy that supports the optimization of of civil service reform realization forward. This study used a qualitative approach with post-positivism paradigm and type of descriptive research. This research results showed that the current compensation system of civil service in Indonesia still don't meet the principles of fairness and feasibility for civil servants and their families and have not been able to drive civil servants productivity. The study produced three options strategies, namely Pessimistic Strategy (Minimal), Moderate Strategy, and Optimistic Strategy (Maximum). Moderate strategy is proposed to be implemented by making incremental changes that refers to the ratio of market prices in some countries. On this strategy, the Short-Term focus include evaluation and improvement of civil service compensation system and policy, the termination of "remuneration" policy, the implementation of job evaluation method of civil with FES, and the determination of the ratio of basic salary and allowances of 70%: 30%. Then, in the Medium Term include, implementation of the job evaluation results, the determination of civil service performance indicators, making the level of education, competence, length or duration of service, and position as inputs for arranging compensation system, benchmarking with the private sector and other countries, merit pay (performance based), set a feasibility of living needs, the expenditure budgets rationalization, law enforcement among the civil servants, and an increase in regular compensation. While in the Long Term is to revitalize the civil service system reform and financing retirement Cost Sharing Method with the state budget. The successfulness of this Moderate Compensation Strategy would be a good foundation towards the implementation of Optimistic (Maximum) Compensation Strategy."
Lengkap +
Depok: 2012
D1259
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Salomo, Roy Valiant
"Reformasi administrasi pemerintah subnasional merupakan hal yang tak dapat ditunda-tunda. Persoalannya adalah bagaimana melakukannya. Bagaimana strateginya. Dengan latar belakang lingkungan lokal, nasional, regional, serta internasional yang tidak menentu. Disertasi ini memakai pendekatan scenario planning dalam membangun strategi reformasi administrasi pemerintah subnasional. Untuk itu dibutuhkan tiga tahapan penelitian yang sekaligus dicerminkan oleh tiga pokok permasalahan. Masing-masing adalah: pertama, bagaimanakah potret administrasi publik pemerintah subnasional di Indonesia saat ini? Kedua, bagaimanakah deskripsi skenario lingkungan administrasi publik (aspek sosial-politik dan ekonomi) pemerintah subnasional pada tahun 2025? Ketiga, bagaimanakah grand strategy reformasi administrasi publik pemerintah subnasional sampai tahun 2025?

Administrative Reform at the subnational level is very urgent business to be done. The questions are how to implement it and what is the strategy to implement it. With the local, national, regional and international uncertainty this dissertation, using scenario planning, try to develop strategy for administrative reform at the subnational level in indonesia. This has been done through three stages of research which is reflected by three main research problems. First, what are the pictures of the subnational public administration in indonesia now? Second, what are the scenarios of the environment (social aspect, political aspect and economic aspect) of public administration at the subnational level at the year 2025? Third, what is the administrative reform grand strategy of the public administration at the subnational level in Indonesia until the year 2025?"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D723
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mujibur Rahman Khairul Muluk
"Implementasi kebijakan desentralisasi untuk meningkalkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah tidak segera mencapai tujuannya karena menghadapi berbagaj persoalan kompleks. Kompleksitas persoalan ini terajut dari adanya dominasi elit lokal, lemahnya kemauan politik pemerintah untuk menjamin partisipasi, belum lcuamya organisasi lokal, dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi. Unluk mencapai pemerintahan daerah yang partisipatif diperlukan upaya yang serius untuk menyusun altematif kebijakan yang tepat. Upaya ini seyogyanya dilandaskan pada kajian akademis yang memadai dan komprehensif. Penelitian tentang panisipasi masyarakar lelah banyalc dilakukan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Namun penelitian mengenai partigipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah yang berada dalam koridor disiplin administrasi publik masih tergolong langka apalagi penclitian mengglmakan pendckatan berpikir sistem. Dengan mempenimbangkan lalar belakang rersebut maka penelitian ini diawali dengan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana gambaran aktual partisipasi masyarakat dalam pemcrlntahan daerah dewasa ini? Bagaimanakah derajat efektivitas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah? Bagaimanakah model berbasis berpikir sistem bagi panisipasi masyarakat dalam pemerimahan daerah ? Bagaimanakah altematif percepatan partisipasi yang dapar dilakukan ? Pendekatan berpildr sislem digunakan dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, adanya kesadaran bahwa partjsipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah berada dalam situasi kompleksilas dinamis. Kedua, penelitian ini berupaya memahami akar permasalahan yang mendera partisipasi masyamkat melalui deteksi atas stmktur sistem daripada sekedar melihat kejadian-kejadian yang kasat mam Ketiga, adanya kehendak mendorong tindakan antisipatif Serta mencari solusi 3135 persoalan kegagalan pencapaian partisipasi masyarakat dalam pemedmahan daerah. Metode sistem dinamis dengan pendekatan lima tahap dari Coyle dipilih dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, sistcm dinamis merupakan bagigm dari hard system yang Iebih tepat digunakan dalam suatu aktivilas yang berupaya untuk mencapai tujuan tertentu. Kedua, analisis ini lebih tepat jika digunakan unruk mencari rekomendasi alas solusi dari sualu masalah. Ketiga, analisis ini mampu mengembangkan sistem berdasarkan komhinasi data kualitatif dan kuantitatif. Partisipasi masyarakal dalam pemedmahan daerah mengalami peningkatan berpola Kurva S di em reformasi. Mekanisme partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah juga telah berkembang. Mekanisme partisipasi dapat dibagi dalam dua jenis. Pertama adalah mekanisme partisipasi yang disediakan berdasarkan ketentuan daerah yang ada. Mekanisme ini menoakup Musyawarah Perencanaan Pembangunan, Masa Reses DPRD, Rapat Terbuka DPRD, Rukun Tetangga &. Rukun Warga (RT & RW), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Keluraban (LPMK), Kontak Publik via Situs Intemet Pemkot Malang, Kunjungan Kezja Anggota DPRD, dan Konsultasi Publik.Kedua adalah mekanisme yang berasal dari inisiatif masyarakat dan tidak diatur sebagai mekanisme resmi panisipasi masyarakat. Mekanisme ini terdiri dari suara publik yang disalurkan lewal media massa baik cetak maupun elektrondcdan unjuk rasa. Dengan membandingkan mekanisme partisipasi masyarakat tersebut dengan teori ladder of citizen ernpowermem dari Burns, Hambleton, & Hogget maka disimpulkan bahwa mekanisme partisipasi yang ada telah mencapai demjat partisipasi warga namun belum mencapai derajat ideal, yakni citizen control. Dalam derajat partisipasi warga berarli masyarakat Kota Malang telah dapat memasukkan berbagai aspirasi dan kepenlingannya sepanjang tidak mengubah pakem kebijakan yang telah disusun oleh penyeienggara pemerintahan daerah. Kondisi ini telah dianggap efektif oleh Pejabat Pemerinlah Daerah dan Anggota DPRD namun dianggap tidak efektif oleh anggota masyarakal dan pegiat organisasi Iokal. Kesesuaian antara mekanisme panisipasi yang tersedia dengan pencapaian subslansi pemberdayaan pada derajat partisipasi menunjukkan adanya pembuktian atas teori ladder of citizen empowerment dari Bums, Hambleton, & Hogget. Adanya harapan sebagian slakehofder pemerintahan daerah terhadap mekanisme dan derajat partisipasi yang lebih tinggi juga membuktikan saran preskziptifdari teori di atas. Analisis sistem dinamis rnenunjukkan bahwa pengungkit dalam sistem partisipasi masyarakat dalam pemerinrahan daerah adalah peran clit lokal. Sebagai pengungkit (leverage) bennakna bahwa peran elit Iokal mempakan variabel paling sensitif bagi kinerja sislem partisipasi masyarakat. Dengan melakukan penyederhanaan terhadap sistem partisipasi yang tergambar dalam diagram simpal kausal maka diperoleh pola dasar sistem, yakni batas-batas pertumbuhan. Melalui pola dasar ini dapat dipahami bahwa dukungan pemerintah pusat mempakan limiting faktor bagi sistem ini. Melalui pemahaman alas pola dasar batas pertumbuhan maka dapat dipastikan bahwa solusi atas peningkatan kinerja sistem partisipasi dapal diiakukan melalui dua alternatifi Pertama, pcmbebasan faktor pembatas, yakni dengan meningkatkan dukungan pemerintah pusat terhadap panisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Dukmmgan ini dapat dilakukan dengan menycdiakan pemturan pemndang-undangan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpanisipasi pada derajat panisipasi yang tertinggi. Dukungan tersebut juga dapat dilakukan dengan melakukan supervisi terhadap kualitas partisipasi dari kebijakan daerah. Kedua, intervensi melalui pengungkit yakni dengan mengurangi pengamh clit lokal dalam proses kebijakan daerah sehinggn dukungan penyelenggara daerah terhadap partisipasi masyarakat akan meningkat. Mengurangi pengamh elit lokal dapat dilakukan dengan menjamin adanya pmses partisipasi dan transparansi dalam pembualan dan implementasi kebijakan daerah.

