Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bayu Agung Alamsyah
"Latar Belakang: Chronic limb threatening ischemia (CLTI) merupakan bentuk paling parah dari peripheral arterial disease (PAD). Sebanyak 25% pasien CLTI memiliki risiko amputasi tungkai mayor dan 25% lainnya akan meninggal karena penyakit kardiovaskular dalam 1 tahun. Risiko amputasi ini dapat diprediksi menggunakan sistem skoring Wound, Ischemia, and foot Infection (WIfI). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil amputasi menggunakan skor Wound, Ischemia, foot Infection pada subjek chronic limb threatening ischemia di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Pengambilan data retrospektif dari data registrasi divisi bedah vaskular dan rekam medis pada subjek dengan CLTI di RSCM berupa profil subjek, skor WIfI, dan status amputasi mayor dalam 1 tahun pasca diagnosis CLTI ditegakkan. Data selanjutnya dimasukkan ke program SPSS, dan dilakukan analisa data. Hasil analisa lalu dipaparkan dalam bentuk narasi dan tabel.
Hasil: Pada penelitian ini usia rerata subjek adalah 58,1 ± 12,9 tahun dengan predominasi jenis kelamin laki-laki (58,3%). Komorbid pada subjek dari yang tersering adalah diabetes (82,1%), hipertensi (67,9%), gagal ginjal kronis (51,3%), dan penyakit jantung (33%). Derajat skor WIfI dengan derajat sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi secara berurutan adalah 6,4%, 9,6%, 35,9%, dan 48,1%. Angka amputasi mayor yang sesungguhnya pada subjek CLTI di RSCM untuk skor WIfI derajat sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi adalah 5%, 7%, 35%, dan 70%, sedangkan pada kepustakaan adalah 3%, 8%, 25%, dan 50%.

Background: Chronic limb threatening ischemia (CLTI) is the most severe form of peripheral arterial disease (PAD). As many as 25% of CLTI patients have a risk of major limb amputations and 25% will die due to cardiovascular event within 1 year. The risk of this major amputation can be predicted using the Wound, Ischemia, and foot Infection (WIfI) scoring system. This study aims to compare the amputation profile using Wound, Ischemia, foot Infection scores in chronic limb threatening ischemia patients at the RSCM.
Methods: Retrospective data collection from registry in vascular surgery division and medical records for patients with CLTI in RSCM were take, that is a patient profile, the comorbid disease, WIfI score, and the patient's major amputation status within 1 year after diagnosis of CLTI was established. The data then inputed to the SPSS program, and data analysis is performed. The results of the analysis are then presented in the form of narratives and tables.
Result: The mean age of the subjects in this study was 58,1 ± 12,9 years with male as gender predominance (58,3%). The comorbids in the subjects were diabetes (82,1%), hypertension (67,9%), chronic kidney failure (51,3%), heart disease (33%). The WIfI scores with very low, low, medium, and high degrees are 6,4%, 9,6%, 35,9%, and 48,1% respectively. The major amputation rates in for WIfI scores with very low, low, medium, and high degrees are 5%, 7%, 35%, and 70%, while in the literature are 3%, 8%, 25%, and 50%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58708
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maida Tanara
"Latar belakang: Kanker kolorektal (KKR) menduduki peringkat keempat dengan persentase 8,6% dari total prevalensi kanker di Indonesia Namun, belum terdapat penelitian yang secara khusus mengevaluasi kualitas hidup penderita adenokarsinoma kolorektal pascaoperasi di Indonesia.
Metode: Studi dilakukan dengan desain deskriptif, populasi penderita adenokarsinoma kolorektal pascaoperasi sejak Januari 2017-Desember 2020 dan bersedia serta mampu menjawab kuesioner diinklusi dalam penelitian. Luaran yang dievaluasi adalah kualitas hidup dihubungkan dengan usia, jenis kelamin, familial, stadium dan jumlah terapi adjuvant.
