Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Danasha Utomo
"B-type natriuretic peptide(BNP), merupakan suatu bagian dari keluarga peptida natriuretik yang diproduksi oleh kardiak miosit dan disekreksi ke sirkulasi dalam merespon adanya peningkatan volume intrakardiakyangmenyebabkan diuresis, natriuresis dan vasodilatasi, juga menghambat sistem renin-angiotensin- aldosteron dan aktivitas simpatik. Anak dengan kelainan jantung bawaan akan terjadi peningkatan volumedan tekanan intrakardiaak yang signifikan sehingga diikuti peningkatan NT-proBNPdi sirkulasi.NilaiNT-proBNP akan meningkat pada awal kehidupan dan mulai turun secara drastissetelahnya.Malnutrisi merupakan penyebab morbiditas yang utama pada anak dengan penyakit jantung bawaan.
Penelitian cross sectional observasional dengan jumlah 80 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang akan menjalani operasi bedah jantung terbuka di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dan yang akan menjalani pemeriksaan darah rutin dan direncanakan operasidi Rumah Sakit Ibu dan Anak Harapan kita pada bulan Februari - Mei 2019. Data pasien berupa data karakteristik demografis (usia, jenis kelamin, berat badandan tinggi badan) dan diagnostik pasien dicatat. Kadar NT-proBNP akan diambil prabedah. Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney.
Data nilai NT-proBNP pada pasien tanpa penyakit jantung bawaan sesuai rentang usia > 1bulan - <1 tahun dengan nilai tengah 142,5 pg/mL ( 49-935 pg/mL), >1 tahun - £2 tahun dengan nilai tengah 142 pg/mL ( 44-545 pg/mL) dan >2 tahun - £7 dengan nilai tengah 70 pg/mL ( 14-1440 pg/mL). Sedangkan nilai NT-pro BNP pasien dengan penyakit jantung bawaan dengan nilai tengah 2558, nilai terendah 426 pg/mL dan nilai tertinggi 33166 pg/mL. Hasilnya terdapat perbedaan bermakna (p = 0,001) nilai NT-pro BNP pada pasien tanpa penyakit jantung bawaan dan pasien dengan penyakit jantung bawaan.
Terjadi peningkatan nilai tengah kadar NT-pro BNP > 20 kali antara anak tanpa penyakit jantung bawaan dan anak dengan penyakit jantung bawaan.Terdapat perbedaan yang bermakna kadar NT-pro BNP pada subjek tanpa penyakit jantung bawaan dan dengan penyakit jantung bawaan. Terjadi peningkatan kadar NT- pro BNP pada bayi baru lahir dan akan menurun seiring bertambah nya usia. Proporsi gangguan status gizi pada pasien dengan penyakit jantung bawaan mengalami peningkatan.

B-type natriuretic peptide (BNP), a member of the natriuretic peptide family, is produced in cardiac myocytes and secreted into circulation in response to cardiac volume load, that causing diuresis, natriuresis and vasodilatation, as well as inhibition of the renin-aldosteron system and sympathetic activity. Children with heart disease caused increase pressure and cardiac volume followed by elevated NT-proBNP in circulation. NT-proBNP levels were significantly elevated in the first days of life and gradually decresed into normal level in child without heart disease. Malnutrition was the cause of morbidity for child with congenital heart disease.
We conducted a cross-sectional trial on 80 subjects who are fulfilled our study criteria. The study was performed at the National Cardiovascular Centre Harapan Kita and Mother and Child Hospital Harapan Kita Indonesia, in the period of February-Mei 2019. Subjects demographic data (age, gender, weight and height) and diagnoastic data were recorded. Levels of NT-proBNP were acquired presurgically. We utilized Mann - Whitney test to analysed the data.
NT-ProBNP levels data was observed from child without heart disease based on interval of age> 1month -£1 year with median value 142,5 pg/mL ( 49-935 pg/mL), >1 month -£2 year with median value 142 pg/mL ( 44-545 pg/mL) and >2 year - £7 year with median value 70 pg/ml ( 14-1440 pg/mL). Whereas NT-proBNP levels from child with heart disease median value 2558 pg/mL, minimum levels 426 pg/mL and maximum levels 33166 pg/ml. Statistically significant was observed (p=0,001) between NT-proBNP level of child without heart disease and child with heart disease.
There were 20 x times significantly increase levels of NT-proBNP of child with heart disease. There was statistically significant of levels NT-proBNP between child without heart disease and with heart disease. Study show high levels of NT-proBNP immediately after birth and gradually decline during childhood. The proportion of undernourished of child with congenital heart disease showed higher.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brilliant
"Latar belakang: DSV (Defek Septum Ventrikel) adalah satu dari banyak kasus penyakit jantung bawaan dengan angka 2,6 per 1000 kelahiran di Dunia. Salah satu komplikasi DSV yang sering ditemukan adalah DSV dengan hipertensi pulmonal. Diagnosis intervensi terhadap hipertensi arteri pulmonal menjadi perhatian pada 2-10% kasus DSV, sehingga pasien DSV yang bermanifestasi hipertensi pulmonal dilakukan pemeriksaan kateterisasi. Pasien usia 6 bulan menjadi pedoman batas usia untuk dilakukan kateterisasi di RSPJDNHK (Rumahsakit Pusat Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita). Sehingga antrean operasi menjadi lebih lama. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh usia terhadap nilai PARi pascates oksigen dan mencari kelompok usia yang tidak memiliki hasil nonreaktif terhadap tes oksigen.
