Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Djoko Hadi Rahyono
Abstrak :
Salah satu aspek sanitasi dalam upaya pengelolaan rumah sakit yang bersih dan sehat adalah dengan menggunakan alat pembersih udara di dalam ruang perawatan. Dengan turunnya angka populasi kuman diharapkan terjadi korelasi penurunan angka kejadian Infeksi Nosokomial, dengan demikian dapat menekan biaya pengeluaran pasien/keluarganya dan biaya operasional rumah sakit, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan memperbaiki citra rumah sakit. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran, pengaruh dan efisensi alat pembersih udara `Enviracaire' terhadap penurunan jumlah koloni kuman per m3 udara serta kaitannya dengan insiden kejadian Infeksi Nosokomial di Ruang Perawatan Intensif Penelitian dilaksanakan di tiga Ruang Watsif (Perawatan Intensif) RSPAD Gatot Soebroto. Rancangan penelitian adalah Eksperimen Kuasi, dua ruangan sebagai perlakuan dan satu ruangan sebagai pembanding. Pengukuran jumlah koloni kuman dilaksanakan sepuluh kali sebelum dan sepuluh kali selama perlakuan dengan lama pengukuran 8 menit dan interval waktu 3 hari. Untuk menghindari kemungkinan adanya pengaruh cuaca dalam ruangan (suhu dan kelembaban) yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dikendalikan dengan mengukur Index WBGT. Hasil rata-rata pengukuran Index WBGT pada masing-masing ruangan yang diteliti sebelum dan selama dipasang alat 20,166 dan 20,163. Hasil uji Anova tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Dengan demikian terbukti bahwa variabel cuaca yang merupakan variabel pengganggu pada penelitian ini dapat terkendali. Hasil pengukuran jumlah koloni kuman per m kubik udara rata-rata sebelum dipasang alat di ruang perlakuan I, II dan pembanding masing-masing adalah 1466, 1471 dan 1467 koloni. Uji Anova dari ketiga ruang penelitian tersebut secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p > 0,05), Hasil pengukuran rata-rata jumlah koloni kuman per m3 udara selama dipasang alat di ruang perlakuan I, II dan pembanding masing-masing adalah 459, 436 dan 1456 koloni. Apabila dibandingkan dengan persyaratan Permenkes RI No. 9861 Menkes 1 Per 1 XI 1 1992, angka di ruang perlakuan I dan II dibawah Batas maksimum yang diperbolehkan (700 koloni per m3 udara). Setelah diuji dengan Anova dan t test secara statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara ruang perlakuan I dan ruang pembanding, ruang perlakuan II dan pembanding (p < 0,05). Sedangkan ruang perlakuan I dan ruang perlakuan II tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). Perbandingan rata-rata jumlah koloni kuman antara sebelum dan selama perlakuan didapatkan basil bahwa di ruang perlakuan I dan ruang perlakuan II secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna (p < 0,05). Sedangkan di ruang pembanding secara statistik tidak terdapat perbedaan antara sebelum dan selama perlakuan (p > 0,05). Dengan melihat kecenderungan jumlah koloni kuman, ternyata alat pembersih udara `Enviracaire' efektif digunakan sampai minggu ketiga. Efisiensi alat selama penelitian + 70 % dalam kurun waktu satu bulan. Sedangkan besarnya pengaruh (kontribusi) alat pembersih udara dalam menurunkan jumlah koloni kuman sebesar 94,2%. Secara deskripsi penurunan jumlah koloni kuman diikuti oleh penurunan angka insiden kejadian Infeksi Nosokomial di Ruang Perawatan Intensif (dari 14,81% menjadi 6,25%). Untuk mengetahui lebih lanjut apakah ada korelasi antara pemasangan alat pembersih udara dengan penurunan angka insiden Infeksi Nosokomial diperlukan adanya penelitian lanjutan. Disarankan bahwa untuk membantu menurunkan angka kejadian Infeksi Nosokomial menggunakan alat pembersih udara `Enviracaire', mengingat