Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
L.G. Saraswati Putri
"Tujuan utama dari penulisan disertasi ini adalah menunjukkan problem disekuilibrium di antara manusia dan alam. Kondisi ini terjadi dikarenakan kurangnya kepekaan manusia untuk melestarikan alam. Manusia menganggap secara dangkal keberadaan dan kekayaan alam. Sikap ini menyebabkan kerusakan berkepanjangan, hingga pada titik dimana tidak adanya lagi alam liar. Pendekatan etis terhadap problem disekuilibrium dianggap tidak lagi cukup. Harus ada langkah baru dan metode yang lebih akurat untuk mengatasi inti dari permasalahan. Fenomenologi Lingkungan menawarkan ontologi baru terhadap relasi manusia dan alam. Melalui Edmund Husserl, Maurice Merleau-Ponty dan Martin Heidegger, fenomenologi lingkungan bertujuan untuk membangun argument yang rigoris dalam mengupayakan investigasi terhadap problem relasi manusia dan alam. Melalui perspektif Husserlian, alam bukan semata-mata perpanjangan dari kesadaran subjek. Alam memiliki kualitas dan properti yang independen dari asumsi subjek. Lebih lanjutnya, Merleau-Ponty berargumen bahwa alam lebih dari sebatas latar belakang kehidupan manusia, alam adalah bagian mendasar dari bagaimana manusia merekognisi eksistensinya. Kita hidup terinspirasi dari alam, tanpa alam kita kehilangan daya untuk membentuk makna. Menurut Heidegger manusia mendapatkan makna kehidupannya melalui keterlibatannya dengan alam. Alam memberikan kita ilustrasi tentang ruang dan waktu. Maka, keterlibatan dengan alam adalah bagian terpenting dari Dasein, yakni melalui kehidupan berdampingan dengan alam ia dapat memahami otentisitasnya. Perjalanan menuju ekuilibrium adalah tugas yang penuh tantangan, yang membutuhkan sikap dan pandangan filosofis. Fenomenologi Lingkungan memungkinkan kita untuk berpikir secara radikal problem disekuilibrium dan memulihkan relasi ontologis di antara manusia dan alam.

The prime objective of this dissertation is to point the matter of disequilibrium between human and nature. This condition is due to our lack of sensibility to preserve nature. Human beings take for granted the bountiful of nature. This attitude causes further destruction to the point of losing Nature?s wilderness. Ethical approach to the problem of disequilibrium is no longer sufficient. There must be a new and vigorous method to solve the crux of the matter. Eco-Phenomenology proposes new ontology towards human and nature. Through Edmund Husserl, Maurice Merleau-Ponty and Martin Heidegger, eco-phenomenology aims to a more rigorous argument to investigate the relation between human and nature. From Husserlian perspective, nature is not merely an extension of the subject consciousness. Nature has its qualities and properties independent from the subject?s assumption. Furthermore, Merleau-Ponty argues that nature is more than just the backdrop of our lives, it is the essential part of our recognition to our existence. We live inspired through nature, in the absence of it, we would have lost our ability to constitute meaning. According to Heidegger human derived its meaning through their involvement with nature. Nature provides us with the illustration of space and time. Hence, nature is a fundamental part of Dasein, through dwelling alongside nature, Dasein is discovering its authenticity. The journey to equilibrium is an arduous task, one that requires new philosophical ways of perceiving. Eco-phenomenology enables us to think a more radical problem of disequilibrium, and that is to restore the ontological relation between human and nature."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
D1413
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Freddy Prisanto
"Disertasi ini mengangkat tesis bahwa keadilan adalah condition o f social order (syarat memungkinkan tatanan sosial) yang melekat dalam pasar. Pasar dipahami sebagai konstruksi sosial dengan mekanisme yang paling memungkinkan (the most enable) bagi individu untuk bertindak rasional tanpa harus mensyaratkan diri memiliki rasionalitas tersebut. Pasar seperti ini mengandaikan asumsi antropologis berupa manusia sebagai homo economicus dan homo rationale yang mengejar kepentingan dirinya. Model pasar persaingan sempurna, dengan fitur-fiturnya seperti efisiensi dan ekuilibrium, terjustifikasi melalui formulasi matematis ilmu ekonomi. Sementara, ketidakmampuan (incapability) individu-individu untuk berpartisipasi dalam model pasar persaingan sempurna merupakan problem mendasar dalam teori keadilan. Dalam hal ini, kebebasan dan kesetaraan adalah dasar dari perdebatan keadilan yang untuk mengatasinya dibutuhkan suatu teori keadilan yang mampu memposisikan individu untuk memiliki kapabilitas di dalam pasar. Untuk menyelesaikan konstelasi antara kebebasan dan kesetaraan, pendekatan kapabilitas dalam teori keadilan Amartya Sen menjadi jalan terbaik untuk ditempuh dibandingkan alternatif-alternatif lain yang lebih menekankan hanya pada satu fitur (kebebasan atau kesetaraan). Asumsi antropologis yang berlaku lebih dari sekedar pemuas kepentingan diri, melainkan juga kebebasan, moral, dan keadilan. Sebagai condition o f social order, keadilan diperlukan untuk menolak dominasi dan eksploitasi, baik dalam relasi tenaga kerja dengan pemilik modal maupun antara konsumen dengan produsen. Pasar harus terakses dengan baik.