Hasil: Terdapat 304 subjek penderita adenokarsinoma kolorektal pasca operasi , 123 pasien dinyatakan meninggal, 98 subjek yang menjawab kuesioner dalam penelitian ini, dengan 56 laki-laki dan 42 perempuan. 83 subjek (84.69%) tidak memiliki riwayat familial. Mayoritas penderita stadium IV sebanyak 71 subjek (72,44%), stadium III 23 subjek (23.46%) dan stadium II hanya 4 subjek (4.08%). Kualitas hidup menunjukkan sebaran data yang tidak normal dengan median 70 (50-90) pada semua domain. Ditemukan dua subjek yang menunjukkan nilai kurang pada domain kesehatan fisik. Pada domain psikologis, hubungan sosial dan lingkungan didapatkan seluruh subjek mendapatkan skor kualitas hidup diatas dari 60 dengan median secara berturut-turut 70(70-90), 70(60-90), dan 70(60-92). Didapatkan asosiasi yang bermakna secara statistik antara kualitas hidup dengan jenis kelamin, usia, stadium, dan jumlah terapi adjuvan yang memiliki p sebesar 0,011; 0,015; 0,002; dan 0,005. Tidak ditemukan asosiasi yang bermakna secara statistik antara kualitas hidup dengan familial.
Simpulan: Terdapat hubungan antara kualitas hidup penderita adenokarsinoma kolorektal di RSUPN dr. Cipto Mangukusumo apabila dihubungkan dengan usia, jenis kelamin, stadium kanker, dan jumlah terapi adjuvan.

Background: Colorectal cancer (CRC) is ranked fourth with a percentage of 8.6% of the total cancer prevalence in Indonesia. However, there are no studies that specifically evaluate the quality of life of postoperative colorectal adenocarcinoma patients in Indonesia.
Methods: The study was conducted with a descriptive design, patients with postoperative colorectal adenocarcinoma from January 2017-December 2020, willing and able to answer the questionnaire was included in the study. Outcomes evaluated were the quality of life related to age, sex, familial, stage and number of adjuvant therapy.
Results: There were 304 subjects with postoperative colorectal adenocarcinoma, 123 patients were declared dead, 98 subjects answered the questionnaire in this study. There were 56 men and 42 women, 83 subjects (84.69%) had no familial history. The majority of stage IV patients were 71 subjects (72.44%), stage III were 23 subjects (23.46%) and stage II only 4 subjects (4.08%). Quality of life showed an abnormal distribution of data with a median of 70 (50-90) in all domains. It was found that two subjects showed poor scores in the physical health domain. In the psychological domain, social relations and the environment, all subjects got a quality of life score above 60 with a median of 70 (70-90), 70 (60-90), and 70 (60-92). There was a statistically significant association between quality of life with sex, age, stage, and number of adjuvant therapy which had a p of 0.011; 0.015; 0.002; and 0.005. No statistically significant association was found between quality of life with familial.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Gunardi
"ABSTRAK
Penyakit jantung bawaan asianotik yang merupakan sebagian besar dari penyakit jantung bawaan memerlukan operasi bedah jantung terbuka untuk memperbaiki kelainannya. Sindrom curah jantung rendah masih merupakan masalah yang dihadapi pada pasien pediatrik pascabedah jantung terbuka. Deteksi sindrom curah jantung rendah yang ada sekarang menggunakan kriteria klinis dan indikator laboratorik masih belum dirasa cukup, yang terbukti dengan masih adanya angka morbiditas dan mortalitas. Peranan penanda biologis NT-proBNP telah berkembang di gagal jantung dewasa diharapkan dapat digunakan untuk dapat mendeteksi sindrom curah jantung rendah pada pediatrik.
Penelitian cross sectional observasional dengan jumlah 38 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang menjalani operasi jantung bawaan asianotik bulan Oktober-November 2018 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia. Data prabedah, intrabedah dan pascabedah termasuk kejadian sindrom curah jantung rendah dicatat. Kadar NT-proBNP akan diambil prabedah, 4 jam, 24 jam dan 72 jam pascabedah. Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney.