alat ini mempunyai potensi dan efisiensi yang baik untuk menurunkan jumlah koloni kuman di rumah sakit. Namun demikian alat ini harus dirawat dan dibersihkan filternya secara periodik paling lama 3 minggu sekali. ...... The Influence of Usefully Cleaned Air Conditioning System on Decreasing Germ Colonizations and Nosocomial Infection (Study Held in Icu of Center Army Gatot Soberoto Hospital, May-July Of 1997)One of sanitation aspect in accordance with environmental and healthful hospital which is carried out by mean of well-cleaned air conditioning system as used for wards. Therefore, there's any expected decreations of correlation between the quantity germs and occurred Nosocomial Infection rate, billing to patients taken medical treatments and the operated cost for hospitalization, consequently could be decreased and develop efficiently medical service and also improve the hospital prestigious. The examinations done to describe or indicate whether `Enviracaire' (cleaned air conditioning system) could possibly decrease the correlation between the quantity disease germ of a cubic meter air and occurred disease germ of Nosocomial Infection or not for Intensive Care Unit use. The examinations have been carried out in three different Intensive Care Unit of Center Army Gatot Soebroto Hospital. Quasi experiment, the designed examinations, consists of two medical treatment rooms and another one is used for comparison. The germ colonization are measured prior to ten times and ten times during the examinations treatments within each duration of eight minutes and three days intervals. WBGT Index is used to avoid possibilities of the rooms terrible weather (temperature and humidity) as it can effect changes in the result of examinations. Each room indicated as result of WBGT Index measurement rate before and during setting devices at 20,166 and 20,163. Otherwise, the Anova examination was without result or unmeaningful comparison (p > 0,05). Thus, it proved that variable temperature and humidity, as terreby result of examination, can be overcame (everything is under control). As result of correlation result between germ colonies of a cubic meter air rate prior to setting devices at the first and second treatment room and each comparison are namely 1466, 1471 and 147 colonies. Otherwise, Anova examination of those all experimented rooms are without result or unmeaningful in statistically (P > 0,05). However, as result of correlation between germ colonies of a cubic meter air after setting devices at the first and second treatment room and each comparison room are namely 459, 436 and 1456 colonies. In comparison with the requirement ruling of Minester of Health RI No. 986IMenkes/Per/XI11922, the rate of first and second treatment rooms are under maximized control allowed (700 colonies of a cubic meter air). In statistically, the result of Anova and other tests indicated that there is a meaningful different between the first treatment room and comparison room and between the second treatment room and the comparison one (p > 0,05). However, the first treatment room and the second treatment room have no meaningful difference (p > 0.05) In comparison with the quantity germ colonization rate between before and during carried out treatment indicated that the results of the first treatment room and the second treatment room, in statistically, there's a meaningful difference (p > 0,05), otherwise, in statistically, there's no difference between before and during the treatment done in the comparison room (p > 0,05). Having observed the result of `Enviracaire', more effectively useful until the third week. This device or instrument timing is efficiently used for researches approximately 70 %, otherwise the contribution of cleaning air device succeeded in reducing the quantity germ colonization of 94,2 %. Descriptively, decreasing germ colonization are following decreasing incidentally accured. Nosocomial Infection in ICU (from 14,81% reducing of 6,25 %). Following further information whether there's a correlation between setting cleaning air conditioning system off and occurred disease germ rate of Nosocomial Infection should be done. Suggestion should be great done for reducing or decreasing occurred disease germ of Nosocomial Infection by mean of `Enviracaire', the well cleaning air system, in accordance with this potentially of device. However, this sophisticated facility or device should be kept cleaned and well maintained periodically at least three times a week of it's filter.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildhatun Khoiriah
Abstrak :
ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan dan menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor , sepuluh kecamatan dinyatakan endemis dengan jumlah penderita DBD sangat tinggi. Sepuluh kecamatan dimaksud salah satunya adalah kecamatan Parung.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sosiodemografi dan kondisi lingkungan fisik dengan kejadian DBD di wilayah tersebut tahun 2016.Rancangan penelitian menggunakan desain cross sectional dengan jumlah sampel 270 responden.Populasi Data primer didapat dengan melakukan wawancara langsung mengenai DBD dan observasi kondisi lingkungan fisik rumah responden. Hasil analisis bivariat menunjukkan, pada variabel sosiodemografi yang terdapat hubungan dengan kejadian DBD yaitu pengetahuan dengan OR 7,821(95% CI : 4,346-14,076), dan perilaku dengan OR 26,344 (95% CI: 13,470-51,523). Kondisi lingkungan fisik yang berhubungan dengan kejadian DBD yaitu keberadaan tempat penampungan air dengan OR 21 (95% CI: 6,203-68,107)., keberadaan jentik dengan OR 3,592 (95% CI:2,162-5,967), dan keberadaan kasa pada ventilasi dengan OR 10,288 (95% CI: 5,864-18,-51). Hasil analisis multivariat menunjukkan adanya hubungan pengetahuan, perilaku, keberadaan TPA, keberadaan jentik, dan keberadaan kasa ventilasi dengan OR 81. Varibel perilaku merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian DBD
ABSTRACT
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is an environtment-centered plague and also a society health problem and according to Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, ten districts endemic expressed by the number of dengue fever patients is very high. One of them is Parung subdistrict. This reseach is aimed to discover the relationship between sociodemography and The physical environment condition of DHF case in that area in 2016. The research design used cross sectional with 270 sample of participants. The population of the research isthe community member who live and stay in Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor The result from bivariat analysis shows, sosiodemography variables which links to the DHF incidence is knowledge with OR 7,821(95% CI : 4,346-14,076), and behavior with OR 26,344 (95% CI: 13,470-51,523). Physical Enviroment condition which links to DHF incidence is the presence of container with OR 21 (95% CI: 6,203-68,107), existence of mosquito larva with OR 3,592 (95% CI:2,162-5,967), and presence of kasa ventilation with OR 10,288 (95% CI: 5,864-18,-51). The result from multivarite analysis shows the relationship between, knowledge, behavior, presence of container, existence of mosquito larva, and presence of kasa ventilation with OR, 81. The behavior variable is the most dominantly influential to the DHF incidence
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S65469
