Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oktavidal Felani Putra
"Latar Belakang : Beban kerja pada pemandu lalu lintas udara dengan penggunaan layar VDT dapat menimbulkan risiko sindrom mata kering yang dapat mengganggu fungsi penglihatan sehingga berisiko menurunkan keselamatan penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat prevalensi sindrom mata kering pada pemandu lalu lintas udara di bandara Soekarno Hatta beserta faktor-faktor risiko yang berhubungan.
Metode : Desain penelitian menggunakan potong lintang dengan total sampling. Dilakukan pada pemandu lalu lintas udara unit controller ACC dan APP di bandara Soekarno Hatta. Sindrom Mata Kering diukur menggunakan dua macam pemeriksaan, yaitu secara subjektif dengan menggunakan kuesioner Occular Surface Dissease Index OSDI dan secara objektif dengan menggunakan tes schirmer. Variabel yang dianalisis adalah Usia, jenis kelamin, jabatan, masa kerja, jumlah pesawat yang ditangani 1 hari, merokok, gangguan fungsi penglihatan.
Hasil : Dari 316 PLLU unit controller hanya 134 responden yang bersedia mengikuti penelitian dan 124 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Didapatkan prevalensi sindrom mata kering 60,5 dengan mayoritas adalah derajat ringan sebesar 33,1 . Faktor-faktor dominan yang berhubungan dengan sindrom mata kering adalah jabatan dan gangguan fungsi penglihatan. Jika dibandingkan dengan PLLU dengan jabatan supervisor pengawas maka PLLU dengan jabatan senior yang memang tugasnya adalah sebagai pelaksana di ACC dan APP lebih cenderung sindrom mata kering [ Odd Ratio OR = 3,54 ; 95 interval kepercayaan IK 1,44 -8,71; nilai p = 0,006 dan gangguan fungsi penglihatan dengan sindrom mata kering menunjukkan hasil analisis multivariate OR = 0,44; 95 interval kepercayaan IK = 0,20-0,96; nilai p=0,038].
Simpulan : Jabatan dan gangguan fungsi penglihatan berhubungan dengan terjadinya sindrom mata kering pada pemandu lalu lintas udara di bandara Soekarno Hatta.Kata Kunci : Jabatan;gangguan fungsi penglihatan;sindrom mata kering;PLLU

Background Workload of the Air Traffic Controller using a VDT can increase the incidence of dry eye syndrome and lead to limitation of the visual capacity, this condition can decrease the flight safety.
Methods The design of the study was Cross sectional with total sampling of all Air Traffic Controller ACC and APP unit in Soekarno Hatta Airport. Two type of measurements was used to identify dry eye syndrome, using Ocular Surface Disease Index OSDI questionnaire for subjective and Schirmer Test as the objective test. Variables included were age, sex, job position, length of service, number of aircrafts handled in one day, smoking, visual disorders.
Results From 316 Air Traffic Controllers only 134 were willing to participate and only 124 respondents meet the inclusion criterias. The prevalence of dry eye syndrome among ATC is 60,5 , mostly 33,1 is mild dry eye syndrome. The dominant factors that associated with dry eye syndrome in ATC were job position and the visual disorders. Senior controllers have a 3,54 higher risk to get dry eye syndrome compared to supervisors Odd Ratio OR 3,54 95 IC 1,44 8,71 p 0,006 and the visual disorders associated with dry eye syndrome OR 0,44 95 IC 0,20 0,96 p 0,038.
Conclusions Job Position and visual disorders were with dry eye syndrome in Air Traffic Controller at Soekarno Hatta Airport.Keywords Job Position Visual Disorders Dry Eye Syndrome ATC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Noor Dwiprakoso
"Latar belakang: Defek septum ventrikel (DSV) merupakan salah satu PJB dengan jumlah kasus terbanyak. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi dengan prevalensi antara 2-10% dari seluruh kasus DSV. Pasien yang datang ke Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK) sudah dengan kondisi hipertensi pulmonal dan usia dewasa. Adanya perubahan pedoman internasional AHA/ESC dalam menentukan kelayakan operasi pada pasien DSV. Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan nilai pulmonary artery resistance index (PARI) yang menjadi prediktor keluaran pada pasien yang dilakukan operasi penutupan DSV.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif berdasarkan data sekunder dari bagian rekam medis RSPJNHK Indonesia pada dewasa yang telah menjalani operasi tutup defek ventrikel pada periode 2015-2022. Variabel yang dinilai antara lain nilai pulmonary artery resistance index (PARI), lama penggunaan mesin jantung paru, lama penggunaan klem silang aorta, terhadap lama rawat, komplikasi pascaoperasi, dan kematian dini.
Hasil: Terdapat 66 subjek pada penelitian ini. Usia rerata subjek studi ini 22,5 tahun. Pada penelitian ini terdapat peningkatan yang bermakna pada durasi ventilator (p = 0,012) dan lama rawat ICU (p = 0,031) pada kelompok nilai PARI >5 WU dibandingkan dengan kelompok PARI < 5 WU. Keluaran kelompok nilai PARI <5 WU lebih baik dibandingkan kelompok PARI >5 WU dengan mortalitas (0% vs 15,6%, p = 0,02), kejadian aritmia (14,7% vs 15,6 %; p = 0,59), dan krisis hipertensi pulmonal (0% vs 9,4%, p = 0,1)
Simpulan: Terdapat hubungan antara nilai PARI dengan durasi ventilator mekanis dan lama rawat di ICU, namun tidak terdapat hubungan dengan aritmia dan kejadian krisis hipertensi pulmonal pascaoperasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai PARI dan mortalitas dini pascaoperasi penutupan defek septum ventrikel pada dewasa.

