Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: KPPIK FKUI, 2008
616.025 PRO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Bhukkar A. S.
"Latar Belakang: Risiko aritmia pasta infark miokard akut 5-11%. Perlu adanya stratifikasi risiko tedadinya aritmia pasca infark miokard akin. Aritmia yang terjadi pasta infark miokard akut dapat disebabkan karena perubahan elektrofisiologi, milieu (transient factors) dan aritmia spontan. Penelitian menggunakan late potential sebagai salah satu modalitas untuk mendapat gambaran perubahan elektrofisiologi yang terjadi pasta infark miokard akin dan sebagai prediktor risiko terjadinya aritmia. Late potential didapatkan dengan pemeriksaan SA-ECG.
Subyek: Dikurnpulkan 38 kasus infark miokard akut barn, sejak bulan Juni 2004 sampai dengan Februari 2005. Usia berkisar antara 35 - 65 tahun. Kriteria inklusi diagnosis infark miokard akut dengan menggunakan kriteria WHO. Kriteria eksklusi: infark sebeluinnya, blok cabang berkas, angina pektoris tak stabil, atrial fibrilasi dan fluter, infark miokard dengan strok iskemia, bedah pintas koroner dan riwayat angioplasti (sten atau balon).
Metodologi: Penelitian ini menggunakan disain kohor, dilakukan pemeriksaan Signal Averaged ECG untuk mendapatkan late potential, kontrol internal late potential negatif Dilakukan uji hipotesis yang sesuai untuk mendapatkan nilai kemaknaan pada penelitian ink Pemeriksaan SA-ECG dilakukan pada hari 6-16 perawatan di RS Harapan Kita, late potential sesuai dua dari 3 kriteria WHO.
Hasil : Laki-laki 30 (78,9%), wanita 8 (21,1%) dan usia rerata 52,34 tahun. Jens infark Q wave 18 (47,4%) dan non Q wave 20 (52,6%). Aritmia terutarna PVC 7 (18,4%), ventrikular takikardia (VT) 2 (5,3%) dan 29 (76,3%) normal. Lokasi infark terutama inferior 17 (44,7%) , non inferior 21 (55,3%).Rerata seat dilakukan pemeriksaan SA-ECG yaitu 9,6 hail dengan SB ± 2,6 hari. Parameter pemeriksaan SA-ECG yaitu 1. QRSD rerata 114,8 ins, SB ±15,8 ms, 2_ HFLA rerata 36,2 ms, SB ± 12,8 ms, 3, RMS rerata 30,2 u.V, SB ± 15,9 µV. Didapatkan late potential positif 13 (34,2%). Kadar kalium bulan pertarna dan bulan kedua dalann Batas normal. Aritmia terjadi pada bulan pertama 2 (5,3%) dan 9 (23.5%). Pada bulan pertama aritmia terjadi pada pasien dengan satu late potential positif dan satu dengan late potential negatif.Sedangkan pada bulan ke 2 didapatkan terjadi aritmia 7 (53,8%) dengan late potential positif dan 2 (8%) dengan late potential negatif, p < 0.003, IK 95% dan relatif risk (RR) 6.73.Tidak didapatkan hubungan bermakna lokasi infark, slat pemeriksaan SA-ECG dengan terbentuknya late potential. Tidak didapat hubungan bermakna antara kaliurn dan kejadian aritmia.
Kesimpulan : Late potential dapat digunakan sebagai salah satu modalitas untuk stratifikasi risiko teijadinya aritmia, didapatkan aritmia dengan late potential positif pada bulan 2,.p < 0,003 dan risiko relatif sebesar 6,73. Perlu dilakukan penelitian dengan populasi yang lebih banyak, melibatkan beberapa seater, dilakukan menggunakan halter monitor untuk mengawasi terjadinya aritmia dan dalam waktu 1 tahun pasca infark miokard akut.

Background: Risk of arrhythmias in post acute myocardial infarction in first 2 years was within range 5-i 1%. The stratification of arrhythmia event in post acute myocardial infarction was needed. There are several factors in arrhythmias mechanism, such as electrophysiology alteration, milieu (transient factors) and spontaneous arrhythmias. In this study, late potential as cardio electrophysiology state post infarction is used to be arrhythmias predictor. Late potential description was obtained used by Signal-Averaged ECG.
