Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Boediono
Abstrak :
ABSTRAK
Dengan meningkatnya kasus kecelakaan lalu lintas, makin meningkat pula korban yang datang ke Instalasi Gawat Darurat.Bila a kita lihat laporan dari kepolisian yang menyebutkan jumlah kecelakaan lalu lintas dari bulan Januari 1985 sampai dengan Maret 1986 di daerah DKI Jakarta Raya sebesar 8.641 kasus yang menghasilkan korban sebesar 8.560 baik luka ringan, berat, ataupun korban meninggal, maka trauma tumpul ginjal yang merupakan bagian dari trauma tumpul secara keseluruhan akan cukup tinggi juga angkanya [2]. Sebagai gambaran j uml ah trauma tumpul ginjal di RSCM selama tahun 1984 dan 1985 sejumlah 42 kasus [13], tahun 1986 sejumlah 41 kasus, sedangkan tahun 1987 terdapat 52 kasus.Untuk menegakkan diagnosis trauma tumpul ginjal selain di pert ukan pemeriksaan fisik yang cermat di perlukan juga pemeriksaan pembantu berupa laboratorium terutama sedimen urine dan pemeriksaan radiologi yang sangat penting artinya. PETERSON dan SCHULZE (1986) menyebutkan bahwa suatu yang mahal dan menunda waktu saja bila melakukan pemeriksaan radiologis secara menyeluruh pada kasus-kasus trauma dengan hematuria [II].MAKSUD DAN TUJUAN, Maksud tulisan ini adalah meninjau beberapa kepustakaan tentang trauma tumpul ginjal, mengevaluasi gejala klinis hematuria baik secara mikro ataupun gross dengan tanda syok ataupun tidak yang mengikuti trauma tumpul ginjal di RSCM selama tahun 1987 dengan tujuan mencari hubungan antara kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan BNO-IVP dan derajat cedera ginjal yang terjadi.
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Sholichin
Abstrak :
Tujuan: Penelitian ini akan mencari korelasi antara pemeriksaan dengan sistim skoring (IPSS) dan hasil pemeriksaan uroflowmetri (Qmax) serta hasil pemeriksaan urodinamik ( BOOI ). Diharapkan akan diketahui sejauh mana data subyektif pasien berkorelasi dengan data obyektif. Bahan dan Cara: Data dikumpulkan dari pasien yang dilakukan pemeriksaan di Poliklinik Khusus Urologi sejak bulan Oktober 2005 sampai dengan Mei 2006 dengan kriteria inklusi dan eksklusi. HasiI Penelitian: Terdapat 89 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Umur rata-rata 65,56 ±7,2 tahun. IPSS rata-rata 20,57+7,0. Pancaran kencing maksimal (Qmax) rata-rata 5,94 ±3,5 ml/detik. BOOI kategori obstruksi sebanyak 56 (65,1%) pasien, ekuivokal 20 (23,3%) dan tidak obstruksi sebanyak 10 (11,6%). Koefisien korelasi antara IPSS dan Qmax adalah r = - 0,32 (sangat lemah) signifikansi p = 0,002. Koefisien korelasi antara IPSS dengan BOOI adalah r = 0,28 p = 0,008. Koefisien korelasi antara Qmax dan BOOI adalah r = - 0,45 p = 0,00. Hasil uji Anova didapatkan adanya perbedaaan Qmax yang bermakna p=0,041 (p<0,05) diantara derajat LUTS. Pada penelitian ini tidak ada perbedaan BOOT yang bermakna (p=0,093) diantara derajat LOTS. Tidak ada perbedaan Qmax yang bermakna (p = 0,12 ) diantara BOOT. Kesimpulan: Keluhan LUTS yang diukur dengan IPSS mempunyai korelasi sangat lemah tetapi signifikan dengan pemeriksaan obyektif yang diukur dengan uroflowmetri dan urodinamik. Pemeriksaan uroflowmetri mempunyai korelasi sangat lemah tetapi signifikan dengan pemeriksaan urodinamik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes R. Wibowo
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat terapi perkusi mekanik inversi pada penderita batu kaliks inferior ginjal pasca ESWL. Suatu uji klinis terkontrol dilakukan terhadap 40 penderita batu kaliks inferior ginjal yang menjalani terapi Extra Corporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) di RSCM Jakarta dan masih terdapat sisa batu dengan ukuran 4 mm, antara bulan Desember 2002 hingga Desember 2003. Secara acak, penderita penelitian dimasukkan ke dalam kelompok terapi (dilakukan terapi perkusi mekanik inversi) dan kelompok non terapi (tidak dilakukan terapi perkusi mekanik inversi). Keberhasilan terapi ditentukan dengan adanya pergerakkan fragmen batu dan keadaan bebas batu yang dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen. Uji kemaknaan menggunakan Pearson Chi Square cross tabulation dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil penelitian menunjukkan dari 20 orang kelompok terapi, 14 orang (70%) terjadi pergerakkan fragmen batu dan tercapai keadaan bebas batu segera setelah terapi dilakukan, sedangkan 6 orang (30%) tidak terjadi pergerakkan fragmen batu, sedangkan dari 20 orang kelompok non terapi, 13 orang (65%) terjadi keadaan bebas batu dan 7 orang (35%) tidak terjadi keadaan bebas batu, sehingga secara statistik hal ini tidak bermakna (p>0,05). Penelitian ini jugs menunjukkan dari 20 orang kelompok terapi terdapat 13 ()rang (65%) mempunyai ukuran sisa batu 2-4 mm dan 1 prang (5%) dengan ukuran sisa batu 1-2 mm sedangkan pada 20 prang kelompok non terapi terdapat 7 orang (35%) mempunyai ukuran sisa batu 2-4 mm dan 6 prang (30°Io) dengan ukuran sisa batu 1-2 mm yang mencapai keadaan bebas batu, secara statistik hal ini tidak terdapat hubungan bermakna (p . 