Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amri Muhyi
"Pendahuluan: Fraktur akibat kecelakaan merupakan masalah kesehatan yang menduduki peringkat ke sembilan secara global dan diperkirakan akan menduduki peringkat ketiga pada tahun 2030. Dari seluruh kasus fraktur, kejadian delayed union berkisar antara 5-10%. Delayed union menimbulkan disabilitas, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan biaya pengobatan. Saat ini, penanganan delayed union terbaik dengan bone graft masih terbatas persediaannya. Terapi mutakhir penanganan delayed union menggunakan sintesis osteoinduktif seperti BMP-2 sudah banyak diteliti dan digunakan namun biayanya sangat mahal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas citrus flavonoid dalam meningkatkan ekspresi BMP-2 dan VEGF sehingga dapat meningkatkan kualitas fracture healing pada model delayed union hewan coba tikus Sprague-Dawley.
Material dan Metode: Uji eksperimental ini menggunakan 30 tikus Sprague-Dawley yang menjadi model delayed union dengan perlakuan stripping periosteum. Tikus dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok yang diberikan citrus flavonoid 250 mcg, dan kelompok yang diberikan citrus flavonoid 500 mcg. Tikus dieuthanasia pada hari ke-15 dan hari ke-30 untuk melihat profil histomorfometrik, ekspresi BMP-2, dan ekspresi VEGF melalui aplikasi ImageScope.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan area penulangan yang secara bermakna lebih luas pada kelompok 250 mcg dibandingkan dengan kelompok kontrol (p = 0.047) dan juga pada kelompok 500 mcg dibandingkan dengan kelompok kontrol (p = 0.047) pada hari ke-15. Pembentukan kalus pada hari ke-15 juga ditemukan lebih cepat pada kelompok 250 mcg dan kelompok 500 mcg dibandingkan dengan kontrol (p = 0.009, p = 0.009). Ekspresi BMP-2 paling tinggi didapatkan pada kelompok 250 mcg. BMP-2 secara bermakna lebih besar pada kelompok 250 mcg dibandingkan dengan kelompok kontrol baik pada hari ke-15 maupun hari ke-30 (p < 0.05). Selain itu, ekspresi BMP-2 pada kelompok 500 mcg juga ditemukan secara bermakna lebih besar dibandingkan kelompok kontrol namun hanya pada hari ke-30. Ekspresi VEGF terbesar didapatkan pada kelompok 500 mcg dengan perbandingan yang secara signifikan lebih besar daripada kelompok kontrol dan 250 mcg (p < 0.05). Penelitian ini menunjukkan ekspresi BMP-2 yang memiliki dosis terapeutik terbaik di 250 mcg dengan penambahan dosis yang menimbulkan efek negative pada produksi BMP-2. Selain itu, ekspresi VEGF ditemukan paling baik pada dosis 500 mcg sehingga terdapat perbaikan penyembuhan fraktur baik pada kelompok 250 mcg maupun 500 mcg.
Kesimpulan: Citrus flavonoid meningkatkan penyembuhan fraktur melalui peningkatan ekspresi BMP-2 dan VEGF. Terjadi mekanisme negative feedback dari BMP-2 pada pemberian citrus flavonoid yang berlebihan.

Introduction: Fracture due to traffic accidents is ranked ninth among other problems in health sector and projected to be ranked third in 2030. Delayed union accounts for 5-10% of all fractures. It causes disability, lower quality of life, and increased cost of treatment. Currently, the ideal treatments of delayed union using bone graft application is still limited and sometimes inaccessible. Advanced alternative treatments using BMP-2 synthetics as osteoinductive factors is currently too expensive although it has been clinically proven by previous literatures. This study aimed to discover the effectivity of citrus flavonoid in increasing the expression of BMP-2 and VEGF to accelerate the fracture healing process of delayed union models of Sprague-Dawley rats.
Methods: This experimental study used 30 Sprague-Dawley rats that underwent periosteal stripping to create delayed union models. Subjects were allocated into three groups, namely control group, group with 250 mcg citrus flavonoid initial administration, and group with 500 mcg citrus flavonoid initial administration. The subjects were sacrificed in day 15 and day 30 to observe the histomorphometric profile, BMP-2 expression, and VEGF expression using ImageScope application.
