Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lina Karlinawati
"Latar Belakang: Semen Ionomer Kaca (SIK) adalah bahan restorasi yang terdiri dari bubuk kaca kalsium fluoroaluminosilikat dan asam oliakrilik. Pada tahap awal reaksi setelah dilakukan pencampuran, SIK sensitif terhadap udara dan air yang dapat menghambat reaksi pengerasan, sehingga perlu diberikan perlindungan dengan material yang kedap air dan salah satu material tersebut adalah bonding agent.
Tujuan: Menganalisis hubungan kedalaman intrusi air terhadap kekerasan SIK.
Metode: 12 spesimen SIK dengan diameter 5 mm dan tebal 2 mm, dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok 1 tanpa bahan pelindung, kelompok 2 diaplikasikan varnis, dan kelompok 3 diaplikasikan bonding agent. Seluruh spesimen direndam dalam methylene blue 0,1% selama 24 jam dan di masukkan ke dalam inkubator dalam suhu 370C. Selanjutnya setiap sampel dibelah menjadi 2 bagian, pada satu bagian dilakukan pengukuran terhadap kedalaman intrusi air menggunakan measuring microscope sedangkan pada satu sisi lainnya dilakukan pengukuran terhadap kekerasan menggunakan Knoop Microhardness Tester. Kemudian hasilnya dianalisis secara statistik.
Hasil: Pada tiap kelompok terdapat hubungan korelasi yang kuat antara kedalaman intrusi air dan kekerasan SIK dengan nilai korelasi -0,868 dan nilai p < 0,05 .
Kesimpulan: Semakin dalam intrusi air pada SIK, semakin rendah kekerasan SIK.

Background: Glass Ionomer Cement (GIC) is a restorative material consisting of calcium fluoroaluminosillicate glass powder and polyacrylic acid. At the initial reaction after mixing, GIC is sensitive to the air and water which can inhibit the setting reaction, therefore it is needed a protection by materials which are watertight and one of them is bonding agent.
Aim: To analyze the relation of the depth water intrusion to the hardness of GIC.
Method: 12 specimen with 5 mm in diameter and 2 mm in thickness, were divided into 3 groups: the first group wasn?t given a coating, the second group was given varnish, and the third group was given bonding agent. All specimen were soaked in methylene blue 0,1% during 24 hours and placed in incubator with 370C in temperature. Furthermore, each sample was cut into 2 parts, one part was measured to know the depth of water intrusion by measuring microscope while the other part was measured to know its hardness by Knoop Microhardness Tester. Afterwards, the result is analyzed statistically.
Result: There is a strong correlation between the depth of water intrusion and the hardness of GIC in each group with correlation value -0,868 and p value < 0,05.
Conclusion: The deeper the water intrusion of GIC, the lower the hardness of GIC."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Dewi Arianty
"Latar Belakang: Semen Ionomer Kaca (SIK) adalah bahan restorasi yang terdiri dari bubuk kaca kalsium fluoroaluminosilikat dan asam poliakrilik. Pada tahap awal reaksi setelah pencampuran, SIK sensitif terhadap udara dan air yang dapat menghambat reaksi pengerasan sehingga perlu perlindungan dengan material yang kedap air dan salah satunya adalah bonding agent.
Tujuan: menganalisis efek bonding agent terhadap kedalaman intrusi air pada SIK.
Metode: 12 spesimen SIK diameter 5 mm dan tebal 2 mm, dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok 1 tanpa pelapisan, kelompok 2 dilapis varnis, dan kelompok 3 dilapis bonding agent. Seluruh spesimen direndam dalam methylene blue 0,1% selama 24 jam dan dimasukkan dalam inkubator dengan suhu 370 C. Kemudian setiap sampel dibelah menjadi 2, yang satu sisi diukur kedalaman intrusi airnya menggunakan measuring microscope dan bagian lainnya diukur kekerasan permukaannya menggunakan Knoop Microhardness Tester. Kemudian hasilnya dianalisis secara statistik.
Hasil: Pada ketiga kelompok terlihat adanya perbedaan bermakna dengan nilai kedalaman intrusi air tertinggi ada pada kelompok tanpa perlakuan dan paling rendah pada kelompok bonding agent.
Kesimpulan: Aplikasi bonding agent dapat menurunkan kedalaman intrusi air pada SIK.