0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan baik dilakukan atau tidak dilakukan terapi perkusi mekanik inversi, keduanya dapat mencapai keadaan bebas batu pada penanganan batu kaliks inferior ginjal pasca ESWL, sedangkan ukuran sisa batu pasca ESWL tidak mempengaruhi keadaan bebas batu.
The purpose of this study is to know the benefit of mechanical inversion therapy for lower pole kidney stone after shock wave lithotripsy in Cipto Mangunkusumo hospital. A clinical control trial has been done to 40 patients with stone in the lower pole of the kidney who had undergone ESWL treatment with residual stone less than 4 mm in CiptoMangunkusumo hospital between December 2002 to December 2003. Randomly the patients were divided into 2 groups, one of which is with mechanical percussion inversion therapy and the other is without. Successful treatment is based on stone fragment movement and stone free condition which were examined by KUB photos. Pearson chi square tabulation probability test is used with p value less than 0,05 is considered significant. The result showed that from 20 patients with mechanical percussion inversion therapy, 14 patients (70%) had stone free condition as soon as the treatment done, on the contrast 6 patients (30%) did not have stone fragment movement, whereas from 20 patients without treatment, 13 patients (65%) had stone free condition and 7 patients (35%) did not, so statistically this was not significant (p>0,05). This study also showed that from 20 patients with MPI therapy, 13 patients (65°Io) with residual stone of 2-4 mm and 1 patient (5%) with residual stone of 1-2 mm achieved stone free condition, whereas from control group, there were 7 patients (350/s) with residual stone of 2-4 mm and 6 patients (30%) who had residual stone of 1-2 mm achieved stone free condition. Statistically, this was also not significant (p>0,05). In conclusion, our study revealed that stone free condition could happen with or without mechanical percussion inversion therapy for lower pole kidney stone after ESWL and the residual stone size after ESWL was not correlated with stone free rate. Keywords: mechanical percussion inversion therapy, shock wave lithotripsy, lower pole kidney stone
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hera Prasetya
Abstrak :
Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian furosemide per oral dosis tunggal pada penderita pembesaran prostat jinak yang akan dilakukan pemeriksaan uroflowmetri dapat mempengaruhi lama tunggu penderita di klinik dan basil pemeriksaan uroflowmetri. Bahan dan Cara: Penelitian merupakan penelitian prospektif, open label, cross over study terhadap 40 (rerata umur 62.42 ± 7.40 tahun) penderita pembesaran prostat jinak yang memenuhi kriteria penelitian. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, 20 penderita menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 1 dan tanpa furosemide pada kunjungan 2 (kelompok 1); 20 penderita lainnya tidak diberikan furosemide pada kunjungan 1 dan menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 2 (kelompok 2). Lama menunggu penderita di klinik (sejak penderita berkemih sampai memenuhi syarat untuk pemeriksaan) dan basil uroflowmetri yang terdiri dari volume buli, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih dicatat dan dianalisa dengan Student Mast atau Mann-Whitney U-test. Hasil: Karakteristik subyek penelitian pada kedua kelompok yang terdiri dari umur, kadar hemoglobin, serum kreatinine dan nilai PSA tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0.05). Terdapat perbedaan yang sangat bermakna (p<0.01) pada lama tunggu penderita di Klinik Urologi; pada kelompok 1 dari 72.55 bertambah menjadi 120.00 menit sedangkan pada kelompok 2 dari 178.05 berkurang