Subjects: Thirty eight consecutive patients admitted to coronary care unit in Dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan hospitals with documented acute myocardial infarction, since Juny 2004 to February 2005. Their ages were ranging from 35 to 65 years: Patients were included according to WHO acute myocardial infarction criteria.
Methods: This is a cohort study. SA-ECG was performed to obtained late potential, negative late potential patients as internal control. Signal-Averaged ECG was done in 6 - 16 days post acute myocardial infarction in Harapan Kita hospital. An abnormal (positive) SA-ECG is considered if two or more of the following three criteria from WHO.
Results: Subjects consisted of 30 (78,9%) male patients and female of 8 (21,1%). The mean age was 52,34 years.The incidence Q wave and non Q wave of acute myocardial infarction were 18 (47,4%) and 20 (52,6%). Type of arrhytrnias were premature ventricle contraction (PVC) 7 (18,4%), ventricular tachycardia (VT) 2 (5,3%) and normal 29 (76,3%). The inferior and non inferior wall site of infarction were 17 (44,7%) and 21 (55,3%). The mean time (days) recording of SA-ECG was 9,6 days, SD 1 2,6 days. There were three parameters of SA ECG included L QRSD mean 114,8 ms, SD 115,8 ms, 2. HFLA mean 36,2 ms, SD ± 12,8 ms, 3, RMS mean 30,2 p.V, SD ± 15,9 IN. The incidence abnormal SA-ECG was 13 (34,2%), Kalium level in first and second month of following was within normal range. The arrhytmias event in first and second month were 2 (5,3%) and 9 (23,7%). in first month, arrhytmia event in one positive and one negative late potential. In second month, seven of 9 patients had positive late potential. There was significant relation between abnormal SA-ECG and arrhytmia event in second month, p < 0.003 (CI 95%: 1,63-27,89), relative risk (RR) 6,73. There was no significant relation in site of infarction, time recording of SA-ECG, and kalium level with arrhytmia event.
Conclusion: The late potential could be used as one of arrhytmia predictors of post acute myocardial infarction. There was significant relation between late potential and arrhytmia in second month, p < 0,003, relative risk (RR) 6,73. Furthere study is needed with greater samples size and appropriate instruments (eg. Holter monitor).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, M. Arman
"Latar Belakang : Respon pengobatan limfoma non Hodgkin yang dilakukan kemoterapi CHOP ditentukan oleh berbagai bal. Pasien dengan gejala B mempunyai respon yang kurang baik terhadap kemoterapi. Gejala 13 didelinisikan sebagai demur' yang berulang, keringat malam serta penurunan berat badan lebih dari 10 % selama 6 bulan. Pada pasien keganasan terdapat penurunan berat badan yang beuduakna pada 50 % pasien. Penderita kanker mempunyai resiko tinggi mengalami masalah nutrisi yang akan mengakibatkan respon yang kurang baik terhadap kemoterapi.
Tujuan : Mendapatkan data hubungan antara indeks massa tubuh dengan respon terapi pada pasien Limfoma non Hodgkin sel B yang dilakukan kemoterapi CHOP.
Metodologi : Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Dilakukan pengambilan data pasien Limfoma non Hodgkin sel B yang mendapat kemoterapi CHOP, data diambil dari data sekunder rekam medis. Pasien penyakit hati kronis, penyakit ginjal kronis, penyakit diabetes melitus, riwayat kemoterapi dan radioterapi sebelumnya, penderita HIV, dieksklusi dari penelitian. Dinilai respon terapi terhadap kemoterapi setelah dua siklus kemoterapi. Dilakukan uji chi-square sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil : Selama periode I Januari 2003-31 Desember 2005 dikumpulkan 70 kasus dengan Indeks Massa Tubuh kurang dan tidak. kurang masing-masing 35 kasus. Didapatkan data usia kurang 60 tahun (82,9 %), Laki-laki (58.6%), 70 % pasien pendidikan yang rendah, 28,6% pasien tidak bekerja, 71,4% pasien status performans el, 82,9% pasien mempunyai kadar LDH yang tinggi, 62,9 % pasien 51 keterlibatan ekstranodal, 52,9% pasien di bawah stadium Il. Tidak ada hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan respon pengobatan (p = 0,673, RR = 1,065,1K 95% 0,92 -1,23).