Metode: Dilakukan studi Observasional retrospektif pada pasien DSV usia di bawah 5 tahun di RSPJDNHK tahun 2015 - 2020. Pengumpulan data melalui rekam medis pasien di divisi bedah jantung pediatrik RSPJDNHK. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan perhitungan besar sampel mengikuti perhitungan besar sampel untuk uji komparatif numerik lebih dari dua kelompok dengan satu kali pengukuran. Analisis deskriptif dan analisis bivariat dilakukan dengan bantuan SPSS v 20.0.
Hasil: Terdapat 178 sampel penelitian pada penelitian ini. Dari hasil penelitian diketahui bahwa usia berpengaruh atau berhubungan dengan nilai PARi pascates oksigen (p<0,05) pada pasien DSV usia di bawah 5 tahun.
Simpulan: Terdapat hubungan usia dengan nilai PARi pascates oksigen dan usia ≤2 tahun memiliki nilai mutlak reaktif terhadap tes oksigen.

Background: Ventricular Septal Defect (VSD) is one of the many cases of congenital heart disease with a rate of 2.6 per 1000 births in the world. One of the complications of VSD is pulmonary hypertension, with the prevalence of interventional diagnosis of pulmonary hypertension is about 2 – 10 % of VSD. Those who manifest pulmonary hypertension are undergone right heart catheterization. Patients aged six months are the limit for catheterization in National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital leads to a long waiting list. The study aimed to determine the effect on the PARi value of oxygen delivery and find age groups that have reactive results on oxygen tests.
Methods: A retrospective crossectional study was carried out in the pediatric cardiac surgery division of the National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital. Data were taken from the medical record, enrolling those treated from January 2015 to December 2020 with subjects under five years old with VSD pulmonary hypertension who underwent cardiac catheterization. Samples were taken randomly by calculating the sample size following the sample size calculation for the comparative numerical test of more than two groups with one measurement. Descriptive analysis and bivariate analysis were carried out using SPSS v 20.0.
Results: There were 178 subjects enrolled in this study. The age correlated to the post-oxygen test PARi value (p<0.05) on VSD patients under five years of age.
Conclusions: This study showed that age correlated to the PARi value after oxygen test, and age ≤2 years old has absolute reactive value to oxygen test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizal Irawan
"

Latar belakang: Bovine jugular vein (BJV) conduit telah menggantikan fungsi homograft untuk prosedur operasi rekonstruksi right ventricle outflow tract (RVOT). Penelitan ini bertujuan melihat kesintasan jangka panjang pasien yang dilakukan rekonstruksi RVOT menggunakan BJV conduit. Metode: Total 58 BJV conduit yang dimplantasi di satu pusat jantung pada tahun 2010 hingga 2016. Karakteristik pasien serta evaluasi ekokardiografi didapatkan dari rekam medis. Peneliti melakukan analisa kesintasan terhadap luaran kardiovaskular yang terjadi. Luaran kardiovaskular berupa stenosis, regurgitasi, endokarditis serta operasi ulang. Hasil: Kesintasan selama tujuh tahun, pasien usia dibawah 24 bulan dan diatas 24 bulan terhadap luaran kardiovaskular sebesar 74,1% dan 87,1%. Usia subjek dibawah 24 bulan meningkatkan risiko terjadinya luaran kardiovaskular sebesar 1,18 kali. Kesintasan selama tujuh tahun terhadap luaran kardiovaskular untuk BJV conduit ukuran 12-14 mm dan 16-22 mm adalah 77%, dan 87%. Penggunaan ukuran 12-14 mm BJV conduit, meningkatkan kejadian luaran kardiovaskular sebanyak 1,13 kali. Kesimpulan: Usia dibawah 24 bulan dan penggunaan ukuran BJV conduit 12-14 mm yang meningkatkan risiko terjadinya luaran kardiovaskular, maka perlu dipertimbangkan operasi paliatif pada pasien agar dapat menggunakan BJV conduit yang lebih besar dikemudian hari.