Background: Glass Ionomer Cement (GIC) is a restorative material containing calcium fluoroaluminosilicate glass powder and polyacrylic acid. At initiation stage of reaction after mixing, GIC becomes sensitive with air and water which can inhibit setting reaction so it needs to be protected with waterproof material, the one is bonding agent.
Aim: To analize bonding agent?s effect in depth of water intrusion in GIC.
Method: 12 GIC speciments with 5 mm in diameter and 2 mm in height were divided into 3 groups: group 1 without any protecting layer, group 2 was coated with varnish, and group 3 was coated with bonding agent. All speciments were immersed in methylene blue 0,1% as long as 24 hours and was put into incubator 370 C. Then, each samples was cut off into 2 pieces, one side was measured for water intrusion using measuring microscope dan the other was measured for surface hardness using Knoop Microhardness Tester. After that, the result was analized statistical.
Result: At 3 groups showed there was significant difference, the highest water intrusion depth score was group without any protecting layer and the lowest score was bonding agent?s group.
Conclusion: Application of bonding agent could decrease the depth of water intrusion in GIC."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Nurul Ulfah
"Latar Belakang: Semen Ionomer Kaca (SIK) adalah bahan restorasi yang terdiri bubuk kaca kalsium fluoroaluminosilikat dan asam poliakrilik. Pada tahap awal reaksi setelah pencampuran, SIK sensitif terhadap udara dan air yang dapat menghambat reaksi pengerasan, sehingga perlu perlindungan dengan material yang kedap air dan salah satunya adalah bonding agent.
Tujuan: menganalisis efek bonding agent terhadap kekerasan SIK.
Metode: 12 spesimen SIK diameter 5mm dan tebal 2mm, dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok 1 tanpa pelapisan, kelompok 2 dilapis varnis dan kelompok 3 dilapis bonding agent. Seluruh spesimen direndam dalam methylen blue 0,1% selama 24 jam dan di masukkan dalam inkubator dalam suhu 37oC. Kemudian setiap sampel dibelah menjadi 2, yang satu sisi diukur kedalaman intrusi airnya dengan measuring microscope dan bagian lainnya diukur ke kekerasan permukaannya dengan Knoop Microhardness Tester. Kemudian hasilnya dianalisis secara statistik.
Hasil: Pada ketiga kelompok terlihat adanya perbedaan bermakna dengan nilai kekerasan SIK tertinggi ada pada kelompok bonding agent.
Kesimpulan: Aplikasi bonding agent dapat meningkatkan kekerasan SIK.

