Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diana Septiyanti
"Data mengenai luluh paru LP sangat terbatas mencakup karakteristik demografi, status hipertensi pulmoner HP , fungsi paru, kapasitas latihan, akivitas fisis dan kejadian rawat inap berulang. Penelitian ini memiliki desain potong lintang dengan 54 subjek. Echokardiografi dilakukan untuk menyingkirkan terdapatnya kelainan jantung dan menentukan status HP. Subjek kemudian akan menjalani serangkaian prosedur antara lain wawancara, pemeriksaan fisis, uji jalan 6 menit 6MWT , uji fungsi paru dan pemeriksaan darah. Hipertensi pulmoner ditemukan pada 63 subjek dengan mPAP 29,13 13,07 sedangkan 55,9 diantaranya mengalami PH yang berat. Rawat inap berulang terjadi pada 44,4 , sesak napas mMRC >1 , aktivitas fisis, rawat inap berulang, luas lesi, CRP dan tekanan oksigen arteri memiliki hubungan bermakna terhadap status HP. Kadar CRP dan 6MWT merupakan variabel yang paling berhubungan dengan kejadian rawat inap berulang pada LP-HP yang dianalisis dengan analisis multivariat. Echokardiografi sebaiknya dilakukan pada pasien LP. Pasien LP-HP mengalami sesak yang lebih berat, rawat inap berulang, lesi yang lebih luas, kadar CRP lebih tinggi, aktivitas fisis, uji fungsi paru, PaO2 dan indeks massa tubuh yang lebih rendah. Hasil spirometri dan kadar CRPmerupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian rawat inap berulang pada pasien LP-HP melalui analisis multivariat.

We investigated and provided datas about demographyc and clinical characteristics. We also found out the influencing factors of re hospitalization in destroyed lung with pulmonary hypertension patients. This is a cross sectional study involving 54 DL subjects. Echocardiography was performed to rule out cardiac abnormality and to establish their PH status. Subjects performed several procedures such as interview, physical examination, 6 minutes walking test 6MWT , lung function test, and blood tests to obtain all the neede data. Pulmonary hypertension was found in 63 of subjects with mPAP was 29,13 13,07 while 55,9 of DL PH subjects had severe PH. Re hospitalization occured in 44,44 subjects. We analyzed using chi square for categorical data and student t test and found a significant association of PH status in DL subjects with breathlessness by mMRC scale 1, physical activity, re hospitalization, body mass index, FVC, FEV1, FEV1 FVC, spirometry result, extend of lesion, CRP and arterial oxygen pressure. Level of CRP, VEP1 dan 6MWT had the strongest association for DL having PH and rehospitalization by multivariate analysis. Echocardiography should be performed among DL patients. Patients DL who got PH have more breathlessness, re hospitalization and extend of lesion, higher CRP level, lower physical activity, worse lung function test, lower PaO2 and lower BMI. Spirometri result, and CRP level had the strongest association for DL having PH and rehospitalization by multivariate analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasneta Ismail
"ABSTRAK
Latar Belakang: Efusi pleura merupakan masalah yang sering dijumpai oleh dokter paru. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai diagnostik biopsi pleura tertutup dan pleuroskopi pada efusi pleura eksudat serta hubungan karakteristik subjek dan karakteristik penyakit dengan hasil diagnostik.Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien efusi pleura eksudat yang dilakukan tindakan biopsi pleura tertutup atau pleuroskopi. Data diambil dari catatan medis pasien RSUP Persahabatan Jakarta 2013-2015.Hasil : Total 100 subjek yang dibagi menjadi 50 subjek dilakukan biopsi pleura tertutup dan 50 subjek yang dilakukan pleuroskopi. Karakteristik subjek kelompok biopsi pleura tertutup didapatkan 60 laki- laki, rerata usia 48,22 tahun, perokok 58 sedangkan pada kelompok pleuroskopi 52 perempuan, rerata usia 50,66 tahun dan 46 perokok. Nilai diagnostik biopsi pleura tertutup pada efusi pleura eksudat adalah 50 sedangkan nilai diagnostik pleuroskopi lebih tinggi yaitu 82 . Pada kelompok biopsi pleura tertutup secara statistik terdapat perbedaan bermakna antara usia p=0,020 , kadar protein cairan pleura p=0,026 dan karakteristik penyakit p=0,047 terhadap hasil diagnostik.Kesimpulan : Nilai diagnostik pleuroskopi lebih tinggi dibandingkan biopsi pleura tertutup pada pasien efusi pleura eksudat. Usia, kadar protein cairan pleura dan karakteistik penyakit berhubungan dengan hasil diagnostik biopsi pleura tertutup