Backgrounds: Bovine jugular Vein (BJV) conduit have replaced homograft function for right ventricle outflow tract (RVOT) reconstruction. This study purpose was to study long-term survival patient who undergo RVOT reconstruction with BJV conduit. Method: A total of 58 BJV conduit implanted in one heart center in 2010 until 2016. We gathered subject characteristic and echocardiography findings from medical record. We performed survival analysis based on cardiovascular events as the outcome which were stenosis, regurgitation, infective endocarditis, and re-operation. Result: The seven-year cardiovascular events were: patients less than 24 mo (74,1%), more than 24 mo (87,1%), BJV 12-14 mm in diameter (77%), 16-22 mm (87%). Age less than 24 mo and BJV conduit 12-14 mm in diameter increase risk of cardiovascular events 1,18 times and 1,13 times. Conclusion: Age less than 24 mo and BJV conduit 12-14 mm in diameter increasing risk of cardiovascular events. Thus, palliative surgery needs to be considered, allowing the use of conduit with a larger diameter. 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T57660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Lokita Pradnyana Putra
"Latar belakang : Perdarahan merupakan salah satu komplikasi tersering pascaoperasi katup jantung. Asam traneksamat merupakan golongan antifibrinolitik umum yang digunakan untuk menurunkan jumlah perdarahan pascaoperasi katup jantung. Secara teori, rute pemberian topikal mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan secara sistemik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi asam traneksamat topikal terhadap jumlah perdarahan dan kebutuhan transfusi darah pascaoperasi katup jantung. 
Metode : Penelitian ini bersifat uji klinis acak terkendali tersamar ganda. Pasien dibagi menjadi kedua kelompok dengan jumlah yang sama, kelompok plasebo (n = 22) dan kelompok perlakuan dengan asam traneksamat (n = 22). Pada kelompok perlakuan, sebanyak 5 gram asam traneksamat dilarutkan dalam 50 mL NaCL 0,9% dan diberikan pada saat mesin jantung paru dihentikan dan saat penutupan sternum. Uji normalitas data dianalisa menggunakan uji Saphiro Wilk, sementara untuk hasil keluaran klinis dan kebutuhan transfusi pascaoperasi menggunakan uji T independen dan Uji Mann Whitney. 
Hasil: Dari penelitian ini didapatkan jumlah perdarahan inisial pascaoperasi kelompok perlakuan lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok plasebo, namun secara statistik tidak bermakna. (kelompok perlakuan 52,5 (5-230) vs kelompok plasebo (37,5 (10-160), p = 0,301). Secara keseluruhan, pada kelompok perlakuan, total jumlah perdarahan 48 jam pascaoperasi lebih sedikit dibandingkan kelompok plasebo (p = 0,438). Kebutuhan transfusi PRC pascaoperasi kelompok perlakuan lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok plasebo, namun secara statistik tidak bermakna (kelompok perlakuan 481,82 ± 372,51 vs kelompok plasebo 543,27 ± 421,11, p = 0,611). Kelompok plasebo merupakan kelompok dengan jumlah kebutuhan transfusi FFP dan trombosit terbanyak (TC p = 0 ,750; FFP p = 0,434). Kebutuhan transfusi kriopresipitat pada kelompok perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan kelompok plasebo (median kelompok perlakuan 0 (0-327) vs median kelompok plasebo 0 (0-192), p = 0,962). 
Simpulan: Pada penelitian ini, aplikasi asam traneksamat topikal tidak memberikan efek yang bermakna dibandingkan plasebo dalam menurunkan jumlah perdarahan dan kebutuhan transfusi pascaoperasi katup jantung. 

Background: Postoperative bleeding is one of the significant complications in heart valve surgery. Tranexamic acid is a well-known antifibrinolytic drug to reduce postoperative blood loss. Theoretically, the topical application of tranexamic acid provides a better effect than systemic application. This study aims to examine the effect of the topical tranexamic acid application on postoperative bleeding and blood product transfusion after heart valve surgery.
Method: This study was a double-blinded, placebo-controlled, randomized clinical trial. Samples were divided equally into two main groups, the placebo group (n = 22) and the tranexamic acid group (n = 22). Five grams of tranexamic acid were diluted in 50 mL of 0.9% NaCL and was administered after CPB and before sternum closure. The Saphiro-Wilk test was used for analyzing data normality, while clinical outcome and transfusion requirements data were evaluated by the Independent T-test and Mann-Whitney test. 
Result: The initial amount of postoperative bleeding in the tranexamic acid group is greater in comparison of placebo group, however it shows no statistical significance (tranexamic acid 52.5 (5-230) vs. placebo (37.5 (10-160), p = 0.301). Overall, the total of postoperative bleeding within the first 48-hour in the tranexamic acid group is fewer than the placebo group (p = 0.438). PRC transfusion required in the tranexamic acid group is fewer than the placebo group but shows no significance (tranexamic acid 481.82 ± 372.51 vs. placebo 543.27 ± 421.11, p = 0.611). It was found that the placebo group requires the most FFP and thrombocyte transfusion count (TC p = 0 .750; FFP p = 0.434). The need for cryoprecipitate transfusion in the tranexamic acid group is greater than the placebo group (tranexamic acid median 0 (0-327) vs. placebo median 0 (0-192), p = 0.962). 
