Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arif Adimulya Tasela
"Latar belakang: Gagal ginjal akut (GGA) menjadi salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi setelah prosedur bedah pintas arteri koroner (BPAK). GGA paska
operasi jantung secara independen berhubungan dengan peningkatan 3-8 kali lipat angka morbiditas dan mortalitas serta memperpanjang durasi perawatan (hospitalisasi) sehingga dapat meningkatkan biaya kesehatan. Untuk menurunkan insidensi GGA ini, dibutuhkan modalitas pemeriksaan sebelum operasi yang berhubungan dengan kejadian GGA paska BPAK sehingga dapat digunakan sebagai prediktor nantinya untuk tindakan pencegahan. Indeks resistif renal (IRR) diketahui dapat menggambarkan kondisi resistensi dan komplians pembuluh darah yang berhubungan dengan patofisiologi GGA paska BPAK. Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang menilai hubungan langsung antara nilai IRR dan kejadian GGA paska BPAK. Tujuan: Mengetahui hubungan nilai IRR terhadap kejadian GGA paska BPAK Metode: Pasien yang akan dilakukan prosedur BPAK akan menjalani pemeriksaan dupleks renalis untuk mendapatkan nilai IRR. Luaran gagal ginjal akut dinilai dengan pemeriksaan kadar kreatinin darah selama 48 jam paska BPAK Hasil: Terdapat 96 pasien yang menjadi subjek penelitian. Median nilai IRR pada subjek penelitian ini ialah 0.71 (0.57-0.87). Terdapat perbedaan median nilai IRR antara kelompok GGA dan non GGA (0.73, rentang 0.57-0.87 dan 0.65, rentang 0.58-0.72). Nilai IRR memiliki korelasi yang cukup baik terhadap kejadian GGA paska BPAK (nilai koefisien korelasi r = 0.66, p < 0,001) dengan titik potong pada
nilai IRR 0.685 (sensitivitas 82.40%, spesifisitas 73.30%). Faktor-faktor lain seperti usia, diabetes melitus, hipertensi, nilai kreatinin serum pre operatif, klirens kreatinin pre operatif, fraksi ejeksi, durasi mesin pintas kardiopulmonal dan durasi klem silang aorta secara statistika berbeda bermakna berhubungan terhadap kejadian GGA paska BPAK. Namun dari analisis multivariat, hanya faktor fraksi ejeksi, durasi mesin pintas kardiopulmonal, nilai IRR, dan diabetes mellitus terbukti bermakna Kesimpulan: Terdapat hubungan antara IRR dengan kejadian gagal ginjal akut paska BPAK. Nilai IRR 0.685 merupakan titik potong optimal (sensitivitas 82,40% dan spesifisitas 73.30%)

Background: Acute kidney injury (AKI) still become one of the serious complications that can occur after a coronary artery bypass graft (CABG) procedure. Post-operative AKI is independently associated with a 3-8 fold increase in morbidity and mortality and extending the duration of treatment (hospitalization) thereby increasing health costs. To reduce the incidence of AKI, a modality of examination prior surgery which is related to the incidence of post-operative AKI is needed so that it can be used as a predictor later for preventive action. The renal resistive index (RRI) is known to be able to describe the condition of resistance and vascular compliance which are related to the pathophysiology of post-operative AKI. However, there has been no research that assesses the direct relationship between RRI values and the incidence of post-operative AKI Objectives: To investigate the relationship between RRI value and incidence of post-operative AKI in patients underwent CABG procedure. Methods: CABG candidates patients will undergo duplex renalis examination to obtain an RRI score. Outcome of renal impairment was assessed by blood creatinine examination within 48 hours after CABG procedure. Results: There were 96 patients who became the subject of the study. The median of RRI value in this study subjects was 0.71 (0.57-0.87). There were differences in median of RRI values between groups with post-operative AKI and those not (0.73, range 0.57-0.87 dan 0.65, range 0.58-0.72). There was quite good correlation between RRI and post-operative AKI (p < 0.001 with correlation coefficient r = 0.66) with cut off point of IRR value was 0.685 (sensitivity 82.40%, specificity 73.30%). Other factors such as age, diabetes mellitus, hypertension, ejection fraction, CPB duration, and aortic cross clamp duration are associated with incidence of post-operative AKI. However, multivariat analysis showed only ejection fraction, cardiopulmonary bypass duration, RRI, and diabetes mellitus significantly related to post-operative AKI Conclusion: RRI values has relationship with post-operative AKI. The optimal cut off value of RRI retrieved by this study is 0.685 (sensitivity 82.40%, specificity 73.30%)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Baskoro
"Latar belakang: Berdasarkan Riskesdas 2013, salah satu daerah dengan prevalensi hipertensi tertinggi di Indonesia adalah Kepulauan Natuna, sehingga faktor yang berkaitan dengan hipertensi dan hypertension mediated organ damage (HMOD) pada populasi tersebut menarik untuk diinvestigasi. Proses aterosklerosis adalah salah satu HMOD yang dapat dideteksi secara dini dengan pemeriksaan ketebalan intima media karotis (KIMK).