Kesimpulan : Tidak didapatkan hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan respon terapi. Diperlukan data mengenai terdapatnya gejala B dengan jumlah pasien yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan terapi.

Therapeutic response of non Hodgkins lymphoma undergo chemotherapy CHOP regimen depends on many variable things. Patients with B symptom have poor response wi1.h chemotherapy B symptom define as repeatedly fever, night sweat, decreased body weight more than I0 % in six months. There is decreasing of body weight in more than 50 % malignancy patients. Patients with malignancy have a high risk of nutritional problem which can be consecuence to poor response to chemotherapy.
Objective : To lind association between body mass index and therapeutic response in B cell non Hodgkin?s Lymphoma patients who received CHOP regimen chemotherapy.
Methods : This is a cohort retrospective study. Data were collected hommedical record. Exclusion criteria included patients with hepatic chronic illness, renal chronic illness, diabetes mellitus, history of previous chemotherapy and radiotherapy, HIV patients. Therapeutics response assesment fiom chemotherapy taken after two cycles ofchemotheiapy. We perform Chi-Square test to obtain signilicant value on this study and evaluate if there is association between body mass index and therapeutic response.
Results : Since January 1? 2003-Desembcr 3l"? 2005 collected 35 cases with poor and 35 cases not poor body mas Index. We obtain data patients age under 60 years old (82,9 %), male (58,6%), 70% with poor educated level, 28,6% unemployment, 7l,4% pariens with performans status $1 , S2,9% patiens with high LDH, 62,9 %Patiens Sl exstranodal involvement, 52,9% patiens S stage II. 'Ihere was no association between body mass index and therapeutic response (p = 0,673, RR = L065, 95% CI 0,92- l,2.3)
Conclusions :There was no association between body mass index and therapeutic response _ Further study is needed with more patients and longer duration to study B symptom and other ihctors which can inliuence therapeutic response.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ayu Vernazvati
"Latar Belakang: Masalah infeksi HIV meningkat berkaitan dengan perilaku seks tidak aman dan penggunaan NAPZA suntik. Estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sekitar 90.000 sampai 130.000. Sejak 1 Desember 2003 WHO mencanangkan program 3 by 5 dengan tujuan akses terapi untuk semua dan sejak 1 September 2004 pemerintah menyediakan ARV secara cuma-cuma. Dalam mengakses terapi ARV, konseling dan tes HIV sukarela (Voluntary Counseling and Testing atau VCT) merupakan jalur yang esensial dan layanan di Puskesmas diharapkan menjadi tulang punggung pelayanan. Adanya akses ARV ini diharapkan meningkatkan VCT.
Tujuan. Mengetahui jumlah layanan VCT, tes CD4 dan penggunaan ARV di Puskesmas Kampung Bali pasca kebijakan ARV cuma-cuma, karakteristik serta alasan-alasan yang dapat menghambat VCT selain biaya obat.
Metodologi. Dilakukan pengamatan pelayanan program VCT, tes CD4 dan akses ARV dalam 5 bulan pertama pasca kebijakan serta pencatatan data sekunder sebelum kebijakan. Seluruh yang telah melakukan VCT di Puskesmas Kampung Bali dan 100 orang berisiko tinggi berusia > 15 tahun yang belum VCT dipilih dengan sistem cluster dan dilakukan wawancara terpimpin Penelitian dilakukan sejak November 2004 - Maret 2005.
