Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pohan, Yonathan Anugerah El
"Pada tahapan pra-Pemilu 2024, KPU melakukan transformasi digital melalui Sistem Informasi Partai Politik, atau Sipol. Sipol hadir sebagai alat bantu KPU dalam melakukan proses pendaftaran dan verifikasi partai politik. Penelitian ini secara komprehensif akan menilai perwujudan prinsip transparansi dan akuntabilitas dari penerapan Sipol dalam proses pendaftaran dan verifikasi partai politik pada Pemilu 2024. Sipol memberikan manfaat dalam mempermudah proses pendaftaran dan verifikasi partai politik. Namun, di sisi lain terdapat permasalahan Sipol dari segi pemenuhan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan Pemilu. Indikasi dari hal tersebut yaitu kurangnya kontrol masyarakat untuk mendayagunakan Sipol dan kurangnya diskursus antara KPU dengan publik. Penelitian ini menggunakan konsep transparansi dan akuntabilitas, konsep open government data, serta teori keterbukaan data pemerintah dalam mendorong akuntabilitas sebagai kerangka analitis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam dan data sekunder dengan studi kepustakaan. Penelitian ini menemukan bahwa Sipol belum sepenuhnya mewujudkan keterbukaan data pemerintahan karena masih tertutupnya Sipol bagi masyarakat luas. Tertutupnya akses Sipol berpengaruh terhadap lemahnya akuntabilitas data Pemilu di Indonesia.

In the pre-election stage of 2024, the General Election Commission (KPU) undertook a digital transformation through the implementation of the Political Party Information System (Sipol). Sipol was developed as a tool to aid the KPU in the registration and verification processes of political parties. This research aims to comprehensively evaluate the application of Sipol in the registration and verification processes of political parties during the 2024 Election, focusing on the realization of the principles of transparency and accountability. Sipol offers several benefits in facilitating these processes. However, it also faces challenges in meeting the principles of transparency and accountability in electoral organization. Indications of these challenges include limited public access to Sipol and a lack of dialogue between the KPU and the public. The analytical framework for this research incorporates concepts such as transparency and accountability, open government data, and the theory of government data openness to promote accountability. The research employs a qualitative approach, employing primary data collection techniques through in-depth interviews, along with secondary data from literature studies. The findings of this research reveal that Sipol has not fully achieved government data openness as it remains inaccessible to the broader community. The restricted access to Sipol adversely impacts the limited accountability of election data in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rifa Sulwa Sascia
"Implementasi Pasal 53 (1) UU No.8/2016 yang mewajibkan perusahaan formal, termasuk perbankan, untuk menyerap pekerja difabel paling sedikit 2% untuk BUMN dan 1% pada perusahaan swasta masih menuai hambatan di berbagai tingkatan. Meskipun begitu, kegagalan ini masih dapat ditoleransi karena tidak sepenuhnya menghambat tujuan dasar kebijakan merujuk pada dimensi program dari Policy Failure (Kegagalan Kebijakan) milik Allan McConnell. Penelitian ini mengambil studi kasus sektor perbankan di Jakarta tahun 2023 dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi literatur dari data 2 (dua) bank BUMN, wawancara mendalam dengan 2 (dua) bank swasta, Kementerian Ketenagakerjaan, dan pekerja difabel di sektor Perbankan. Hasil penelitian dengan menggunakan tiga variabel dimensi program Poilcy Failure menunjukkan kegagalan dalam mencapai target disebabkan oleh tiga hal: 1) beberapa perusahaan perbankan di Jakarta kurang memahami visi, misi, dan tujuan UU No.8/2016; 2) pemerintah belum mendorong secara eksplisit dan tegas perusahaan perbankan untuk menyerap pekerja difabel minimal 2% untuk BUMN dan 1% untuk perusahaan swasta; 3) kelompok difabel sebagai kelompok target undang-undang ini belum mendapat manfaat yang optimal.