Justice is a condition of social order that inherent within market. Market agreed as a social construction with specific mechanism that enable individual to act rationally without having to possess said rationality. This kind of market presuppose the anthropological assumption that human is a homo economicus and homo rationale that pursue their self-interest. The perfect model of competitive market, with features like efficiency and equilibrium, is justified through the formulation of mathematical economic science. Meanwhile, the incapability of individuals to participate in the perfect model of competitive market is the fundamental problem in the justice theory. In this case, freedom and equality became the basis of the debate regarding justice, in which to solve it would require a theory of justice that is able to place the individuals to have a capability in the market. Amartya Sen's capability approach in his theory of justice became the best way to resolve the intricacy between freedom and equality as opposed to other alternatives, which only emphasize on one feature - either freedom or equality. The applicable anthropological assumption is more than merely to satisfy selfinterests, but also freedom, moral and justice. As a condition of social order, justice is necessary to reject domination and exploitation - either in the relationship between the labors and the owners of capital, or between the consumers and the manufacturers. The market should be accessible."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
D1417
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Polimpung, Hizkia Yosias
"Ontoteologi adalah musuh tradisional dari filsafat modern. Setiap filsafat muncul sebagai respon atasnya. Dalam disertasi ini, pemikiran Quentin Meillassoux yang adalah pelopor aliran realisme spekulatif menjadi obyek studi untuk direfleksikan kapasitasnya dalam menghalau metafisika ontoteologis. Ditunjukkan bahwa dalam seluruh prosedur pemikirannya mdash;postulasi problem, perumusan prinsip ontologis dan formulasi prosedur filsafat mdash;Meillassoux justru melakukan pengulangan ontoteologi ini dalam bentuknya yang disebut di sini sebagai ontoantropologi. Manusia anthropos , dalam filsafat Meillassoux, menjadi jangkar bagi ontologi itu sendiri. Dengan menggunakan psikoanalisis Jacques Lacan, disertasi ini memberikan kritik terhadap ontoantropologi Meillassoux. Pembahasan terbagi dalam tiga bagian besar. Pertama adalah pemaparan kondisi-kondisi institusional, sosial dan historis yang mana filsafat Meillassoux mengambil tempat. Bagian kedua merefleksikan postulasi ranah realitas obyektif, yang keberadaannya absolut dari pikiran manusia. Bagian ketiga mengevaluasi prinsip ontologis yang diformulasikan Meillassoux untuk memikirkan tentang realitas obyektif dan absolut ini. Selain refleksi kritis, penulis juga menawarkan sketsa kemungkinan solusi terhadap setiap manifestasi problem ontoantropologis Meillassoux. Akhirnya, disertasi ini berargumen bahwa problem ontoantropologis hanya bisa dipecahkan saat manusia-filsafat mengafirmasi kemungkinan bahwa kemanusiaannya berpotensi membatasi kapasitas filsafat dalam mengakses yang absolut, ketimbang mengabaikannya begitu saja sebagaimana yang dilakukan Meillassoux.