Patofisiologi aterosklerosis pada hipertensi dilaporkan mellibatkan beragam jalur molekular, yang diawali oleh disfungsi endotel, dan diduga melibatkan regulasi MikroRNA (miRNA) pada pembuluh darah. miRNA 214 merupakan non-koding RNA yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular terutama aterosklerosis. Peran MikroRNA 214 dalam proses aterosklerosis yang terjadi pada hipertensi belum diketahui dengan pasti.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan ekspresi miRNA 214 dengan ketebalan intima media karotis pada populasi hipertensi di kepulauan Natuna
Metode : Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dengan data sekunder hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang penderita hipertensi di Kabupaten natuna pada Juli 2019, serta data primer berupa kadar mikroRNA 214 dari sampel darah beku yang tersimpan di laboratorium, Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSPJDHK) pada bulan Juli 2022. KIMK diukur dengan ultrasonografi arteri karotis.
Hasil : Terdapat 47 subjek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Tidak terdapat perbedaan ekspresi miRNA 214 pada KIMK ≥0,9 mm dengan ekspresi miRNA 214 pada KIMK <0.9 mm pada subjek penelitian [(1,4 ± 0,8) vs. (1,4 ± 0,9), p 0,921]. Analisis multivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi miRNA 214 dengan KIMK pada subjek hipertensi di kepulauan Natuna.

Background: Data from Indonesian Basic Health Survey 2013 revealed Natuna Islands as one of area with highest prevalence of hypertension in Indonesia. Hypertension remain major health problem through the presence of hypertension mediated organ damage (HMOD), including atherosclerosis. Carotid ultrasound examination is one of simple method for early detection of atherosclerosis, with carotid intima media thickness (CIMT) reported to represent subclinical atherosclerosis.
Pathophysiology of atherosclerosis in hypertension derived from multiple molecular pathways, including endothelial dysfunction and the involvement of MikroRNA (miRNA). miRNA 214 is associated with cardiovascular disease. However, the role of miRNA 214 in atherosclerosis remains unclear.
Objective : To investigate the association between miRNA 214 plasma expression with carotid intima media thickness (CIMT) in hypertension subject.
Method: This is a cross sectional study using secondary data from hypertension subject in Natuna Island, and measurement of miRNA 214 expression from plasma stored in molecular laboratory of National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital. CIMT data were obtained with carotid ultrasonography
Results: Forty seven subject included in this study. We observed no significant difference in miRNA 214 plasma expression in subject with CIMT ≥0,9 mm as compared to CIMT <0.9 mm [(1,4 ± 0,8) vs. (1,4 ± 0,9), p 0,921]. Further multivariate analysis revealed no significant association between miRNA 214 plasma expression with carotid intima media thickness (CIMT) in hypertension subject.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dafa Izzatul Islam
"Latar Belakang
Intervensi koroner perkuten primer (IKPP) merupakan sebuah skema tatalaksana yang bertujuan untuk mengembalikan suplai darah ke jantung pada pasien infark miokard dengan onset gejala di bawah 12 jam dan syok kardiogenik berat serta pasien dengan kontraindikasi terapi fibrinolitik.1 Saat ini, drug-eluting stent (DES) merupakan jenis stent yang direkomendasikan karena memiliki benefit lebih besar dalam menurunkan risiko infark miokard berulang dibandingkan pendahulunya yaitu bare-metal stent (BMS) dan salah satu aspek yang dikembangkan adalah material rangka. Penelitian menunjukkan bahwa antara logam stainless steel dan non-stainless steel memiliki pengaruh yang berbeda terhadap luaran klinis pasien yaitu kejadian KKM (kejadian kardiovaskular mayor) dan trombosis stent. Akan tetapi, sebagian besar penelitian dilakukan dengan follow up 1-3 tahun sementara kejadian very late stent thrombosis (VLST) yang terjadi pada DES dapat timbul sampai lima tahun. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan luaran klinis dalam kurun waktu lima tahun pada pasien yang menjalani IKPP dengan platform DES stainless steel dan non stainless steel.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis logam yang digunakan pada stent, yaitu stainless steel dan ¬non-stainless steel, dengan angka kejadian KKM dan trombosis stent pada pasien yang menjalani IKPP dengan follow-up lima tahun setelah prosedur dilaksanakan. Hasil dari data tersebut akan dilakukan analisis bivariat antara variabel bebas dan variabel terikat serta akan dilakukan analisis multivariat dengan faktor-faktor determinan lain. Hasil
Pada pengamatan 5 tahun, Angka kejadian luaran klinis primer dan sekunder menunjukkan tren lebih tinggi pada kelompok stainless steel dibandingkan non-stainless steel walaupun nilai p menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok (KKM: 47,1% vs 41,2%, p 0,511; Trombosis Stent: 11,8% vs 11,1%, p 0,780). Kesimpulan
Pada pengamatan 5 tahun, tidak terdapat perbedaan bermakna pada luaran klinis primer dan sekunder pasien yang menjalani IKPP menggunakan stainless steel dibandingkan non-stainless steel.