menjadi 89.75 menit. Pada pemberian obat, secara keseluruhan terjadi pengurangan lama menunggu yang sangat bermakna (p<0.01), dari 149.02 menit tanpa furosemide menjadi 81.15 menit dengan pemberian furosemide peroral. Pada analisa basil uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih pada kedua kelompok maupun secara keseluruhan dengan dan tanpa pemberian obat, tidak didapatkan perbedaan yang berrnakna secara statistik (p.0.05). Kesimpulan: Pemberian furosemide peroral dosis tunggal sangat mengurangi lama menunggu untuk pemeriksaan uroflowmetri penderita pembesaran prostat jinak di klinik tanpa mempengaruhi hasil pemeriksaan uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time dan residu urin pasca berkemih.
Objective: To identify whether a single dose of oral furosemide given to benign prostate hyperplasia patients scheduled for uroflowmetry had an impact on clinic waiting time and flow rate parameters. Materials and Methods: This was a prospective, open label, cross over study conducted among 40 benign prostate hyperplasia patients (mean age 62.42 ± 7.40 years) who fulfilled the inclusion criteria.. They were separate on two groups, where the 1 s1 group receive 20 mg furosemide at the 15` visit but no furosemide at rd visit and the 2"d group without furosemide at the 1S1 visit and receive 20 mg furosemide at god visit. Clinic waiting time and flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine-measuring by ultrasound) were captured in a database. Student t-test or Mann-Whitney U-test analysis were carried out to evaluate the characteristic different between the two groups. Results: Patients characteristics (age, hemoglobin content, creatinine and PSA serum) between the two groups were not statistically different (p>0.05). There was significant different on clinic waiting time in both groups; 72.55 versus 120.00 minutes, p<0.01 at 15` group and 178.05 versus 89.75 minutes, p<0.0I at 2nd group. An oral 20 mg of furosemide was significant reduction on clinic waiting time in all patients (81.15 versus 149.02 minutes, p<0.01). From evaluation of flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine), there were not statistically different in each group and in all patiens whether with or without receive 20 mg furosemide (p>0.05). Conclusions: The impact of a single dose 20 mg of oral furosemide was significant reduced clinic waiting time without significant changes in flow rate parameters at benign prostate hyperplasia patients who scheduled for uroflowmetry.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufan Tenggara
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efek temperatur cairan irigasi terhadap perubahan temperatur inti badan selama prosedur Transurethral Resection of the Prostate ( TURP ). Suatu uji klinis acak terkontrol dilakukan terhadap 32 penderita pembesaran prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia = BPH) yang menjalani prosedur TURP di RSUPNCM Jakarta, antara bulan September 2003 dan Januari 2004. Secara acak berselang-seling, penderita penelitian dimasukkan ke dalam kelompok standar (menggunakan cairan irigasi setara temperatur kamar) dan kelompok isotermik (menggunakan cairan irigasi yang dihangatkan sampai setara dengan temperatur badan). Jenis cairan irigasi yang digunakan oleh kedua kelompok adalah aquabidest. Kemudian dilakukan pencatatan terhadap usia penderita, lama reseksi, berat jaringan prostat yang direseksi, total volume cairan irigasi yang digunakan, temperatur kamar operasi serta temperatur inti badan sebelum dan sesudah prosedur TURP. Uji hipotesis untuk kedua kelompok menggunakan uji t, dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan temperatur inti badan selama prosedur TURP, baik pada kelompok standar maupun pada kelompok isotermik (keduanya p = 0,000 ), tetapi tidak satupun penderita dari kedua kelompok tersebut yang masuk dalam kriteria hipotermi. Rerata penurunan temperatur inti badan pada kelompok standar ( 0,99 °C ) lebih banyak dibandingkan dengan kelompok isotermik ( 0,75 °C ), tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05 ). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan cairan irigasi selama prosedur TURP baik dengan temperatur yang setara dengan temperatur badan maupun yang setara dengan temperatur kamar, sama - sama menyebabkan penurunan temperatur inti badan pada tingkat yang kurang lebih sama.