Results: The area of lamellar bone was observed significantly higher in 250 mcg and 500 mcg groups compared to control group on day 15 (p = 0.047). The callus area showed similar result and significantly higher area were observed in 250 mcg and 500 mcg groups compared to control on day 15 (p = 0.009, p = 0.009). The highest BMP-2 expression was observed in 250 mcg group. Statistical test showed significant difference between 250 mcg with 500 mcg and 250 mcg with control groups (p < 0.05). The highest VEGF expression was seen in 500 mcg group, also with significant difference between 500 mcg group compared with 250 mcg and control on day 15. This study found the best therapeutic dose for BMP-2 was 250 mcg while the best therapeutic dose for VEGF was 500 mcg. Excessive addition of citrus flavonoid caused negative impact on BMP-2 expression. Markedly accelerated fracture healing was observed in both 250 mcg and 500 mcg groups.
Conclusion: Citrus flavonoid accelerated the fracture healing process by increasing the expression of BMP-2 and VEGF. There is a negative feedback mechanism of BMP-2 expression when excessive dose of citrus flavonoid was given.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Febrian Nasrul
"Pendahuluan: Fraktur intertrochanter dapat dilakukan tata laksana dengan beberapa metode, di antaranya dengan proximal femoral nail antirotation (PFNA). PFNA merupakan tindakan yang minimal invasif dan dapat mempercepat proses penyembuhan ekstremitas. Namun, pada beberapa kasus dapat terjadi kegagalan yang dipicu oleh berbagai faktor, di antaranya pemasangan yang kurang tepat dan kualitas densitas tulang yang buruk. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kegagalan implan pada pasien fraktur intertrochanter pasca PFNA.
Metode: Sebuah penelitian kohort retrospektif dilakukan melibatkan pasien dengan intertrochanter yang dilakukan fiksasi menggunakan PFNA di RSCM, RSUP Fatmawati, dan RSUP Persahabatan pada Januari 2019 – Desember 2023. Penelitian ini menilai hubungan posisi blade screw, panjang nail, tip-apex distance (TAD), calcar-referenced tip-to-apex distance (CalTAD), tipe fraktur intertrochanter, neck shaft angle (NSA), densitas tulang, dan kualitas reduksi terhadap kejadian kegagalan implan pasca PFNA dan luaran fungsional menggunakan harris hip score.
Hasil dan Diskusi: Sebanyak 48 sampel dengan fraktur intertrochanter yang menjalani operasi PFNA dengan 4 (8,33%) kasus kegagalan implan. Terdapat hubungan signifikan antara kualitas reduksi dengan kejadian kegagalan implan (p = 0,015) dan harris hip score (p < 0,001). Tidak terdapat hubungan signifikan antara posisi blade screw berdasarkan indeks parker anteroposterior dan lateral, TAD, CalTAD, panjang nail, tipe fraktur intertrochanter, NSA, dan densitas tulang dengan kejadian kegagalan implant PFNA (p > 0,05).
Kesimpulan: Kualitas reduksi merupakan faktor risiko utama terjadinya kegagalan implan fraktur intertrochanter dengan PFNA.

Introduction: Management of intertrochanteric fractures can be conducted through various methods, among which is the Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA). PFNA offers a minimally invasive approach and can facilitate early healing of the extremity. However, in some cases, failure may occur due to various factors, including blade screw position and poor bone density quality. Therefore, this study aims to identify factors contributing to implant failure in patients with intertrochanteric fractures after PFNA.
Methods: A retrospective cohort study was conducted involving patients with intertrochanteric fractures treated with PFNA fixation at Cipto Mangunkusumo Hospital, Fatmawati Hospital, and Persahabatan Hospital from January 2019 to December 2023. This research examines the relationship of blade screw position, nail length, tip-apex distance (TAD), calcar-referenced tip-to-apex distance (CalTAD), intertrochanteric fracture type, neck shaft angle (NSA), bone density, and reduction quality with PFNA implant failure and functional outcomes using Harris Hip Score.