Introduction
Primary coronary percutaneous intervention (CCI) is a management scheme that aims to restore blood supply to the heart in myocardial infarction patients with symptom onset under 12 hours and severe cardiogenic shock and patients with contraindications to fibrinolytic therapy.1 Currently, drug-eluting stents (DES) are the recommended stent type because they have greater benefits in reducing the risk of recurrent myocardial infarction compared to their predecessor, bare-metal stents (BMS) and one aspect that has been developed is the frame material. Studies have shown that stainless steel and non- stainless steel have different effects on patient clinical outcomes such as MACE (major adverse cardiovascular event) and stent thrombosis. However, most studies were conducted with a follow-up of 1-3 years while the incidence of very late stent thrombosis (VLST) that occurs in DES can occur up to five years. Therefore, this study was conducted to determine the difference in clinical outcomes within five years in patients undergoing IKPP with stainless steel and non-stainless steel DES platforms.
Method
This study is an analytic study with a quantitative approach that aims to determine the effect of the type of metal used in stents, namely stainless steel and non-stainless steel, with the incidence of MACE and stent thrombosis in patients undergoing IKPP with a five-year follow-up after the procedure. The results of the data will be subjected to bivariate analysis between the independent variable and the dependent variable and multivariate analysis will be conducted with other determinant factors.
Results
At 5-year follow-up, the incidence of primary and secondary clinical outcomes showed a higher trend in the stainless steel group compared to the non-stainless steel group although the p value showed no significant difference between the two groups (MACE: 47.1% vs 41.2%, p 0.511; Stent Thrombosis: 11.8% vs 11.1%, p 0.780).
Conclusion
At 5-year follow-up, there was no significant difference in the primary and secondary clinical outcomes of patients who underwent IKPP using stainless steel versus non- stainless steel.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Shabirina K
"Latar Belakang: Kongesti merupakan penyebab utama pada kondisi perburukan dari gagal jantung kronis yang disebut juga sebagai gagal jantung dekompensasi akut (GJDA). Pemeriksaan status kongesti intravaskular pada pasien GJDA dengan fraksi ejeksi rendah dan diabetes mellitus (DM) sangat penting dilakukan karena mempengaruhi prognosis dan memiliki angka kematian dan readmisi yang lebih tinggi. Pemeriksaan status volume intravaskular pada populasi ini dinilai sulit karena terjadi peningkatan permeabilitas dinding vaskular, sehingga lebih banyak terjadi kongesti interstitial. Beberapa penelitian menggunakan perhitungan estimasi volume plasma (eVP) dengan membandingkan kadar hemoglobin dan hematokrit sebagai indikator adanya kongesti intravaskular yang berperan sebagai modalitas prognostik pada pasien GJDA dan DM tipe 2.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara estimasi volume plasma (eVP) terhadap luaran lama rawat, readmisi 30 hari dan mortalitas 180 hari pada pasien GJDA dengan fraksi ejeksi rendah dan DM tipe-2.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dengan populasi penelitian pasien dengan GJDA dan DM tipe 2 selama periode Januari 2016 sampai dengan Januari 2021 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Hasil: Sebanyak 373 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, Nilai eVP awal > 5,04 ml/g berhubungan secara bermakna terhadap mortalitas 180 hari dengan sensitifitas 61% dan spesifisitas 59% (HR 2,12; IK95 1,13-3,98; p = 0,019). Nilai eVP akhir berhubungan secara bermakna terhadap readmisi 30 hari (OR 1,23; IK95 1,05 – 1,46; p = 0,025). Nilai eVP akhir secara bermakna berkorelasi positif dengan lama rawat inap (koefisien B 0,412, p = 0,02).
