Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Semiarto Aji Purwanto
"Kajian mengenai pertanian kota menunjukkan bahwa kegiatan ini merupakan gejala yang dijumpai di hampir semua kota. Di negara-negara maju, pertanian kota dikaitkan dengan gerakan kembali ke alam, promosi bertani organik, usaha mempercantik kota, pendidikan lingkungan untuk warga, hobi dan sebagai mata pencaharian. Di negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Selatan dan Asia, sejumlah kajian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan dinamika kependudukan mewarnai munculnya pertanian kota di negara berkembang. Di Jakarta, karakteristik kota yang berbeda menyebabkan penjelasan munculnya pertanian kota sebagaimana di negara maju tidak relevan untuk dijadikan jawaban. Oleh karena itu, penjelasan mengenai pertanian kota di Jakarta tidak bisa dijelaskan dengan teori pertanian kota di negara maju atau semata-mata dari negara berkembang yang lain.
Penelitian yang saya lakukan pada komunitas petani kota di wilayah Jakarta Timur, yang merupakan migran dari Karawang, Jawa Barat, menunjukkan bahwa fenomena pertanian kota di Jakarta harus dilihat dalam perspektif keterkaitan desa-kota. Perhatian hanya pada dinamika migran di kota, adaptasi pendatang dan munculnya pertanian di kota di satu sisi, atau hanya melihat dinamika sosial budaya akibat industrialisasi di desa, kebijakan pembangunan pedesaan yang berubah dan berbagai faktor pendorong migrasi ke kota di sisi lain, tidak cukup untuk menerangkan pertanian kota yang saya temui di Jakarta Timur.
Secara teoretik saya menghadirkan argumen bahwa pendekatan antropologi perkotaan atau studi petani pedesaan belaka tidak mampu memberikan penjelasan yang utuh. Demikian pula dengan analisis di tingkat individu, yang tidak akan menerangkan secara lengkap pengaruh faktor eksternal: sosial, politik dan ekonomi yang melingkupi muncul dan bertahannya pertanian kota. Walaupun saya yakin bahwa pendekatan yang lebih luas dengan melihat keterkaitan dan hubungan desa-kota lebih mampu memberikan penjelasan, namun saya menemukan bahwa berbagai hal yang selama ini menjadi domain desa atau kota, dalam kasus petani kota migran Karawang di Jakarta, justru berlainan ceritanya. Pertanian yang selama ini menjadi domain desa, kali ini justru berlangsung di kota; sementara kota yang selama ini menjadi inspirasi budaya dari desa justru menambah pilihan pekerjaan yang stereotipik dengan desa. Dengan kasus ini saya menunjukkan bahwa pendefinisian desa dan kota secara eksklusif nampaknya sudah tidak lagi relevan.

Researches on urban agriculture indicated that it is common in almost every city in the world. In the developed countries, it has connection with back-to-nature movements, organic farming initiatives, city beautification, environment education, hobby and livelihood. While in the developing states, such as in Africa, South America and Asia, it is said that government policies and population dynamics have colored the emergence of urban agriculture. With its specific character as a city of a developing country, Jakarta?s urban agriculture will not be sufficiently explained by any theories and explanations derived from developed and other developing countries. Hence, it is necesarry to build its own expalanation.
My research conducted among communities of Karawang migrants in East Jakarta has shown how urban agriculture would be best seen within the perspective of rural-urban linkage. Solely giving attention to migrants? dymanics, adaptation process of new comers and the emerging of urban farming, or only by examining the socio-cultural dynamics as consequence of rural industrialization, changing rural policies and other push-factors for urbanization will not adequate to explain the case of urban agriculture in East Jakarta.
Theoretically, I argue that some approaches in urban anthropology and peasant studies fail to thoroughly and comprehensively answer my case. Similarly, analysis in individual level can not completely explain the external factors of social, political and economical issues. However, the rural-urban linkage that I believe will be able to give better explanation, in my case, has indicating other direction of rural-urban flows. Agriculture that commonly placed and seen as rural domain, in the case of urban agriculture practiced by Karawang migrants in East Jakarta, has obviously found in urban context. At the other hand, urban living that in many cases inspired rural tradition, has received rural contribution in term of choice in livelihood: agriculture that stereotypic to village. My finding and analysis have revealed that efforts to distinguish and constitute a finite and exclusive definition of rural (villlage) and urban (city) have now lost its relevance."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
D00911
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Suharso
"Suatu pranata sosial-budaya yang berlaku dalam suatu kempok/komunita tidak hanya merupakan warisan/tradisi masa lalu yang dipertahankan oleh anggota kelompok/komunitas tersebut untuk tujuan/maksud tertentu, tetapi juga merupakan sesuatu yang baru hasil reka cipta individu-individu yang bertindak sebagai agen. Disertasi ini menyajikan fenomena signifikansi peran agen dalam proses produksi dan reproduksi suatu pranata sosial-budaya beserta interakasinya. Secara lebih khusus disertasi ini membahas peran agen dalam memproduksi suatu pranata sosial-budaya yang semula tidak terwujud, serta perubahan dan penumbuhkembangannya dalam konteks adanya minat, interpretasi, kontestasi, kesamaan, dan kesepakatan dari pihak-pihak yang berkepentingan atas pranata sosial-budaya tersebut. Dengan menggunakan pendekatan prosesual dan disajikan dalam bentuk etnografi, disertasi ini mengulas keagenan individu-individu dalam produksi dan reproduksi pranata pelepasliaran orangutan di Suaka Margasatwa Lamandau (Lamandau) Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah pada periode tahun 2008—2012.