Kadar NT-proBNP prabedah, 4 jam pascabedah dan 24 jam pascabedah berbeda bermakna dengan kejadian sindrom curah jantung rendah (nilai p <0,05). Kadar NT-proBNP prabedah memiliki perbedaan rerata lebih rendah dibandingkan dengan kadar NT-proBNP 4 jam pascabedah yang juga lebih rendah dibandingkan kadar NT-proBNP 24 jam pascabedah dan hal ini berbeda bermakna (p <0,001). Sedangkan kadar NT-proBNP 72 jam pascabedah memiliki rerata lebih rendah dibandingkan dengan kadar NT-proBNP 24 jam pascabedah yang juga berbeda bermakna (p <0,001). Analisis kadar NT-proBNP dengan variabel lainnya mendapatkan hasil berbeda bermakna dengan variabel usia, jenis kelamin, berat badan, diagnosis PJB, durasi ventilasi mekanik dan durasi ICU.
Kadar NT-proBNP berhubungan dengan kejadian sindrom curah jantung rendah. Kadar NT-proBNP yang tinggi menunjukkan adanya kejadian sindrom curah jantung rendah (pada kadar NT-proBNP prabedah, 4 jam dan 24 jam pascabedah).

ABSTRACT"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Ilhami Akbar
"ABSTRAK
Latar belakang: Risk Adjusted Classification for Congenital Heart Surgery (RACHS-1) merupakan sistem stratifikasi risiko terbaru yang dikembangkan sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas pascoperasi penyakit jantung bawaan (PJB), namun belum pernah divalidasi di populasi Indonesia.
Tujuan: Melakukan validasi eksternal RACHS-1 pada populasi Indonesia sebagai prediktor mortalitas pascoperasi PJB.
Metode: Uji validasi dengan studi kohort, menggunakan data retrospektif dari bank data bagian bedah jantung anak dan kongenital Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari Januari 2015-Desember 2019. Uji diagnostik memperlihatkan nilai sensitivitas, spesifisitas dan area under curve-receiving operator characteristic (AUC-ROC) sebagai luaran utama dalam menilai kemampuan prediksi luaran mortalitas.
Hasil: Penelitian melibatkan 4139 subjek dengan mortalitas pada 230 subjek (5,6%). RACHS-1 category memiliki sensitivitas 71% dengan spesifisitas 60% dalam memprediksi mortalitas. Kemampuan diskriminasi memperlihatkan hasil yang kurang baik dalam prediksi mortalitas (AUC-ROC 0,673).
Kesimpulan: RACHS-1 memiliki kemampuan diskriminasi yang kurang baik sebagai prediktor mortalitas di Indonesia dengan nilai AUC-ROC 0,673.

ABSTRACT
Background: Risk Adjusted Classification for Congenital Heart Surgery (RACHS-1) were the latest risk stratification methods for congenital heart disease (CHD) surgery that were developed to predict mortality and morbidity outcome, it hasn't been validated in Indonesian population.
Objectives: To validate RACHS-1 category as a predictor of mortality in Indonesia.
Methods: A Retrospective Cohort study using the database Pediatric and Congenital Heart Surgery Department of National Cardiovascular Harapan Kita Database from January 2015-December 2019. Statistical analysis was done using area under curve-receiving operator characteristic (AUC-ROC) to determine the predictive discrimination of mortality.
Results: This study enrolled 4139 subjects with mortality rate of 230 subjects (5.4%). The RACHS-1 category have the sensitiviy of 71% with specificity of 60% to predict mortality. Both of the methods showed a fine discrimination to predict mortality (AUC-ROC 0.673).
