Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Kartikawati
Abstrak :
Fokus penelitian ini adalah bagaimanakah konstruksi makna dan identitas hijabers di komunitas hijab Jakarta, Depok dan Bekasi yang dilakukan melalui aktivitas komunikasi kelompoknya. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan metode kualitatif, menghasilkan lima macam makna yaitu: (1) Hijab adalah untuk hijrah. (2) Hijab adalah kontrol tingkah laku. (3) Hijab adalah alat dakwah (4) Hijab adalah motivator diri sendiri (5) Hijab adalah pelindung muslimah. Pada proses pembentukan identitas hijabers melahirkan ciri hijabers: (1) Hijabers berkegiatan positif.(2) Hijabers kreatif, mandiri, berjiwa entrepreneur. (3) Hijabers berkesadaran mengaji.(4) Hijabers yang bermanfaat (5) Hijabers berkesadaran moral, berjiwa keibuan. Aktivitas komunikasi kelompok untuk menjaga rasa solidaritas anggota. ...... The focus of this is “How is the Construction of Meaning and Hijabers’ Identities in Hijab Community in Jakarta, Depok, and Bekasi Conducted through Their Group Communication Activities”. By using constructivism paradigm with qualitative method, the research result showed five kinds of meaning, namely: (1) Hijab is for moving. (2) Hijab is behavior control. (3) Hijab is a propaganda tool. (4) Hijab is a self motivator. (5) Hijab is Muslim women’s protector. In the hijabers’ identity formation process reveals special characteristics as hijabers, namely: (1) Hijabers have positive activities. (2) Hijabers are creative, independent, and entrepreneurial. (3) Hijabers are aware of reading and reciting Al-Qur’an. (4) Hijabers are helpful for others. (5) Hijabers are mature and have moral. Overall activities conducted by group communication activities as an effort to keep solidarity among the members
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1960
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspitasari
Abstrak :
Kepelbagaian atau pluralitas di Indonesia memiliki sejarah panjang yang diwarnai dengan konflik dan kekerasan. Bahkan sejak sebelum masa kemerdekaan, kepelbagaian telah menjadi penyebab dari adanya konflik yang berbasis pada perbedaan etnis dan agama Bahasa yang menurut Sukarno dan Bourdieu dapat menjadi penyebab meningkatnya tegangan dalan pemaknaan dikarenakan oleh hakekat teks sebagai person yang selalu mengandung kepentingan. Pemilihan bahasa yang merepresentasi kepentingan dan ideology merupakan sumber dari pertarungan untuk memenangkan dominasi terhadap yang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, peneliti telah menganalisis wacana pluralisme pada sejumlah akun twitter. Peneliti berupaya menganalisis praktik kekerasan simbolikyang muncul karena dikonstruksioleh pengguna akun twitter tersebut. Peneliti menggunakan teori habitus, kapital, arena and kekerasan simbolik yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dan ditunjang oleh konsep kekuasaan menurut Michel Foucault. Peneliti menggunakan paradigma kritis, metode pengumpulan data berbasis observasi dan wawancara. Sementara metode analisis menggunakan kerangka semiotika Roland Barthes. Setelah mengamati beberapa akun twitter yang merepresentasikan dua pandangan yang berbeda: mendukung dan menentang pluralisme, peneliti menemukan adanya sejumlah mitos yang berlangsung dalam arena. Mitos mengenai klaim kebenaran tunggal yang absolut menjadi kerangka yang melegitimasi penerimaan terhadap kekerasan. Dan hal itu terjadi berkat adanya habitus yang terbentuk dalam masyarakat melalui rentang waktu yang panjang dan diwacanakan oleh institusi-institusi sosial seperti institusi pendidikan, agama da media massa, bahkan institusi pemerintahan. Setiap pihak yang terlibat dalam twitter mereproduksi wacana yang berbeda dan masing-masing berusaha membangun habitus, bagi pendukung berusaha membangun habitus baru, bagi penentang berusaha mengukuhkan habitus lama untuk mendukung status quo. Sekalipun demikian penelitian menunjukkan bahwa twitter memiliki potensi untuk menjadi media alternatif yang membentuk habitus yang nirkekerasan. Penelitian menunjukkan bahwa wacana yang direproduksi oleh penentang pluralisme adalah tentang kekuatan uang di balik wacana pluralisme untuk melegitimasi resistensi mereka terhadap pluralisme dan penerimaan terhadap kekerasan. ...... Diversity in Indonesia has such a long history which has been filled by conflict and violence. In fact, before its independence, diversity became cause of conflicts of multi religions and ethnics. Language; as Sukarno and Bourdieu mentioned, became a cause of rising tension in perceiving meaning. This happened because every text is a message as