The objective of the study is to determine the effect of irrigating fluid temperature on core body temperature changes in patients undergoing transurethral resection of the prostate (TURP ). A prospective trial was conducted on 32 patients with diagnosis Benign Prostatic Hyperplasia (BPH ) who underwent TURP at our institution between September 2003 and January 2004. Patients were randomized to one of two groups. Standard group consisted of 16 patients who received room temperature irrigating fluid (± 23.6 °C) throughout TURP. Isothermic group consisted of 16 patients whose procedure was performed using warmed irrigating fluid ( ± 37.2 °C ). The irrigating fluid used for both groups was aquabidest. The age, resection time, weight of resected prostate, amount of irrigating fluid used, temperature in the operating theatre, core body temperature at beginning and conclusion of TURP were recorded for each patient. All p value was calculated with the t test and a p value of 0.05 or less was considered significant. The result of this study showed that there was a decrease of core body temperature during TURP, using either room temperature irrigating fluid or warmed irrigating fluid ( both p = 0.000 ). None of the patients in either group demonstrated any criteria of hypothermia. The average decrease of core body temperature in standard group ( 0.99 °C ) was greater than in isothermic group ( 0.75 °C ), but it was not significantly different (p > 0.05 ). In conclusion, our study revealed that using either room temperature irrigating fluid or warmed irrigating fluid during TURP could decrease core body temperature at approximately similar level.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58472
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seto Hanggoro S.
Abstrak :
Objektif : Untuk mengetahui apakah insisi tunika albuginea dapat dipakai sebagai indikator viabilitas testis pada torsio, dan berapa lama setelah terjadi torsio masih dapat diharapkan testis yang viable. Metode Penelitian : Penelitian bersifat eksperimental. Digunakan 3 kelompok tikes Sprague-Dawley yang dilakukan puntiran ( torsio ) pada funikulus sperrnatikus sebesar 720° dan 1080° . Kelompok 1 selama 4 jam, kelompok 2 selama 6 jam dan kelompok 3 selama 24 jam. Setiap kelompok setelah dilakukan detorsio, dilakukan insisi pada tunika albuginea untuk menilai derajat perdarahan arterial testis yang dibedakan atas 3 tingkatan. Grade of bleeding 1: perdarahan terjadi kurang dari 10 menit, grade 2 : perdarahan baru terjadi setelah 10 menit, sedangkan grade of bleeding 3 : bila tidak terdapat perdarahan jaringan testis lagi. Seluruh testis yang dievaluasi dilakukan orkidektomi kemuclian dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menilai kerusakan jaringan yang terjadi. Selanjutnya dilakukan evaluasi statistik dengan menentukan sensitivitas,spesifiksitas, positive predictive value (PPV) dan negative predictive value (NPV) antara derajat perdarahan dengan hasil pemeriksaan histopatologi sebagai standar baku, dan dicari korelasi antara derajat puntiran dan lama torsio dengan viabilitas testis. Hasil : Dari 30 testis yang dilakukan torsio dan kemudian detorsio, didapatkan 20 testis dengan derajat perdarahan grade 1, 19 testis (95%) masih viable.Sedangkan 4 testis dengan derajat perdarahan grade 2 dan 6 testis dengan derajat perdarahan grade 3 sebagian besar ( 83,5% - 100%) sudah tidak viable. Derajat perdarahan grade 1 sebagai indikator penyelamatan testis memiliki nilai sensitifitas 95%, spesifiksitas 90%, PPV 95% dan NPV 10%. Pada uji regresi-multivariate dari variabel derajat torsio terhadap viabilitas testis tidak didapatkan perbedaan bermakna ( p > 0,05 ). Pada uji regresi-multivariate dari variabel lama torsio terhadap viabilitas testis menunjukan perbedaan bermakna (p < 0,05 ). Kesimpulan : Perdarahan jaringan testis yang dapat dipakai sebagai indikator penyelamatan testis adalah grade of bleeding 1. Lama terjadinya torsio adalah faktor yang berpengaruh terhadap viabilitas jaringan testis.