The implementation of Article 53 (1) of Law No.8/2016, which requires formal companies, including banks, to absorb workers with disabilities at least 2% for BUMN and 1% in private companies, still faces obstacles at various levels. Even so, this failure is still tolerable because it does not completely hamper the basic objectives of the policy referring to the program dimension of Allan McConnell's Policy Failure. This research takes a case study of the banking sector in Jakarta in 2023 using a qualitative approach through literature studies data from 2 (two) state-owned banks, in-depth interviews with 2 (two) private banks, the Ministry of Manpower, and workers with disabilities in the banking sector. The results of the study using the three dimensional variables of the Policy Failure program show that the failure of Article 53 (1) of Law No.8/2016 to reach the target is caused by three things: 1) some banking companies in Jakarta do not understand the vision, mission, and objectives of Law No.8/2016; 2) the government has not explicitly and firmly encouraged banking companies to absorb disabled workers at a minimum of 2% for BUMN and 1% for private companies; 3) the disabled group as the target group of this law has not received optimal benefits.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandro Julio Rebado
"Dengan menggunakan kerangka konseptual Elite capture of Participatory Initiatives dari Jens Friis Lund & Moeko Saito-Jensen, penelitian ini berupaya untuk memeriksa dan menganalisis bagaimana elite capture yang telah berlangsung sekitar satu dekade dalam pengelolaan destinasi wisata adat Wae Rebo mendapat perlawanan dan berhasil diatasi oleh kelompok non-elite. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan desain penelitian eksplanatif. Peneliti melakukan field research dan wawancara mendalam bersama sejumlah masyarakat di Wae Rebo untuk pengumpulan data. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perlawanan kelompok non-elite terhadap elite capture diakibatkan oleh ketidakpuasan atas hasil pengelolaan destinasi wisata adat Wae Rebo oleh Lembaga Pelestari Budaya Wae Rebo (LPBW) di bawah pimpinan Frans Mudir semenjak tahun 2007 sampai 2022, yang relatif kurang memberikan dampak berarti bagi peningkatan partisipasi publik dan mobilitas sosial-ekonomi masyarakat Wae Rebo. Penelitian ini juga menemukan bahwa keberhasilan perlawanan kelompok non-elite terhadap elite capture dalam pengelolaan destinasi wisata adat Wae Rebo turut didukung oleh keberadaan sejumlah kelompok anak muda kelas menengah Wae Rebo, yang memiliki latar belakang pendidikan serta keterampilan di bidang organisasi dan pergerakan yang cukup baik. Keberadaan kelompok anak muda kelas menengah Wae Rebo, dengan berbagai keterampilan serta pengalaman organisasi dan jejaring sosial yang dibangun pada saat mengenyam pendidikan di luar daerah, menjadi faktor pendukung dalam mengkonsolidasikan kekuatan dan meningkatkan efektivitas gerakan perlawanan. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa keberhasilan perlawanan kelompok non-elite terhadap elite capture memerlukan adanya pengorganisasian kelompok non-elite melalui pembiasaan kultur organisasi di antara kelompok non-elite, yang dapat dimaksimalkan dengan keberdaan sejumlah aktor individu dari kelas menengah.

Using the conceptual framework of Elite capture of Participatory Initiatives by Jens Friis Lund & Moeko Saito-Jensen, this research seeks to examine and analyze how elite capture, which has been ongoing for about a decade in the management of the Wae Rebo tourist destination was resisted and successfully overcome by non-elite groups. This study employs a qualitative approach with an explanatory research design. The researcher conducted field research and indepth interviews with several community members in Wae Rebo for data collection. The findings of this study indicate that the resistance of non-elite groups to elite capture was driven by dissatisfaction with the management outcomes of the Wae Rebo cultural tourist destination by the Wae Rebo Cultural Preservation Institution (LPBW) under the leadership of Frans Mudir from 2007 to 2022, which relatively did not significantly impact the increase in public participation and socio-economic mobility of the Wae Rebo community. The study also found that the success of the non-elite group's resistance to elite capture in managing the Wae Rebo cultural tourist destination was also supported by the presence of several middle-class young groups from Wae Rebo, who have educational backgrounds and skills in organization and movement. The presence of these middle-class young groups, with various skills and organizational experiences and social networks built during their education outside the region, became a supporting factor in consolidating and enhancing the effectiveness of the resistance movement. The conclusion of this research is that the success of non-elite groups in resisting elite capture requires the organization of non-elite groups through the habituation of organizational culture among them, which can be maximized with the presence of several actors from the middle class."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pance Yentine
"Skandal Choi-gate merupakan skandal politik Korea Selatan yang melibatkan Presiden Park Geun-hye pada tahun 2016-2017. Skandal ini berujung pada pemakzulan Park Geun-hye. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri faktor yang membantu mempercepat dan memperparah (katalisator) dampak skandal terhadap kekuasaan Park Geun-hye, yakni faktor framing media massa dan faktor peran oposisi menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data dari tinjauan literatur dan teks berita. Framing media dianalisis menggunakan konsep framing dalam skandal politik dari Robert Entman (2012), sedangkan oposisi dianalisis menggunakan konsep skandal sebagai senjata politik dari Jenssen & Fladmoe (2012) dan Brendan Nyhan (2017). Hasil penelitian menunjukkan media massa menggunakan framing yang mengarah pada pelanggaran konstitusi yang dilakukan Park Geun-hye dengan rekomendasi solusi berupa penurunan Park Geun-hye dari jabatan presiden. Sedangkan oposisi di dalam dan di luar parlemen aktif memanfaatkan skandal sebagai senjata untuk menuntut pengunduran diri Park Geun-hye, menekankan aspek pelanggaran moral, membangun narasi, dan menggunakan isu skandal sebagai ancaman verbal bagi lawan politik. Keseluruhan hal ini ditujukan untuk keberhasilan pengesahan mosi pemakzulan di parlemen.