Results and Discussion: A total of 48 samples with intertrochanteric fractures undergoing PFNA surgery were analyzed, with 4 (8.33%) cases of implant failure. There was a significant relationship between the reduction quality and the occurrence of implant failure (p = 0.015) and Harris Hip Score (p < 0.001). There were no significant relationships between the position of the blade screw based on the parker index anteroposterior and lateral, TAD, CalTAD, nail length, type of intertrochanteric fracture, NSA, and bone density with PFNA implant failure.
Conclusion: Reduction quality is a primary risk factor for the occurrence of implant failure in intertrochanteric fractures treated with PFNA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Feby Canintika
"Pendahuluan: Defek tulang kritis merupakan masalah yang menantang bagi ahli bedah ortopedi. Hingga saat ini, belum terdapat konsensus mengenai perlakuan tatalaksana terbaik untuk defek tulang kritis. Di antara berbagai solusi yang diusulkan, recombinant human bone morphogenetic protein-2 (rhBMP-2) adalah osteoinduktor yang paling poten, dan telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Penelitian sebelumnya seringkali menggunakan rhBMP-2 yang didapatkan dari sel ovarium hamster Cina. Namun, rhBMP- 2 yang didapatkan dari sel ovarium hamster Cina ini memiliki berbagai kekurangan seperti biaya tinggi dan hasil produksi yang rendah. Baru-baru ini, rhBMP-2 yang berasal dari Escherichia coli semakin banyak digunakan karena hasil panen yang tinggi dan biaya yang rendah; namun, protein tersebut diekspresikan sebagai badan inklusi, yang memerlukan pemrosesan ekstensif untuk menghasilkan protein bioaktif. Untuk mengatasi kendala-kendala ini, diperlukan metode produksi rhBMP-2 yang efisien. Sampai saat ini, belum terdapat penelitian yang mengevaluasi penggunaan vektor adenovirus untuk transfer gen rhBMP-2 ke sel punca mesenkimal asal jaringan adiposa (SPM-AD) pada model defek tulang kritis pada tikus Sprague-Dawley. Penelitian ini adalah studi eksperimental yang mengevaluasi efektivitas rhBMP-2 yang berasal dari SPM-AD yang direkayasa secara genetik pada model defek tulang kritis pada tikus Sprague-Dawley.
Metode: Penelitian ini menggunakan tikus Sprague Dawley sebanyak 36 ekor. Dibuat cacat tulang berdiameter 5 mm terjadi pada diafisis femur pada setiap tikus. Hewan- hewan tersebut dibagi menjadi empat kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 9 ekor tikus. Kelompok pertama mendapatkan rhBMP-2 yang berasal dari SPM-AD yang dimodifikasi secara genetik dengan granul hidroksiapatit (HA) (kelompok rhBMP- 2), kelompok kedua mendapatkan sekretom SPM-AD dan granul HA (kelompok sekretom AD-MSC), kelompok ketiga mendapatkan granul HA (kelompok HA), dan yang keempat adalah kelompok kontrol. Adenovirus digunakan sebagai vektor transfer gen untuk mentransduksi rhBMP-2 ke SPM-AD. Larutan akhir yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari campuran lisat dan sekretom SPM-AD dengan perbandingan 2:1, dan konsentrasi akhir rhBMP-2 adalah 132,33 pg/mL. Tikus dikorbankan 8 minggu setelah operasi. Tulang femur dipanen dan diperiksa nilai protein Indian hedgehog (Ihh), parameter histomorfometri, dan load to failure.