said by Roland Barthes. It means, every text shown in every arena including twitter has the meaning indeed. Language selection can also represent certain interests and ideology, and that?s what defines discourse. Language derived from the idea of domination. By then, discourse can be changeable according to the purpose of the parties/individuals who are trying to fight their dominant ideas. Based on the understanding of that, researcher has tried to analyze the discourse of pluralism in several twitter accounts. Researcher has tried to analyze how symbolic violence constructed to the actor of twitter arena as shown in their account. By that, researcher has used the theory of habitus, capital, arena and symbolic violence by Pierre Bourdieu and supported by Michel Foucault?s power. The method analysis utilized in this research is Roland Barthes? semiotic. Researcher has used critical paradigm. The data collection methods were using observation and interview. By observed several accounts on twitter that represented different perspectives on pluralism, pro and anti-pluralism, researcher has tried to reveal the myth that happened on the twitter arena. By then, researcher find symbolic violence appear through the habitus that constructed to the individu from a long period and going through the social institutions such as education, religion, media institution. Every parties in twitter has reproduced the different discourse that build new habitus or established the old habitus to support the ideology of status quo. The result of this research shown that the discourse of pluralism that produced by the antipluralism draws an effort of dominant party to legitimate violence as a way to solve the problem of differences. Then they produced and reproduced the discourse pluralism by appointing Jaringan Islam Liberal (JIL) as the enemy of Islam and suspect that America behind this (the pluralism) who also funded and facilitated the idea of pluralism.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1311
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rino Febrianno Boer
Abstrak :
Media sosial terus berkembang di Indonesia sejalan dengan peningkatan jumlah penggunanya yang terutama adalah remaja. Teknologi komunikasi dan sistem tanda yang ada di media sosial ternyata dapat mendorong pengguna untuk melakukan tindakan konsumsi. Karakter media sosial yang berbeda dengan media tradisional menghadirkan realitas konsumsi yang berbeda bagi remaja. Permasalahan yang akan dibahas adalah Bagaimana relasi antara media, tanda, dan makna di media sosial sehingga dapat mendorong konsumsi oleh remaja? Bagaimana berlakunya persuasive technology dibalik terjadinya konsumsi oleh remaja melalui media sosial? Mengapa media sosial dapat membuat remaja menjadi lebih konsumtif? Penggunaan konsep sistem tanda dari Jean Baudrillard dan teknologi persuasi dari BJ Fogg menjadi dasar kajian terhadap relasi antar individu di media sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian sosial-konstruktivis di dalam paradigma interpretif. Studi dokumen, wawancara mendalam serta observasi dilakukan terhadap informan yang terdiri dari para remaja pengguna media sosial di Jakarta. Relasi antara teknologi yang mempersuasi dan sistem tanda di media sosial menghadirkan proses konsumsi yang berbeda dengan kondisi sebelum media sosial ada seperti pada saat ini. Sebagai aplikasinya di Indonesia, penelitian ini menawarkan konsep baru yang disebut social persuasive technology dengan melihat interaksi aktif sebagai komponen utama didalamnya yang sekaligus memperlihakan perubahan dari proses yang mekanik-deterministik menjadi reflektif di dalam diri remaja. ......Nowadays, utilization of social media continues to grow in Indonesia in line with the increased number of users who are mainly adolescents. Communications technologies and sign system on social media could encourage users to make consumption. Different characteristic between social media and traditional media could represent a difference of consumption of reality for adolescents. Issues to be discussed is How is the relationship between media, signs, and meanings in social media so that these things can encourage a consumption by adolescent? How is a role of persuasive technology behind consumption taken by adolescent through social media? Why social media could make adolescent become more consumptive? The main concepts that will be used here are Sign Systems by Jean Baudrillard and Persuasive Technology by BJ Fogg. It could be used as basis for analysis of relationship between individual through social media. This study used a qualitative approach with research methods is social-constructivist which is under an interpretive paradigm. Study of documents, in-depth interviews, and observations will conduct on informants those are users of social media in Jakarta. The relationship between technology and sign systems to persuade in social media presents a difference consumption processes with the condition before social media has not been recognized as now. As an application in Indonesia, this study offers a new concept called Social Persuasive Technology in which an Active Interaction as a major component therein and make a mechanic-deterministic process could change into a reflective.