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Naria
Abstrak :
Sungai Cipinang adalah salah satu sungai di Jakarta yang dimanfaatkan sebagai penampung limbah dari berbagai jenis industri dan rumah tangga, sehingga pada sungai Cipinang terdeteksi adanya logam berat timbal. Sungai ini diperuntukkan bagi keperluan pertanian dan usaha perkotaan. Air sungai Cipinang telah dimanfaatkan secara langsung sebagai penyiram tanaman sayuran di bantaran sungai. Tanaman tidak memerlukan timbal, tetapi dapat mengabsorbsinya dan terakumulasi dalam jaringan tanaman sehingga akan terbawa saat panen dan selanjutnya akan dikonsumsi manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyiraman air tanah dan air sungai terhadap kandungan timbal dalam tanaman sayuran, dan keamanan sayuran untuk dikonsumsi. Rancangan penelitian adalah Eksperimental Sederhana dalam bentuk faktaria1 2 x 3, yaitu 2 jenis air penyiraman (air tanah dan air sungai) dan 3 jenis tanaman sayuran yaitu selada (Lactuca sativa), bayam (Amaranthus hybridus), kangkung (Ipomoea reptairs Pair). Pengukuran kandungan timbal dilakukan pada awal tanam, 14 hari setelah tanam, dan 26 hari setelah tanam terhadap air penyiraman, tanah penanaman, dan tanaman sayuran selada, bayam, dan kangkung. Hasil pengukuran kandungan timbal air penyiraman pada awal tanam adalah 0,011 ppm (air tanah) dan 0,118 ppm (air sungai). Kandungan timbal pada 14 hari setelah tanam adalah 0,011 ppm (air tanah) dan 0,059 ppm (air sungai). Kandungan timbal pada 26 hari setelah tanam adalah 0,011 ppm (air tanah) dan 0,013 ppm (air sungai). Hasil pengukuran kandungan timbal tanah penanaman pada awal tanam adalah sama untuk keseluruhan yaitu 0,116 ppm. Kandungan timbal tanah untuk penyiraman air tanah pada 14 hari setelah tanam rata-rata adalah 0,148 ppm, dan 26 hari setelah tanam rata-rata adalah 0,060 ppm Kandungan timbal tanah untuk penyiraman air sungai pada 14 hari setelah tanam rata-rata adalah 0,160 ppm, dan 26 hari setelah tanam rata-rata adalah 0.083 ppm. Hasil pengukuran rata-rata kaudungan timbal tanaman sayuran selada, bayam, dan kangkung pada 14 hari setelah tanam untuk penyiraman air tanah adalah 1,52 ppm (selada), 1,15 ppm (bayam), 1,13 ppm (kangkung). Rata-rata untuk penyiraman air sungai adalah 1,42 ppm (selada), 0,99 ppm (bayam), 0,69 ppm (kangkung). Rata-rata kandungan timbal tanaman pada 26 hari setelah tanam untuk penyiraman air tanah adalah 2,45 ppm (selada), 1,71 ppm (bayam), 1,56 ppm (kangkung). Rata-rata untuk penyiraman air sungai adalah 2,72 ppm (selada), 1,98 ppm (bayam),1,80 ppm (kangkung). Uji Anova kandungan timbal pada tanaman sayuran selada, bayam, dan kangkung seperti berikut. Pada 14 hari setelah tanam, untuk penyiraman air tanah tidak terdapat perbedaan (p>0,05), untuk penyiraman air sungai terdapat perbedaan (p<0,05). Pada 26 hari setelah tanam, untuk penyiraman air tanah maupun untuk penyiraman air sungai, terdapat perbedaan (p<0,05). Tanaman sayuran yang berbeda kandungan timbalnya adalah selada dengan bayam, dan selada dengan kangkung. Sedangkan bayam dengan kangkung tidak saling berbeda. Perbandingan kandungan timbal pada masing-masing jenis tanaman sayuran untuk penyiraman air tanah dan penyiraman air sungai dilihat dengan menggunakan uji t. Hasil uji t secara keselumhan untuk masing-masing jenis sayuran tidak berbeda nyata (p>0,05). Tanaman sayuran dapat menyerap timbal dan terakumulasi dalam jaringan tanaman. Disarankan untuk mempertimbangkan jenis tanaman yang diusahakan di bantaran sungai. Diperlukan juga penelitian tentang penyerapan timbal oleh tanaman yang berasal dari air penyiraman, tanah, dan udara sekaligus, untuk mengetahui kondisi lingkungan yang cocok agar tanaman sayuran tidak terkontaminasi timbal secara berlebihan.