Conclusion: RACHS-1 has a poor discrimination ability as a predictor of mortality in Indonesia with an AUC-ROC value of 0.673."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mounti Martias
"Latar belakang: Ventricle septal defect (VSD) merupakan penyakit jantung
kongenital yang paling sering ditemukan diseluruh dunia. Komplikasi hipertensi
pulmonal dapat menyertai 40% kasus VSD dan meningkatkan kejadian mortalitas
pascaoperasi hingga 7%. Di Indonesia banyak rumah sakit yang dapat melayani
kateterisasi jantung pasien pediatrik namun masih sedikit rumah sakit yang dapat
melayani operasi penutupan defek jantung pasien pediatrik VSD dengan hipertensi
pulmonal dikarenakan luaran pascaoperasi yang berat dan memerlukan tata laksana
yang lebih rumit. Penelitian ini bertujuan untuk menilai luaran pascaoperasi tutup
defek pada pasien pediatrik VSD dengan hipertensi pulmonal berdasarkan hasil
kateterisasi jantung.
Metode: Dilakukan studi retrospective cohort di divisi bedah jantung pediatrik
Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita melalui data rekam medis dari
bulan Januari 2015 sampai bulan Juni 2020 merekrut subjek di bawah usia 18 tahun
yang menjalani pasien pediatrik dengan VSD dengan hipertensi pulmonal yang
dilakukan kateterisasi jantung dan menjalani operasi koreksi defek jantung.
Hasil: Terdapat 372 subjek pada penelitian ini. Usia rerata subjek studi ini 47 bulan.
Pada penelitian ini terdapat peningkatan yang signifikan (p<0,001) pada durasi
ventilator, rawat ICU, rawat inap pascaoperasi pada kelompok nilai PARI 4-5,99
WU, 6-7,99 WU dan >8 WU dibandingkan dengan kelompok nilai PARI <4 WU.
Luaran kelompok nilai PARI ≤2 WU setelah uji vasoreaktivitas oksigen lebih baik
dibandingkan kelompok PARI 2,01-4 WU dengan mortalitas (1,1% vs 6,3%; p
<0,031; OR 5,88), durasi ventilator (62,1% vs 20,3%; p <0,001; OR 6,44), durasi
rawat ICU (47,7% vs 19,5%; p <0.001; OR 8,73), durasi rawat inap (74,1% vs
33,8%; p <0.001; OR 5,62).
Simpulan: Nilai PARI dari kateterisasi jantung dapat menjadi acuan tata laksana
penutupan defek jantung pada pasien pediatrik VSD dengan hipertensi pulmonal
sehingga rumah sakit di daerah dapat menentukan kasus yang dapat dilakukan
koreksi defek jantung atau harus dirujuk ke rumah sakit sentra jantung

Background: Ventricle septal defect (VSD) is the most common congenital heart
disease. VSD with pulmonary hypertension may be found in 40% cases and
mortality up to 7%. Indonesia have many hospitals can provide cardiac
catheterization in paediatrics but only few hospitals can provide cardiac surgery for
pediatrics with VSD with pulmonary hypertension because of postoperative
requiring complicated management. This study aims to predict the postoperative
outcome of defect closure in pediatrics with VSD and pulmonary hypertension
based on cardiac catheterization.
Methods: A retrospective cohort study in pediatric cardiac surgery division of
Harapan Kita National Heart Center Hospital. Data were taken from medical record
from January 2015 to June 2020 with subjects under 18 years old with VSD with
pulmonary hypertension who underwent cardiac catheterization and heart defect
correction surgery.
Results: 372 subjects were included in this study. The mean age of subjects was 47
months. In this study, there was significant increase (p <0.001) duration of
mechanical ventilation, ICU hospitalization, postoperative hospitalization group
PARI 4-5,99 WU, 6-7,99 WU, and >8 WU compared to PARI 4-5,99 WU group.
Outcome patients with PARI post oxygen vasoreactivity test ≤2 WU was better than
PARI 2,01-4 WU in mortality (1,1% vs 6,3%; p <0,031; OR 5,88), duration
mechanical ventilation (62,1% vs 20,3%; p <0,001; OR 6,44), duration of ICU care
(47,7% vs 19,5%; p <0.001; OR 8,73), duration postoperative hospitalization
(74,1% vs 33,8%; p <0.001; OR 5,62).