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1386
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummi Salamah
Abstrak :
Disertasi ini meneliti secara empiris brand politik pemimpin politik (dhi. bakal calon presiden Republik Indonesia 2014) dalam konteks komunikasi politik dan keterkaitannya dengan kepemimpinan yang berbasis pada identitas sosial. Konsep brand merupakan konsep ilmu pemasaran yang diterapkan dalam berbagai ranah, termasuk politik. Oleh karena itu terdapat kebutuhan untuk mendapatkan gambaran mengenai konsep ini dalam konteks komunikasi politik yang semakin mengalami personalisasi dan mediatisasi. Personalisasi dan mediatisasi merupakan realitas komunikasi politik yang mendorong kemunculan pemimpin politik sebagai brand. Penelitian ini menelaah brand pemimpin politik sebagai pesan di media massa, khususnya media massa cetak yang mewakili 5 (lima) kelompok bisnis media besar yang ada di Indonesia. Analisis konten media dilakukan untuk melihat visibilitas dan asosiasi yang melekat pada brand 12 (duabelas) bakal calon presiden RI paling populer di media, yaitu (dalam urutan abjad) Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan, Gita Wirjawan, Hatta Rajasa, Jokowi, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Marzuki Alie, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Pramono Edhie Wibowo dan Wiranto. Brand sebagai pesan di media kemudian menjadi dasar untuk mendapatkan gambaran tentang brand pemimpin politik di benak publik, yaitu pemilih di 5 (lima) wilayah DKI Jakarta. Penelitian ini menemukan bahwa konsep brand pemimpin politik bersifat cair dan rentan terhadap isu maupun persaingan politik. Selain itu, terdapat 2 (dua) dimensi dasar pembentuk ekuitas brand pemimpin politik, yaitu: elektabilitas dan partisipasi. Tingkat pengenalan (awareness) dan prototipikalitas (keterwakilan identitas sosial pemilih dalam sosok pemimpin) menjadi kondisi yang diperlukan (necessary condition untuk pembentukan ekuitas brand pemimpin politik. Sedangkan kepribadian (brand personality) dan asosiasi (brand association) merupakan kondisi yang turut memperkuat meski tidak mutlak (contributory condition) dalam pembentukan ekuitas brand pemimpin politik.
This dissertation empirically examines the political brand of political leaders (ie. 12 Indonesia presidential candidates to be) in the context of political communication and in association with social identity. Brand is a marketing concept applied in politics. Therefore it has to be reviewed due to the new context, the new politics and in the midst of mediatization. Personalization and mediatization are the factors that encourages the emergence of political leaders as a brand. This study examines the political leaders as messages in the mass media, particularly the print media representing five (5) business major media groups in Indonesia. Media content analysis was used to examine the visibility and association of the top 12 Indonesia presidential candidates to be in the media, namely (in alphabetical order) Bakrie, Dahlan Iskan, Gita Wirjawan, Hatta Rajasa, Jokowi, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Marzuki Alie, Megawati, Prabowo, Pramod Edhie Wibowo and Wiranto. Brands as media messages then become the basis for getting an overview of political leaders brands in the public minds, ie. voters in Jakarta. This study found that the concept of political brand are fluid and susceptible to political issues and competition. In addition, there are two basic dimensions of brand equity for political leaders, namely: electability and participation. Brand awareness and prototypicality are two necessary conditions for political leaders brand equity while brand personality and brand association are contributory conditions.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1961
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lestari Nurhajati
Abstrak :