ABSTRACT
Background Pleural effusion is a common diagnostic dilemma for the pulmonologist. The aim is to obtain the diagnostic value of closed pleural biopsy and pleuroscopy in exudative pleural effusion and the association of subjects characteristic and the characteristic of the disease with the diagnostic yield.Method This is a cross sectional study in patients with exudative pleural effusion which performed closed pleural biopsy and pleuroscopy. Data retrieved from the medical records of Persahabatan hospital from 2013 ndash 2015.Results A total of 100 subjects were divided into 50 subjects that performed closed pleural biopsy and 50 subjects performed pleuroscopy. Characteristics of closed pleural biopsy subjects were 60 male, mean age was 48,22 years and smokers were 58 while characteristics of pleuroscopy subjects, 52 female, mean age 50,66 years and 46 smokers. Closed pleural biopsy has a diagnostic value of 50 and pleuroscopy at 82 . There was a statistically significant relationship between age p 0,020 , pleural fluid protein level and disease characteristic with diagnostic yield of closed pleural biopsy.Conclusion Pleuroscopy has higher diagnostic value than closed pleural biopsy in patients with exudative pleural effusion. Age, pleural fluid protein levels and disease characteristic are associated with diagnostic yield of closed pleural biopsy."
2016
T55657
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Antono
"Latar Belakang: PPOK adalah penyakit yang penting di seluruh dunia baik di negara maju maupun berkembang. Penyapu jalan raya terpajan oleh partikel debu, bioaerosol dan berbagai gas berbahaya. Penelitian ini mengevaluasi prevalens PPOK pada penyapu jalan raya di Jakarta.
Metode : Penelitian potong lintang pada 153 subjek penyapu jalan raya di Jakarta, berusia lebih dari 40 tahun dengan masa kerja lebih dari 2 tahun. Pengumpulan subjek menggunakan metode cluster sampling berdasarkan lokasi kerja daerah kotamadya di Jakarta. Diagnosis PPOK berdasarkan kuesioner COPD Assessment Test CAT, The Modified British Medical Research Council mMRC, pemeriksaan spirometri berdasarkan Pneumobile Project Indonesia dan dilakukan uji bronkodilator bila didapatkan hasil obstruktif.
Hasil : Prevalens PPOK pada penyapu jalan raya di Jakarta adalah 10 dari 153 subjek 6,5 . Enam subjek laki-laki 60 , tidak menggunakan masker 80 , bekerja lebih dari 10 tahun 70 , perokok 60 dan indeks massa tubuh le;25 kg/m2 80. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara usia dan PPOK.

Background: Chronic obstructive pulmonary disease COPD is an important disease worldwide in both high income and low income countries. Dust has been known to increase COPD risk. During sweeping activity, sweepers are exposed to dust. The street sweepers are exposed to dust particles, bioaerosols, and various harmful gases. In this study we evaluates the prevalence of COPD among street sweepers in Jakarta.
Method: This is a cross sectional study among 153 street sweepers in Jakarta, Indonesia with age more than 40 years old with working period more than 2 years. Subjects were collected by cluster sampling method based on working location correlated with Jakarta regional district area. COPD was diagnosed by using questionnaires of COPD Assessment Test CAT, The Modified British Medical Research Council mMRC, spirometry examination based on Pneumobile Project Indonesia, and bronchodilator test if there was obstructive results.
Results A total of 153 subjects was selected for spirometry examination. The prevalence of COPD among street sweepers in Jakarta, Indonesia was 10 of 153 subject 6.5. Six of them were males 60, do not use face mask 80 , working years 10 years 70, smokers 60, and BMI le 25 kg m2 80 .There was a statistically significant relationship between age and COPD p 0,05.