Choi-gate scandal is a South Korean political scandal involving president Park Geun-hye in 2016-2017. This scandal led to Park Geun-hye’s impeachment. This research explores the factors that are involved in quickening and worsening (catalyzer) the impact of scandal to Park Geun-hye’s power, which are media framing and opposition action using qualitative approach with data collected by literature review and news text. Media framing is analyzed by the concept of framing in political scandals from Robert Entman (2012), while the opposition is analyzed by the concept of scandal as a political weapon from Jenssen & Fladmoe (2012) and Brendan Nyhan (2017). The result shows that the media use a framing that emphasizes the constitutional violation and offer the resignation as a treatment recommendation. On the other hand, the opposition both in and out of parliament actively used the scandal as a weapon to demand Park Geun-hye’s resignation, emphasizing the moral violation aspect, creating the narration, and using the scandal issue as a verbal threat to political opponents. These struggles aimed to pass the impeachment motion in parliament.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Adrian Rashad
"Dalam Pilbup Bogor 2018, pasangan Ade Yasin dan Iwan Setiawan menyampaikan janji politik terkait pembangunan desa yang bertajuk Satu Miliar Satu Desa (Samisade) yang berfokus pada pembangunan infrastruktur dasar di desa. Terpilihnya pasangan tersebut membawa janji politik itu menjadi sebuah kebijakan di bawah Perbup No.83 tahun 2020 tentang Bantuan Keuangan Infrastruktur Desa. Samisade, sebagai bantuan keuangan bagi desa terlihat memiliki kesamaan dengan program-program yang telah ada lebih dulu, seperti Dana Desa. Tiga tahun pelaksanaan Samisade telah menyajikan dinamika yang cukup menarik bagi masyarakat Kabupaten Bogor. Analisis menggunakan teori implementasi kebijakan milik Grindle (1980) dilakukan guna melihat bagaimana implementasi Samisade secara komprehensif. Meskipun dalam pelaksanaannya masih menghadapi hambatan, akan tetapi implementasi Samisade membawa pengaruh baik bagi pembangunan di desa. Hal ini karena Samisade menjadi pengisi celah kebijakan Dana Desa yang tidak memprioritaskan pembangunan infrastruktur.

In the 2018 Bogor Regent Election, Ade Yasin and Iwan Setiawan made a political promise related to village development entitled “Satu Miliar Satu Desa” (Samisade) which focused on basic infrastructure development in villages. The election of the couple brought the political promise into a policy under Regent Regulation No.83 of 2020 on Village Infrastructure Financial Aid. Samisade, as financial aid for villages, is seen to have similarities with pre-existing programs, such as the Dana Desa. Three years of Samisade implementation has presented quite interesting dynamics for the people of Bogor Regency. An analysis using Grindle's (1980) policy implementation theory was conducted to comprehensively examine the implementation of Samisade. Although the implementation still faces obstacles, the implementation of Samisade has had a good impact on village development. This is because Samisade fills the gap in the Village Fund policy, which does not prioritize infrastructure development.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fanisa Nurhasanah
"Selama beberapa tahun terakhir, Argentina tidak merekognisi hak untuk melakukan aborsi. Pasal KUHP Tahun 1921 menentukan bahwa perempuan di Argentina dilarang melakukan aborsi kecuali hidup mereka dalam bahaya atau dalam kasus pemerkosaan. Ini mendorong sejumlah besar aborsi ilegal yang dilakukan setiap tahunnya, banyak diantaranya yang mengakibatkan kematian. Ni Una Menos adalah gerakan sosial berisikan kolektif feminis yang muncul di tahun 2015 sebagai respons terhadap maraknya femisida (pembunuhan terhadap perempuan) di Argentina. Konsisten dengan tuntutan utama untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, Ni Una Menos memobilisasi massa pro-aborsi sejak tahun 2018 dan telah mendapatkan keberhasilan dalam pengesahan Proyecto de Ley de Interrupción Voluntaria del Embarazo (IVE) oleh Senat di tahun 2020. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap berbagai strategi yang dilakukan oleh Ni Una Menos dalam mendorong dekriminalisasi aborsi di Argentina dengan batasan waktu periode 2018-2020. Penelitian menggunakan metode kualitatif melalui pengumpulan data sekunder dengan meninjau sumber literatur, portal berita, serta media sosial Instagram dan Twitter resmi yang dimiliki Ni Una Menos. Dengan teori struktur peluang diskursif, analisis yang dilakukan mencakup strategi pembingkaian yang digunakan oleh Ni Una Menos seputar masalah aborsi, penggunaan media sosial untuk mendapatkan visibilitas dalam liputan media, serta jaringan yang dibentuk dengan organisasi feminis terdahulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan Ni Una Menos untuk memobilisasi massa di ruang publik dan media berkontribusi sebagai kekuatan politik dalam mendesak negara untuk mendekriminalisasi aborsi, terlepas dari konteks politik yang ada.