Kekerasan demi kekerasan atas nama agama makin sering terjadi di Indonesia, terutama dilakukan oleh kelompok Islam garis keras dan radikal.Nilai kemanusiaan dan demokrasi pun seolah diterabas dengan bebasnya, padahal selama ini masyarakat Indonesia selalu berbangga diri sebagai negara demokratis dengan jumlah penduduk sangat besar. Pergulatan atas nama agama yang dipertentangan dengan nilai-nilai demokrasi kemudian pun menghadirkan sebuah permasalahan tersendiri yakni: bagaimana wacana demokrasi dalam public sphere komunikasi politik di organisasi Islam di Indonesia? Bagaimana menjelaskan kemungkinan adanya nilai-nilai demokrasi dalam masing-masing organisasi Islam di Indonesia, dengan konsep, pemikiran, dan bahasa yang digunakan oleh masing-masing organisasi Islam tersebut. Habermas mengatakan bahwa dengan komunikasi yang emansipatoris maka komunikasiyang ideal akan tercapai. Tindakan komunikatif, yakni saling berdiskusi, memberi keyakinan dengan bebas tanpa tekanan dari pihak manapun, tanpa ada pemaksaan kehendak, dan tanpa kekerasan, akan menciptakan ruang publik (public sphere) yang kondusif, sebagai cikal bakal dari demokrasi yang memiliki kandungan nilai otonomi dan kebebasan. Hal ini seharusnya berlaku di Indonesia, namun yang yang terjadi sebaliknya, masih banyak kekerasan atas nama ideologi dan agama, di negara yang dianggap sudah demokratis ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma kritis konstruktifis, dengan teknik wawancara mendalam pada beberapa informan yang mewakili organisasi-organisasi Islam di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, HTI dan FPI. Penelitian ini pada akhirnya menunjukkan degradasi keragaman wacana demokrasi yang ada ada di berbagai kelompok Islam di Indonesia. Meskipun wacana demokrasi sudah sangat berkembang di berbagai organisasi Islam tersebut, namun public sphere komunikasi politik yang sudah mulai dibangun dan diharapkan berjalan oleh berbagai organisasi tersebut tidak sepenuhnya berhasil.
Violence in the name of religion increasingly frequent in Indonesia, mainly carried out by Islamic hardliners and radical. The humanity values and democracy was passed freely, although the people of Indonesia has always pride itself as a democratic state with a very large number of people. Struggling comparasion in the name of religion with democratic values, which brings its own problems: how democratic discourse in the public sphere of political communication in the organization of Islam in Indonesia? How to explain the possibility of democratic values within each Islamic organization in Indonesia. Habermas says that emancipatory communication could be achied of ideal communication. Communicative action, namely mutual discussions, give faith freely without pressure from any party, without any coercion of the will, and without violence, would create a public space (public sphere) are conducive, as a forerunner of democracy that contains the value of autonomy and freedom. This study used a qualitative method with the critical constructivism paradigm, with in-depth interview technique on several informants who represent Islamic organizations in Indonesia, such as NU, Muhammadiyah, HTI and FPI. This study shows the diversity of democratic discourse in the various Islamic groups in Indonesia. Although the discourse of democracy is highly developed, but the public sphere of political communication that has begun to be built and are expected to run by various Islamic organizations, not entirely successful.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1907
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aloysius Gonzaga Eka Wenats Wuryanta
Abstrak :
Studi ini merupakan kajian yang dapat mengungkap relasi segi tiga antara pasar, publik dan negara sebagai tiga kesatuan utama dalam pengembangan demokratisasi dan regulasi media di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini mau menjawab; pertama-pertama bentuk kumparan dinamis proses demokratisasi sosial dalam dunia penyiaran dan relasi kepentingan negara, publik dan industri penyiaran dalam sebuah sistem komunikasi bermedia di Indonesia. Penelitian ini memakai paradigma kritis dengan metode penelitian hermeneutika kritis atas teks UU Penyiaran no 32 tahun 2002 dan membandingkannya dengan revisi UU penyiaran yang sekarang sedang dibahas oleh DPR. Penelitian ini menemukan bahwa semangat demokratisasi media, mengarusutamakan publik serta masyarakat sebagai subjek utama aktivitas media penyiaran dan penjaminan nilai konstitusional yang rasional tetap menjadi perhatian utama dalam seluruh rumusan revisi UU no 32 tahun 2002. Dan ini merupakan concern utama pembuatan dan amandemen UU yang berpusat pada "Bonum Commune".