Background: Glass Ionomer Cement (GIC) is a restorative material containing calcium fluoroalluminosillicate glass powder and polyacrylic acid. At the initial reaction after mixing process, GIC becomes sensitive to the air and water which can inhibit setting reaction, therefore it needs to be protected with waterproof material, such as bonding agent.
Aim: Analyzing effect of bonding agent application in the hardness of GIC.
Method: 12 GIC specimens with 5 mm in diameter and 2 mm in height were divided into 3 groups: first group were without coating, second group were coating with varnish, and third group were covering with bonding agent. All specimens were immersed in methylene blue 0,1% for 24 hours and stored into incubator 37o C. Furthermore, each sample was cut into 2 pieces, one part was measured for water intrusion using measuring microscope while the other part was measured for surface hardness using Knoop Microhardness Tester. Afterwards, the result was analized statistical.
Result: At 3 groups show there was significant difference, the highest hardness score is bonding agent?s group.
Conclusion: Application of bonding agent could increase the hardness of GIC."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amaliyatus Silmi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Konstriksi apikal adalah bagian sistem saluran akar dengan diameter terkecil dan merupakan titik acuan yang paling sering digunakan dokter gigi sebagai penghentian apikal untuk pembersihan, pembentukan, dan pengisian saluran akar untuk perawatan endodontik. Tujuan: Mengetahui variasi ukuran, lokasi, dan bentuk konstriksi apikal pada gigi premolar 1 mandibula dan gigi premolar 2 maksila. Metode: Penelitian ini menggunakan 66 sampel gigi yang telah diekstraksi dengan akar telah terbentuk sempurna tanpa tanda-tanda resorpsi eksternal. Sampel dipindai menggunakan micro-CT Bruker SkyScan 1173 dengan resolusi 50 m. Gigi dibuat menjadi transparan untuk menampilkan morfologi sistem saluran akar secara tiga dimensi. Analisis ukuran, lokasi, dan bentuk konstriksi apikal dilakukan menggunakan perangkat lunak Fiji ImageJ, CT Vox, CT An, dan CT Vol. Data dianalisis menggunakan uji T satu sampel. Hasil: Rerata jarak antara konstriksi apikal dan foramen apikal pada gigi premolar 1 mandibula adalah 0,619 mm dan pada gigi premolar 2 maksila adalah 0,647 mm dengan lokasi konstriksi apikal terbanyak yaitu lebih ke apikal. Bentuk konstriksi apikal terbanyak pada gigi premolar 1 mandibula dan gigi premolar 2 maksila adalah konstriksi apikal konvergen dan konstriksi apikal bercabang dua. Kesimpulan: Variasi ukuran, lokasi, dan bentuk konstriksi apikal harus menjadi pertimbangan dokter gigi dalam melakukan perawatan endodontik.

ABSTRACT
Background Apical constriction is the smallest diameter of root canal system and also the most commonly used reference point by clinicians as the apical termination for cleaning, shaping, and obturation for root canal treatment. Objective This study aim to know the variation of size, location, and shape of apical constriction in mandibular first premolar and maxillary second premolar. Methods Total 66 samples of extracted premolar teeth with perfectly formed root and without sign of external resorption were collected. Each tooth was scanned using a Bruker Skyscan 1173 micro CT at a resolution of 50 m. The teeth were made transparent in order to reveal the root canal system morphology in three dimensions. The size, location, and shape of apical constriction was analyzed using Fiji ImageJ, CT Vox, CT An, and CT Vol software. Data were analyzed statistically by One sample T test. Result The average distance between apical constriction and apical foramen in mandibular first premolar is 0,619 mm and in maxillary second premolar is 0,647 mm with the most location of apical constriction inclining to apically. Most of apical constrictions shape in mandibular first premolar and maxillary second premolar is convergent apical constriction and branched apical constriction. Conclusion The variation of size, location, and shape of apical constriction should be considered by dentist in performing endodontic treatment."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andari Putrianti
"ABSTRAK
Latar Belakang: Semen saluran akar Bioroot merupakan semen kalsium silikat terbaru
yang memiliki kandungan kalsium silikat murni. Tujuan: Menganalisis perbandingan
kekuatan ikat semen Bioroot pada teknik pengisian cold dan warm compaction.
Metode: Evaluasi kekuatan ikat menggunakan uji push-out bond strength. Hasil:
Terdapat perbedaan bermakna nilai push-out bond strength antara kelompok cold dan
warm compaction. Kesimpulan: Teknik pengisian cold compaction memiliki kekuatan
ikat lebih baik dibandingkan warm compaction.

ABSTRACT
Background: Bioroot root canal sealer is the latest calcium silicate-based sealer that
contain pure calcium silicate material. Purpose: To analyze adhesion capability of
Bioroot in cold and warm compaction obturation technique. Methods: Evaluation of
adhesion capability using push-out bond strength test. Result: There was a significant
difference of push-out bond strength value between cold and warm compaction.
Conclusion: Cold compaction technique has a better adhesion capability than warm
compaction technique."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erliyana
"ABSTRAK
Latar belakang: Carboximethyl Chitosan / Amorphous Calcium Phosphate (CMC/ACP) sebagai material analog non-protein mempunyai kemampuan meremineralisasi dentin. Gypsum sebagai bahan pencampur yang dapat memudahkan aplikasi. Tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh penambahan gypsum pada material analog non-protein CMC/ACP. Metode: 27 kavitas dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 dentin demineralisasi tidak diaplikasi bahan, kelompok 2 dentin demineralisasi diaplikasi CMC/ACP, kelompok 3 dentin demineralisasi diaplikasi gypsum+CMC/ACP. Diperiksa pada hari ke-14 menggunakan SEM-EDX. Hasil: gypsum tidak memengaruhi kemampuan material analog non-protein CMC/ACP dalam remineralisasi dentin.