Hasil dan Pembahasan: Selama periode pengamatan, masing-masing terdapat satu, dua, dan dua ekor tikus mati pada kelompok rhBMP-2, HA, dan kontrol. Kelompok rhBMP-2 memiliki protein Ihh lebih tinggi dibandingkan kelompok HA dan kontrol. Kelompok rhBMP-2 juga memiliki total area kalus dan nilai load to failure yang lebih tinggi dibandingkan ketiga kelompok lainnya. Proses penyembuhan yang unggul dari kelompok rhBMP-2 kemungkinan dihasilkan dari sifat rhBMP-2 itu sendiri yang mendorong diferensiasi sel punca mensenkimal menjadi osteoblas, sehingga menghasilkan regenerasi tulang.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan rhBMP-2 yang berasal dari SPM-AD yang dimodifikasi secara genetik berhasil menatalaksana defek tulang kritis pada tikus Sprague-Dawley.

Introduction: Critical-sized bone defects (CSBDs) remain challenging problem for orthopaedic surgeons. To date, there are no consensus regarding the best treatment for such entity.
Among various solutions proposed, recombinant human bone morphogenetic
protein-2 (rhBMP-2) is the most potent osteoinductor, and it has shown promising results. Early orthopaedic studies used mammalian cell-derived rhBMP-2, especially Chinese hamster ovary (CHO) cells. However, CHO cell-derived rhBMP-2 presents disadvantages such as high cost and low production yield. Recently, Escherichia coli- derived rhBMP-2 has been increasingly used owing to the high yield and low cost; however, the protein is expressed as inclusion bodies, which need extensive processing involving isolation from cell, solubilization, refolding and purification to produce the bioactive proteins. To overcome these obstacles, an efficient method for producing rhBMP-2 is required. To date, there is no study that has evaluated the use of adenovirus vector for gene transfer of rhBMP-2 to adipose-derived mesenchymal stem cells (AD-
MSCs)
in CSBDs model in Sprague-Dawley rats. This is an experimental study that evaluated the efficacy of rhBMP-2 derived from genetically-modified AD-MSCs in CSBDs model in Sprague-Dawley rats.
Methods: A total of 36 Sprague Dawley rats were examined in this study. A bone defect of 5 mm in diameter was created in femoral diaphysis in each of the rat. The animals were divided into four groups of 9 rats each. The first group received rhBMP-2 derived from genetically-modified AD-MSCs with hydroxyapatite (HA) granules (rhBMP-2 group), the second received AD-MSCs secretome and HA granules (AD-MSCs secretome group), the third received HA granules (HA group), and the fourth was control group. Adenoviruses were used as gene transfer vectors to transduce rhBMP-2 to AD-MSCs. The final solution consisted of AD-MSCs lysate and their secretome with ratio of 2:1, and the concentration of rhBMP-2 was 132.33 pg/mL. The rats were sacrificed 8 weeks after the surgery. The femurs were harvested and submitted for Indian hedgehog (Ihh) protein, histomorphometric parameters, and load to failure analyses.
Results and Discussion: During the observation period, one, two, and two rats died in the rhBMP-2, HA, and control groups, respectively. The rhBMP-2 group had higher Ihh protein compared to HA and control groups. The rhBMP-2 group also had higher callus total area, and load to failure value compared to the other three groups. The superior healing process from the rhBMP-2 group might be due to the property of rhBMP-2 itself which promotes differentiation of mesenchymal stem cells into osteoblasts, resulting in bone regeneration.
Conclusion: The results of this study indicate that the use of rhBMP-2 derived from genetically-modified AD-MSCs could successfully treat CSBDs in Sprague-Dawley rats.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farindra Ridhalhi
"Abses tuberkulosis spinal merupakan salah satu komplikasi serius dari infeksi tuberkulosis yang dapat menyebabkan kerusakan neurologis dan sulitnya eradikasi kuman. Tata laksana operatif dengan debridemen terbuka sering kali dipilih. Namun, teknik minimal invasif telah mulai dikembangkan, termasuk Teknik Evakuasi Abses Sistem Tertutup (EAST), meski datanya masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk menilai luaran klinis dan laboratoris pada pasien yang menjalani EAST dibandingkan debridemen terbuka. Penelitian retrospektif ini melibatkan 48 pasien yang menjalani salah satu dari kedua teknik tersebut. Hasil menunjukkan bahwa EAST menghasilkan nyeri pascaoperasi lebih rendah (VAS 2 vs. 4; p<0,001) dan panjang jaringan parut lebih kecil (0 cm vs. 12 cm; p<0,001) dibandingkan debridemen terbuka. Durasi rawat inap lebih singkat secara median pada kelompok EAST, meski tidak signifikan (2 vs. 3 hari; p=0,06). Namun, angka rekurensi lebih tinggi pada teknik EAST (2 kasus vs. 0). Kedua teknik menunjukkan hasil serupa dalam kadar CRP dan Oswestry Disability Index (ODI). Hasil ini menunjukkan bahwa EAST menawarkan alternatif minimal invasif dengan hasil klinis lebih baik, tetapi memerlukan perhatian terhadap risiko rekurensi. Studi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan temuan ini dan mengevaluasi keamanan jangka panjang teknik EAST.