Conclusions: Value of PARI can be reference for management in pediatric patients
VSD with pulmonary hypertension so regional hospitals can determine cases that
can be corrected or referred to cardiac center hospital
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aswin Nugraha
"Peran NT-proBNP sebagai penanda biologis untuk mengetahui terjadinya sindrom curah jantung rendah pada pasien pediatrik dengan penyakit jantung bawaan sianotik pascabedah jantung terbuka belumlah diketahui. NT-proBNP diharapkan dapat menjadi penanda sindrom curah jantung rendah sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Penelitian cross sectional ini melibatkan 40 pasien pediatrik dengan penyakit jantung bawaan sianotik yang menjalani pembedahan jantung terbuka di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, selama bulan Maret 2019-April 2019. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar NT-proBNP prabedah, 4 jam pascabedah, 24 jam pascabedah dan 72 jam pascabedah terhadap kejadian sindrom curah jantung rendah (p<0,001). Kadar NT-proBNP tertinggi pada 24 jam pasca bedah dengan perbedaan bermakna terhadap kadar NT-proBNP prabedah (p<0,001), 4 jam pascabedah dan 72 jam pascabedah (p<0,001). Diperoleh pula variabel lain yang berhubungan secara bermakna dengan NT-proBNP yaitu usia, berat badan, jenis penyakit jantung bawaan sianotik, lama aortic cross clamp, lama cardiopulmonary bypass, lama ventilasi mekanik dan lama rawat PICU. Dapat disimpulkan bahwa kadar NT-proBNP yang tinggi sebagai penanda kejadian sindrom curah jantung rendah.

The role of NT-proBNP as a biological marker to determined the occurrence of low cardiac output syndromes in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease after open heart surgery was unknown. NT-proBNP was expected to be a marker of low cardiac output syndrome so that it can reduce morbidity and mortality. This cross-sectional study involved 40 pediatric patients with cyanotic congenital heart disease who underwent open heart surgery at National Cardiovascular Centre Harapan Kita, during March 2019-April 2019. There were significant differences between pre-operative levels of NT-proBNP, 4 hours postoperatively, 24 hours postoperatively and 72 hours postoperatively with the incidence of low cardiac output syndrome (p <0.001). The highest NT-proBNP level was 24 hours postoperatively with a significant difference in preoperative levels of NT-proBNP (p <0.001), 4 hours postoperatively and 72 hours postoperatively (p <0.001). Other variables that were significantly associated with NT-proBNP were age, body weight, type of cyanotic congenital heart disease, duration of aortic cross clamp, duration of cardiopulmonary bypass, duration of mechanical ventilation and length of stay of PICU. It can be concluded that high NT-proBNP level as a marker of low cardiac output syndrome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57624
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidhik Permana Putra
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan merupakan jenis kelainan bawaan lahir paling umum, dan merupakan penyebab kematian tersering pada bayi. Sindrom curah jantung rendah masih merupakan masalah yang dihadapi pada subjek pediatrik pascaoperasi jantung terbuka. Deteksi sindrom curah jantung rendah dengan kriteria klinis dan indikator laboratorik masih dirasa belum cukup, yang terbukti dengan masih adanya angka morbiditas dan mortalitas. Peranan penanda biologis NT-proBNP diharapkan dapat digunakan untuk dapat mendeteksi sindrom curah jantung rendah pada pediatrik.
Metode: Penelitian pendahuluan kohort retrospektif dengan jumlah 47 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang menjalani pembedahan jantung terbuka paliatif; PA banding, Bidirectional cavopulmonary shunt, BT-shuntdan Fontan, pada periode Oktober 2019 hingga Maret 2020 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia. Data prabedah, intrabedah dan pascaoperasi termasuk kejadian sindrom curah jantung rendah dicatat. Kadar NT-proBNP akan diambil prabedah, 4 jam, 24 jam dan 72 jam pascaoperasi. Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney.