Kesimpulan: Nilai estimasi volume plasma yang tinggi berhubungan dengan lama rawat, readmisi 30 hari, dan mortalitas 180 hari pada pasien GJDA dengan DM tipe 2.

Background : Congestion is the main cause of the worsening condition of chronic heart failure which is also known as acute decompensated heart failure (ADHF). Examination intravascular congestion status in patients with ADHF with low ejection fraction and diabetes mellitus (DM) is very important because it affects the prognosis and has a higher mortality and readmission rate. Examination of intravascular volume status in this population is considered difficult due to increased permeability of the vascular wall, resulting in more interstitial congestion. Several studies used the calculation of estimated plasma volume (ePV) by comparing hemoglobin and hematocrit levels as an indicator of intravascular congestion which acts as a prognostic modality in patients with ADHF and type 2 DM.
Aim : To determine the relationship between estimated plasma volume (eVP) and outcome of length of stay, 30-day-readmission and 180-day-mortality in ADHF patients with low ejection fraction and type-2 DM.
Methods: This is a retrospective cohort involving patients with ADHF, low ejection fraction and type 2 DM from Januay 2016 to January 2021 in National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Results: As many as 373 patients fulfilled inclusion criteria. Initial eVP > 5,04 ml/g is associated with 180-day-mortality with sensitivity and specificity of 61% and 59%, respectively (HR 2,12; 95%CI 1,13-3,98; p = 0,019). Pre-discharge eVP is also associated with 30-day-readmission (HR 1,23; IK95 1,05 – 1,46; p = 0,025). Pre-discharge eVP is also significantly correlated with length of stay (B coefficient 0,412, p 0,02)
Conclusion: High estimated plasma volume is associated with length of stay, 30-day-readmission and 180-day-mortality in patients with ADHF, low ejection fraction and type 2 DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Anthea Sugiharto
"Latar belakang: F-HR-PVC merupakan KVP yang kemunculannya berbanding lurus dengan peningkatan laju nadi. Mekanisme yang mendasarinya adalah adanya variasi sirkadian sistem saraf autonom dan kadar katekolamin darah. Adanya variasi sirkadian tersebut membuka peluang untuk intervensi KVP secara kronoterapi.
Tujuan: Meneliti efektivitas kronoterapi bisoprolol pada pasien KVP idiopatik terhadap beban KVP dan variabilitas beban KVP selama 24 jam.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik crossover acak tersamar ganda dengan total subjek 23 pasien dengan tipe F-HR-PVC (beban KVP 24 jam ≥5% dan variabilitas beban KVP >35%). Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok sekuens 1 diberikan bisoprolol pagi hari (1 minggu pertama), dilakukan crossover, dilanjutkan pemberian bisoprolol malam hari (1 minggu kedua) sedangkan kelompok sekuens 2 menerima perlakuan sebaliknya. Evaluasi Holter 24 jam dilakukan pada akhir minggu pertama dan kedua dan dianalisis untuk membandingkan efektivitas pemberian bisoprolol sesuai kronoterapi terhadap beban KVP dan variabilitas beban KVP selama 24 jam.
Hasil: Pemberian bisoprolol baik pagi hari (p=0,018) maupun malam hari (p=0,014) dapat menurunkan beban KVP secara signifikan. Namun hanya pemberian bisoprolol pagi hari yang dapat meningkatkan variabilitas beban KVP selama 24 jam (p=0,028). Tidak ada perbedaan penurunan beban KVP antara pemberian bisoprolol pagi hari atau malam hari (treatment effect -0,06 [-4,12 – 4,00]; IK 95%, p = 0,976). Selain itu, variabilitas beban KVP juga tidak berbeda antara kedua kelompok perlakuan (treatment effect 6,34 [-10,41 – 23,08]; IK 95%, p = 0,439).
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan efektivitas pemberian bisoprolol pada pagi hari dibanding malam hari terhadap beban KVP maupun variabilitas beban KVP selama 24 jam

Background: F-HR-PVC is one of PVC circadian variation which occurrence increases linearly with baseline heart rate. The mechanism involved is considered related to the circadian mechanism which includes autonomic nerve system and catecholamine levels. The presence of circadian variation in PVC raise the potential of chronotherapeutic approach in treating PVC.
Methods: This is a double-blind randomized crossover trial with a total subject of 23 patients who have F-HR-PVC with 24-hr PVC burden ≥5% and PVC burden variability >35%. Subjects were divided into two sequences. Those in sequence 1 were given bisoprolol in the morning in the first week, crossed over then followed by the administration of evening bisoprolol in the second week. Meanwhile, those in sequence 2 received alternate treatment. 24-hour holter evaluation was done and analyzed to compare the efficacy of bisoprolol administration with chronotherapeutic approach toward PVC burden and its variability in 24-hr.