Over the past few years, Argentina’s abortion rights have been widely inexistent. 1921 Penal Code dictates that women in Argentina are prohibited to perform abortion unless their life is in danger or in the case of rape. This results in a huge amount of illegal abortions performed each year by Argentinian women, many resulting in deaths. Ni Una Menos is a social movement formed by a feminist collective that arose in 2015 as a response to the widespread femicide (the killing of women) in Argentina. Preserving their main demands to end violence against women, Ni Una Menos mobilized pro-abortion masses since 2018 and have gained success in passing Proyecto de Ley de Interrupción Voluntaria del Embarazo (IVE), the decriminalization of abortion bill, through the Senate in 2020. This research aims to investigate and reveal the various strategies undertaken by Ni Una Menos in the context of pushing the decriminalization of abortion in Argentina with a time limit of 2018-2020 period. This research used a qualitative method by collecting secondary data by reviewing literary sources, news portal, and social media Instagram and Twitter owned by Ni Una Menos. By using the discursive opportunity structures theory, the analysis carried out includes the framing strategy used by Ni Una Menos around the abortion issue, usage of social media to gain visibility in media, as well as formed networks with pre-existing feminist organizations. It reveals that Ni Una Menos’ capability to mobilize the masses in the public space and media contributes as a political power to urge the state to decriminalize abortion, despite the political context.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanif Amin
"Selama 1933 – 1938, keamanan nasional serta status superpower yang dimiliki Prancis dan Inggris mengalami ancaman besar akibat serangkaian aksi militer yang dilakukan Nazi Jerman. Aksi Nazi Jerman pun telah melanggar Perjanjian Versailles. Akan tetapi, kedua negara tersebut tidak merespon dengan konfrontatif. Alih-alih sanksi, mereka memberi keleluasaan kepada Nazi Jerman dengan melakukan serangkaian konsesi— sikap yang kemudian dikenal sebagai appeasement. Untuk menjelaskan fenomena ini, digunakan metode kualitatif dengan menganalisa tiga faktor. Pertama, potensi negara dari Inggris dan Prancis. Kedua, stimuli sistemik dalam bentuk operasi militer Jerman. Ketiga, persepsi dan kapasitas agen geopolitik di Inggris dan Prancis terhadap kedua faktor yang telah disebutkan. Ketiga faktor tersebut akan dianalisa menggunakan teori neoclassical geopolitics yang diterapkan dalam empat peristiwa: pengunduran diri Jerman dari International Disarmament Conference (1933), perjanjian militer Inggris-Jerman (1935), okupasi Rhineland (1936), serta aneksasi Sudetenland dan Perjanjian Munich (1938). Temuan penelitian menunjukkan bahwa pada 1933 – 1935 ketiadaan sanksi kepada Jerman disebabkan oleh kekeliruan persepsi ancaman dan fokus yang besar pada urusan domestik. Selanjutnya, sejak 1935 terjadi kecenderungan appeasement oleh Inggris dan Prancis karena tiga faktor: ketidakpastian diplomatik, inferioritas kekuatan beserta kekeliruan persepsi terhadap Nazi Jerman.