Conclusion Prevalence of COPD among street sweepers in Jakarta is 6.5 . Factor related to the occurrence of COPD is age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atit Puspitasari Dewi
"Latar belakang: Pneumonia menjadi penyebab infeksi tersering yang meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasien kanker paru. Serum procalcitonin (PCT) merupakan penanda hayati yang sering digunakan untuk mendiagnosis infeksi terutama pneumonia. Nilai titik potong kadar PCT untuk mendiagnosis pneumonia pada kanker paru sampai saat ini belum diketahui. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran PCT dalam diagnosis pneumonia pada pasien kanker paru.
Metode: Penelitian uji diagnostik dengan desain potong lintang terhadap pasien kanker paru dan terduga pneumonia di Instalasi Gawat Darurat dan ruang perawatan paru RSUP Persahabatan Jakarta bulan Agustus-Oktober 2018. Pneumonia ditegakkan berdasarkan panduan pneumonia yang dikeluarkan oleh Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pemeriksaan PCT dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar PCT pada kanker paru dengan dan tanpa pneumonia serta dilakukan analisis untuk menentukan titik potong optimal kadar PCT untuk diagnosis pneumonia pada pasien kanker paru dengan menggunakan ROC.
Hasil: Sebanyak 60 pasien kanker paru diikutsertakan. Pasien kanker paru dengan pneumonia sebanyak 31 orang (51,7%) dengan karakteristik laki-laki sebanyak 77,4% dan rerata usia 54,68±10,59 tahun, jenis kanker terbanyak adenokarsinoma (51,6%), stage IV (83,9%), skala tampilan 3 (45,2%), status gizi kurang (45,2%), dan bekas perokok (54,8%). Terdapat perbedaan bermakna median kadar PCT pasien kanker paru dengan pneumonia dibandingkan tanpa pneumonia [1,81 (0,08-200)μg/L berbanding 0,30 (0,05-3,67) μg/L;p<0,001]. Terdapat peningkatan kadar PCT pasien kanker paru dengan metastasis, komponen neuroendokrin, jumlah metastasis ≥ 2, metastasis hepar meskipun hasil ini tidak bermakna secara statistik. Serum PCT berperan lebih baik dibandingkan kadar leukosit dan hitung jenis neutrofil untuk membedakan antara pneumonia dan bukan pneumonia pada pasien kanker paru (p <0,001, p=0,297; p=0,290). Serum PCT memiliki akurasi yang baik dengan AUC 0,829 (IK 95% 0,722-0,935]. Titik potong optimal kadar PCT untuk mendiagnosis pneumonia pada pasien kanker paru adalah 0,65 μg/L dengan sensitivitas 77,4% dan spesifisitas 79,3%.
Kesimpulan: Kadar PCT pada pasien kanker paru dengan pneumonia lebih tinggi dibandingkan tanpa pneumonia. Titik potong optimal kadar PCT untuk diagnosis pneumonia pada kanker paru adalah 0,65 μg/L.

Background: Pneumonia accounts for higher morbidity and mortality than any other infections in lung cancer patients. Procalcitonin (PCT) is a clinical biomarker to diagnose infection including pneumonia. Cut off point to diagnose pneumonia in lung cancer patient still unclear. The study aims to determine the roleof PCT in diagnosing pneumonia in lung cancer patients.
Methods: Diagnostic test with cross sectional design was conducted in lung cancer patients with suspected pneumonia admitted to emergency and pulmonary ward of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August – October 2018. A diagnosis of pneumonia was complying to the guideline provided by the Indonesian Society of Respirology. Serum PCT level (sPCT) between lung cancer patients with and without pneumonia was measured followed by statistical analysis. The optimal sPCT cut off point to diagnose pneumonia in lung cancer was determined using ROC curve.
Result: From sixty patients, lung cancer patients presented with pneumonia was found in 31 patients (51.7%) with mean age 54.68±10.59 yo, which 77.4% were males, 51.6% were adenocarcinomas, 83.9% were stage IV cases, 45.2% were patients with ECOG performance status of 3, 45.2% were underweight and 54.8% were ex-smokers. The sPCT were significantly higher in lung cancer with pneumonia compared to those without pneumonia [1.81 (0.08-200)μg/L vs 0.30 (0.05-3.67) μg/L; p<0.001]. The sPCT were higher in lung cancer accompanied with metastasis, neuroendocrine component, ≥2 metastatic sites and liver metastatic, although these results were not statistically significant. The sPCT showed a better performance in differentiating pneumonia in lung cancer compared to leucocyte count and absolute neutrophil count (p <0.001, p=0.297; p=0.290, respectively). The sPCT showed a good accuracy to diagnose pneumonia in lung cancer with AUC 0.829 (CI 95% 0.722-0.935). The optimal cut off point of sPCT to diagnose pneumonia in lung cancer was 0.65 μg/L with 77.4% sensitivity and 79,3% specificity.