Spinal tuberculosis abscess is one of the serious complications of tuberculosis infection that can lead to neurological damage and difficulty in eradicating the pathogen. Open debridement surgery is often chosen. However, minimally invasive techniques, including closed system abscess evacuation (CSAE), have been developed, although data remains limited. This study was conducted to evaluate the clinical and laboratory outcomes of patients undergoing CSAE compared to open debridement. This study aims to compare the clinical and radiological outcomes between the Closed Abscess Evacuation System (CSAE) technique and open debridement in spinal tuberculosis abscess cases. This retrospective study involved 48 patients who underwent one of the two techniques. Results showed that CSAE yielded lower postoperative pain (VAS 2 vs. 4; p<0.001) and smaller scar length (0 cm vs. 12 cm; p<0.001) compared to open debridement. Median hospital stay was shorter in the CSAE group, although not statistically significant (2 vs. 3 days; p=0.06). However, the recurrence rate was higher with CSAE (2 cases vs. 0). Both techniques showed similar results in C-reactive protein (CRP) levels and Oswestry Disability Index (ODI). These findings suggest that CSAE offers a minimally invasive alternative with better clinical outcomes but requires attention to the risk of recurrence. Further studies are needed to validate these findings and evaluate the long-term safety of the CSAE technique."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Wicaksono
"Latar Belakang: Stenosis Spinal Lumbar (LSS) adalah kondisi yang umum pada populasi lanjut usia, ditandai dengan penyempitan kanal spinal atau foramen intervertebralis, yang mengarah pada kompresi akar saraf. Kondisi ini sering dikaitkan dengan nyeri punggung bawah, penyebab utama kecacatan dan penurunan kualitas hidup. Atrofi otot multifidus sering diamati pada pasien dengan LSS, berkontribusi pada ketidakstabilan dan nyeri di tulang belakang lumbar. Faktor-faktor seperti usia, obesitas, jenis pekerjaan, penggunaan korset, dan durasi penyakit telah dikaitkan dengan pengembangan atrofi otot multifidus.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan di RSUD Pandanarang Boyolali, melibatkan 45 pasien dengan LSS berusia 50-70 tahun. Sampel purposif digunakan untuk memilih peserta berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Variabel seperti usia, pekerjaan, Indeks Massa Tubuh (BMI), penggunaan korset, dan durasi penyakit dianalisis. Studi ini mendapat persetujuan etik dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan RSUD Pandan Arang Boyolali. Analisis statistik dan regresi logistik digunakan untuk menguji pengaruh faktor-faktor ini terhadap atrofi otot multifidus.
Hasil: Studi ini mengidentifikasi obesitas (OR=65.02; p=0.001) dan usia di atas 60 tahun (OR=11.38; p=0.47) sebagai faktor dominan yang berhubungan dengan atrofi otot multifidus pada pasien LSS. Jenis kelamin, pekerjaan, dan durasi penggunaan korset tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan atrofi otot (P> 0.05). Pasien berusia di atas 60 tahun menunjukkan risiko lebih tinggi mengalami atrofi otot multifidus.