This research aims to find out the triangle relations between the market, the public and the state in media regulation. This study will answer; forms of the dynamic process of social democratization in the broadcasting regulation, relations interests of the state, public and industry in a mediated communication systems in Indonesia. The research use critical paradigm and critical hermeneutics research method over the text of the Broadcasting Act No. 32 of 2002. It will be compared to a revised broadcasting law that is now being debated by Parliament. The findings are that the spirit of the democratization of media, the public and the mainstream society as the main subject and the broadcast media activity guarantee rational constitutional values remain a major concern in the whole formula revision of Law No. 32 of 2002. This is the main concern of making and amending laws centered to "Bonum Commune".
2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susilowati Natakoesoemah
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan Untuk memahami penggunaan imagined interaction sebagai coping pada wanita yang ditinggal mati suami, selain itu untuk memahami self efficacy pasca meninggalnya suami dan untuk memahami aspek psikososial dalam membantu penyesuaian role identity wanita yang ditinggal mati suami. Penelitian ini menggunakan kerangka berfikir Honeycutt mengenai imagined interaction, dan sebagai pendukung dalam kerangka pemikiran digunakan konsep Interaksi Simbolik. Paradigma yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan paradigma postpositivist dan merupakan penelitian kualitatif. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam terhadap 5 wanita yang ditinggal mati suami. Pada penelitian ini berhasil mengidentifikasi aktifitas imagined interaction pada wanita yang ditinggal mati suami yakni imagined interaction dilakukan dengan significant other dan devine other. Sedangkan proses penyesuaian role identity dalam imagined interaction ditemukan 3 kategori yaitu realistic adjustment, moderate adjustment dan imagined adjustment. Pada proses penyesuaian terdapat 3 type self efficacy yaitu Acceptance Self Efficacy yang ditandai menerima dengan ikhlas atas kematian suami, optimis memandang masa depan dan menilai diri dengan positif. Negotiated self efficacy, di cirikan dengan menerima ikhlas namun tidak optimis dalam memandang kehidupan barunya. Imagined Self efficacy, individu pada type ini bercirikan tidak optimis dalam memandang masa depan, tidak ikhlas, dan tidak percaya diri.
The objective of this study is to understand the use of Imagined Interaction as coping to women who lost her husband. Moreover, this study try to understand the self efficacy after the lost of husband and comprehend the psychosocial aspects in order to adjust one women?s role identity who left by her husband. This study used Honeycutt framework about imagined interaction, and as a supporting study, the author use symbolic interaction concepts. This is a qualitative research that uses post-positivist paradigm method. The data collection method used is in depth interview to 5 women who already lost her husband. Based on this study, identified imagined interaction activities in women who lost husband performed with significant other and devine other. While a role identity adjustment process was found 3 (three) categories are Realistic Adjustment, Moderate Adjustment, and Imagined Adjustment. In the adjustment process there are 3 (three) types of self-efficacy, namely :Acceptance Self-Efficacy: Sincere acceptance towards the lost of husband and optimist about the future.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D2044
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adde Oriza Rio
Abstrak :
Penelitian ini mempelajari pengunaan situs web dan hyperlink oleh gerakan lingkungan Indonesia sebagai komunikasi massa-diri yang dipandang sebagai mekanisme kekuasaan gerakan sosial dalam masyarakat jaringan. Dengan mempergunakan pendekatan campuran menghubungkan analisis jaringan hyperlink dan analisis pembingkaian, ditemukan bahwa komunikasi diri-massa gerakan sosial melalui situs web dan hyperlink menjadi mekanisme kekuasaan dalam jaringan gerakan sosial sendiri, gerakan sosial akan mempergunakan bingkai ketidakadilan untuk mengonstruksi realitas sosial karena bertujuan membangkitkan kemarahan masyarakat namun cenderung kurang mempergunakan bingkai agensi sehingga tidak dapat membangkitkan harapan, identitas gerakan sosial cenderung menjadi identitas resistensi sehingga berhadaphadapan dengan identitas melegitimasi namun tidak menjadi komunitas tertutup dalam masyarakat. ...... This research study the uses of websites and hyperlink by Indonesian environmental movement as mass-self communication as mechanism of power in the network society. Using hyperlink network analysis and framing analysis, this research found that: environmental movements used websites and hyperlink as mechanisms of power in the networks of environmental movements; environmental movements used the injustice frame to raise public anger, but are less using the agency frame so public hope is not raised, environmental movements identity tend to be resistance identity which is conflicting with legitimizing identity but environmental movements did not become a closed community within the society.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D2196
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library