The Effect of Watering of Cipinang River Water and Ground Water on Lead Content in Several Vegetable CropsCipinang is one of the rivers in Jakarta and used for industrial and domestic wastes dumping, so some metals are detected in this river. Water of the Cipinang river is directly used for watering vegetable crops on its flood plain. Although lead is not an essential to the crops, this metal can be absorbed and accumulated in their tissues which is finally are consumed by human. Of this research is to understand effect of watering by Cipinang river water and ground water on lead content in vegetable crops and to elicidate whether or not the crops are safe to consume. The Research design is true experimental on factorial of type 2 x 3. namely 2 types of waters (ground water and Cipinang river water) and 3 types of vegetable crops (lettuce ;Lactuca saliva, spinach ; Amaranthus hybridus. `kangkung'Ipomoea reptans Poir). Lead content analysis is conducted at the beginning of planting, 14 days after planting, and 26 days after planting, in ground water, Cipinang water, soil, lettuce, spinach, and `kangkung', respectively. The analyses showed that lead content in water at the beginning of planting are 0.011 ppm (ground water = g w) and 0.118 ppm (Cipinang water = C w), while lead content at 14 days after planting are 0.011 ppm (g w) and 0.059 ppm (C w), whereas 26 days after planting are 0.011 ppm (g w) and 0.013 ppm (C w). In the mean time lead content in soil at the beginning of planting is 0.116 ppm, while lead content in soil after treatment with ground water at 14 days after planting is 0.148 ppm and at 26 days after planting is 0.060 ppm, respectively lead content in soil after treatment with Cipinang river water at 14 days after planting is 0.160 ppm and at 26 days after planting is 0.083 ppm. The result shows that the average lead content for lettuce, spinach, and `kangkung' at 14 days after planting for ground water watering are 1.52 ppm (letttuce), 1.15 ppm (spinach), and 1.13 ppm (`kangkung').The average lead content for Cipinang water watering are 1.42 ppm (lettuce), 0.99 ppm (spinach), and 0.69 ppm ('kangkung'). Lead content on 26 days after planting for ground water watering are 2.45 ppm (letttuce), 1.71 ppm (spinach), and 1.56 ppm (`kangkung'), for Cipinang water watering are 2.72 ppm (lettuce), L98 ppm (spinach), and 1.80 ppm ('kangkung'). One way Anova test of lead content in lettuce, spinach, and `kangkung' at 14 days after planting for ground water watering is not significant (p>0.05), while for Cipinang water is significant (p<0.05). Further, one way Anova test of lead content at 26 days after planting for both Cipinang water watering and ground water watering is significant (p<0.05). The significance of lead content is between lettuce and spinach and between lettuce and `kangkung', whereas between spinach and `kangkung' is not significant. Lead content of each vegetable crops between ground water and Cipinang water watering are compared by t test. The tests showed that the lead content in vegetable crops is not significant (p>0.05). As vegetable crops can absorb and accumulate lead in their tissues, we suggest to plant appropriate vegetable crops on flood plain of the river. Research on the lead absorbtion from watering, soil, and air by vegetable crops is needed further to explore the optimal condition by which the crops will not be contaminated by lead excessively. References : 39 (1965 - 1998).
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviana Wirastini
Abstrak :
Lingkungan yang sehat merupakan dambaan setiap orang, baik di lingkungan udara terbuka maupun lingkungan udara tertutup seperti lingkungan dalam gedung perkantoran. Sebab kesehatan lingkungan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan orang yang bekerja di dalamnya. Kualitas lingkungan udara yang kurang baik akan menimbulkan gangguan kesehatan. Salah satu fenomena gangguan kesehatan yang berkaitan dengan kualitas udara dalam ruangan adalah `sick building syndrome' (SBS). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kualitas fisik dan kimia udara serta melihat hubungan antara kualitas udara dengan kejadian SBS. Sedangkan tujuan khusus, untuk mengetahui gambaran polutan udara dalam ruangan, gambaran SBS, dan hubungan antara kualitas udara dalam ruangan dengan fenomena SBS khusus pada pekerja wanita di Mal Blok-M. Untuk itu dilakukan studi observasi (survey) dan pengukuran pada indikator kualitas fisik kimia udara dan kasus SBS, dengan variabel kontrol umur, masa kerja dan status gizi. Penetapan kasus SBS bilamana responden mengalami 4 (empat) atau lebih gejala minimal 2 (dua) kali dalam seminggu; dan mengalami keluhan saat dilakukan penelitian, dan keluhan hanya timbul pada jam kerja. Untuk analisa bivariat dan multivariat dengan metode cross sectional menggunakan program komputer Epi Info dan SPSS Windows. Prevalensi SBS 42 orang (19,8 %). Penilaian suhu udara diatas suhu standar (27,01°C). Kelembaban relatif 58,32 %, kecepatan aliran udara 0,14 m2ldetik (dibawah standar) dan kepadatan 0,55 orang/m2 (diatas standar). Beberapa polutan kadarnya melebihi ambang batas WHO untuk kondisi kimia dalam ruangan yaitu timah hitam, Karbon dioksida, dan formaldehid. Hasil analisa multivariat terhadap 7 (tujuh) parameter panting (suhu, kelembaban, kecepatan aliran udara, kepadatan, kadar Karbon dioksida, Sulfur dioksida, formaldehid, dan masa kerja), mendapatkan model `fit' 3 variabel, dimana kelembaban udara berhubungan paling kuat terhadap SBS setelah dikontrol parameter kadar Karbon dioksida dan masa kerja. Nilai Odds Rasio 1,585 menunjukkan resiko terjadinya SBS pada ruangan berkelembaban di bawah 58,3% sebesar 1,585 dibandingkan pada ruangan berkelembaban sama atau diatas 58,3%. Pengendalian terhadap kelembaban dan suhu menciptakan kenyamanan udara dalam ruang, serta potensial juga mengendalikan tingginya kontaminan di dalam ruangan. Dapat disimpulkan bahwa terdapat kasus SBS di Mal Blok-M. Faktor-faktor lingkungan yang berkaitan terhadap terjadinya SBS adalah suhu, kelembaban udara, kecepatan aliran udara, kadar Karbon dioksida dan kadar formaldehid; dimana kelembaban udara paling kuat hubungannya. Disarankan pengaturan sistem ventilasi ruangan khususnya kelembaban udara; perlunya upaya penurunan kadar polutan Timah hitam, Formaldehid, dan Karbon dioksida; pengujian kelayakan (kir) kendaraan angkutan umum secara berkala; penyuluhan gizi dan kecepatan; pengukuran kualitas fisik dan kimia udara secara berkala; dan untuk penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pengambilan sampel yang lebih banyak agar kekuatan tes lebih baik. ......The Relationship between Room Air Quality and the `Sick Building Syndrome' among Female Store Employees at the Blok-M Mall, Jakarta. Healthy environmental is being needed for every people, either outdoor environment or the indoor for example office building. Because the quality of environmental health was impact to public health statue especially people who works there. The worst air quality may influence symptoms. One of symptoms which related to indoor air quality is sick building syndrome (SBS). The following research wishes to obtain a picture of phisical dan chemical air qualities in the shopping complex buildings at Blok-M Mall in relation to employee health. Special purposes are having a picture of air polutant in room, sick building syndrome cases, and the relation between room air quality and the `sick building syndrome' among female store employees at the Blok-M Mall. Finding the purposes, this study was designed by observasi study (sur-vet) and measured many parameters of phisical and chemical air quality and ditected the SBS cases, there are also saveral variable controls age, length of time working and nutrition statue. Whereas the SBS if someone has 4 (four) or more symptoms minimal twice a week, either when the study done and the complains only in whorkplace. The bivariat and multivariat analysis with cross sectional method in Epi Info and SPSS for Windows (computer programe). SBS prevalence is 42 persons (19,8%). Measuring temperature of the air was above the standart (27,01°C), humidity was 58,32 %, rate of air circulation was 0,14 m2lsecond (under the standart) dan crowd level 0,55 personlm2 (above the standart). Some polutant levels had being above of the WHO standart for air chemical quality of room are the level of Plumbum, Carbon dioxide, and Formaldehide. Result of multivariat analyzes to 7 (seven) important parameters (temperature, humidity, rate of air circulation, room crowd, level of Carbon dioxide, Sulfur dioxide, Formaldehide, and length of time working), had regression model `fit' 3 