Kesimpulan: Temuan ini menekankan pentingnya mengatasi obesitas dan memantau pasien lanjut usia secara dekat untuk tanda-tanda atrofi otot multifidus dalam pengelolaan LSS. Kurangnya hubungan signifikan dengan jenis kelamin, pekerjaan, dan penggunaan korset menunjukkan bahwa intervensi harus terutama berfokus pada manajemen berat badan dan perubahan degeneratif terkait usia. Penelitian lebih lanjut dengan ukuran sampel yang lebih besar direkomendasikan untuk mengevaluasi dampak intervensi yang ditargetkan pada pencegahan atrofi otot multifidus pada populasi pasien ini.

Background : Lumbar Spinal Stenosis (LSS) is a prevalent condition in the elderly population, characterized by the narrowing of the spinal canal or intervertebral foramina, leading to nerve root compression. This condition is often associated with low back pain, a significant cause of disability and reduced quality of life. Multifidus muscle atrophy is frequently observed in patients with LSS, contributing to instability and pain in the lumbar spine. Factors such as age, obesity, occupation type, corset usage, and disease duration have been implicated in the development of multifidus muscle atrophy.
Methods : This cross-sectional study was conducted at RSUD Pandanarang Boyolali, involving 45 patients with LSS aged 50-70 years. Purposive sampling was used to select participants based on specific inclusion and exclusion criteria. Variables such as age, occupation, Body Mass Index (BMI), corset usage, and disease duration were analyzed. The study received ethical approval from the Ethics Committee of the Faculty of Medicine, University of Indonesia, and RSUD Pandan Arang Boyolali. Statistical analysis and logistic regression were employed to examine the influence of these factors on multifidus muscle atrophy.
Results:The study identified obesity (OR=65.02; p=0.001) and age over 60 years (OR=11.38; p=0.47) as dominant factors associated with multifidus muscle atrophy in LSS patients. Gender, occupation, and duration of corset use did not show a significant relationship with muscle atrophy (p>0.05). Patients over 60 years of age exhibited a higher risk of developing multifidus muscle atrophy.
Conclusion: The findings underscore the importance of addressing obesity and monitoring elderly patients closely for signs of multifidus muscle atrophy in the management of LSS. The lack of significant associations with gender, occupation, and corset usage suggests that interventions should primarily focus on weight management and age-related degenerative changes. Further research with larger sample sizes is recommended to evaluate the impact of targeted interventions on preventing multifidus muscle atrophy in this patient population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh Tri Nugroho Fahrudhin
"Lumbar canal stenosis merupakan penyebab utama disabilitas pasien. Selective Nerve Root Block (SNRB) pada area lumbar adalah salah satu metode terapi untuk mengatasi nyeri akibat radikulopati lumbar yang bertujuan mengurangi kebutuhan operasi. Ultrasonografi (USG) muncul sebagai alternatif dengan kelebihan seperti tanpa radiasi, mobilitas tinggi, kemampuan pencitraan jaringan lunak, dan penetrasi jarum real-time jika dibandinagkan menggunakan Floroskopi. Penelitian ini merupakan studi uji klinis acak non-inferiority tersamar tunggal yang dilakukan di 2 Rumah Sakit. 52 subjek penelitian yang terdiri dari 26 subjek yang dilakukan tindakan SNRB dengan panduan fluoroskopi dan 26 subjek yang dilakukan tindakan SNRB dengan panduan USG. Tidak ada perbedaan karakteristik dasar antara kedua kelompok berdasarkan usia, jenis kelamin, IMT, durasi gejala. level lumbar VAS, maupun ODI pre operasi (p > 0,05). Penelitian ini menunjukkan penurunan signifikan pada nilai VAS di kelompok floroskopi dan USG pada 30 menit, 2 minggu, dan 12 minggu setelah tindakan dibandingkan dengan baseline (p < 0,01). Kendati demikian, tidak ada perbedaan VAS dan ODI yang signifikan antara kedua metode panduan pada setiap titik waktu (p > 0,05). Tidak terdapat perbedaan dalam pengurangan nyeri radikular lumbal, skor ODI, dan kejadian komplikasi antara tindakan SNRB dengan panduan fluoroskopi maupun USG. Penggunaan panduan USG pada SNRB terbukti lebih efisien dengan durasi yang lebih singkat dan sama efektifnya dengan fluoroskopi.