ABSTRACT
Background: Carboximethyl Chitosan / Amorphous Calcium Phosphate (CMC/ACP) is analog material non-protein that have dentine remineralization ability.  While Gypsum is mixing material that can facilitate the application. Objective of this study was to see the effect of gypsum addition on analog material non-protein CMC/ACP. Methods: 27 cavities were divided into 3 groups. Group 1 were dentine demineralization without any material applied. Group 2 were dentine demineralization with CMC/ACP material applied, and group 3 were dentine demineralization with gypsum + CMC/ACP material applied. Checked on day 14 using SEM-EDX. Result:  Gypsum was not affect material ability of analog non-protein CMC/ACP in dentine remineralization.

 

"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meita Herisa
"Latar Belakang: Preparasi saluran akar gigi menghasilkan smear layer saat bersentuhan dengan dinding saluran akar yang berpotensi menyebabkan kegagalan perawatan. Bentuk penampang file mempengaruhi pembentukan smear layer. Penelitian ini membandingkan kuantitas smear layer pada dinding saluran akar sepertiga apikal yang dipreparasi menggunakan file berpenampang melintang segitiga dan segi empat.
Metode: 32 sampel gigi premolar rahang bawah dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan yang dipreparasi dengan file berpenampang segitiga (One Curve®, n = 16) dan segi empat (Hyflex EDM®, n = 16). Setelah preparasi, saluran akar diirigasi menggunakan kombinasi larutan NaOCl 2,5% dan EDTA 17%. Smear layer pada dinding saluran akar sepertiga apikal diamati menggunakan scanning electron microscope (SEM) dan dikuantifikasi menurut sistem skoring Foschi.
Hasil: Uji Mann- Whitney menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik antara preparasi saluran akar menggunakan kedua instrumen dengan skor smear layer. Kelompok yang dipreparasi dengan file berpenampang segitiga menghasilkan skor smear layer lebih rendah dibanding kelompok yang dipreparasi dengan file berpenampang segi empat.
Kesimpulan: Preparasi saluran akar menggunakan file berpenampang segitiga dan segi empat dengan irigasi kombinasi NaOCl 2,5% dan EDTA 17% tetap menghasilkan smear layer pada daerah sepertiga apikal, namun preparasi dengan file berpenampang segitiga menunjukkan kuantitas smear layer yang lebih sedikit dibandingkan file berpenampang segi empat.

Background: Root canal preparation produces smear layer when in contact with its wall, which potentially causing treatment failures. Cross-section shape of file influences smear layer production. This experiment compares smear layer quantity at apical third of root canal walls prepared using files with triangular and rectangular cross-section.
Methods: Thirty-two premolar samples taken from mandibles were divided into two groups whose root canals were prepared using file with triangular (One Curve®, n = 16) and rectangular (Hyflex EDM®, n = 16) cross-section. After preparation, root canals were irrigated with combination of NaOCl 2,5% and EDTA 17% solutions. Smear layer in apical third of root canal walls were then observed using scanning electron microscope (SEM) dan quantified according to Foschi scoring system.
Results: Mann- Whitney test shows significant difference between root canal preparation using both instruments and produced smear layer score. Group prepared with triangular file produced lower smear layer score compared to those which prepared with rectangular file.
Conclusions: Root canal preparation using files with triangular and rectangular cross-section, followed by combined NaOCl 2,5% and EDTA 17% irrigation still produces smear layer in apical third area. However, preparation with triangular file shows less smear layer quantity compared to rectangular file.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Norma Avanti
"