Conclusion: The sPCT was significantly higher in lung cancer with pneumonia than those without pneumonia. The optimal cut off point of sPCT to diagnose pneumonia in lung cancer was 0.65 μg/L.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Hermansyah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit infeksi paru menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk mikosis paru yang disebabkan oleh infeksi, kolonisasi jamur maupun reaksi hipersensitif terhadap jamur. Bronkoskopi sebagai alat diagnostik untuk melihat gambaran lesi endobronkial dan mengambil bahan klinis seperti bronchoalveolar lavage BAL dan bilasan bronkus. Pemeriksaan biakan jamur dari bahan klinis bronkoskopi dapat membantu penegakan diagnosis mikosis paru.Metode: Studi deskriptif potong lintang pada pasien bronkoskopi yang dilakukan pemeriksaan biakan jamur dari BAL dan bilasan bronkus. Jumlah sampel adalah total sampling sejak Januari 2016 sampai dengan Desember 2017. Penelitian dilakukan di SMF Paru RSUP Persahabatan.Hasil: Bahan klinis dari bronkoskopi pada penelitian ini berupa bilasan bronkus sebanyak 67 buah dan BAL sebanyak 21 buah. Dari bahan klinis didapatkan hasil biakan tumbuh jamur sebanyak 35 buah dan tidak tumbuh jamur sebanyak 53 buah.Jenis jamur yang tumbuh adalahCandida sp. dengan spesies terbanyak Candida albicans sebanyak 30 isolat, Candida parapsilosis sebanyak 3 isolat, serta spesies Candida glabratadanCandida tropicalis masing-masing sebanyak 1 isolat.Kesimpulan: Bahan bronkoskopi BAL dan bilasan bronkus dapat digunakan untuk pemeriksaan biakan jamur.Kata Kunci: biakan jamur, bronkoskopi, bronchoalveolar lavage, bilasan bronkus.
Background: ABSTRACT
Lung infection diseases become health main problem in Indonesia, including lung mycosis caused by infection, fungal colonization or hypersensitivity reaction against the fungal. Bronchoscopy is used as diagnostic tool to see endobronchial lesion and to gain clinical specimens such as bronchoalveolar lavage BAL and bronchial washing. Fungal culture from clinical specimen of bronchoscopy can help diagnosing lung mycosis.Method: Cross sectional descriptive study of bronchoscopy patients with fungal culture assay from BAL and bronchial washing. Total sample is total sampling from January 2016 to December 2017. The study is in Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Persahabatan Hospital, JakartaResult: Clinical specimens from bronchoscopy in this study are 67 samples of bronchial washing and 21 samples of BAL. There are positive fungal growth in 35 samples and no fungal growth in 53 samples.All growing fungal come from Candida sp. with most species come from Candida albicans 30 isolates, followed by Candida parapsilosis 3 isolates, Candida glabrata and Candida tropicalis each one 1 isolate.Conclusion: Bronchoscopy samples of BAL and bronchial washing can be used forfungal culture assay examination."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Prawira Putra
"Latar Belakang: Bronkoskopi adalah prosedur yang umum digunakan sebagai tindakan membantu penegakkan diagnosis kasus tumor paru. Hipoksemia disebut sebagai salah satu komplikasi yang sering terjadi pada bronkoskopi diagnostik oleh karena itu diperlukan data untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dan dampak klinis yang ditimbulkan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien tumor paru yang menjalani bronkoskopi diagnostik dan dilakukan selamaJanuari-April 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Respirasi Nasional (RSUPRRN) Persahabatan Jakarta. Total 195 pasien diikutsertakan dan dilakukan pengamatan terhadap nilai saturasi oksigen pada tahap premedikasi, durante, pascatindakan. Hipoksemia adalah subjek dengan saturasi oksigen<90% dan diamati berbagai faktor yang dianggap berpengaruh dan dampak klinis yang terjadi.