Kisah-kisah pelepasliaran orangutan di Lamandau menunjukkan bahwa terbentuknya pranata sosial dalam suatu komunitas/kelompok sosial merupakan hasil karya agen yang secara aktif daan kreatif berusaha, berstrategi untuk mewujudkan cita-cita/harapan dan keinginannya itu. Untuk mewujudkannya sang agen melakukan sejumlah cara, usaha dan strategi termasuk berkolaborasi di antara para pihak yang saling berinteraksi itu. Pranata sosial-budaya yang terbentuk tidak hanya merupakan wujud kesepakatan di antara para pihak yang berinteraksi, tetapi juga meripakan hasil respon terhadap minat dan kepentingan pihak lain, serta interpretasi oleh individu-individu atas aturan yang telah diciptakan sebelumnya.
Atas dasar kesepakatan, penyesuaian, dan interpretasi tercipta seperangkat aturan (rule in use) yang mengatur hal-hal yang boleh, tidak boleh, yang seharusnya, atau yang sebaiknya tidak dilakukan oleh setiap individu yang bersama-sama atau saling berinteraksi melaksanakan suatu kegiatan. Sebuah kesepakatan di antara para agen/aktor atas suatu sumberdaya dapat tercipta sesuai dengan rasionalitas dan interpretasi masing-masing. Oleh karena itu berlakunya suatu pranata sosial-budaya dalam suatu kelompok sosial/komunitas bersifat transaksional di antara para pihak (agen/aktor) yang berkepentingan terhadap suatu sumberdaya tersebut.
Penemuan dan penciptaan merupakan proses sosial yang dilakukan setiap hari dalam beragam peristiwa. Melalui beragam interaksi sosial penciptaan itu muncul. Di tangan sang agen penciptaan-penciptaan tersebut kemudian dikembangkan menjadi nilai, aturan untuk mengordikasikan suatu kegiatan, sehingga menjadi bagian dari panata sosial-budaya di kelompok masyarakat/komunitas itu. Interaksi sosial berupa: negosiasi, akomodasi, perbedaan pendapat, dan relasi kekuasaan antaragen merupakan hal-hal universal yang biasa terjadi dalam suatu kelompok sosial/komunitas. Dengan cara-cara tersebut suatu pranata sosial-budaya terus diperbarui sehingga dapat diterima dan dapat menjadi acuan bersama dalam bertindak. Dengan demikian suatu pranata sosial bersifat dinamis. Meskipun suatau pranata sosial-budaya bersifat dinamis, upaya penatamantaban suatu pranta sosial dapat dilakukan. Penatamantaban suatu pranata sosial-budaya dalam suatu kelompok sosial/komunitas terjadi karena adanya mekanisme berbagi (share), dan transfer pengetahuan, keterampilan, atau kebiasaan dari anggota kelompok/komunitas lama terhadap anggota baru. Melalui mekanisme berbagi dan transfer tersebut seperangkat aturan tetap terpelihara/mantab.

A socio-cultural institution which prevailed in a group/community was not only a legacy/tradition of the past sustained by members of the group/community for particular purpose and goals, but also something new resulted from a creative action of individuals acting as agents. This dissertation presents a phenomenon of agents role significance in the production and reproduction process of a socio-cultural institution and their interactions. This dissertation in particularly discusses the role of agents in producing a socio-cultural institution which initially was not consummated and the change as well as its development in the context of the presence of interest, interpretation, dispute, similarity, and an agreement of parties concerned over the socio-cultural institution. By using procession approach and was presented in the form of Ethnography, this dissertation analyzes the agency of individuals in the production and reproduction of orangutans release regulation at Suaka Margasatwa of Lamandau (Lamandau Wildlife Reserve), Pangkalan Bun, Central Kalimantan in the period of 2008-2012.
The stories of orangutans release at the Lamandau showed that the formation of the social institution in a community/social group was the result of agents work actively and creatively endeavor in order to realize their goals, expectations and desires by conducting a number of ways, efforts, and strategies among others collaboration among the parties which interact. The socio-cultural institution was not only a form of agreement among the parties which interact, but also the result of the response to the interests of other parties, as well as the interpretation by individuals over the rules that have been created previously.
On the basis of an agreement, adjustment and interpretation, it was created a set of rules (rule in use) that regulated matters that may, not allowed to, should be, or should not be done by any individuals mutually interacting to carry out an activity. An agreement among the agents/actors of a resource could be created in accordance with the rationality and interpretation respectively. Hence the socio-cultural institution prevailed in a social group /community was transactional relation among the parties (agents/actors) which interest over resources.
The discovery and the creation are any social processes undertaken daily in a wide array of events through diverse social interaction. In the hands of agents, the creation was then developed into the creation of values and rules to coordinate an activity and to become part of socio-cultural institution in the groups/communities. Social interactions such as negotiation, accommodation, dissent, and the relations of power between agents are universal things that usually occur in a social group/community. By such means, the socio-cultural institution was continually updated so that it could be accepted and could become a common reference. Thus socio-cultural institution has dynamic characteristic. Nevertheless, stabilization efforts of socio-cultural institution in a social group/community could be implemented through the mechanism of share and the transfer of knowledge, skills, or habits from the old members of the group/community towards the new members.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library