The purpose of decentralization to promote public participation in local govemment is failed because of complex problems. These are the dominance of local elite, the lack of govemmenfs political will to support public participation, the lack of local organization?s capacity, and lack of the public awareness to participate. Realizing participatory local government needs robust policy based on comprehensive research. Many scholars in many disciplinm had conducted the research of public participation. but there is scarcity of public participation's research in local govemment especially using system thinking approach. According to that reason, the research problem statements are: what is the description of public participation in local govemment ? how effective is the degree of public participation? what is the system thinking based model for public participation in local govemment? how are the policy altematives for promoting public participation in local government? The using of system thinking in this research based on several reasons. First, public participation in local government is under dynamic complexity situation. Second, this research would understand root of the problem by systemic structure rather than event. Third, this research tries to anticipate the lirture problem by fomiulating the robust policy. The analysis of system dynamic of Coyle is selected for this research based on several researches. First, system dynamic is part of hard system, which prefer to attain delined goal. Second, this analysis produces model and recommendation in order to provide solution of the complex problem. Third, Coyle?s Analysis of system dynamic describing the system through both qualitative and quantitative data. The progress of public participation in local govemment in era of refonn is in S-curve type. There .are extended mechanism of public participation, which are divided into two types, i-e. regulated and altemative mechanisms. Local govemment Regulated mechanisms comprise of development planning meeting (musyawarah perencanaan pembangiman), sitting in council meeting, neighborhood association Rukun Tetangga & Rukun Warga) public consultation, community empowerment Institution (Lembaga Pemberdayaan lvlasyarakat Kelurahan), public contact via intemet. Altemative mechanisms initiated by community themselves and are not regulated by local government. These mechanisms comprise of public voices channeled by mass media and demonstration. Effectiveness of public participation mechanisms is in citizen participation level according to Bums, Hambleton, & Hogget's ladder of empowerment. This level is under the top of the ladder, i.e citizen control level. In this level, citizen could influence both in policy making and implementing but do not have decision power in the policy process- This level perceived as effective by local authorities but as not effective by citizens and local organization?s activists. This research proves that participation mechanisms match with the degree of participation level in ladder of empowerment theory. Citizen?s hope for better degree of participation in the top ladder proves that prescriptive suggestion in the ladder ofempowerment comes true. System dynamic analysis indicated that the leverage of public participation in local government is local elite?s role. It means that local elite?s role is the most sensitive parameter in the system. Simplification of the influence diagram of public participation system shows that archetype ofthe system is limits to growth Through this archetype, it could be concluded that limiting factor for the system is central govemment support. According to system thinking approach, the altemative solutions for improving public participation are releasing the limiting factor or pushing the leverage. Releasing the limiting factor means that central government increases it?s support for public participation in local govemment. Central govemment suppon could be operated through providing regulation increasing the level of public participation in local govemment. This support includes central govemment supervision for quality of participatory local government. Pushing the leverage means that local elite?s role in public policy process is limited so that local govemment support for public participation increases. Limitation could be operated by providing regulation for public participation and providing regulation for transparency in public policy process."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D829
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Supriyono
"Local Govemment Institution Development has continuously been performed in line with the changes of decentralization policy. A basic question interesting to study is ?Can institution development which has continuously been performed created tl1e ability of local government institution to carry out government autonomy regions? This question is relevant to propose knowing that there have still been complex problems for an institution ability to cany out local government.
Realizing that the complex problems, his research is aimed to describe and analyze the ability of local govemment institution in carrying out the provision of urban infrastructures based on three dimensions of institutional development. Firstly, the effectiveness of local government institution in carrying out the functions of planning and performing. Secondly, the direction changes of local government institution in response to decentralization policy. Thirdly, institutionalizations process in local government institution. The other aim of this research is constructing models of the systems of local government institution to solve the three problems mentioned above.