Latar Belakang: Perawatan karies dengan minimal intervensi, yaitu dengan membuang infected dentin, dan meninggalkan affected dentin, kemudian dilakukan remineralisasi pada affected dentin. Pada affected dentin masih terdapat ikatan silang kolagen. Remineralisasi dentin lebih kompleks karena pada karies dentin sudah tidak ada sisa kristal mineral. Untuk terjadinya remineralisasi ekstrafibrilar dan intrafibrilar pada dentin, maka dibutuhkan dentin matrix protein 1 (DMP 1)  yang merupakan protein non-kolagen. Proses polymer-induced liquid precursor (PILP) merupakan metode Guided Tissue Remineralization yang bertujuan untuk remineralisasi dentin secara intrafibrilar dan ekstrafibrilar dengan penambahan polimer sebagai analog DMP1. Salah satu material analog protein non kolagen adalah asam poliaspartik.

Tujuan: Mengevaluasi remineralisasi dentin pada permukaan demineralized dentin setelah perendaman dengan larutan remineralisasi yang mengandung asam poliaspartik sebagai analog protein non kolagen.

Metode: Empat kelompok dilakukan demineralisasi buatan. Setelah itu, tiga kelompok dilakukan perendaman dengan larutan remineralisasi yang mengandung asam poliaspartik, sedaangkan satu kelompok tidak dilakukan perendaman larutan remineralisasi asam poliaspartik. Evaluasi remineralisasi dengan Micro-CT.

Hasil: Terlihat remineralisasi pada permukaan demineralized dentin yang ditandai dengan penurunan kedalaman lesi demineralized dentin yang ditandai dengan peningkatan grey scale index setelah dilakukan perendaman dengan larutan remineralisasi asam poliaspartik. Perbandingan rerata empat kelompok menunjukkan perbedaan bermakna.

Kesimpulan: Asam poliaspartik memiliki potensi untuk meremineralisasi demineralized dentin.


 

 


Background: Caries treatment with minimal intervention, namely by removing infected dentine, and leaving affected dentine, then remineralization of affected dentine. In the affected dentine there are still have collagen cross bonds. Dentin remineralization is more complex because there is no residual mineral crystals in dentinal caries. For extrafibrillary and intrafibrillary remineralization in dentine, dentin matrix protein 1 (DMP 1) is a non-collagen protein. The polymer-induced liquid precursor (PILP) process is a Guided Tissue Remineralization method which aims to remineralize intrafibrilar and extafibrilar dentine by adding polymers as analogous to DMP1. One of the non collagen protein analog material is polyacpartic acid.

Objective: To evaluate remineralization of dentine on the demineralized dentin surface after immersion with remineralization solutions containing polyacpartic acid as a non-collagen protein analog.

Method: Four groups carried out artificial demineralization. After that, three groups were immersed with remineralization solution containing polypartic acid, while one group was not immersed in polyacpartic acid remineralization solution. Remineralization evaluation with Micro-CT.

Results: It appears remineralization on the demineralized dentin surface which is characterized by a decrease in the depth of demineralized dentin lesions which is characterized by an increase in gray scale index after immersion with polyacpartic acid remineralization solution. The comparison of the mean of the four groups showed significant differences.

Conclusion: Polyacpartic acid has the potential to remineralize for demineralized dentine.

 

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elmira Musdiyanti
"ABSTRACT
Latar belakang: Salah satu obat antihipertensi yang banyak digunakan di Indonesia adalah Amlodipin. Obat tersebut memiliki efek samping sistemik dan oral, salah satunya adalah serostomia. Serostomia ini ditandai dengan penurunan laju alir saliva. Laju alir saliva yang rendah dapat meningkatkan insidensi karies gigi. Tujuan:  Mengetahui perbedaan laju alir saliva terstimulasi dan indeks DMF-T. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif dengan desain cross sectional. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 60 orang yang dibagi menjadi 30 subjek yang mengonsumsi obat antihipertensi amlodipin dan 30 subjek tidak mengalami hipertensi. Pengambilan sampel berdasarkan metode consecutive sampling. Tingkat keparahan karies diukur dengan indeks DMF-T. Pemeriksaan laju alir saliva terstimulasi dengan mengumpulkan saliva ke dalam gelas ukur selama 5 menit menggunakan dengan metode spitting. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara laju alir saliva terstimulasi dan indeks DMF-T pada kelompok yang mengonsumsi obat amlodipin dan kelompok yang tidak mengalami hipertensi (p<0.05). Kesimpulan: Kelompok yang mengonsumsi obat amlodipin memiliki laju alir saliva terstimulasi lebih rendah (3.98 ± 1.27 mL) jika dibandingkan kelompok yang tidak mengalami hipertensi (6.62  ± 1.31 mL) dan rerata indeks DMF-T lebih tinggi (8.37 ± 3.70) jika dibandingkan kelompok yang tidak mengalami hipertensi (2.67 ± 1.97).