Hasil:Jumlah kejadian hipoksemia pada bronkoskopi diagnostik sebanyak 40 kasus (20,5%). Waktu kejadian hipoksemia paling banyak pada tahap durante tindakan (20%) dengan median lama hipoksemia berlangsung 15 detik. Proporsi waktu muncul hipoksemia terjadi paling banyak pada 10 menit pertama tindakan (11,3%). Faktor demografi yang bermakna terhadap kejadian hipoksemia adalah jenis kelamin (p=0,04) dan riwayat merokok (p=0,005). Faktor yang dianggap berpengaruh dan memiliki hubungan bermakna dengan kejadian hipoksemia antara lain lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi (p<0,05). Total 5 pasien dirawat pascatindakan di ruang intensif dan tidak ada kasus kematian yang dilaporkan.
Kesimpulan: Penelitian ini mendapatkan jenis kelamin, riwayat merokok, lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian hipoksemia pada tindakan bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru. Hipoksemia yang muncul pada bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru tidak menimbulkan dampak klinis yang fatal seperti kematian pada penelitian ini.

Background: Bronchoscopy is a commonly medical procedure perfomed for diagnose lung tumor cases. Hypoxemia often appear as complication related diagnostic bronchoscopy. Therefore, there is a need of research data to knowing related factors and clinical consequences may occur ahead.
Methods:Design of this study is cross sectional with suspicion lung malignancy population who undergoing diagnostic bronchoscopy from January until april 2019 at National Respiratory Center Persahabatan General Hospital Jakarta. Total 195 consecutive patients participated dan observed for oxygen saturation in premedication, during and post-bronchoscopy. Hypoxemia was defined as an desaturation <90% and reviewed several related factor and clinical consequences may appear
Results:Total hypoxemia events on diagnostic bronchoscopy was 40 cases (20,5%). The most frequent occurrence hypoxemia time is during bronchoscopy (20%) with median duration of hypoxemia is 15 seconds. The proportion of time appears hypoxemia is commonly in first 10 minutes bronchoscopy (11,3%). Demographic factors like gender and smoking history are statistically significant with hypoxemia events (p=0,04 & p=0,005). Other factors may have relation dan statiscally significant are duration of procedure and procedure with complication (p<0,05). Total 5 cases observed in intensive care unit after procedure and no death event have reported in this study
Conclusion:This study suggested gender, smoking history, duration of procedure and procedure with complication were related factors with hypoxemic events in lung tumor cases undergoing diagnostic bronchoscopy. Hypoxemia related diagnostic bronchoscopy in this study was not rise into fatal event.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fikri Syadzali
"Pendahuluan: Timoma adalah salah satu jenis dari tumor epitel timus yang paling sering ditemukan pada keganasan di mediastinum anterior yaitu sekitar 20% dari keganasan mediastinum. Timoma memiliki angka kejadian antara 0,2 – 1,5% dari seluruh penyakit keganasan. Kemoterapi adalah salah satu penatalaksanaan untuk timoma stage III keatas. Berbagai kombinasi obat kemoterapi dapat diberikan pada pasien timoma dan menunjukkan respon yang baik dari pasien. Paduan cisplatin, doxorubicin, vincristine dan cyclophosphamide (ADOC) adalah salah satu paduan kemoterapi yang digunakan di Indonesia terutama di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan.
Tujuan: Untuk mengetahui efikasi dan toleransi kemoterapi dengan panduan obat cisplatin, doxorubicin, vincristine dan cyclophosphamide (ADOC) pada timoma.
