Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tazkia Khansa Farhani
"Sebagai salah satu penulis drama paling terkenal dalam sejarah, Shakespeare telah menghasilkan berbagai karya yang kerap dibaca dan diadaptasi oleh banyak orang. Produksi adaptasi Shakespeare bervariasi tergantung niat pengadaptasi, dan hasilnya bisa berbeda dari teks sumber yang digunakan. Salah satu adaptasi film Shakespeare yang cukup radikal adalah A Midsummer Night's Dream (2016) karya Russell T. Davies. Film ini memasukkan fasisme ke dalam narasinya dan menghadirkan kisah cinta dan pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan tambahan unsur homoseksualitas di bawah pemerintahan yang otoriter. Artikel ini mengkaji signifikansi fasisme dalam film dan bagaimana pasangan heteroseksual dan homoseksual digambarkan dalam kaitannya dengan fasisme. Dengan mengacu pada teori adaptasi dan konsep seksualitas, penulis berpendapat bahwa fasisme adalah metafora dari sistem opresif yang masih ada pada masyarakat dewasa ini. Sistem ini mempertahankan heteronormativitas melalui pasangan heteroseksual yang ditampilkan dalam film. Namun, homoseksualitas dihadirkan sebagai kekuatan yang dapat menumbangkan fasisme. Homoseksualitas menunjukkan bahwa film A Midsummer Night’s Dream (2016) mendukung hak-hak LGBT.

.As one of the most celebrated playwrights in history, Shakespeare’s works have been read and adapted every so often. The production of Shakespearean adaptation varies depending on the adapter’s intentions, and the end product may differ from the source text to an extent. One radical film adaptation is A Midsummer Night's Dream (2016) by Russell T. Davies. This film incorporates fascism into its narrative and presents the story of love and marriage between men and women with the addition of homosexuality under an authoritarian government. The article examines the significance of fascism in the film and how heterosexual and homosexual couples are portrayed in relation to it. By referring to the theory of adaptation and the concept of sexuality, the author argues that fascism is a metaphor for an oppressive system that persists in many societies today. It preserves heteronormativity through heterosexual couples shown in the film. However, homosexuality is presented as a force that can subvert fascist power, showing how the film advocates LGBT rights."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Sabariman Sanityoso
"Legendarium J.R.R. Tolkien tetap menjadi karya fiksi imajinatif yang masih bertahan karena karya tersebut dapat mengeksekusi tema-tema universal, seperti cinta dan nostalgia, dengan penuh nuansa. Meskipun diskusi dari komunitas Tolkien dan akademisi telah mengupas tuntas nuansa tersebut, masih banyak yang dapat dikatakan mengenai aspek pasca-kolonial dari sejarah Dunia Tengah. Makalah ini menyelidiki cara-cara di mana Sauron mewarisi cita-cita kolonial tuannya, Morgoth, dan membangun hegemoni dengan menggunakan Cincin Utama selama Zaman Kedua seperti yang diceritakan dalam The Silmarillion (1977). Meskipun sebagian besar disunting dan disatukan oleh Christopher Tolkien, The Silmarillion mencakup keseluruhan Legendarium, termasuk penciptaan Cincin Utama dan cincin-cincin kekuasaan rendahannya. Dengan mengidentifikasi dan menganalisis fenomena hegemoni politik dalam teks, makalah ini berargumen bahwa Sauron berusaha untuk mendominasi Dunia Tengah dengan memproduksi realita pasca-kolonial dengan kekuatan Cincin Utamanya.

J.R.R. Tolkien’s Legendarium remains a timeless work of imaginative fiction because it executes universal themes, such as love and nostalgia, with nuance. While discussions from both the fan community and academia have thoroughly examined those nuances, much can still be said regarding the post-colonial aspect of Middle-earth’s history. This paper investigates the ways in which Sauron inherited the colonial ideals of his master, Morgoth, and established a hegemony by using the One Ring during the Second Age as told in The Silmarillion (1977). While it was mostly edited and pieced together by Christopher Tolkien, The Silmarillion covers the entirety of the Legendarium, including the creation of the One Ring and lesser rings of power. By identifying and analyzing the phenomena of political hegemony within the text, this paper argues that Sauron sought to dominate Middle-earth by producing post-colonial realities with the power of the One Ring."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library