Ontotheology is a traditional adversary of modern philosophy. Every brand new philosophy rises up as a response against it. In this dissertation, the thought of Quentin Meillassoux, a pioneer of recent new speculative realist, becomes the object of study to be reflected upon its capacity in overcoming ontotheological metaphysics. It is shown that in every of his thought procedure mdash postulation of problem, formulation of ontological principle, designation of philosophical procedure mdash Meillassoux is precisely repeating ontotheology in the guise of what to be called as ontoanthropology. Human anthropos , in Meillassoux philosophy, becomes the anchor for the ontology itself. By employing Jacques Lacan rsquo s psychoanaysis, this dissertation offers a critique of Meillassoux rsquo s ontoanthropology. The discussion is divided into three. The first describes institutional, social, and historical conditions under which Meillassoux rsquo s philosophy is taking place. The second part reflects on the postulation of the realm of objective reality, whose presence is absolute to human rsquo s mind. The third part evaluates the ontological principle formulated by Meillassoux to think about the objective and absolute reality. Besides a critical reflection, the author also offer a sketch of possibility of solution for every manifestation of Meillassoux rsquo s ontoanthropological problem. Finally, the dissertation argues that the problem of ontoanthropology can only be solved when the man of philosophy affirm the possibility that his humanity has the potential to limit philosophy rsquo s capacity in accessing the absolute, instead of just foreclosing it as Meillassoux does."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2243
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Sumaryanto
"Disertasi ini mengangkat permasalahan dominasi sistem terhadap lifeworld dan konsekuensinya. Tujuannya merunut pemikiran Habermas tentang lifeworld dan sistem dan melihat relevansinya pada permasalahan metodologis maupun praktis di bidang perpustakaan. Ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan historis-faktual menggunakan metode hermeneutika romantis-kritis. Melalui teori kritisnya Habermas mengupas keadaan masyarakat yang kelihatannya baik dan ideal, dan dia mampu menunjukan segi negatifnya yang muncul dalam bentuk represi, perendahan harkat dan martabat manusia, dan terkikisnya potensi manusia untuk berkomunikasi. Habermas memahami masyarakat sebagai lifeworld dan sistem, yang dalam prosesnya keadaannya menjadi tidak seimbang. Sistem dengan landasan rasionalitas instrumentalnya lambat laun mengolonisasi, bahkan mengambil alih fungsi lifeworld yang berlandaskan rasionalitas komunikatif. Akibatnya, masyarakat ditundukan pada suatu lingkaran administratif tertutup dan menindas. Logika efisiensi mengambil alih komunikasi dan menggantinya dengan medium uang dan administrasi-birokratis. Relevansinya dengan bidang perpustakaan, perpustakaan harus dipahami sebagai suatu masyarakat yang terorganisasi sebagai sistem sekaligus lifeworld tempat berlangsungnya relasi intersubjektivitas yang dilandasi saling pengakuan dan penerimaan pengetahuan. Dengan pemahaman bahwa perpustakaan merupakan sistem dan lifeworld yang seimbang dan non-selektif pada salah satunya, ia tidak hanya bersifat administratif, dan memenuhi kepentingan teknis instrumental, tetapi juga suatu lifeworld tempat berlangsungnya proses demokratisasi pengetahuan.

This desertation discusses the problem of system domination process on lifeworld and the consequences thereof. It aims at tracing Habermas rsquo thought especially on lfeworld and system and considers its practical relevance on illuminating methodological as well as practical problem in library field. It is a qualitative research with historical factual approach using romantic critical hermeneutics. Using Critical Theory perspective, Habermas analyzes fine and ideal looking society, for its negative sides. The negative sides emerge in the form of repression, reduction of human dignity and erosion as potentials in communication. Habermas envisages society as lifeworld and system, in which process it eventually becomes unbalanced. System in its instrumental rationality inclines to colonize and take over the function of lifeworld . As a result society is subject to administrative circle which is cloistered and repressive. That efficiency logic takes over the communication and replaces it through the money and birocratic administration media. In its relevance to library field, it should be understood as society organized as lifeworld and system in which an ongoing place of intersubjectivity relation based on mutual recognition and learning acceptance. By understanding that a library is a balanced system and lifeworld and non selective at either side, a library is not only administrative and fulfilling instrumental technical interests, but a lifeworld in which learning democratizing process is in progress.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2280
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Idris