Hasil. Dalam 8 bulan sebelum kebijakan, jumlah VCT sebanyak 18 orang,dalam 5 bulan pasca kebijakan jumlah VCT sebanyak 27 orang. Tampak adanya peningkatan pada penggunaan ARV. Mayoritas responden adalah laki-laki berusia 20-30 tahun, berpendidi3ran menengah, bekerja tidak tetap dan berpenghasilan rendah. Pada 100 responden yang belurn VCT 64% memiliki tingkat pengetahuan sedang, 89% masih aktif suntik dan 34% berperilaku seksual tidak aman. Alasan tidak VCT karena merasa sehat, takut diketahui HIV dan rahasia tidak terjamin. Pada 13 responden yang VCT, 12 orang memiliki tingkat pengetahun sedang, 7 orang masifi aktif suntik dan 10 orang berperilaku seks tidak aman. Alasan VCT terutama karena merasa berisiko dan adanya rasa ingin tahu.
Simpulan. VCT pada 8 bulan sebelum dan 5 bulan sesudah kebijakan masing-masing adalah 18 dan 27 orang. Penggunaan ARV tampak ada peningkatan. Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup namun masih aktif suntik dan berperilaku seks tidak aman. Kurangnya kesadaran dan motivasi serta kekhawatiran akan dampak sosial HIV/AIDS menghambat pemanfaatan layanan VCT.

Background. Problem of HIV infection is increased related to unsafe sex behavior and usage of NAPZA injection. Estimation of HIV/AIDS cases in Indonesia was around 90.000 to 130.000. Since December 01, 2003 WHO has implemented the 3 by 5 program with the purpose of therapy access for all and since September 01, 2004 government has provided ARV for free. In accessing ARV therapy, Voluntary Counseling and HIV Testing (VCT) is an essential way and service in basic level (e.g. Society Health Center/Puskesmas) has to be the backbone of the service. It is hoped that numbers of VCT will increase in line with the guarantee of ARV access.
Objective. To know numbers of VCT services, CD4 and usage of ARV in Puskesmas Kampung Bali after the implementation of free ARV policy, characteristics and reasons that could hinder the high risk group for VCT beside dugs cost
Methodology. Research on VCT program services, test CD4 and ARV access was conducted for 5 months. All people who have done VCT in Puskesmas Kampung Bali and 100 high-risk people aged > 15 years who haven't done VCT , chosen with cluster system and met the inclusion criteria, were participated in the research conducted on November 2004 - Maret 2005 and went through guided interview.
Result. In 8 months before the implementation of the policy, there were 18 peoples and then in 5 months after the policy implementation there were 27 peoples have done VCT. There's increase of ARV usage. Majority of respondent who haven't and have done VCT, are male aged 20-30 years, mid level education, no permanent job and low income. Out of 100 respondents who haven't done VCT, 64% has mid level knowledge, 48% knows the availability of free ARV, 89% has routine injection and 34% practice unsafe sex behavior. The reason for not having VCT is feeling healthy, afraid of being known to have HIV and unsafe secret show the lack of awareness and motivation. Reason of cost of treatment 1 transportation in general was not ensured yet. Out of 13 respondents who has done VCT, 12 people has mid level of knowledge, 7 has still routine injection and 10 has unsafe sex behavior. Reason for having VCT is knowing the risk.
Summary. Numbers of VCT 8 month prior and 5 month after the implementation of the policy were 18 and 27 peoples.The ARV usage is also increases. Knowledge on HIV/AIDS and availability of free ARV is enough but majority has still active having injection and practice unsafe sex behavior. Lack of awareness, motivation and afraid of HIV/AIDS social consequences are reasons that could hinder VCT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ayu Vernawati