Conclusion: In this study, the topical tranexamic acid application does not provide significant results compared to placebo group in reducing both postoperative bleeding and blood product transfusion after heart valve surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Primayudha Dirgatama
"Latar Belakang: Salah satu tata laksana revaskularisasi pada Penyakit jantung koroner (PJK) adalah bedah pintas arteri koroner (BPAK). Salah satu teknik BPAK menggunakan mesin pintas jantung paru (PJP) yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi sehingga terjadi penurunan tahanan vaskular sistemik (TVS) sehingga meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Glutamin adalah asam amino non esensial yang dapat menjadi esensial kondisional pada keadaan kritis dan memiliki peran membantu regulasi tonus endotel.
Metodologi: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan desain penelitian kohort retrospektif. Sampel dipilih secara metode consecutive sampling dan metode randomisasi blok. Variabel-variabel yang diperiksa dilakukan uji normalitas. Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan variabel dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik Mann-Whitney test.
Hasil: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian glutamin preoperasi pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK mengalami penurunan TVS pada jam keenam pascaoperasi (p = 0,04) namun mengalami peningkatan curah jantung pada jam keenam (p = 0,015). Hasil pada jam ke-24 TVS pascaoperasi juga mengalami penurunan namun terlihat signifikan bila melihat faktor perancu -844,9+27,8 (ejeksi fraksi praoperasi)+0,4 (Kadar Glutamin Praoperasi)+14 (Umur) Adjusted R square = 21,9%. Curah jantung jam ke-24 pascaoperasi mengalami peningkatan secara signifikan tanpa melihat variabel perancu (p = 0,037) maupun dengan melihat variabel perancu umur (p = 0,003) dan FE praoprasi (p = 0,006) (adjusted r quare = 23,6%).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi menyebabkan penurunan TVS disertai dengan peningkatan curah jantung pada pemantauan jam keenam dan jam ke-24.

Background: Coronary Artery Bypass Graft (CABG) is one of revascularization treatment in coronary artery disease patient. The most common CABG technique uses a cardiopulmonary bypass (CPB) machine which can cause an inflammatory reaction resulting in a decrease in systemic vascular resistance (SVR) thereby increasing mortality and morbidity. Glutamine is a non-essential amino acid that can become conditionally essential in critical situations such as systemic inflammatory respose syndrome (SIRS) and has a role in assisting the regulation of endothelial tone.
Methods: This study is an analytic observational study with a retrospective cohort study design. Samples were selected by consecutive sampling method and block randomization method. The variables examined were tested for normality. Variables with normal distribution were analyzed statistically by independent t-test, while variables with abnormal distribution were analyzed by Mann-Whitney test. Each confounding variables then put together and analyzed statistically with multivariate approach.
Results: Based on the results of the study, it can be concluded that preoperative administration of glutamine in patients with coronary heart disease with low ejection fraction (EF) who underwent CABG experienced a decrease in SVR at the sixth postoperative hour (p = 0.04) but increased cardiac output at the sixth hour (p = 0.015). The results at 24 hours postoperative also shows decreased SVR but were significant when looking at its confounding factors for preoperative EF (p = 0.001), preoperative glutamine levels (p = 0.01), and age (p = 0.013) (adjusted r square = 21.9%). Cardiac output at 24 hours postoperatively increased significantly regardless of confounding variables (p = 0.037) or by looking at its confounding factor; age (p = 0.003) and preoperative EF (p = 0.006) (adjusted r square = 23.6%).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can decrease SVR and increase cardiac output in 6 hours and 24 hours observation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Indra Hakim
"Latar belakang: Prosedur Fontan merupakan prosedur paliatif pada penyakit jantung bawaan univentrikel atau pada penyakit jantung bawaan dengan struktur intra kardiak yang kompleks yang tidak dapat reparasi secara biventrikel. Usia tua saat dilakukan prosedur Fontan memengaruhi kesintasan pascaoperasi. Berdasarkan basis data bedah jantung pediatrik Rumah sakit pusat jantung nasional harapan kita (RSPJNHK) di Indonesia, sebagian besar pasien yang manjalani prosedur Fontan berada pada usia tua. Dengan mengetahui faktor risiko yang memengaruhi keluaran pascaoperasi jangka pendek pada pasien usia tua diharapkan dapat menurunkan lama rawat, komplikasi, dan mortalitas, serta meningkatkan kesintasan pascaoperasi Fontan.
Metodologi: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif berdasarkan pada pasien usia tua yang telah menjalani operasi Fontan  pada periode 2017-2021. Variabel yang dinilai antara lain fungsi ventrikel, rasio McGoon, indeks resistensi arteri pulmonalis, gradient transpulmonalis, lama penggunaan mesin jantung paru, penggunaan klem silang aorta, dan tekanan sirkulasi Fontan terhadap lama rawat, mortalitas, dan komplikasi pasca operasi.