"Disertasi ini menelaah tindak korupsi yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi keadilan sosial. Kontraktualisme dan konsep keadilan Rawls digunakan untuk menjelaskan permasalahan dalam membangun negara demokratis berkeadilan sosial. Peneliti berargumen bahwa karakteristik masyarakat Indonesia mampu menjelaskan mengapa pada masyarakat berkeadilan sosial, korupsi dapat terus terjadi. Menggunakan pemahaman evolusioner, antropologis, serta konsep-konsep dari penelitian terdahulu, peneliti merumuskan karakteristik khas masyarakat Indonesia. Peneliti menemukan bahwa karakteristik ini mencakup keberanian, afektivitas ekstrem, musyawarah mufakat, dan fleksibilitas ekonomi. Sementara itu, persepsi masyarakat terhadap keadilan sosial dan korupsi dibentuk oleh norma agama. Dengan menggunakan metode spiral hermeneutik untuk membangun koherensi dan korespondensi dari kerangka yang telah dikembangkan, pada langkah rekonstruksi, peneliti mengangkat kasus korupsi proyek KTP Elektronik dan suap pengurusan Dana Alokasi Khusus sebagai uji empiris. Selanjutnya, setelah kerangka berhasil dipertahankan, kerangka ini diuji kembali pada kasus pembelian suara pada pemilihan umum. Peneliti membandingkan model yang dirumuskan dengan model konsekuensialisme, etika kebajikan, dan etika Kantian, dan menunjukkan  kelebihan model yang dikembangkan dari model-model tersebut. Sebagai hasil akhir, peneliti mengemukakan solusi pada pemberantasan korupsi yang berbasis pada dua pendekatan yaitu pendekatan kultural dan pendekatan reflektif dialogis rasional. Kedua pendekatan ini dimanifestasikan ke dalam sejumlah panduan praktis pemberantasan korupsi di Indonesia pada aspek-aspek kultural pembentuk korupsi dan dibantu oleh infrastruktur sosioteknik seperti teknologi informasi dan pengembangan sumber daya manusia.

This dissertation examines the problem of corruption that occurs in Indones of justice are used to explain the problems in building  democratic state with social justice. The researcher argues that the characteristics of Indonesian society are able to explain why in a socially just society, corruption can continue to emerge. Using evolutionary, anthropological, and conceptions from previous research, the researcher formulated the distinctive characteristics of Indonesian society. Researcher found that these characteristics include courage, extreme affective, deliberative consensus, and economic flexibility. Meanwhile, people's perceptions of social justice and corruption are shaped by religious norms. By using the hermeneutic spiral method to build coherence and correspondence from the framework that has been developed, in the reconstruction step, the researcher raises the corruption case of the Electronic KTP project and the bribery of the Special Allocation Fund management as an empirical test. Furthermore, after the framework has been successfully maintained, it is retested in the case of vote buying at the general election. Researcher compare the model formulated with the model of consequentialism, virtue ethics, and Kantian ethics, and show the advantages of the models developed from these models. As the final result, the researcher suggests a solution to eradicating corruption based on two approaches, a cultural approach and a rational dialogical reflective approach. Both are manifested in a number of practical guidelines on corruption eradication in Indonesia on the cultural aspects of corruption and are assisted by socio-technical infrastructure such as information technology and human resource development."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhendra
"Riset ini merupakan penelitian atas paradoks dalam relasi keadilan dengan hukum dalam karya Jacques Derrida, Force of Law dan menggunakan pendekatan dialetheia dari Graham Priest untuk menjawab permasalahan yang muncul dari diterapkannya dekonstruksi atas hukum. Paradoks ini muncul karena hukum memiliki dimensi kekerasan dari sisi pendirian hingga sisi pemeliharaannya. Pendekatan ini mungkin karena pendekatan dialetheik menyediakan jalan untuk mengatasi paradoks dengan berpegang pada prinsip “sebagian kontradiksi itu benar. Dalam Force of Law, Derrida menyatakan bahwa keadilan itu sendiri mempersyaratkan realisasinya dalam hubungannya dengan yang lain. Oleh karena relasi serupa ini, bagi Derrida, keadilan adalah sesuatu yang akan datang (“justice to come”) karena ia tidak mungkin hadir atau mustahil dicapai dalam hukum ketika tidak dapat mengakomodasi yang lain. Penelitian ini menemukan bahwa, ketegangan konseptual dalam relasi keadilan adalah dialetheik (“sebagian kontradiksi itu benar”). Penemuan ini telah membuka pandangan yang segar tentang nosi keadilan, bahwa keadilan bukan lagi semata-mata kesesuaian antara gagasan atau ide dengan kenyataan yang direpresentasikan, yakni keadilan sebagai hukum ataupun keadilan juga bukan semata-mata permainan différance karena tegangan yang terus menerus terjadi dalam hukum untuk menggapai keadilan. Alhasil, dialetheik mampu menjadi jembatan untuk mengambilalih kebenaran yang ada dalam paradoks penyelesaian hukum dari kasus tragedi 1965 sesudah menerapkan dekonstruksi.