ABSTRACT
Background: Amlodipine is the most used antihypertensive drug in Indonesia. Side effects, whether systemic or oral, can occur do to consumption of amlodipine such as xerostomia. Xerostomia can be detects by the decrease of salivary flow rate. Decrease of salivary flow rate can increase dental caries incidence. Objective : To determine the difference in stimulated salivary flow rate and DMF-T index. Method : The study is a comparative analytical study with a cross sectional design. Total subject in this study were 60 people, of which 30 subjects were taking amlodipine antihypertensive drug and 30 subjects without hypertension, obtained by using consecutive sampling method. DMF-T index was scored to indicate the severity of dental caries. Stimulated saliva flow rate was measured by collecting saliva into a measuring cup for 5 minutes using the spitting method. Result : There was significant differences in salivary flow rate and DMF-T index between group taking amlodipine drug and group without hypertension. Conclusion : The stimulated salivary flow rate in group taking amlodipine drug (3.98 ± 1.27 mL) was significantly lower than in the group without hypertension (6.62 ± 1.31 mL). The mean DMF-T index in group taking amlodipine drug (8.37 ± 3.70) was significantly higher than in the group without hypertension (2.67 ± 1.97)."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zaal Haq
"ABSTRAK
Latar Belakang: Transforming growth factor-β1 (TGF-β1) adalah sitokin multifungsi yang mempunyai peran penting dalam menginisiasi diferensiasi hDPSCs menjadi sel seperti odontoblas. Proses tersebut memerlukan media kultur seperti Lysate-PRF untuk meningkatkan jumlah growth factor yang diperlukan agar proses diferensiasi tersebut bisa terjadi.
Tujuan: Membandingkan berbagai konsentrasi media kultur lysate PRF terhadap ekspresi TGF β1 pada proses diferensiasi hDPSCs.
Metode: Evaluasi ekspresi TGF β1 lysate PRF 1%, 5%, 10%, dan 25% serta FBS 10% (kontrol) pada diferensiasi hDPSCs menggunakan ELISA pada hari ke-7.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antar kelompok uji yaitu lysate PRF 1%, 5%, 10%, 25% dan kelompok kontrol (FBS 10%).
Kesimpulan: Lysate PRF konsentrasi 25% memiliki ekspresi TGF β1yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok konsentrasi lainnya maupun kelompok kontrol FBS 10% pada proses diferensiasi hDPSCs hari ke-7.

ABSTRACT
Background: Transforming growth factor-β1 (TGF-β1) is a multifunctional cytokine that has an important role in initiating differentiation of hDPSCs into cells such as the odontoblasts. The process requires culture media such as Lysate-PRF to increase the number of growth factors needed so that the differentiation process can occur.
Purpose: Comparing the various concentrations of PRF lysate culture media to TGF β1 expression in the differentiation process of hDPSCs. Methods: Evaluation of TGF β1 lysate PRF expression 1%, 5%, 10%, 25% and FBS 10% (control) on differentiation of hDPSCs using ELISA on day 7.
Result: There were significant differences between PRF lysate 1%, 5%, 10% and 25% and the control group (FBS 10%).
Conclusion: 25% PRF lysate has the highest TGF β1 expression compared to other concentration groups and 10% FBS control group in 7th day hDPSCs differentiation."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>