Hasil: Hasil penelitian terdapat total 93 anak diatas enam tahun yang menjalani operasi Fontan; usia 10,2 ± 4,6, laki-laki 43(46,2%) dan perempuan 50(53,8%), tidak didapatkan hubungan antara variable penelitian terhadap lama rawat.  Terdapat hubungan antara rasio McGoon (p = 0,011) terhadap kejadian mortalitas dini. Komplikasi pasca operasi lebih tinggi pada kelompok dengan indeks resistensi arteri pulmonalis >2 WU(70,6%) dibanding <2 WU( 40,7%) (p = 0,008) OR 0,22(0,73-0,68), dan pada kelompok dengan rasio McGoon <1,8(78,8%) dibanding >1,8(78,8%) ( p = 0,002) OR 0,15(0,05-0,48) dan juga didapatkan hubungan lama penggunaan mesin jantung paru (p = 0,003) OR 1,03(1-1,05) terhadap komplikasi secara keseluruhan.
Simpulan: Berdasarkan penelitian beberapa variabel memilki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap keluaran pascaoperasi Fontan pada anak usia diatas 6 tahun. Rasio McGoon memiliki korelasi yang bermakna terhadap mortalitas pascaoperasi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara variable penelitian dengan lama rawat pascaoperasi. Indeks resistensi arteri pulmonalis >2 WU, rasio McGoon  < 1,8, dan lama penggunaan mesin jantung paru memiliki hubungan yang bermakna terhadap komplikasi pascaoperasi.

Background: The Fontan procedure is a palliative procedure in univentricular congenital heart disease or in congenital heart disease with complex intracardiac structures that cannot be repaired biventricularly. Older age at the time of the Fontan procedure affects postoperative survival. Based on the pediatric cardiac surgery database at the Harapan Kita National Cardiovascular Center Hospital in Indonesia, most of the patients undergoing the Fontan procedure are of old age. Knowing the risk factors that affect short-term postoperative outcomes in older patients is expected to reduce length of stay, complications, and mortality, and increase Fontan's postoperative survival.
Method: This study is a retrospective cohort study based on secondary data from the medical record section of the Harapan Kita National Cardiovascular Center Hospital in  patients who had undergone Fontan surgery in older age in the 2017-2021 period. The variable assessed included ventricular function, McGoon ratio, pulmonary artery resistance index, transpulmonary gradient, duration of cardiopulmonary bypass, use of aortic cross clamp,  and Fontan circulation pressure on length of stay, postoperative complications, and mortality.
Result: The results of the study were a total of 93 children over six years who underwent Fontan surgery; age 10,2 ± 4,6, male 43 (46,2%) and female 50 (53,8%), there was no relationship between study variables and length of stay. There is a relationship between McGoon's ratio (p = 0,011) to the incidence of early mortality. Postoperative complications were higher in the group with pulmonary artery resistance index >2 WU (70,6%) than <2 WU(40,7%) (p = 0,008) OR 0,22(0,73-0,68), and in the group with McGoon ratio <1,8(78,8%) compared to >1,8(78,8%) (p = 0,002) OR 0,15(0,05-0,48) and duration of cardiopulmonary bypass (p = 0.003) OR 1.03(1-1.05) on composite complications.
Conclusion: Based on the research, several variables had a statistically significant relationship with the short-term postoperative outcome of Fontan in children aged over six years. McGoon's ratio <1,8 has a significant correlation with postoperative mortality.  Pulmonary artery resistance index >2 WU, McGoon ratio < 1.8, and duration of  cardiopulmonary bypass had a significant relationship to postoperative complications. There was no significant relationship between the study variables and postoperative length of stay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ameru Ulfalian
"Latar belakang : Arterial switch operation (ASO) adalah operasi pilihan untuk penanganan penyakit jantung bawaan transposition of the great arteries with intact ventricular septum (TGA IVS). Namun, terdapat komplikasi regurgitasi katup neoaorta yang memengaruhi keluaran jangka pendek dan panjang pascaprosedur ASO. Prosedur pulmonary artery (PA) banding yang merupakan bagian dari ASO dua tahap bagi pasien TGA IVS berusia di atas tiga minggu merupakan salah satu faktor risiko yang diduga memengaruhi regurgitasi katup neoaorta. Akan tetapi, belum diketahui pengaruh PA banding terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada pasien TGA IVS di Indonesia.
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh PA banding terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO, karakteristik pasien TGA IVS, prevalensi regurgitasi katup neoaorta, dan pengaruh faktor risiko lain (rentang waktu antara PA banding dan ASO, usia, jenis kelamin, konfigurasi arteri koroner dan anatomi katup neoaorta) terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada TGA IVS di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK), Indonesia.
Metode : Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif berdasarkan data sekunder dari bagian rekam medis RSPJNHK pada pasien TGA IVS yang dilakukan dan tidak dilakukan PA banding sebelum ASO pada periode 2010-2022. Variabel yang dinilai antara lain PA banding, rentang waktu antara PA banding dan ASO, usia, jenis kelamin, konfigurasi arteri koroner dan anatomi katup neoaorta.