Metode: Analisis observasional kohort retrospektif di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan, Jakarta, Indonesia secara total sampling diperoleh dari Januari 2015 sampai Desember 2019. Kami meninjau rekam medis 118 pasien dengan diagnosis timoma dan 17 rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Sebanyak 17 pasien yang termasuk dalam penelitian ini, laki-laki 47,06% dan perempuan 52,94%. Median usia pasien adalah 50 tahun. Jenis sel A (47,06%) dan stage IVA (64,71%) adalah yang terbanyak. Anemia (11,24%) adalah toksisitas paling sering terjadi pada pasien timoma yang mendapatkan kemoterapi paduan ADOC. Rerata PFS sebesar 22,87±5,01 bulan dengan median 23 bulan. Rerata OS pada pasien timoma yang mendapatkan kemoterapi paduan obat ADOC adalah 26,95±4,88 bulan dengan median 25 bulan (IK 95%; 6,46- 43,55).Overall response rate pada penelitian ini yaitu 35,29% dan clinical response rate 88,23%

Introduction: Thymoma is a major type thymic epithelial tumor in the anterior mediastinum with incidence rate of 0.2–1.5% of all malignancy. Stage III thymoma is considered to receive chemotherapy as main treatment. Various combinations of chemotherapy drugs can be given to thymoma patients and show a good response from patients. Cisplatin, doxorubicin, vincristine, and cyclophosphamide (ADOC) is one of the chemotherapy alloys used in Indonesia, particularly in National Respiratory Referral Hospital Persahabatan.
Aims: To determine the efficacy and tolerance of thymoma chemotherapy using ADOC.
Methods: We performed a retrospective cohort observational analysis in National Respiratory Referral Hospital Persahabatan Jakarta, Indonesia. Subjects by means of total sampling were patients between January 2015 to December 2019. We reviewed the medical records of 118 thymoma patients, of which 17 were met the inclusion criteria.
Results: We included 17 patients, of which consisted of 47.06% males and 52.94% females. The median age of the patient was 50 years old. Cell type A (47.06%) and stage IVA (64.71%) were found in this study. Anemia (11.24%) was the common toxicity in thymoma patients receiving ADOC chemotherapy. The mean progression free survival (PFS) was 22.87 ± 5.01 months with median of 23 months. The mean overall survival in thymoma patients receiving ADOC drug chemotherapy was 26.95 ± 4.88 months with a median of 25 months (95% CI; 6.46-43.55).The overall response rate in this study was 35.29% and the clinical response rate was quite good at 88.23%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55665
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tetra Arya Saputra
"Latar Belakang: Pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19) dihubungkan dengan peningkatan kejadian gangguan psikiatri. Tenaga kesehatan sebagai barisan terdepan dalam penanganan pasien COVID-19 memiliki risiko tinggi untuk mengalami gangguan cemas. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gangguan cemas pada tenaga kesehatan saat pandemi COVID-19 di RSUP Persahabatan dan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Desain penelitian ini adalah studi deskriptif potong lintang dengan melakukan wawancara kepada dokter dan perawat yang bertugas di ruang perawatan COVID-19 serta memenuhi kriteria inklusi. Penelitian ini menggunakan Instrumen Penilaian Gangguan Jiwa MINI ICD-10 (Mini International Neuropsychiatric Interview Version ICD-10), kuesioner PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index) dan kuesioner peristiwa hidup Holmes-Rahe. Penelitian dilakukan pada periode Januari-Oktober 2021 dengan Teknik pengambilan sampel secara consecutive sampling sampai seluruh sampel tercakup dalam penelitian.
Hasil: Didapatkan 106 subjek penelitian dengan rerata usia adalah 30,57±4,8 tahun. Terdiri dari 34 orang dokter dan 72 perawat. Jumlah subjek yang mengalami gangguan cemas sebanyak 23 orang (22%). Jenis gangguan cemas yaitu agorafobia (10,4%), gangguan panik (5,7%), sosialfobia (4,7%), gangguan obsesif kompulsif (0,9%), gangguan cemas menyeluruh (9,4%) dan stres pasca trauma (0,9%). Berdasarkan analisis bivariat didapatkan hubungan bermakna antara pekerjaan dengan gangguan cemas (p=0,025) namun tidak didapatkan hubungan bermakna antara peristiwa hidup dengan gangguan cemas. Analisis multivariat didapatkan faktor-faktor yang memengaruhi gangguan cemas pada tenaga kesehatan di masa pandemi COVID-19 adalah ruang perawatan dan komorbid.
Kesimpulan: Prorporsi gangguan cemas pada tenaga kesehatan yang bekerja di ruang perawatan COVID-19 di RSUP Persahabatan adalah 22% dengan jenis gangguan cemas terbanyak adalah agorafobia. Faktor-faktor yang memengaruhi gangguan cemas yaitu ruang perawatan dan komorbid.

Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) pandemic associated with an increased incidence of psychiatric disorder. Healthcare workers as a frontliner in caring COVID-19 patients have a high risk experiencing anxiety disorder. The aim of study is to determine the proportion of anxiety disorder in healthcare workers during COVDI-19 pandemic in RSUP Hospital and influencing factor.
Methods: The design of study was descriptive cross sectional study with interview to doctor and nurse who discharge in COVID-19 ward and met the inclusion criteria of the study. This study used questionnaire MINI ICD-10 (Mini International Neuropsychiatric Interview Version ICD-10) questionnaire, PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index) questionnaire, and Holmes-Rahe questionnaire. The research was conducted from January to October 2021 with convenience sampling. The data was processed using SPSS 25 for statistic test.
Results: Total subject 106 were recruited in this study with the mean age was 30,57±4,8 years old. Subject were of 34 doctors and 72 nurses. There were 23 subject (22%) experienced anxiety disorders. The types of anxiety disorders were agoraphobia (10,4%) panic disorder (5,7%), social phobia (4,7%), obsessive compulsive disorder (0,9%), general anxiety disorder (9,4%). Based on bivariate analysis, there was a significant association between health care workers with anxiety disorder (p=0.025) but there was no significant association between life event with anxiety disorder. The multivariate analysis that the influencing factors of anxiety disorder in medical healthcare workers during COVID-19 pandemic were working unit and comorbidities.
Conclusion: The proportion of anxiety disorder in healthcare workers during COVID-19 pandemic in RSUP Persahabatan was 22% with the most type of anxiety disorder is agoraphobia. The influencing factor of anxiety disorder were working unit and comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Guntoro
"Latar belakang: Kontak erat dalam rumah tangga dengan penderita tuberkulosis yang resistan terhadap obat mempunyai risiko tinggi tertular tuberkulosis. Infeksi tuberkulosis laten adalah suatu keadaan tertular tuberkulosis tetapi tidak menunjukkan gejala. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi infeksi tuberkulosis laten pada masyarakat yang melakukan kontak serumah dengan penderita tuberkulosis resistan obat, mengetahui karakteristik orang yang tertular tuberkulosis laten, hubungan faktor risiko tuberkulosis laten dan hubungan total limfosit dengan IGRA.
Metode: Subjek adalah mereka yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah subjek yang berusia lebih dari 18 tahun dan kriteria eksklusi adalah subjek yang tidak terdiagnosis tuberkulosis aktif, riwayat tuberkulosis dan imunokompromais. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan desain cross-sectional dengan periode pengambilan sampel dilakukan antara bulan April sampai dengan September 2022. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan hitung limfosit total dan IGRA. Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan bukti radiologis tuberkulosis aktif.
Hasil: Sebanyak 85 subjek memenuhi kriteria inklusi dengan karakteristik jenis kelamin perempuan (67,1%), kelompok usia ≤ 60 tahun (92,9%) dengan rerata usia 44 tahun, tidak bekerja (41,2%), tidak merokok (72,9%), hasil foto toraks normal (84,7%) dan indeks massa tubuh normal (74,1%). Didapatkan proporsi pemeriksaan IGRA yaitu sebesar 57 (67,1%) subjek dengan menggunakan metode QIAreach QFT. Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, gambaran foto toraks, indeks massa tubuh dan hitung limfosit total terhadap IGRA.
Kesimpulan: Proporsi tinggi tuberkulosis laten dengan menggunakan IGRA pada orang yang kontak serumah dengan pasien TB resistan obat di RSUP Persahabatan. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi terhadap IGRA.

Background: Close household contact with drug-resistant tuberculosis patient has a high risk to be infected by tuberculosis. Latent tuberculosis infection is a condition where you are infected with tuberculosis but do not show symptoms. The aim of this study was to determine the proportion of latent tuberculosis infection in people who have household contact with drug-resistant tuberculosis sufferers; to determine the characteristics of people infected with latent tuberculosis; and the relationship between risk factors for latent tuberculosis and the relationship between total lymphocytes and IGRA.
Method: Subjects were those who met the inclusion and exclusion criteria. The inclusion criteria were subjects aged more than 18 years and the exclusion criteria were subjects who were not diagnosed with active tuberculosis, had a history of tuberculosis, and were immunocompromised. This research is a descriptive observational study with a cross-sectional design. The subject collecting period is between April and September 2022. Blood samples were taken for the analysis of total lymphocyes and IGRA. Evaluation was performed with a chest x-ray to exclude radiological evidence for active tuberculosis.