Hasil: Kadar NT-proBNP pada prosedur palitif khususnya Fontan pada prabedah (137 pg/ml), 4 jam pascaoperasi (685 pg/ml), 24 jam pascaoperasi (5.715 pg/ml), dan 72 jam pascaoperasi (970 pg/ml). Kadar NT-proBNP prabedah, 4 jam pascaoperasi, 24 jam pascaoperasi, dan 72 jam pascaoperasi tidak berbeda bermakna dengan kejadian sindrom curah jantung rendah (nilai p >0,05).
Kesimpulan: Ditemukan peningkatan nilai NT-Pro BNP pada subjek pascaoperasi jantung paliatif khususnya Fontan dan bidirectional cavopulmonary shunt yang mengalami sindrom curah jantung rendah pada jam ke-24. Namun kesimpulan diatas masih berdasarkan jumlah sampel dengan kekuatan penelitian <80% sehingga hanya berlaku sebagai kesimpulan sementara berdasarkan studi pendahuluan.

Background: Congenital heart disease is the most common type of birth defects, and is the most common cause of death in infants. Cardiac syndrome is still a problem faced by pediatric patients after heart surgery. Detection of Low Cardiac Output Syndrome with clinical criteria and laboratory indicators is still considered insufficient, which is proven to still contain morbidity and mortality rates. The role of NT-proBNP biological markers is expected to be used to support the detection of low cardiac output syndrome in pediatrics.
Methods: A Preliminary retrospective cohort with 47 subjects fulfilling the inclusion and exclusion criteria who underwent palliative open heart surgery PA banding, Bidirectional cavopulmonary shunt, BT-shunt and Fontan from October, 2019 to March, 2020 at the Harapan Kita National Heart and Vascular Hospital, Indonesia. Preoperative, operative and postoperative data including the incidence of low cardiac output syndrome were recorded. NT-proBNP levels will be taken pre-surgery, 4 hours, 24 hours and 72 hours after surgery. Data analysis using the Mann-Whitney test.
Results: NT-proBNP levels in the cardiac palliative surgery especially Fontan procedure at pre-surgery (137 pg/mL), 4 hours after surgery (685 pg/mL), 24 hours after surgery (5,715 pg/mL), and 72 hours after surgery (970 pg/mL). NT-proBNP levels at pre-surgery, 4 hours after surgery, 24 hours after surgery, and 72 hours after surgery were not significantly different from the incidence of low cardiac output syndrome (p value> 0.05).
Conclusion: There is an increase in NT-Pro BNP values ​​in subjects with Fontan palliative heart surgery and bidirectional cavopulmonary shunt. However, the above conclusions are still based on the number of samples with research powers<80% and can only be taken as a provisional conclusion based on preliminary studies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aris Furqon
"Latar Belakang: Paru merupakan salah satu organ tersering ditemukan lesi metastasis. Reseksi sublobar dapat berupa reseksi baji atau segmentektomi. Saat ini belum ada telaah sistematik atau metaanalisis yang membandingkan keduaya. Tujuan kajian ini adalah membuktikan segmentektomi merupakan metode metastasektomi dengan kesintasan yang lebih baik.
Metode: Tinjauan sistematik ini dilakukan dengan menerapkan kaidah yang disusun dalam PRISMA-P. Pencarian terhadap artikel yang sesuai dilakukan pada database PubMed, EBSCO, dan EMBASE. Data kemudian dilakukan telaah kritis dengan piranti ROBINS-1. Data yang diekstraksi kemudian diolah lebih lanjut dengan bantuan piranti lunak Review Manager 5.4.
Hasil: Lima artikel diikut sertakan dalam tinjauan sistematik ini. Kelima artikel tersebut melaporkan hasil penelitian dengan desain kohort retrospektif. Total subjek penelitian yang diikutkan dalam analisis akhir adalah 1011. Analisis forest plot bahwa segmentektomi memiliki kesintasan lima tahun yang terbaik (RR:0,72; 95% CI: 0,59-0,88). Sedangkan analisis subgrup yang dilakukan menemukan bahwa segmentektomi memiliki kesintasan terbaik dibandingkan dengan reseksi baji pada tumor kolorektal (RR: 0,69; 95% IK: 0,55-0,85) tetapi tidak pada jenis lesi primer sarkoma (RR: 0,98; 95% IK : 0,67-1,42).