Lumbar canal stenosis is a leading cause of patient disability. Selective Nerve Root Block (SNRB) in the lumbar area is a therapeutic method aimed at alleviating pain from lumbar radiculopathy to reduce disability and surgical needs. SNRB typically employs fluoroscopy but has drawbacks such as radiation exposure. Ultrasonography (USG) has emerged as an alternative offering benefits. This was a randomized single-blind non-inferiority clinical trial conducted at 2 Hospitals. There were 52 subjects, with 26 undergoing SNRB with fluoroscopy guidance and 26 with USG guidance. No baseline characteristic differences were found between the groups in terms of age, gender, BMI, symptom duration, preoperative lumbar level VAS, or ODI (p > 0.05). The study demonstrated significant reductions in VAS scores in both fluoroscopy and USG groups at 30 minutes, 2 weeks, and 12 weeks post-procedure compared to baseline (p < 0.01). However, no significant differences in VAS and ODI were observed between the two guidance methods at any time point (p > 0.05). There was no difference in the reduction of lumbar radicular pain, ODI scores, and complication rates between SNRB procedures guided by fluoroscopy and USG. USG guidance in SNRB proves to be more efficient with shorter duration and equally effective as fluoroscopy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjokorda Agung Yavatrisna Vidyaputra
"Lumbar Degenerative Disc Disease (LDDD) adalah salah satu penyebab utama nyeri punggung bawah pada populasi dewasa. Vitamin D, reseptor vitamin D (VDR), dan aggrecan serum memiliki peran dalam patogenesis degenerasi diskus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara kadar serum vitamin D, reseptor vitamin D, dan aggrecan dengan derajat keparahan LDDD pada populasi dewasa. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan 85 subjek usia dewasa yang didiagnosis LDDD. Kadar serum vitamin D, VDR, dan aggrecan diukur menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Derajat keparahan LDDD ditentukan berdasarkan Klasifikasi Pfirrmann melalui pencitraan MRI. Data dianalisis menggunakan uji statistik Chi-square, ROC, dan korelasi Pearson atau Spearman. Terdapat hubungan signifikan antara kadar vitamin D dengan derajat keparahan LDDD (p=0,01), dengan subjek yang memiliki kadar vitamin D insufisiensi lebih cenderung mengalami LDDD sedang. Sebaliknya, kadar aggrecan menunjukkan hubungan negatif yang signifikan dengan derajat LDDD (p<0,001), di mana kadar aggrecan yang lebih rendah berkorelasi dengan keparahan LDDD yang lebih tinggi. Tidak ditemukan hubungan signifikan antara kadar VDR dan keparahan LDDD (p=0,492). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara kadar vitamin D dan aggrecan serum dengan derajat keparahan LDDD pada populasi dewasa. Kadar aggrecan yang rendah dan insufisiensi vitamin D berhubungan dengan LDDD yang lebih berat, sedangkan VDR tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.