Results: Either morning or evening administration of bisoprolol significantly reduced the PVC burden (morning vs. evening; p=0,018 vs. p=0,014). However, only morning administration which increases the PVC burden variability in 24-hr (p=0,028). There is no significant difference between morning and evening administration of bisoprolol on both PVC burden (treatment effect -0,06 [-4,12 – 4,00]; CI 95%, p = 0,976) and PVC burden variability (treatment effect 6,34 [-10,41 – 23,08]; CI 95%, p = 0,439) for 24 hours.
Conclusion: There was no difference in the efficacy of giving bisoprolol in the morning compared to the evening dosing on the PVC burden and the variability of PVC burden for 24 hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rienna Diansari
"Latar Belakang: Menurut Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, laju kematian akibat patologi aorta torakalis di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju, dengan median pertambahan percepatan +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 pada tahun 1990 dibandingkan 2010. Asia Tenggara merupakan salah satu negara dengan penambahan laju kematian tertinggi yaitu 41%. Di Indonesia, pasien datang dalam kondisi penyakit lanjut karena keterlambatan diagnosis dan manajemen dan hal ini menjadikan pasien berada pada kondisi patologi aorta yang kompleks. Kondisi patologi aorta yang kompleks tentunya membutuhkan tindakan bedah aorta yang kompleks pula. Sejauh ini belum terdapat studi yang secara khusus meneliti luaran klinis bedah aorta torakalis kompleks dibandingkan dengan non-kompleks, terutama pada populasi di negara berkembang.
Tujuan: Mengetahui hubungan kompleksitas pembedahan dengan mortalitas in-hospital dan kesintasan jangka menengah pasca bedah aorta torakalis serta faktor lain yang berhubungan.
Metode: Studi kohort retrospektif ini menggunakan data sekunder. Dilakukan pengambilan data dasar melalui rekam medis dan registri terhadap pasien pasca bedah aorta torakalis (1 Januari 2018 – 31 Desember 2021) di PJNHK. Analisa kesintasan 1 dan 3 tahun dilakukan dengan follow up melalui telepon dan pesan digital. Kemudian dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara kompleksitas pembedahan sebagai prediktor utama serta variabel lainnya dengan luaran primer (mortalitas in-hospital) dan sekunder (kesintasan jangka menengah).
Hasil: Total 208 pasien diinklusikan ke dalam analisis luaran primer; 157 (75,5%) menjalani bedah aorta torakalis kompleks dan 51 (24,5%) menjalani bedah aorta torakalis non-kompleks. Mortalitas in-hospital serupa pada kedua kelompok (23,6% vs 13,7%; p = 0,194). Pada analisa multivariat, sindrom malperfusi (OR 3,560; p = 0,002), durasi CPB > 180 menit (OR 4,331; p = 0,001), dan prioritas pembedahan (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) adalah prediktor independen mortalitas in-hospital. Follow-up kesintasan 1 dan 3 tahun pasca bedah aorta torakalis adalah 92,6% dan 80,3%, secara berurutan. Regresi Cox mengidentifikasi diabetes (HR 4,539; p = 0,025) dan status prosedur emergensi (HR 9,561; p = 0,015) sebagai prediktor independen mortalitas 1 tahun, dan diabetes (HR 3,609; p = 0,004), diseksi aorta (HR 2,795; p = 0,029) dan diameter aorta maksimum (HR 1,034; p = 0,003) sebagai prediktor independen mortalitas 3 tahun. Kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan peningkatan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah.
Kesimpulan: Pada pasien yang menjalani tindakan bedah aorta torakalis terbuka, kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah. Kesintasan jangka pendek dan menengah lebih banyak dipengaruhi faktor komorbid maupun faktor durante pembedahan

Background: According to Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, a prominent increase of overall global death rate is seen on developing country compared to developed country, with relative change in median daeath rate of +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 in 1990 vs 2010. South-east Asia is nation with highest increase of 41%. This is due to delayed in diagnosis and treatment and leads to late stage and complex aortic disease. The more complex the disease, the more complex the surgical procedure will be. Up until now, there is no data regarding the impact of surgical complexity on short and mid-term survival in patients underwent aortic surgery, especially in developing country.
Objectives: This study aimed to investigate the impact of surgical complexity on short and mid-term mortality and other influencing factors.