Hasil : Hasil penelitian ini terdapat 123 subjek yang terdiri dari 41 subjek kelompok PA banding dan 82 subjek kelompok tidak PA banding; median usia kelompok PA banding 14 (4–172) minggu, tidak PA banding 7 (4–364) minggu. Prevalensi regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada pasien TGA IVS di Indonesia adalah 37,4%; derajat regurgitasi ringan mendominasi pada kelompok PA banding tidak PA banding sebelum ASO dengan persentase 74,0% dan 60,9%. Pulmonary artery banding memiliki hubungan bermakna secara statistik (p = 0,010) dengan regurgitasi katup neoaorta dalam analisis multivariat dan meningkatkan regurgitasi katup neoaorta 3,01 (IK 95% 1,30 – 6,95) kali dibandingkan tanpa PA banding. Rentang waktu lambat antara PA banding dan ASO memiliki hubungan bermakna secara statistik (p = 0,010) dengan regurgitasi katup neoaorta dalam analisis bivariat subgrup dan meningkatkan regurgitasi katup neoaorta 2,46 (IK 95% 1,21 – 5,00) kali dibandingkan dengan rentang waktu cepat.
Simpulan : Berdasarkan penelitian ini, PA banding dan rentang waktu lambat antara PA banding dan ASO memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan regurgitasi katup neoaorta dan meningkatkan risiko regurgitasi katup neoaorta pada pasien TGA IVS yang menjalani ASO.

.Background : Arterial switch operation (ASO) is the treatment of choice for transposition of the great arteries with intact ventricular septum (TGA IVS). However, regurgitation of neoaortic valve was one complication that affect the short-term and long- term outcome after ASO. Pulmonary artery (PA) banding procedure, the first of two step in two-stage ASO done particularly for patient older than three weeks old, was thought to be the risk factor for developing neoaortic valve regurgitation. However, there was no data supporting this statement in Indonesia.
Aim : The aim of this study is to understand the effect of PA banding on neoaortic valve regurgitation after ASO in TGA IVS, patient’s characteristics, prevalence of neoaortic valve regurgitation and effect of other risk factors (age, gender, time interval between PA banding and ASO, coronary artery configuration and neoaortic valve anatomy) on neoaortic valve regurgitation after ASO in TGA IVS in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK), Indonesia.
Method : This study was a retrospective cohort based on secondary data from medical record of NCCHK on patient with TGA IVS who underwent and not underwent PA banding prior to ASO in 2010 to 2022 time period. The variables assessed including PA banding, time interval between PA banding and ASO, age, gender, coronary artery configuration and neoaortic valve anatomy.
Result : There were 123 subjects in this study, consisted of 41 subjects in PA banding group and 82 subjects in non PA banding group; median age in PA banding group was 14 (4–172) weeks, non PA banding group 7 (4–364) weeks. Prevalence of neoaortic valve regurgitation post ASO in TGA IVS in Indonesia was 37.4%; with mild regurgitation dominated in PA banding and non PA banding prior to ASO group with percentage of 74.0% and 60.9%, respectively. Pulmonary artery banding had statistically significant correlation (p = 0,010) with neoaortic valve regurgitation in multivariate analysis and increasing risk of developing regurgitation by 3,01 (CI 95% 1,30 – 6,95) compared with non PA banding. Late time interval between PA banding and ASO had statistically significant correlation (p = 0.010) with neoaortic valve regurgitation in subgroup bivariate analysis and increasing risk of developing regurgitation by 2.46 (CI 95% 1.21 – 5.00) compared with rapid time interval between PA banding and ASO.
Conclusion : Based on this study, PA banding dan late time interval between PA banding and ASO had statistically significant correlation with neoaortic valve regurgitation and increasing risk of developing neoaortic valve regurgitation in TGA IVS patient underwent ASO.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sidhik Permana Putra
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan merupakan jenis kelainan bawaan lahir paling umum, dan merupakan penyebab kematian tersering pada bayi. Sindrom curah jantung rendah masih merupakan masalah yang dihadapi pada subjek pediatrik pascaoperasi jantung terbuka. Deteksi sindrom curah jantung rendah dengan kriteria klinis dan indikator laboratorik masih dirasa belum cukup, yang terbukti dengan masih adanya angka morbiditas dan mortalitas. Peranan penanda biologis NT-proBNP diharapkan dapat digunakan untuk dapat mendeteksi sindrom curah jantung rendah pada pediatrik.
Metode: Penelitian pendahuluan kohort retrospektif dengan jumlah 47 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang menjalani pembedahan jantung terbuka paliatif; PA banding, Bidirectional cavopulmonary shunt, BT-shuntdan Fontan, pada periode Oktober 2019 hingga Maret 2020 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia. Data prabedah, intrabedah dan pascaoperasi termasuk kejadian sindrom curah jantung rendah dicatat. Kadar NT-proBNP akan diambil prabedah, 4 jam, 24 jam dan 72 jam pascaoperasi. Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney.