Based on the above aims, approaches of qualitative and system thinking are used to carry out this research. The usage of qualitative approach was needed to examine the capability of local government institution in implementing the function of providing urban infrastructures through understanding of understanding process, while the system approach was used to analyze the relationship among the phenomenon systemically and as an effort to solve the institution development problems which was also faced systemically. The system approach used is Sof? System Methodology (SSM). The working principles of this methodology are examining phenomenon in the real world based on understanding of understanding to the phenomenon and then building a system model of solving problems through learning process based on the Same of system thinking.
Referring to the analysis results and their relevance to the research aims, some conclusions could be drawn. Firstly, the development of the structure and function of local government institution in Malang Regency in implementing the function of providing urban infrastructures shows that there are local institutions having double Emotion and post. It is indicated by the existance of conflict configuration in implementing those two functions. Secondly, based on some standardization indicators of either planning process or working implementation, local govemment institution in implementing the limction of providing urban infrastructures proves ineffective.
Thirdly, in giving response to decentralization policy local government tends to choose dynamic conservatism strategy and the model of local government performed by Malang Regency is traditional bureaucratic authority model. Fourthly, institutionalization within local government institution either in the institutional level or in the perspectives of inter-actor relationship in implementing the function of providing urban infrastructures is not yet optimal. Fiithly, based on using soft system analyses, it can be constructed four models of development systems of local government institution oriented on solving problems. The four models are: the effectivity system models of local government institution in performing the function of planning and of implementing, the direction system model of local government changes, and the institutionalization system model within local govemment institution.
This research gives tive recommendations. Firstly, the development of local government institution to increase the quality of urban infrastructure provision should be based on definite standardization conforming to the authority and function implemented by local institutions. The usage of the standardization should be directed to the efforts of overcoming the conflict happens in the unit of local government institution in carrying out its function. Secondly, local government institution should, in implementing the function of urban structure provision, involve private and commtmity participation. The institution involvement refers to the implementation of local government using either community enabling authority or marker enabling authority model, its implementation should be conformed with the social structure of local community. Thirdly, government institution needs to increase its institutionalization process in carrying out the function of urban infrastructure provision by building shared value in terms of bringing the balance between high and low formalization, independence and interdependence, and also the transformation balance between top-down and bottom-up actor behavior. Fourthly, local government institution needs to construct local government institution model system to implement the function of urban infrastructure provision along with monitor and control subsystem whose function is to control the function. The monitor and control subsystem should be formulated by stakeholders using clear performance measurement and its implementation is performed by an institution having an authority in its field."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D804
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Patar
"Efektivltas merupakan tema sentral dalam semua pekerjaan pakar dan peneliti yang melakukan kajian tentang organisasi. Signifikansi dan relevansi efektivitas dijadikan sebagai variabel pengukuran kinerja organisasi didasarkan pada pendapat pakar dan hasil penelitian bahwa efektivitas reIevan dijadikan sebagai ukuran kinerja. Efektivitas organisasi saling berhubungan dan dipengaruhi oleh faktor organisasional. Ada dua permasalahan yang mengacaukan pemahaman tentang efektifitas organisasi, yakni sifat konstruk efektivitas organisasi yang tidak pernah dibicarakan secara tuntas dan adanya perbedaan penggunaan istilah efektivitas oleh praktisi dan teoritisi. Pada Sekretariat Negara RI, gejala inefektivitas dipicu oleh perubahan Struktur organisasi dan pergantian kepemimpinan yang menerapkan budaya kerja tertentu. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan efektivitas organisasi dengan menggunakan model nilai yang bersaing dilihat dan pengaruh struktur organisasi, kepemimpinan, dan budaya organisasi.
Studi ini menganut paradigma positivisme dengan struktur logika deduktif dan menggunakan pendekatan eksplanatif. Unit analisisnya ialah kegiatan pegawai dilihat dari pendekatan nilai yang bersaing bagi efektivitas organisasi. Populasi penelitian ini meliputi pegawai Golongan II, III, IV sebanyak 2058, dengan jumlah sampel yang ditarik secara stratified proportional random sebanyak 203 orang. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan teknik angket. Setiap item pertanyaan dilengkapi lima opsi jawaban. Data dianalisis dengan SEM menggunakan LISREL.