Methods: This retrospective cohort study used secondary data. Basic data was obtained through medical record and registry of patients underwent thoracic aortic surgery (January 1st, 2018 to December 31st, 2021) in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). One-year and 3-year survival analysis was obtained through phone calls and digital messages. Statistical analysis was done to investigate the impact of surgical complexity as the main predictor and other variables on primary (in-hospital mortality) and secondary (mid-term survival) outcome.
Results: A total of 208 patients were included in the analysis; 157 (75,5%) underwent complex surgery, and 51 (24,5%) underwent non-complex surgery. In-hospital mortality was similar actoss 2 groups (23,6% vs 13,7%; p = 0,1240). On multivariable analysis, malperfusion syndrome (OR 3,560; p = 0,002), CPB duration > 180 minutes (OR 4,331; p = 0,001), and surgical priority (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) were identified as independent predictor of in-hospital mortality. One and 3-year survival were 92,6% and 80,3%, respectively. Cox regression identified diabetes (HR 4,539; p = 0,025) and emergency procedure (HR 9,561; p = 0,015) as independent predictors for 1-year mortality, and diabetes (HR 3,609; p = 0,004), aortic dissection (HR 2,795; p = 0,029), and maximum aortic diameter (HR 1,034; p = 0,003) for 3-year mortality. Surgical complexity was not associated with early and mid-term mortality.
Conclusions: In patients undergoing thoracic aortic surgery, surgical complexity was not associated with early and mid-term survival. Short and mid-term survival was largely determined by patient comorbidities and intra-surgery factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Dinar Putrinarita
"Latar Belakang: Isolasi vena pulmonalis merupakan strategi utama dalam tindakan ablasi fibrilasi atrium (FA). Namun, angka kekambuhan pasca ablasi FA masih signifikan. Substrat atrial seperti low voltage zone (LVZ) menggambarkan perubahan struktur dari atrium kiri. Low voltage zone berhubungan erat dengan kekambuhan pasca ablasi FA. Terdapat beberapa sistem skoring yang dapat memprediksi kekambuhan FA pasca ablasi FA yang menggunakan diameter atrium kiri, namun belum ada sistem skoring yang menggunakan indeks volume atrium kiri sebagai prediktor kekambuhan FA pasca ablasi. Skor ZAQ menggunakan IVAK MSCT, jenis kelamin perempuan dan usia ≥ 65 tahun untuk mempredikisi adanya LVZ.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kekambuhan lambat pasca ablasi FA antara kelompok skor ZAQ < 2 dibandingkan dengan ≥2.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohor retrospektif dengan menggunakan data sekunder dari pasien FA yang dilakukan isolasi vena pulmonalis pertama kali di RSJPDHK pada periode Januari 2015 sampai Agustus 2020. Dilakukan rekonstruksi IVAK dengan MSCT untuk menghitung skor ZAQ masing – masing pasien dan dilakukan evaluasi elektrokardiogram (EKG) 12 lead atau holter dalam waktu 3 sampai dengan 12 bulan pasca tindakan ablasi untuk melihat kekambuhan lambat.
Hasil: Terdapat 77 pasien ablasi FA yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Selama periode observasi, didapatkan 23 pasien (30%) yang mengalami kekambuhan lambat pasca ablasi. Dari hasil analisis regresi logistik multivariat, skor ZAQ bukan merupakan prediktor kekambuhan lambat pasca ablasi FA (OR 3.31; IK 95% 0.065 – 17.011; p=0.551). Yang menarik adalah kami menemukan dua variabel yang merupakan prediktor independen kekambuhan lambat pasca ablasi FA, yaitu IVAK MSCT ≥65.5 ml/m2 (OR 3.91; IK 95% 1.140-13.393; p=0.030) dan tipe FA non paroksismal (OR 5.00; IK 95% 1.552-16.150; p=0.007), sedangkan pemberian amiodarone pasca tindakan dapat memberikan efek protektif (OR 0.13; IK 95% 0.024-0.719, p=0.019).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kekambuhan lambat pasca ablasi FA antara kelompok skor ZAQ <2 dengan ≥2.

Background: Pulmonary vein isolation (PVI) is the main target for AF ablation. Unfortunately, the recurrence rate remains significant. Atrial substrate such as low voltage zones reflect the structural change of the left atrium. This LVZ is strongly associated with recurrence. There have been some scoring systems that predict AF reccurence after ablation using left atrial diameter, however there is no scoring system using left atrial volume index (LAVI) as a predictor for AF recurrence. ZAQ score employed MSCT LAVI, female sex, and age ≥ 65 years to predict the presence of LVZ.
Objective: This study aims to investigate the difference of late recurrence after AF ablation between ZAQ score <2 and ≥2.