Kesimpulan: Subjek penelitian dengan lesi metastasis paru dari keganasan kolorektal yang menjalani metastasektomi secara segmentektomi memiliki kesintasan yang terbaik jika dibandingkan dengan yang menjalani metastasektomi dengan reseksi baji.

Background: The lung is the organ where metastatic lesions are most frequently found. Sublobar resection can be wedge resection or segmentectomy. There is currently no systematic review or meta-analysis that compares the two. Aim of the study is to prove that segmentecomy is better than wedge resection in terms of survival.
Methods: This systematic review is done by applying the principle in PRISMA-P. Literature searching methods is done in PubMed, EBSCO, and EMBASE. Data then reviewed systematically with ROBINS-1. The extracted data were analyzed further by using Review Manager 5.4 Software.
Results: Five articles were included in this systematic review. The five articles report the results of a study with a retrospective cohort design. The total number of patients included in the final analysis was 1011. Forest plot analysis showed that segmentectomy had a best five-year survival (RR: 0.72; 95% CI: 0.59-0.88). Meanwhile, the subgroup analysis found that segmentectomy had best survival compared to wedge resection in colorectal tumors (RR: 0.69; 95% CI: 0.55-0.85) but not of sarcoma (RR: 0.98; 95% CI: 0.67-1.42).
Conclusion: Patients with lung metastases from colorectal malignancies who underwent metastasectomy by segmentectomy had the best survival compared to those who underwent metastasectomy by wedge resection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hengky Khouw
"Latar belakang: Arterial Switch Operation (ASO) merupakan prosedur utama pada Transposition Intact Ventricular Septum (TGA-IVS). TGA-IVS kehadiran terlambat (usia ≥30 hari) mempengaruhi kesintasan pascaprosedur ASO dan umum ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Semakin besar usia pada populasi penyakit jantung kongenital, terutama TGA-IVS, umumnya disertai status gizi kurang. Hubungan antara status gizi terhadap kesintasan pascaprosedur ASO pada TGA-IVS kehadiran terlambat belum diketahui Metodologi: Penelitian studi potong lintang berdasarkan data sekunder dari rekam medis pada pasien TGA-IVS≥ 30 hari yang menjalani operasi ASO periode 2015-2021.Variabel utama yang dinilai adalah status gizi berdasarkan kurva status gizi WHO 2006 Variabel yang ikut dinilai antara lain usia, jenis kelamin, anomali koroner, pola anomali, jenis ASO, lama penggunaan mesin jantung paru, dan penggunaan klem silang aorta terhadap mortalitas pascaprosedur ASO. Hasil: Terdapat 89 anak dengan kehadiran terlambat; 68,53% memiliki status gizi kurang/buruk. Karakteristik pasien TGA-IVS kehadiran terlambat adalah laki-laki (67,2-67,9%), tidak memiliki anomali koroner dan memiliki pola anomali koroner normal (67,2-78,6%) dan menjalani ASO primer (67,9-68,9%). Status gizi kurang/buruk tidak memiliki hubungan terhadap risiko kemation pascaprosedur ASO (OR: 2,41, P:0,661) dibandingkan status gizi cukup. Lama mesin jantung paru merupakan prediktor mortalitas independen (p = 0,031) Kesimpulan: Status gizi rendah tidak memilki hubungan terhadap mortalitas pascaprosedur ASO pada TGA-IVS kehadiran terlambat.