This research inquiries into the paradox of justice and law in Derrida’s Force of Law and integrates dialetheia by Graham Priest into the central issue of the paradoxes of deconstruction of law since law inherits a violent feature in its very nature, operation, and maintenance. Such a pathway is possible because the dialetheic approach can open up a pathway to resolve the paradox of the principle that ‘some contradictions are true’. In Force of Law, Derrida says ‘justice-to-come’ because it can't be now and here or achieved by law when the law is never to be able to accommodate the others. Justice needs to require its relations to others as an irreplaceable singularity. This study unveils that the conceptual tension (between justice and law) is indeed dialetheic. The finding opens the door for a novel insight in conceiving justice, that justice is no longer merely adequacy of and between ideas or concepts and reality or justice of law nor is it simply like the game of différance played in law to achieve justice. As a result, dialetheic approach opens a pathway to take over the truths that existed in the paradoxical settlement of 1965 after the deconstruction of the case."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syam Surya Syamsi
"Pembangunan saat ini lebih menitikberatkan terhadap ukuran-ukuran yang lebih kuantitatif.Hal ini dapat dilihat dalam beberapa model konstruksi arus utama yang berdasarkan padakerangka libertarian, utilitarian, dan Rawlsian. Ketiganya dikritik oleh Amartya Sen karena mereka mengabaikan prinsip kemanusiaan, yang dianggap sebagai kombinasi dari fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, ketiganya gagal untuk melihat manusia sebagai entitas aktif dalam proses menjadi daripada sebuah entitas pasif, yang dapat bervariasi dari fungsi dasar untuk memenuhi syarat kehidupan mereka sendiri. Dengan konteks ini, Sen mengajukan teori dan etika pembangunan dengan kebebasan, kapabilitas dan etika pilar untukmenjawab kritik dimaksud.

Within the known age, development happens to be more quantitative-measure orientation. This can be seen in several mainstream construction models based on libertarian, utilitarian, and Rawlsian. These were criticized by Amartya Sen for they despise principle subjects of humanity that considered as combination of different functions. On the other words, those three failed to figure human as an active being than a passive one; which can vary, from its basic functions to what qualifies their own lives. By this context, Sen submit a theory and development ethics as capability extension and freedom to answer the question itself.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
D1384
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fristian Hadinata
"Disertasi ini adalah penelitian untuk melihat upaya teoretis Richard Rorty untuk keluar dari perdebatan antara fondasionalisme dengan relativisme dan konsekuensinya pada bidang sosial-politik. Penelitian ini menggunakan metode refleksi kritis dan fenomenologi-hermenutika Gadamer untuk menganalisis teori kebenaran yang ditawarkan oleh Richard Rorty.
Temuan penelitan ini adalah teori kebenaran tersebut didasarkan pada asumsi kuasi-realisme yang mengandung ?deflationary theory of truth?. Di sini,?deflationary theory of truth? menunjukkan manusia memahami diri ataupun dunia begitu saja dalam arus kehidupannya. Oleh karena itu, kebenaran tidak mungkin hadir terpisah dari kegiatan manusia itu sendiri ?dalam konteks ini, kegiatan berbahasa yang berciri kontingensi. Dengan ucap lain, kita tidak mungkin berbicara atau berpikir tentang kebenaran tanpa melakukan identifikasi dalam kosakata ataupun deskripsi, di mana kebenaran itu diformulasikan.

This dissertation is a study to see Richard Rorty?s theoretical efforts to escape of the debate between foundationalism and relativism, and their consequences on social-politic field. This study uses the methods of critical reflection and Gadamer?s phenomenology-hermeneutics to analyze the theory of truth offered by Richard Rorty.
The finding of this study is the Richard?s Rorty theory of truth based on the assumption of quasi-realism containing deflationary theory of truth. It shows that human understanding about their self or the world just happen in flow of their life. Therefore, the truth is impossible to exist apart from human activities ?in this context, linguistic activities are characterized by contingency. In other words, we can not talk or think about the truth without identifying it in vocabulary or description, in which the truth is formulated."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2100
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library