Objective:To evaluate the reliability of tunica albugenia incision to assesstesticular viability in testicular torsion, and how long after torsion,testis is still viable. Method :This is an experimental study. Three groups of Sprague-Dawley ratsunderwent 720 and 1080 degrees torsion of spermatic cord. Group 1 :torsion during 4 hours, group 2 : 6 hours and group 3 : 24 hours. After detorsion all groups underwent incision of albuginea tunica to assess arterial testis bleeding , which consist of 3 grade of bleeding . Grade 1:bleeding occurred immediately , grade 2 : no immediate bleeding, but itoccurred within 10 minutes and grade 3: no bleeding at all within 10minutes. Based on this evaluation, all testis was performed orchiectomyfor histopatologic examination to determined whether there are anydamage on testicular tissue.At the end of the study, statistical analysis was performed to determinesensitivity, specificity, positive predictive value and negative predictivevalue for grade of bleeding to predict testis viability by usinghistopatological examination as reference standard, and to analysed thecorrelation beetwen degree and duration of testicular torsion with testisviability. Result :30 testis was performed torsion and then detorsion, we obtained 20 testis with grade of bleeding 1, 19 testis (95%) were viable whereas 4 testis with grade of bleeding 2 and 6 testis with grade of bleeding 3, most of them (83,5%x100%) were not viable. Grade of bleeding 1 aspredictor testicular viability have sensitivity, specificity, positive andnegative predictive value as 95%, 90%, 95% and 10% respectively. Onmultivariate-regresion test of variabel degree of torsion towardstesticular viability, there was not significant difference ( P > 0.05 ), butfrom variabel duration of torsion towards the testis viability, there wassignificant difference ( P < 0.05 ). Conclusion: Testicular tissue bleeding which can be used as salvage ability indicator is grade of bleeding 1. Duration of torsion is an importantfactor for testicular viability.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Budi Santoso
Abstrak :
Torsio testis merupakan kedaruratan dalam urologi yang dapat terjadi pada 1 dari 4000 laki-Laki berusia dibawah 25 tahun, dan apabila keadaan ini tidak segera ditangani dengan benar dalam 4 sampai 6 jam dapat terjadi nekrosis testis. Dari penelitian sebelumnya didapatkan torsio testis dengan puntiran sebesar 720° dan lama puntiran lebih dari 4 jam dapat menyebabkan kerusakkan testis secara menetap. Oleh karena itu tindakan bedah sedini mungkin harus dilakukan untuk menyelamatkan testis dari kerusakan menetap. Saat ini tindakan bedah yang dianjurkan adalah melakukan detorsi testis, pendinginan testis dan orkidopeksi bilateral. Tindakan ini dilaporkan dapat menyelamatkan testis sampai dengan 90%, namun dalam pengamatan yang lebih lanjut menunjukkan lebih dari 67% testis tersebut akan mengalami atropi dan menjadi subfertil. Menurut Hagan dkk dari 55 pasien yang diamati hanya 7 pasien yang menunjukkan spermiogramnya normal. Oleh karena itu dibutuhkan suatu terobosan lain dalam penatalaksanaan torsio testis guna menekan angka terjadinya kerusakan testis permanen secara signifikan. Pendapat terkini mengenai adanya seguelae dari torsio testis yang telah dilakukan detorsi dapat diterangkan dengan dasar ischaemia/reperfusion (I/R) injury, kerusakan jaringan testis akibat torsio testis disehakan adanya ischemia yang diperberat dengan terjadinya reprefusion injury setelah dilakukan detorsi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fedry Yance
Abstrak :
Pembesaran Prostat Jinak ( PPJ ) merupakan penyakit yang tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini mengenai laki-laki terutama mulai dari dekade kelima dan prevalensinya meningkat dengan makin bertambahnya umur. Gejala pada PPJ berhubungan dengan meningkatnya jumlah sel-sel epitel dan peningkatan tonus otot polos yang berada pada kelenjar prostat, leher kandung kemih dan kapsul prostat yang diatur oleh saraf otonom. Pada awalnya pembesaran prostat tersebut menekan uretra dan selanjutnya dapat mengalami herniasi ke dalam kandung kemih yang akhirnya dapat menyebabkan gangguan aliran kencing lebih lanjut. Ezz, et al melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara gejala gangguan berkemih dengan besarnya volume prostat. Data dari Olmstead County Study of Urinary Symptoms and health Status Among Men mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara besamya volume prostat