"Latar Belakang: Masalah infeksi HIV meningkat berkaitan dengan perilaku seks tidak aman dan penggunaan NAPZA suntik. Estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sekitar 90.000 sampai 130.000. Sejak 1 Desember 2003 WHO mencanangkan program 3 by 5 dengan tujuan akses terapi untuk semua dan sejak 1 September 2004 pemerintah menyediakan ARV secara cuma-cuma. Dalam mengakses terapi ARV, konseling dan tes sukarela (Voluntary Counseling and Testing atau VCT) merupakan jalur yang esensial dan layanan di Puskesmas diharapkan menjadi tulang punggung pelayanan. Adanya akses ARV ini diharapkan meningkatkan VCT. Tujuan: Mengetahui jumlah layanan VCT, tes CD4 dan penggunaan ARV di Puskesmas Kampung Bali pasca kebijakan ARV cuma-cuma, karakteristik serta alasan-alasan yang dapat menghambat VCT selain biaya obat. Metodologi: Dilakukan pengamatan pelayanan program VCT, tes CD4 dan akses ARV dalam 5 bulan pertama pasca kebijakan serta pencatatan data sekunder sebelum kebijakan. Seluruh yang telah melakukan VCT di Puskesmas Kampung Bali dan 100 orang berisiko tinggi berusia >15 tahun yang belum VCT dipilih dengan sistem cluster dan dilakukan wawancara terpimpin. Penelitian dilakukan sejak November 2004 -Maret 2005. Hasil: Dalam 8 bulan sebelum kebijakan, jumlah VCT sebanyak 18 orang,dalam 5 bulan pasca kebijakan jumlah VCT sebanyak 27 orang. Tampak adanya peningkatan pada penggunaan ARV. Mayoritas responden adalah laki-laki berusia 20-30 tahun, berpendidikan menengah, bekerja tidak tetap dan berpenghasilan rendah. Pada 100 responden yang belum VCT 64% memiliki tingkat pengetahuan sedang, 89% masih aktif suntik dan 34% berperilaku seksual tidak aman. Alasan tidak VCT karena merasa sehat, takut diketahui HIV dan rahasia tidak terjamin. Pada 13 responden yang VCT, 12 orang memiliki tingkat pengetahun sedang, 7 orang masih aktif suntik dan 10 orang berperilaku seks tidak aman. Alasan VCT terutama karena merasa berisiko dan adanya rasa ingin tahu. Simpulan: VCT pada 8 bulan sebelum dan 5 bulan sesudah kebijakan masing-masing adalah 18 dan 27 orang. Penggunaan ARV tampak ada peningkatan. Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup namun masih aktif suntik dan berperilaku seks tidak aman. Kurangnya kesadaran dan motivasi serta kekhawatiran akan dampak sosial HIV/AIDS menghambat pemanfaatan layanan VCT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devia Febyanti
"DKI Jakarta merupakan ibukota negara dengan jumlah populasi 10,56 juta jiwa. Tingginya populasi menyebabkan tingginya ektraksi air tanah yang dapat menyebabkan penurunan muka tanah akibat berkurangnya volume tanah. Penurunan muka tanah dapat disebabkan oleh kondisi geologi berupa konsolidasi aluvium, ektraksi air tanah, bangunan dan infrastruktur, serta aktivitas tektonik. Penurunan muka tanah dapat memberikan dampak negatif kepada lingkungan dan masyarakat, seperti rusaknya bangunan dan infrastruktur, serta banjir rob. Oleh karena itu, dilakukan penelitian penurunan muka tanah di DKI Jakarta dengan bertujuan mengetahui laju penurunan muka tanah beserta dengan pola persebarannya agar dapat dijadikan acuan dalam perencanaan tata ruang kota. Metode yang digunakan adalah metode Differential Interferometry Synthetic Aperture RADAR (DInSAR) menggunakan data citra SAR Sentinel-1A untuk mengetahui nilai kelajuan penurunan muka tanah beserta dengan pola persebarannya pada periode 2019, 2020, dan 2021 dan didukung oleh metode gravitasi untuk melihat penurunan muka tanah berdasarkan perbedaan densitas. Berdasarkan hasil pengolahan metode DInSAR diperoleh laju penurunan muka tanah pada tahun 2019, 2020, dan 2021 masing-masing sebesar 120 mm/tahun, 70 mm/tahun, dan 60 mm/tahun, serta kelajuan penurunan muka tanah rata-rata sebesar 83,3 mm/tahun. Sedangkan berdasarkan hasil pengolahan metode gravitasi terdapat peningkatan anomali gravitasi yang mengindikasikan adanya penurunan muka tanah akibat berkurangnya volume tanah.