Lumbar Degenerative Disc Disease (LDDD) is a leading cause of low back pain (LBP) in the adult population. Serum vitamin D, vitamin D receptor (VDR), and aggrecan are believed to play roles in the pathogenesis of disc degeneration. This study aims to evaluate the relationship between serum levels of vitamin D, VDR, and aggrecan with the severity of LDDD in adults. A cross-sectional study was conducted with 85 adult subjects diagnosed with LDDD. Serum levels of vitamin D, VDR, and aggrecan were measured using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). The severity of LDDD was graded using the Pfirrmann classification via MRI imaging. Statistical analyses were performed using Chi-square tests, ROC analysis, and Pearson or Spearman correlation. A significant association was found between vitamin D levels and the severity of LDDD (p=0.01), with subjects having insufficient vitamin D levels more likely to experience moderate LDDD. In contrast, aggrecan levels showed a significant negative association with LDDD severity (p<0.001), where lower aggrecan levels correlated with higher LDDD severity. No significant relationship was observed between VDR levels and LDDD severity (p=0.492). This study demonstrates a significant relationship between serum vitamin D and aggrecan levels with the severity of LDDD in adults. Low aggrecan levels and vitamin D insufficiency are associated with more severe LDDD, while VDR levels showed no significant association."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Sakti Jiwandono
"Herniasi Nukleus Pulposus (HNP) lumbal adalah kondisi yang disebabkan proses degenerasi dari diskus intervertebralis (DIV) yang sering terjadi pada area lumbal. Kondisi ini dapat berkaitan dengan keluhan nyeri punggung bawah yang mengakibatkan kesakitan dan penurunan dari kualitas hidup pasien. Tindakan Percutaneous Laser Disc Reconstruction (PLDR) adalah tindakan yang diaplikasikan ke jaringan DIV untuk menginduksi proses regenerasi, perbaikan pada diskus yang mengalami kerusakan, dan mengurangi nyeri pada pasien. Studi prospektif cohort ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUD Dr. Moewardi Surakarta, yang melibatkan 21 pasien dengan HNP lumbal. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu menggunakan sampel purposif. Variabel yang dianalisis meliputi Visual Analoque Scale (VAS), Oswestry Disability Index (ODI), PROMIS (Patient-Reported Outcomes Measurement Information System) Global 10, dan Pfirrmann Grading berdaraskan MRI. Studi ini memperoleh persetujuan etik dari Komite Etik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji luaran klinis tindakan PLDR pada pasien HNP Lumbal adalah Uji Mann Whitney (p<0.05) dan Wilcoxon rank test. Evaluasi setelah 3 bulan pasca tindakan PLDR yang diberikan kepada pasien dengan HNP lumbal memberikan perbaikan rasa nyeri berdasarkan skor VAS sebesar 51,3% (rata-rata 7.25±0.68 menjadi 3.67±0.48). Tindakan PLDR juga memberikan perbaikan pada kualitas hidup pasien di mana terdapat perbaikan skor ODI sebesar 58,8% (rata-rata 38.57±7.19 menjadi 15.90±4.84) dan terdapat perbaikan skor SF-36 sampai sebesar 65,1% (rata-rata 46,43±9,64 menjadi 76,67±3,65) pada komponen health change. Evaluasi MRI berdasarkan Pfirrmann Grading menunjukkan adanya penurunan yang signifikan (p<0,05) pasca tindakan PLDR. Evaluasi skor PROMIS didapatkan skor Pain Interference 43.33±5.80 dan Physical function 50.76±2.43 yang menunjukkan skor PROMIS post tindakan PLDR masih belum mencapai nilai maksimal.

Lumbar Nucleus Pulposus Herniation is a common condition caused by the degeneration process of the intervertebral disc in the lumbar area. This condition can be associated with complaints of lower back pain which results in disability and a decrease in the patient's quality of life. Percutaneous Laser Disc Reconstruction (PLDR) is a procedure applied to disc tissue, to induce the regeneration process, repair damaged discs, and reduce pain in patients. This prospective cohort study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and Dr. Moewardi Hospital Surakarta, involving 21 patients with lumbar HNP. Sample selection is based on certain inclusion and exclusion criteria using purposive sampling. Variables analyzed included the Visual Analogue Scale (VAS), Oswestry Disability Index (ODI), PROMIS (Patient-Reported Outcomes Measurement Information System) Global 10, and Pfirrmann Grading.Evaluation after 3 months post PLDR given to patients with lumbar HNP provided an improvement in pain based on the VAS score of 51.3% (average 7.25±0.68 to 3.67±0.48). The PLDR procedure also provided an improvement in the patient's quality of life where there was an improvement in the ODI score of 58.8% (average 38.57±7.19 to 15.90±4.84) ​​and there was an improvement in the SF-36 score of up to 65.1% (average 46.43±9.64 to 76.67±3.65) in the health change component. MRI evaluation based on Pfirrmann Grading showed a significant decrease (p<0.05) after PLDR. PROMIS score evaluation obtained Pain Interference score of 43.33±5.80 and Physical function score of 50.76±2.43, showed that PROMIS score after PLDR had not yet reached the maximum value."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library