Background: Arterial Switch Operation (ASO) is the main procedure for Transposition of with Intact Ventricular Septum (TGA-IVS). Late presenter TGA-IVS (age ≥30 days) has lower postoperative ASO survival and commonly found in developing country, including Indonesia. Older age in congenital heart disease, including TGA-IVS, associated with poor nutritional status. The correlation between nutritional status and mortality post ASO in late presenter TGA-IVS remains unknown. Method: a cross sectional study based on secondary data based on medical record of late presenter TGA-IVS who undergoned ASO in 2015-202. The main measured variable is nutritional status based on WHO 2006 nutritional status curves. Other measured variables are age at intervention, gender, coronary anomaly, coronary patterns, ASO types, cardiopulmonary bypass time, aortic crosss-clamp time and hospital mortality post ASO Result: 89 children identified as late presenter TGA-IVS; 68,53% with poor nutritional status. The late presenter TGA-IVS characteristics are male (67,2-67,9%), normal coronary anatomy and pattern (67,2-78,6%), and mostly underwent primary ASO (67,9-68,9%). Poor nutritional status has no correlation (OR: 2,41, P:0,661) with mortality outcome post ASO if compared with normal nutritional status. CPB time is an independent risk factor for mortality (p = 0,031). Conclusion: No correlation between poor nutritional status with mortality outcomes post ASO procedure in late presenter TGA-IVS"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Ita Susanti Pramono Widjojo
"Latar belakang: Operasi jantung membutuhkan larutan kardioplegia untuk menghentikan jantung. Saat ini sebagian besar larutan kardioplegia menggunakan mekanisme depolarisasi membran yang berisiko menyebabkan gangguan keseimbangan ion transmembran, aritmia, vasokonstriksi koroner, gangguan kontraktilitas, dan sindrom curah jantung rendah. Menunjukkan proteksi miokardium masih belum optimal. Henti jantung melalui polarisasi membran secara teori dapat memberikan proteksi miokardium yang lebih baik.
Tujuan: Diketahui kualitas proteksi miokardium henti jantung terpolarisasi dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.
Metode: Tinjauan sistematik dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Data didapatkan melalui pencarian dalam basis data Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, dan Embase.
Hasil: Dari penelusuran diperoleh empat studi yang memenuhi kriteria. Tiga studi dengan desain uji acak terkontrol, satu studi dengan desain kohort retrospektif. Jumlah sampel bervariasi dari 60 sampai 1000 subjek. Kualitas proteksi miokardium dinilai dari kejadian aritmia pascaoperasi, infark miokardium pascaoperasi, dan sindrom curah jantung rendah pascaoperasi. Satu studi melaporkan angka kejadian aritmia pascaoperasi yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok henti jantung terpolarisasi (p 0,010). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian infark miokardium pascaoperasi. Tiga studi melaporkan angka kejadian sindrom curah jantung rendah pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok henti jantung terpolarisasi namun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Henti jantung terpolarisasi berpotensi memberikan kualitas proteksi miokardium yang lebih baik dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.

Background: Cardioplegia is needed in cardiac surgery to arrest the heart to achieve a quiet and bloodless field. Depolarized cardiac arrest is widely used despite the risk of ionic imbalances, arrhythmias, coronary vasoconstriction, contractility dysfunction, and low cardiac output syndrome leading to suboptimal myocardial protection. Polarized cardiac arrest has a more physiological mechanism to arrest the heart, thus giving better cardioprotection qualities.
Objective: To assess the myocardial protection quality of polarized cardiac arrest compared with depolarized cardiac arrest.
Method: Systematic review with PRISMA-P protocol. The literature search was performed using Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, and Embase databases.
Result: Three randomized controlled trials and one retrospective cohort study were identified, with sample sizes varied between 60 to 1000 subjects. The quality of myocardial protection was assessed from postoperative arrhythmias, postoperative myocardial infarction, and postoperative low cardiac output syndrome. One study reported significantly lower postoperative arrhythmias in the polarized arrest group (p 0.010). There were no differences in postoperative myocardial infarction between the two intervention groups. Three studies reported lower postoperative low cardiac output syndrome in the polarized arrest group although not statistically significant.
Conclusion: Polarized cardiac arrest may give better myocardial protection than depolarized cardiac arrest.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>