Results: A total of 85 subjects met the inclusion criteria with women (67.1%) predominantly. The age characteristics of the subjects showed an average age of 44 years with the majority of subjects being in the age group ≤ 60 years (92.9%). The other characteristics showed subjects who were not working (41.2%), do not smoking (72 .9%), normal chest x-ray results (84.7%), and have normal body mass index (74.1%). The proportion of IGRA examinations obtained was 57 (67.1%) subjects positive for ITBL using the QIAreach QFT method. The results of bivariate and multivariate analysis showed that there were no differences between risk factors such as gender, age, chest x-ray, body mass index and total lymphocytes count on IGRA.
Conclusion: There is a high proportion of latent tuberculosis using IGRA in people who have household contact with drug-resistant TB patients at Persahabatan Hospital. There is no statistically significant differences between the factors influencing IGRA results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rania Imaniar
"Latar belakang: Asma dan PPOK merupakan dua penyakit berbeda. Beberapa kelompok pasien, terutama perokok dan usia tua seringkali memiliki gambaran klinis yang mirip dengan asma dan PPOK sehingga diagnosis sulit ditegakkan. Hal ini telah memunculkan suatu entitas klinis baru yang disebut STAP.
Tujuan: Mengetahui prevalens dan karakteristik STAP pada pasien asma dan PPOK di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian menggunakan studi potong lintang, dilakukan di Poli Asma-PPOK RSUP Persahabatan Jakarta pada Maret-Agustus 2018. Kriteria GINA/GOLD 2017 yang dimodifikasi digunakan untuk mendiagnosis STAP.Pasien didiagnosis STAP apabila memiliki minimal tiga karakteristik klinis yang mendukung asma dan PPOK.
Hasil:Penelitian melibatkan 60 subjek. Prevalens STAP didapatkan 58,3%. Sebanyak 51,4% pasien STAP memiliki jenis kelamin perempuan, 65,7% tidak bekerja, 65,7% berpendidikan tinggi, 54,3% memiliki riwayat merokok dengan median indeks Brinkman 0,5 (0-1536) dan memiliki rerata IMT 24,9±3,8 kg/m2. Satu tahun terakhir, median eksaserbasi kelompok STAP adalah 1 (0-10) kali dan median rawat inap di RS adalah 0 (0-1) kali.Uji provokasi bronkus positif ditemukan pada 97,1% pasien STAP.
Kesimpulan: Prevalens STAP pada penelitian ini sebesar 58,3%. Kebanyakan pasien STAP adalah perempuan, tidak bekerja, berpendidikan tinggi, memiliki riwayat merokok, indeks Brinkmann yang rendah, IMT normaldan memiliki uji bronkodilator yang positif.

Asthma and COPD are two different diseases. Some patients, in particular smokers and elderly patients, often have overlapping clinical features of asthma and COPD so that the diagnosis is difficult to establish. This has led to a new clinical entity called ACOS.
Objectives: To determine the prevalence and characteristics of ACOS in patients with asthma and COPD.
Methods: This study was a cross sectional study conducted at Asthma-COPD Polyclinic of Persahabatan Hospital, Jakarta in March-August 2018. ACOS diagnosis was made using the modified 2017 GINA / GOLD criteria. Patients are diagnosed with ACOS if they have at least three clinical characteristics that support asthma and COPD.
Results: The study involved 60 subjects. ACOS prevalence was 58.3%.51.4% of ACOS patients were female, 65,7% did not work, 65,7% were highly educated, 54,3% had a history of smoking with  median Brinkman index 0.5 (0-1536) and had mean BMI of 24,9±3.8 kg/m2.In the past year, median exacerbation of the ACOS group was 1 (0-10) time and median hospitalization was 0 (0-1) times. Positive bronchial challenge test found in 97,1% ACOS patients.
Conclusion: ACOS prevalence in this study was 58,3%. Most of ACOS patients are female, unemployed, highly educated, had history of smoking, low Brinkmann index, normal BMI, had complaint of shortness of breath and had positive bronchial challenge test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>