Hasil penelitian dan implikasinya ialah kedelapan indikator nilai yang bersaing bagi efektivitas organisasi pada Sekretariat Negara meneguhkan pemahaman bahwa efektivitas merupakan dimensi pengukuran kinerja. Ini sesuai dengan realitas bahwa organisasi yang dinamis selalu menetapkan tujuannya melalui pengembangan SDM, fleksibilitas, pengelolaan informasi, stabilitas, akuisisi sumber daya, produktivitas, kohesi, dan perencanaan. Selanjutnya, hasil analisis faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas organisasi adalah kepemimpinan pengembangan, budaya organisasi, dan struktur organisasi. Kepemimpinan pengembangan diwakili oleh empat fokus orientasi yaitu: kinerja pelaksanaan tugas, organisasi, pekerja, dan intrinsik. Budaya organisasi diwakili oleh hakekat hubungan antara manusia, hakekat ruang, hakekat kegiatan manusia, hakekat waktu, hakekat sifat manusia, keterkaitan Iingkungan organisasi, dan hakekat realitan dan kebenaran. Struktur organisasi diwakili oleh aspek standardisasi, formalisasi, spesialisasi, hiraki, profesionalisme, dan sentralisasi. Hasil modifikasi indeks dengan nilai signifikansi 0.99990 memberikan makna tidak ada perbedaan yang berarli antara matriks kovarian model teoritik dengan matriks kovarlan data. Kesesuaian model yang dihasilkan menguatkan pemahaman awal bahwa setiap organisasi yang hidup, berkembang, dan mengikuti dinamika perubahan Iingkungan memerlukan sesuatu yang imperatif berupa tujuan yang akan dicapai melalui berbagai cara. Ketiga faktor organisasi yang berpengaruh terhadap efektivilas organisasi menunjukkan "persaingannya" dilihat dari bobot nilai signifikansinya. Artinya, secara terintegrasi tergambar bahwa budaya organisasi lebih kuat pengaruhnya daripada kepemimpinan pengembangan dan struktur organisasi terhadap efektivitas organisasi. Efektivitas organisasi dalam koridor model nilai yang bersaing yang dlwakili oleh delapan indikator divisualkan ke dalam kurva Iaba-laba (radar) untuk menunjukkan tingkat kontribusinya.
Relevansli dan signifikansi kontribusi kedelapan indikator efektivitas organisasi menguatkan dandangan pakar mengenai model nilai bersaing sebagai salah satu dari enam model efektivitas organisasi, selain model tujuan rasional, model sistem terbuka, model proses internal, model inefektivitas, dan model hubungan manusia. Prinsip dan fokus orientasi kepemimpinan pengembangan dengan derajat yang tinggi membawa implikasi terhadap kekuatan pengaruh pimpinan dalam mengkoordinasikan dan menyamakan visi dan misi pegawai selaku keluarga besar Sekretariat Negara. Kekuatan pengaruh pimpinan ini meminimalisasi dan menetralisasi permasalahan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab antar individu dan antar unit kerja. Pemahaman dan aplikasi nilai-nilai budaya organisasi dengan derajat yang tinggi membawa implikasi terhadap minimalisasi pemasalahan dalam hubungan kerja dan pelaksanaan tugas pegawai, karena salah satu asumsli dasar budaya organisasi adalah pemahaman dan aplikasi hakekat hubungan antar manusia. Selain itu, menguatkan pendapat Schein bahwa budaya organisasi berfungsi melakukan integrasi internal dan adaptasi eksternal. Dengan demikian, semangat integrasi dan kolaborasi yang dibangun oleh pegawai selama berlahun-tahun selain menjadi perekat yang mengikat kebersamaannya, juga sekaligus dapat mencegah dan mengeliminasi permasalahan dalam hubungan kerja dan pelaksanaan tugasnya.
Struktur organisasi Sekretariat Negara yang lebih berciri mekanistik daripada berciri organik dengan derajat yang tinggi membawa implikasi terhadap dinamika dan efektivitas organisasi. Dinamika kegiatan pegawai yang diwadahi oleh struktur organisasi ini mengeliminasi permasalahan koordinasi, pembagian tugas, dan rentang kendali. Kenyataan ini didukung oleh pendapat Mintzberg mengenai dua elemen dasar struktur organisasi yang menjadikan organisasi efektif yakni pembagian tugas dan koordinasi kegiatannya.