Hasil: Kadar NT-proBNP pada prosedur palitif khususnya Fontan pada prabedah (137 pg/ml), 4 jam pascaoperasi (685 pg/ml), 24 jam pascaoperasi (5.715 pg/ml), dan 72 jam pascaoperasi (970 pg/ml). Kadar NT-proBNP prabedah, 4 jam pascaoperasi, 24 jam pascaoperasi, dan 72 jam pascaoperasi tidak berbeda bermakna dengan kejadian sindrom curah jantung rendah (nilai p >0,05).
Kesimpulan: Ditemukan peningkatan nilai NT-Pro BNP pada subjek pascaoperasi jantung paliatif khususnya Fontan dan bidirectional cavopulmonary shunt yang mengalami sindrom curah jantung rendah pada jam ke-24. Namun kesimpulan diatas masih berdasarkan jumlah sampel dengan kekuatan penelitian <80% sehingga hanya berlaku sebagai kesimpulan sementara berdasarkan studi pendahuluan.

Background: Congenital heart disease is the most common type of birth defects, and is the most common cause of death in infants. Cardiac syndrome is still a problem faced by pediatric patients after heart surgery. Detection of Low Cardiac Output Syndrome with clinical criteria and laboratory indicators is still considered insufficient, which is proven to still contain morbidity and mortality rates. The role of NT-proBNP biological markers is expected to be used to support the detection of low cardiac output syndrome in pediatrics.
Methods: A Preliminary retrospective cohort with 47 subjects fulfilling the inclusion and exclusion criteria who underwent palliative open heart surgery PA banding, Bidirectional cavopulmonary shunt, BT-shunt and Fontan from October, 2019 to March, 2020 at the Harapan Kita National Heart and Vascular Hospital, Indonesia. Preoperative, operative and postoperative data including the incidence of low cardiac output syndrome were recorded. NT-proBNP levels will be taken pre-surgery, 4 hours, 24 hours and 72 hours after surgery. Data analysis using the Mann-Whitney test.
Results: NT-proBNP levels in the cardiac palliative surgery especially Fontan procedure at pre-surgery (137 pg/mL), 4 hours after surgery (685 pg/mL), 24 hours after surgery (5,715 pg/mL), and 72 hours after surgery (970 pg/mL). NT-proBNP levels at pre-surgery, 4 hours after surgery, 24 hours after surgery, and 72 hours after surgery were not significantly different from the incidence of low cardiac output syndrome (p value> 0.05).
Conclusion: There is an increase in NT-Pro BNP values ​​in subjects with Fontan palliative heart surgery and bidirectional cavopulmonary shunt. However, the above conclusions are still based on the number of samples with research powers<80% and can only be taken as a provisional conclusion based on preliminary studies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ermono Superaya
"Latar belakang: Kardiomiopati iskemik merupakan gangguan sistolik ventrikel kiri yang disebabkan oleh infark miokardium (IM). Durasi infark yang terjadi sangat mempengaruhi perubahan fungsi jantung terutama dari segi histopatologi. Saat ini belum ada penelitian IM akut pada jantung yang menggunakan hewan coba babi sebagai landasan evaluasi dasar maupun terapi berbasis sel dan belum ada studi yang meneliti perbandingan ekspresi matriks ekstraselular kolagen tipe 1 dan 3 dalam segi histopatologi secara bersamaan pada kasus IM.
Metode: Pada uji klinis eksperimental acak berikut, secara operatif dilakukan tindakan ligasi cabang arteri koroner sirkumfleksa selama 60 menit terhadap 4 hewan coba babi (Sus scrofa domesticus) dan 4 hewan coba babi tanpa perlakuan sebagai kontrol. Jaringan jantung pasca perlakuan diambil dengan menggunakan pisau bedah, dilakukan perwarnaan jaringan dan immunohistokimia, dievaluasi secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan aplikasi ImageJ terhadap kolagen tipe 1, 3, α-SMA, dan α-aktinin.
Hasil: Durasi ischemia selama 60 menit telah memberikan gambaran infark miokardium. Terdapat penurunan yang signifikan (p<0,05) terhadap gambaran ekspresi kolagen tipe 1, 3, dan α-aktinin secara kuantitatif bila dibandingkan dengan gambaran jantung normal. Ekspresi ekstraselular matriks tersebut secara kualitatif berkurang ketika terjadinya infark miokardium.
Simpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa waktu 60 menit pada serangan infark miokardium memberikan gambaran kerusakan dan penurunan matriks ekstraselular jantung yang signifikan secara kualitatif dan kuantitatif.

Background: Ischemic cardiomyopathy is a left ventricular systolic disorder caused by myocardial infarction (MI). The duration of the infarct affects changes in cardiac function, especially in terms of histopathology. Currently there are no studies of acute MI in the pig heart as the basis for basic evaluation or cell-based therapy and there are no studies that examine the comparison of the expression of type 1 and 3 extracellular matrix collagen in terms of histopathology simultaneously in IM cases.
Methods: In this randomized experimental clinical trial, circumflex coronary artery branch ligation was performed intra-operatively for 60 minutes on 4 pigs (Sus scrofa domesticus) and 4 pigs without treatment as controls. Post-operative, the heart tissue was taken using a scalpel. Then, tissue staining and immunohistochemistry were performed, evaluated qualitatively and quantitatively using the ImageJ application for collagen type 1, 3, α-SMA, and α-actinin.