Method: This study was a retrospective cohort study using secondary data collected from AF patients who underwent their first PVI during the period of January 2015 to August 2020 in National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital. LAVI reconstruction with MSCT was conducted to calculate ZAQ score of each patients. Twelve leads electrocardiogram (ECG) evaluation or Holter monitor within 3 to 12 months after ablation was conducted to evaluate late reccurence.
Result: There were 77 patients who met the inclusion and exclusion criteria. During the observation period, 23 patients (30%) experienced late recurrence post ablation. From multivariate logistic regression analysis, ZAQ score is not a predictor of late recurrence after AF ablation (OR 3.31; CI 95% 0.065 – 17.011; p=0.551). Interestingly, we found two variables which were independent predictors of late recurrence after AF ablation, i.e. MSCT LAVI ≥ 65.5 ml/m2 (OR 3.91; CI 95% 1.140-13.393; p=0.030) and non paroxysmal AF (OR 5.00; CI 95% 1.552-16.150; p=0.007), while amiodarone administration post-ablation had protective effect toward late recurrence (OR 0.13; CI 95% 0.024-0.719; p=0.019).
Conclusion: There was no difference in late recurrence after AF ablation between the ZAQ score group <2 and ≥2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Halimi
"Latar belakang: Pasien gagal jantung sering mengalami readmisi dengan tingkat mortalitas yang tinggi sehingga diperlukan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat untuk memperbaiki prognosis. Resiko rawat inap akibat gagal jantung bahkan lebih meningkat pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2, yaitu 1.5x lebih tinggi. Menggunakan kecerdasan buatan, dapat dilakukan integrasi antara data klinis dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG dan rontgen thorax. Selain itu, kecerdasan buatan juga dapat membantu diagnosis di bidang kardiovaskular tanpa adanya variabilitas antar pengamat, serta meningkatkan efisiensi waktu dan biaya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan kecerdasan buatan dengan statistik konvensional dalam memprediksi luaran klinis lama rawat, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan pada pasien gagal jantung dekompensasi akut (GJDA) dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2.
Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien GJDA dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2 pada periode Januari 2018 – Maret 2023. Dilakukan analisis data menggunakan statistik konvensional dengan analisis bivariat dan multivariat, dimana hasilnya kemudian dibandingkan dengan analisis menggunakan algoritme kecerdasan buatan, yaitu Balanced Random Forest.
Hasil: Melalui rekam medis, didapatkan 292 subjek penelitian dengan persentase lama rawat >5 hari, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan yang diobservasi adalah 39.7%, 14.0%, 10.6%, dan 21.2% berturut-turut. Kemampuan diskriminasi kecerdasan buatan lebih baik dibandingkan statistik konvensional untuk keempat luaran, dengan AUC lama rawat >5 hari adalah 0.800 vs 0.775, readmisi 0.790 vs 0.732, mortalitas 0.794 vs 0.785, dan luaran gabungan 0.628 vs 0.596.
Kesimpulan: Kecerdasan buatan lebih baik dibandingkan statistik konvensional untuk memprediksi luaran klinis berupa lama rawat, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan pada pasien GJDA dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2.

Background: Heart failure patients often experience readmissions with a high mortality rate, therefore early detection and appropriate management are required to improve the prognosis. The risk of hospitalization due to heart failure is increased 1.5x in type 2 diabetes mellitus (DM) patients. Using artificial intelligence, clinical data can be integrated with supporting examinations such as ECG and chest X-ray. Artificial intelligence can also help diagnoses in the cardiovascular field without inter-observer variability, as well as increasing time and cost efficiency.
Objective: This study aims to compare the ability of conventional statistics with artificial intelligence in predicting clinical outcomes, namely length of stay, 30-day readmission, 180- day mortality, and composite outcome in acute decompensated heart failure (ADHF) patients with reduced ejection fraction and type 2 DM.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 292 ADHF patients with reduced ejection fraction and type 2 DM in the period January 2018 – March 2023. Data analysis was carried out using conventional statistics with bivariate and multivariate analysis, where the results were then compared with analysis using artificial intelligence algorithm, namely Balanced Random Forest.
Results: The percentages of outcomes observed for length of stay >5 days, 30 day readmission, 180 day mortality, and composite outcome were 39.7%, 14.0%, 10.6%, and 21.2% respectively. The discrimination ability of artificial intelligence was better than conventional statistics for all four outcomes, with the AUC of length of stay >5 days were 0.800 vs 0.775, readmission 0.790 vs 0.732, mortality 0.794 vs 0.785, and combined outcome 0.628 vs 0.596.