Berdsarkan realitas (anti tesis) dan pandangan pakar (tesis) diperoleh sintesis pemikiran (hasil uji konnrmalif) mengenai keefektifan dan kedinamisan kegiatan pegawai pada Sekretariat Negara yang diarahkan oleh kepemimpinan pengembangan berbasis nilai budaya birokrasi publik dalam struktur organisasi yang cenderung lebih berciri mekanistik daripada berciri organik. Dengan demikian, keefektifan organisasi (birokrasi) publik dapat dipotret berdasarkan kedelapan indikator dalam model nilai yang bersaing yang dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan pengembangan, budaya organisasi, dan struktur organisasi.
Saran penelitian, untuk menghindari timbulnya permasalahan organisasi yang dipicu oleh Peraluran Presiden Nomor 31 Tahun 2005, perlu diperjelas kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab Menteri Skretaris Negara berdasarkan pembagian tugas dan rentang kendali yang diemban, dengan menetapkan ?fungsi koordinasi? Menteri Sekretaris Negara menjadi ?fungsi pengaturan?, sehingga kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab, Serta pembagian tugas dan rentang kendali Menteri Sekretaris Negara semakin jelas dan kuat dalam membawahi dan mengatur Rumah Tangga Kepresidenan, Sekretariat Militer, dan Sekretariat Wakil Presiden."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D807
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamaruddin
"Dampak dari kebijakan reformasi administrasi bergantung pada efektifitas pengembangan atau transformasi yang dilakukan pada masing masing kementerian/lembaga negara sebagai satuan organisasi publik. Sementara itu, melakukan pengembangan atau transformasi organisasi pada sektor publik merupakan suatu proses yang lebih menantang dan beresiko, sehingga belum banyak kementerian/lembaga negara yang mampu melakukannya. Konsewensinya, untuk mampu mewujudkan pengembangan atau transformasi, organisasi publik membutuhkan proses reformasi yang dipimpin oleh kepemimpin yang transformational stewardship serta mengikuti delapan faktor determinan keberhasilan imlementasi perubahan organisasi publik dari Rainey. Kedua syarat ini, mengantar minat untuk mengetahui lebih mendalam fenomena proses reformasi yang menghasilkan perubahan-perubahan mendasar dengan studi kasus pada Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia LAN RI periode 2012-2014. Penelitian ini diarahkan untuk menggambarkan proses reformasi pada suatu organisasi publik, dengan menemukan faktor determinan dalam implementasi pengembangan atau transformasi organisasi. Penelitian menggunakan paradigma post-positivist dengan mengkombinasikan structured interview dan in-dept investigation sebagai teknik pengumpulan data. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat delapan faktor determinan implementasi reformasi, yaitu: kebutuhan perubahan dan mandat kebijakan pemerintah, menyediakan rencana, memanfaatkan komunikasi non-formal, mendapatkan dukungan kuat dari aktor eksternal yang terkait, memperlakukan perubahan sebagai proses yang dinamis dan terbuka, membangun koalisi lintas fungsi, memanfaatkan momentum, memulai perubahan pada sub sistem yang berdampak luas Kata Kunci: Reformasi Administrasi Organisasi Publik, Proses Reformasi, Kepemimpinan, Resistensi, Perubahan.

The impact of administrative reform depends on the effectiveness of the organization development or transformation in every ministry or national department. That is a risky business and inherently unsettling. To meet the challenge of reform, public leaders must be transformational stewardship and make use of Rainey rsquo s proposition determinants successful implementation of organizational change in public sector. This is has delivered deeper interesting to find out phenomenon the process of reform that produces basic changing in case study at National Institute of Public Administration of Indonesia NIPA in period 2012 2014. This research was post positivist paradigm by combining structured interview and in dept investigation as data collection techniques. The result shows that there are eight determinants of successful the need for change and the Government 39 s mandate through some policies, namely by providing plans, utilizing non formal communication lines, gaining strong support from related external actors, treating changes as a dynamic and open process, building cross function coalition, utilizing momentum, and starting the change in the sub systems having broader impact."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2017
D2291
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library