Results: The duration of ischemia for 60 minutes has given a picture of myocardial infarction. There was a significant decrease (p<0.05) in quantitative expression of collagen types 1, 3, and α-actinin when compared to normal cardiac images. The expression of the extracellular matrix is qualitatively reduced in the presence of myocardial infarction.
Conclusion: This study shows that 60 minutes after a myocardial infarction attack gives a qualitative and quantitative picture of significant damage and decrease in the extracellular matrix of the heart.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Joshua Parsaoran Partogi
"Latar belakang: Cedera iskemia/reperfusi (CIR) terjadi pada situasi saat aliran darah menuju jaringan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali sehingga sel mengalami iskemia. Reperfusi berperan penting untuk kelangsungan hidup suatu jaringan dan sel. Namun ternyata proses reperfusi dapat menyebabkan cedera mikrovaskular dengan meningkatnya produksi reactive oxygen species (ROS). Angka kejadiannya 15/100.000 per tahun dengan angka morbiditas 30% dalam 30 hari pascainsiden dan angka kematian sebesar 18%. Salah satu terapi tata laksana cedera reperfusi adalah pemberian antioksidan yang dapat mengikat ROS yaitu selenium. Beberapa studi telah membuktikan kerusakan akibat cedera iskemia/reperfusi pada jantung, ginjal, otak dan paru dapat dicegah dengan pemberian selenium. Namun belum ada penelitian mengenai penggunaan selenium sebagai faktor proteksi jantung akibat dampak dari cedera iskemia/reperfusi tungkai akut.
Metode: Penelitian ini merupakan sebuah studi eksperimental untuk meneliti pengaruh pemberian selenium terhadap derajat kerusakan jantung yang dinilai secara histopatologis. Menggunakan rancangan post-test only control, penelitian ini menggunakan tikus Sprague-Dawley (SD). Tikus ini dibagi dalam tiga kelompok meliputi satu kelompok kontrol (KK) dan dua kelompok perlakuan (KP) Penelitian dilakukan di Animal Laboratorium Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor yang dinilai yaitu luas area kerusakan, edema interstisium, pembengkakan sel, infiltrasi leukosit, nekrosis, perdarahan, dan derajat kerusakan. Data yang diperoleh diuji menggunakan uji Fisher exact.
Hasil: Terdapat 15 sampel hewan coba pada penelitian ini. Tidak ada hewan coba yang mati dan mengalami efek samping pemberian selenium selama penelitian. Tidak didapatkan hasil bermakna pada luas area kerusakan, edema interstisium, pembengkakan sel, infiltrasi leukosit, nekrosis, perdarahan, dan derajat kerusakan.
Kesimpulan: Pemberian selenium tidak menurunkan derajat kerusakan jaringan miokardium akibat CIR tungkai pada tikus SD. Studi lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar, dosis dan waktu pemberian selenium yang berbeda, dan penanda kerusakan jaringan yang lebih sensitif diperlukan untuk mengkonfirmasi dan mengklarifikasi temuan kami.

Background: Ischemia/reperfusion injury (CIR) occurs in a situation when blood flow to a tissue is obstructed or even completely stopped causing cells to experience ischemia. Reperfusion plays an important role for the survival of tissue and cells. However, it turns out that the reperfusion process can cause microvascular injury by increasing the production of reactive oxygen species (ROS). The incidence rate is 15/100,000 per year with a morbidity rate of 30% within 30 days after incident and a mortality rate of 18%. One of the therapies for managing reperfusion injury is the administration of an antioxidant that can bind ROS, namely selenium. Several studies have proven that damage after ischemia/reperfusion injury to the heart, kidneys, brain, and lungs can be prevented by administering selenium. However, there has been no research on the use of selenium as a cardiac protective factor due to the impact of acute limb ischemia/reperfusion injury.
Methods: This research is an experimental study to examine the effect of selenium administration on the degree of heart damage assessed histopathologically. Using a post-test only control design, this study used Sprague Dawley rats (SD). These rats were divided into three groups including one control group (KK) and two treatment groups (KP). The study was conducted at the Animal Laboratory of the Educational Animal Hospital, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural Institute and Laboratory of Anatomical Pathology, Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. The factors assessed were the area of ??change, interstitial edema, cell swelling, leukocyte infiltration, necrosis, bleeding, and degree of damage. The data obtained were tested using Fisher's exact test.
Results: There were 15 experimental animal samples in this study. None of the experimental animals died and experienced side effects of selenium administration during the study. There were no significant results for the area of change, interstitial edema, cell swelling, leukocyte infiltration, necrosis, bleeding, and degree of damage.
Conclusion: Administration of selenium did not reduce the degree of myocardial tissue damage due to leg IRI in SD rats. Further study with larger samples, different selenium dosage and administration times, and more sensitive tissue damage biomarkers is needed to confirm and clarify our findings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library