Conclusion: Artificial intelligence is better than conventional statistics in predicting clinical outcomes in the form of length of stay, 30-day readmission, 180-day mortality, and composite outcome in ADHF patients with reduced ejection fraction and type 2 DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Akbar Bramantyo
"Latar Belakang: Endokarditis Infektif (EI) dalam 3 dekade terakhir masih memiliki insidensi, beban morbiditas, dan mortalitas yang tinggi, mencapai 30% dalam 1 tahun. Beragam predisposisi insiden EI menunjukkan perubahan seiring dengan perkembangan tatalaksana dan tindakan medis yang seringkali menjadi pemicu baru EI itu sendiri.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor prediktor mortalitas dan luaran klinis pasien EI aktif sisi jantung kiri dalam jangka pendek dan jangka panjang. Penelitian ini juga menjadi penelitian awal untuk mengetahui model prediktor stratifikasi risiko pasien EI aktif sisi jantung kiri di Indonesia.
Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap 376 pasien yang mengalami EI aktif sisi jantung kiri pada periode 1 Januari 2013 – 31 Desember 2022. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk mengidentifikasi prediktor luaran klinis jangka pendek dan jangka panjang. Dilakukan juga pembuatan sistem skor prediktor mortalitas awal untuk pasien EI aktif.
Hasil: Terdapat 376 pasien EI aktif sisi jantung kiri yang kemudian mendapatkan tatalaksana antibiotik serta menjalani operasi sebanyak 56,6% pasien. Studi ini menunjukkan angka mortalitas jangka pendek sebesar 18,6% dan mortalitas jangka panjang 13,2%. Selain itu, didapatkan pula profil morbiditas selama perawatan fase aktif dengan kejadian sepsis 27,1%, perawatan ruang intensif >10 hari 18,6%, penggunaan ventilator mekanik >7 hari 11,4%, kejadian stroke sebanyak 28,5%, dan gagal ginjal akut 57,7%. Studi ini juga menunjukkan model awal skor prediktor mortalitas jangka pendek dan jangka panjang pada studi ini didapatkan berturut-turut dengan AUC 0,935 (IK95% 0,902 – 0,969; p <0,001; uji H-L 0,386) dan AUC 0,733 (IK95% 0,614 – 0,852; p <,001; uji H-L 0,530).
Kesimpulan: Faktor-faktor prediktor luaran mortalitas jangka pendek pasien EI aktif sisi jantung kiri meliputi kapasitas fungsional NYHA kelas III-IV, keterlibatan vegetasi katup aorta, ukuran vegetasi >10mm, penggunaan antibiotik inkomplit, sepsis, dan penggunaan terapi pengganti ginjal. Sementara itu, prediktor luaran mortalitas jangka panjang meliputi tidak dilakukannya prosedur operasi, komplikasi paravalvular, serta infeksi Streptoccocus non-viridans.

Background: Infective endocarditis (IE) in the last 3 decades still has a high incidence, burden of morbidity, and mortality reaching 30% in 1 year. Various predispositions for IE incidents show changes along with developments in medical management and actions which often become new triggers for IE itself.
Objective: This study aims to identify predictors for mortality and clinical outcomes in patients with active left-sided IE in short-term and long term. This study is also initial research to determine the risk stratification predictor model for patients with active IE on the left side of the heart in Indonesia.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 376 patients who experienced active left- sided IE in the period 1 January 2013 – 31 December 2022. Bivariate and multivariate analyzes were performed to identify predictors of short-term and long-term clinical outcomes. Mortality risk predictor score model was also created for active IE patients.
Results: There were 376 active left-sided IE patients who then received antibiotic treatment and 56.6% of the patients underwent surgery. This study showed a short-term mortality rate of 18.6% and a long-term mortality rate of 13.2%. Apart from that, the morbidity profile during the active phase of treatment was also obtained with the incidence of sepsis in 27.1% cases, intensive care > 10 days in 18.6% cases, use of mechanical ventilators > 7 days in 11.4% cases, stroke incidence in 28.5% cases, and acute renal failure in 57.7% cases. This study also shows initial model of short- term and long-term mortality predictor score respectively with AUC 0,935 (95%CI 0,902 – 0,969; p <0,001; H-L test 0,386) and AUC 0,733 (95%CI 0,614 – 0,852; p <,001; H-L test 0,530).
Conclusion: Predictors for short-term mortality outcomes in patients with active left-sided IE include NYHA class III-IV functional capacity, involvement of aortic valve vegetation, vegetation size >10mm, incomplete use of antibiotics, sepsis, and use of renal replacement therapy. Meanwhile, predictors of long-term mortality outcomes include not having a surgical procedure, paravalvular complications, and Streptoccocus non-viridans infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library