DKI Jakarta is the Indonesia capital city with 10.56 million populations. The high populations could cause a high groundwater extraction that effects land subsidence because the reducing soil volume. Land subsidence can be caused by several factors, including geological conditions in alluvial consolidation, groundwater extraction, buildings and infrastructure, also tectonic activity. Land subsidence can negatively impact to the environment and society, damaging the infrastructure and tidal flooding. The research that related to land subsidence in DKI Jakarta aims to determine the rate of land subsidence along with its distribution pattern to be the reference in urban spatial planning. This research utilizes Differential Interferometry Synthetic Aperture RADAR (DInSAR) collecting SAR Sentinel-1A image data to determine the land subsidence rates and its distribution pattern in 2019, 2020, and 2021, supported by the gravity method to see the changes in the gravitational anomaly. From the DInSAR data, the land subsidence rate in 2019, 2020, and 2021 are 120 mm/year, 70 mm/year, 60 mm/year, and the average rate is 83.3 mm/year. But in fact, the gravitational data notes, the gravitational anomaly increase which indicated a land subsidence impacted by increasing density caused by the reduced volume of the soil."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Juwita Nelwan
"Latar belakang: Obat kotrimoksazol dan rifampisin telah lama diketahui memiliki efek anti mikotik. Peran kedua antimikroba ini terhadap candida belum diteliti, sehingga dirasa perlu untuk diteliti sehingga dapat dimasukkan dalam pedoman tatalaksana medis berbasis bukti untuk pasien HIV dan tuberkulosis.
Metode: Studi prospektif pada pasien HIV dan tuberkulosis dengan metode quasi-experiment, dilakukan di poliklinik HIV dan Poliklinik Paru pada bulan Oktober 2009-Agustus 2011. Pada tiap pasien dilakukan pemeriksaan kumur rongga mulut sebanyak dua kali untuk melihat adanya kolonisasi Candida, yang diidentifikasi menggunakan Saboraud Dextrose Agar dan ChromAgar. Kumur dilakukan sebelum pasien diberikan obat kotrimoksazol untuk profilaksis PCP dan obat rifampisin untuk TB, kumur kedua dilakukan dua minggu setelah pengobatan. Proporsi, jenis dan jumlah kolonisasi kandida dirongga mulut pasien dibandingkan sebelum dan setelah pengobatan. Hasil: Didapatkan total 86 orang pasien terdiri dari 40 orang pasien HIV dan 46 orang pasien TB. Kolonisasi awal pada pasien HIV 57,5% dan 19,5% pada pasien
TB, sebagian besar adalah candida albicans baik pada pasien HIV maupun TB (82,6% vs. 77,8%). Dua minggu mendapat kotrimoksazol pada pasien HIV dan rifampisin pada pasien TB didapatkan penurunan kolonisasi menjadi 47,5% vs. 12,5%). Penurunan ini bermakna pada kedua kelompok pasien, kotrimoksazol OR 0,2 (0,05-0,93; p<0,04) dan rifampisin 0,21 (0,08-0,58; p<0,01). Didapatkan juga penurunan jumlah hitung koloni secara absolut.
Simpulan: Kotrimoksazol dan rifampisin menurunkan kolonisasi Candida rongga mulut pasien HIV dan TB pada pemakaian selama dua minggu

Background: Cotrimoxazole and rifampicin are known as a broadspectrum antibiotics that have also antimicotic effect. However, limited data is available. This study aimed to provide data on role of these antibiotics to Candida species. Methods: A quasi experimental prospective study among HIV and tuberculosis
patient in HIV and TB clinic, evaluated from Ocotber 2009 and August 2011. Each patient received two times oral rinse, before and within 2-weeks cotrimoxazole treatment for HIV and rifampicin treatment for TB. Proportion, species and number of colonization were compared. Hasil: Of 86 patients, 40 were HIV seropositive patients and 46 were TB patients. HIV-seropositive patients was 57.5% colonized with candida and 19.5% for TB patients; in majority was C.albicans (82.6% vs. 77.8%). During 2-weeks treatment, colonization was decreased to 47.5% among HIV patients received cotrimoxazole and 12.5% in TB patients received rifampicin. The proportion of colonization reduced significantly during cotrimoxazole 0.2 (95%CI 0.05-0.93; p<0.04) and rifampicin 0.21 (95%CI 0.08-0.58; p<0.01). Number of colonization was also reduced. Conclusions: Cotrimoxazole and rifampicin reduced Candida colonization in HIV and TB patients within two weeks exposure.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library