variables, whereas the air humidity related to SBS after adjusted with Carbon dioxide levels and length of time working. Odds Rasio was 1,585, It was pointing the hazard of SBS in room which have air humidity under 58,3% may upon 1,585 in comparison with room above 58,3%. Controling air humidity and temperature of the building could make comfortable environment although potencialy controling the increasing contaminant in room. The conclusion of study was SBS cases ini Blok-M mall. The environmental factors which related to SBS were temperature, humidity, rate of air circulation, level of Carbon dioxide and Formaldehide; whereas air humidity had stroggest relationship. The study advised controlling room ventilation systems especially air humidity; decreasing level of air contaminants : Plumbum, Formaldehide, and Carbon dioxide; testing the available public transportation; advocating good nutrition and health; measuring phisical-chemical air quality routinesly; and another study must be more adequacy sample size to increasing the power test.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Tianara
Abstrak :
ABSTRACT
Cendawan polypore merupakan kelompok cendawan yang memiliki binding dan skeletal hyphae dengan himenium yang umumnya berpori. Cendawan tersebut memiliki manfaat tinggi pada sisi ekologis dan antroposentris. Akan tetapi, sampai dengan tahun 2018, keanekaragaman cendawan di Kampus UI Depok, khususnya cendawan polypore, belum pernah terdata. Hal tersebut perlu menjadi perhatian besar mengingat berbagai peningkatan jumlah sarana-prasarana telah dan sedang dilakukan di kawasan kampus sehingga dapat mengancam keberadaan cendawan polypore. Penelitian bertujuan untuk menginventarisasi dan mendeskripsikan, membandingkan keanekaragaman taksonomi, dan menyediakan koleksi spesimen cendawan polypore di Kampus UI Depok. Sampling spesimen dilakukan di seluruh kawasan urban dan hutan Kampus UI Depok menggunakan metode jelajah bebas. Karakterisasi, identifikasi, dan penyusunan deskripsi spesies menggunakan pendekatan morfologi, baik makroskopis maupun mikroskopis. Diperoleh 70 spesimen cendawan polypore dari kawasan tersebut yang terdiri atas 34 spesies yang berasal dari 22 genus, 7 famili (1 incertae sedis),  dan 4 ordo.  Sebanyak 82,35% cendawan polypore berasal dari ordo Polyporales GA um. Sementara itu, famili dan genus terbesar adalah Polyporaceae dan Trametes. Sebanyak 17 spesies yang terdeteksi sebagai spesies new record di Pulau Jawa dan 11new record di Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa kawasan hutan memiliki keanekaragaman taksonomi lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan urban. Hal tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan substrat tumbuhan dan kondisi abiotik pada kedua kawasan yang dapat memengaruhi dispersi dan pertumbuhan cendawan polypore.
ABSTRACT
The polypore mushrooms or polypores are distinguished by their binding and skeletal hyphae and typical poroid hymenophore. Huge beneficial ecological and anthropocentric values can be obtained from them. Unfortunately, there have never been any mushroom diversity record on site, including polypores, though Universitas Indonesia has been established in Depok for 31 years. Moreover, campus facilities development which is ongoing may threaten their existence. The study was aimed to list and describe polypores of UI Depok Campus which then collected as specimen for further studies. Taxonomic diversity in urban and forest area were then compared. Sampling had been conducted using broad survey method. Characterization, identification, and species description were done using morphological approach, both macroscopic and microscopic. Seventy specimens which were collected consisted of 34 species from 22 genera, 7 families (1 incertae sedis), and 4 orders. Polyporales GA um is the largest order (82,35% from all species found) with Polyporaceae and Trametes as the largest in rank family and genus respectively. It is then known that 17 species are new record in Java and 11 among them are new to Indonesia. The study shows that taxonomical diversity is higher in forest area compared to urban area. It was possible due to the differences in plant availability as substrate and abiotic factors those affect polypores dispersion and growth.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library