Background: Ventricular septal defect (DSV) is one of the most common CHDs. Pulmonary hypertension is one of the complications that can occur with a prevalence of between 2-10% of all DSV cases. Patients who come to Harapan Kita National Heart Center Hospital (RSPJNHK) already have pulmonary hypertension and are adults. There are changes in AHA/ESC international guidelines in determining the feasibility of surgery in DSV patients. It is necessary to conduct research on the relationship between the value of the pulmonary artery resistance index (PARI) which is a predictor of outcome in patients undergoing DSV closure surgery.
Method: This study is a retrospective cohort study based on secondary data from the medical record section of the Harapan Kita National Cardiovascular Center Hospital in adult patients who had undergone ventricular septal defect closure surgery in the 2015-2022 period. The variable assessed included pulmonary artery resistance index (PARI), duration of cardiopulmonary bypass, duration of aortic cross clamp, on length of stay, postoperative complications, and mortality.
Result: There were 66 subjects in this study. The mean age of the subjects was 22.5 years. In this study, there was a significant increase in ventilator duration (p = 0,012) and ICU length of stay (p = 0,031) in the PARI value >5 WU group compared to the PARI <5 WU group. The outcome of the PARI <5 WU group was better than the PARI >5 WU group with mortality (0% vs 15,6%, p = 0,02), arrhythmic events (14,7% vs 15,6 %; p = 0,59), and pulmonary hyperetension crisis (0% vs 9,4%, p = 0,1).
Conclusion: There is an association between PARI and duration of mechanical ventilation and length of ICU stay, but no association with arrhythmias and the incidence of postoperative pulmonary hypertensive crisis. There is a significant association between PARI and early mortality after ventricular septal defect closure surgery in adults.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tjokorda Agung Yavatrisna Vidyaputra
"Lumbar Degenerative Disc Disease (LDDD) adalah salah satu penyebab utama nyeri punggung bawah pada populasi dewasa. Vitamin D, reseptor vitamin D (VDR), dan aggrecan serum memiliki peran dalam patogenesis degenerasi diskus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara kadar serum vitamin D, reseptor vitamin D, dan aggrecan dengan derajat keparahan LDDD pada populasi dewasa. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan 85 subjek usia dewasa yang didiagnosis LDDD. Kadar serum vitamin D, VDR, dan aggrecan diukur menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Derajat keparahan LDDD ditentukan berdasarkan Klasifikasi Pfirrmann melalui pencitraan MRI. Data dianalisis menggunakan uji statistik Chi-square, ROC, dan korelasi Pearson atau Spearman. Terdapat hubungan signifikan antara kadar vitamin D dengan derajat keparahan LDDD (p=0,01), dengan subjek yang memiliki kadar vitamin D insufisiensi lebih cenderung mengalami LDDD sedang. Sebaliknya, kadar aggrecan menunjukkan hubungan negatif yang signifikan dengan derajat LDDD (p<0,001), di mana kadar aggrecan yang lebih rendah berkorelasi dengan keparahan LDDD yang lebih tinggi. Tidak ditemukan hubungan signifikan antara kadar VDR dan keparahan LDDD (p=0,492). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara kadar vitamin D dan aggrecan serum dengan derajat keparahan LDDD pada populasi dewasa. Kadar aggrecan yang rendah dan insufisiensi vitamin D berhubungan dengan LDDD yang lebih berat, sedangkan VDR tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.

Lumbar Degenerative Disc Disease (LDDD) is a leading cause of low back pain (LBP) in the adult population. Serum vitamin D, vitamin D receptor (VDR), and aggrecan are believed to play roles in the pathogenesis of disc degeneration. This study aims to evaluate the relationship between serum levels of vitamin D, VDR, and aggrecan with the severity of LDDD in adults. A cross-sectional study was conducted with 85 adult subjects diagnosed with LDDD. Serum levels of vitamin D, VDR, and aggrecan were measured using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). The severity of LDDD was graded using the Pfirrmann classification via MRI imaging. Statistical analyses were performed using Chi-square tests, ROC analysis, and Pearson or Spearman correlation. A significant association was found between vitamin D levels and the severity of LDDD (p=0.01), with subjects having insufficient vitamin D levels more likely to experience moderate LDDD. In contrast, aggrecan levels showed a significant negative association with LDDD severity (p<0.001), where lower aggrecan levels correlated with higher LDDD severity. No significant relationship was observed between VDR levels and LDDD severity (p=0.492). This study demonstrates a significant relationship between serum vitamin D and aggrecan levels with the severity of LDDD in adults. Low aggrecan levels and vitamin D insufficiency are associated with more severe LDDD, while VDR levels showed no significant association."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library