dengan terjadinya gejala-gejala gangguan berkernih, pancaran urin dan kemungkinan terjadinya retensio urin pada pasien PPJ. Menurut data tersebut, pancaran urin maksimal yang rendah secara bermakna berhubungan dengan beratnya gejala gangguan berkemih dan besamya volume prostat. Penonjolan prostat ( protrusi ) ke dalam kandung kemih dapat diukur dengan ultrasonografi ( USG ) transabdominal. Menurut Poo terdapat korelasi antara tingkat protrusi prostat intravesika dengan beratnya obstruksi. Melihat adanya perbedaan di atas maka dilakukan penelitian mengenai hubungan antara kejadian retensi urin pada pasien PPJ dengan besarnya volume prostat dan tingkat protrusi prostat intravesika Adapun maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa besarnya volume prostat yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan berkemih pada pasien PPJ dan adakah hubungan antara besarnya volume prostat dengan terjadinya retensi urin. Juga dievaluasi hubungan antara terjadinya retensi urin dengan protrusi prostat intravesika. PPJ adalah kelainan berupa kelenjar prostat yang mengalami hiperplasia terutama kelenjar periuretral. Jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah. Bila pembesaran tersebut mendesak ke arah luar dari uretra pars prostatika maka tidak menimbulkan gejala. Tetapi jika mendesak ke dalam uretra, akan menekan uretra dan menimbulkan gejala sumbatan saluran kencing bagian bawah. Pembesaran prostat dapat terjadi pada lobos medius sehingga menimbulkan penonjolan ( protrusi ) ke dalam kandung kemih yang dapat dideteksi dengan USG transabdominal. Protrusi prostat ini dapat mengganggu proses pengosongan urin di dalam kandung kemih pada waktu berkemih.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Omar Rusydi
Abstrak :
ABSTRAK
Penanganan batu saluran kemih khususnya batu ureter mempunyai modalitas yang bervariasi. RS Pusat Pertamina mempunyai ESWL EDAP Sonolith Technomed dan URS dengan litotripsi laser holmium:YAG. Sampai saat ini belum pernah dilakukan evaluasi perbandingan dengan kedua modalitas tindakan ini di RS Pusat Pertamina Jakarta. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta secara analitik komparatif. Data diperoleh dari pasien yang dirawat dengan batu ureter dari bulan Januari sampai Desember 2009. Kami menemukan 81 batu ureter yang diterapi (15 dengan ESWL dan 66 dengan URS) dalam kurun waktu Januari – Desember 2009. Modalitas terapi pada batu ureter tersebut terbanyak dengan URS diikuti ESWL. Pemakaian DJ stent pada 19,8% tindakan dengan pemakaian terbanyak bersamaan dengan URS dibandingkan dengan ESWL. Angka bebas batu pada batu ureter tidak bermakna antara pemakaian URS dibandingkan ESWL, walaupun angka bebas batu pada URS lebih tinggi daripada ESWL. Pemakaian DJ stent juga tidak mempengaruhi perbedaan angka bebas batu ureter pada kedua modalitas tindakan ini. Angka bebas batu pada kedua modalitas terapi ini masih di bawah nilai dari literatur yang ada karena penilaian angka bebas batu diambil saat sesudah tindakan atau 1-2 hari sesudah tindakan dengan imaging foto polos abdomen dan USG.
ABSTRACT
Management of urinary lithiasis, especially ureteric stone has various modality. Central Hospital Pertamina has ESWL EDAP Sonolith Technomed and URS with lithotripsy laser holmium: YAG. Until now, it has never been evaluated comparatively between two those modalities at Central Hospital Pertamina Jakarta. Study was conducted at Central Hospital Pertamina Jakarta by comparing those two modalities using analytic comparative. The data was taken from patients’ medical record diagnosed as ureteric stone who had been treated from January to Desember 2009. We found 81 ureteric stone treated (15 with ESWL and 66 with URS) from January to Desember 2009. Using of DJ stent were 19,8% of the treatment, together with URS is more common than ESWL. Stone free rate in ureteric stone was not significantly between treatment with URS and ESWL, although stone free rate of URS was higher than ESWL. Using of DJ stent didn’t influence of stone free rate of ureteric stone from two of those modalities. Stone free rate of these modalities was below of stone free rate at literatures published, because evaluation from stone free rate of this study was taken after the treatment or 1-2 days after the treatment with imaging of KUB and USG
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emil Dinar Makotjo
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T59090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>