During 1933-1938, France and Britain faced a threat of their national security and superpower status due to a series of military actions taken by Nazi Germany. These actions by Nazi Germany also violated the Treaty of Versailles. However, both countries did not respond confrontationally. Instead of imposing sanctions, they make a series of concessions that later known as appeasement. Using qualitative methods, this research will examine this situation by analyzing series of factors. First, the state potential of Britain and France. Second, systemic stimuli in the form of Germany's military operations. Third, the perceptions and capacities of geopolitical agents in Britain and France regarding the aforementioned factors. These factors will be analyzed using the theory of neoclassical geopolitics that will be applied to four events: Germany's withdrawal from International Disarmament Conference (1933), Anglo-German Naval Agreement (1935), occupation of Rhineland (1936), and annexation of Sudetenland and the Munich Agreement (1938). Research finding shows that in 1933 – 1935, the absence of sanctions against Germany was due to a misperception of the threat and a significant focus on domestic affairs. After that, from 1935 onwards, there was a tendency of appeasement by Britain and France due to three factors: diplomatic uncertainty, power inferiority, and misperception of Nazi Germany.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Artha Sastra Kusuma
"China semakin aktif dalam mengeksploitasi konflik yang terjadi di Myanmar. Konflik tersebut telah mengalami eskalasi sejak Min Aung Hlaing mengambil alih pemerintahan Myanmar dan menempatkan junta militer pada Februari 2021. Kudeta tersebut menimbulkan reaksi keras dari seluruh masyarakat Myanmar yang mengadakan perlawanan terhadap kembalinya dominasi junta militer, baik dari etnis mayoritas maupun minoritas. Kewalahan mengatasi berbagai kelompok etnis bersenjata, pemerintahan Hlaing mengalami rangkaian kekalahan dalam menghadapi kekuatan oposisi dalam Operasi 1027 yang dilancarkan oleh Three Brotherhood Alliance (3BTA), aliansi tiga kelompok etnis bersenjata yang beroperasi di negara bagian Shan. Melalui metode kualitatif, tulisan ini bermaksud untuk melihat intervensi yang dilakukan oleh China dalam konflik pemerintah-3BTA di negara bagian Shan. Hasil penelitian dalam tulisan ini menunjukkan bahwa China merupakan pihak ketiga tunggal yang melakukan intervensi terhadap dua pihak yang berkonflik. Intervensi tersebut didasarkan pada kepentingan China yang ada terhadap dua pihak tersebut. Setelah kepentingannya tercapai, China memaksa terjadinya resolusi konflik berupa gencatan senjata untuk memastikan proyek-proyek China tidak terdampak oleh konflik. Dengan demikian, intervensi tersebut dilakukan untuk melindungi kepentingan China di Myanmar. Bagi Myanmar, meskipun terjadi resolusi konflik, intervensi tersebut merupakan sinyal dominasi China yang semakin menguat di Myanmar.

China is increasingly active in exploiting the conflict in Myanmar. The conflict has escalated since Min Aung Hlaing took over the Myanmar government and installed a military junta in February 2021. The coup caused a strong reaction from all Myanmar people who held resistance against the return to dominance of the military junta, both from the majority and minority ethnic groups. Overwhelmed by various armed ethnic groups, the Hlaing government suffered a series of defeats in the face of opposition forces in Operation 1027 launched by the Three Brotherhood Alliance (3BTA), an alliance of three armed ethnic groups operating in Shan state. Through qualitative methods, this paper intends to look at the intervention carried out by China in the government-3BTA conflict in Shan state. The results of the research in this paper show that China is the sole third party that intervenes between the two parties in conflict. The intervention is based on China's existing interests in both parties. After achieving its interests, China forced conflict resolution in the form of a ceasefire to ensure that Chinese projects were not affected by the conflict. Thus, the intervention was carried out to protect China's interests in Myanmar. For Myanmar, despite the resolution of the conflict, this intervention is a signal of China's increasingly strengthening dominance in Myanmar.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ranaa Arfahunnisaa
"Penelitian ini membahas mengenai pengaruh adanya praktik ableism pada penyandang disabilitas netra terhadap terhambatnya pemenuhan hak politik penyandang disabilitas netra pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Hambatan yang dihadapi pemilih penyandang disabilitas netra tetap terjadi meskipun Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mengedepankan perspektif disabilitas telah disahkan dan telah turut memperkuat regulasi penyelenggaran Pilgub DKI Jakarta 2017. Penelitian ini berusaha menganalisis penyebab tidak terfasilitasinya secara penuh penyandang disabilitas netra tersebut melalui analisis menggunakan Critical Disability Theory (CDT). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data primer lewat wawancara mendalam kepada informan terkait serta menggunakan data sekunder dari tinjauan literatur yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Hasil temuan menunjukkan bahwa terjadi ableism yang berasal dari lingkungan eksternal seperti pengetahuan petugas KPPS di TPS sehingga kebutuhan penyandang disabilitas netra sebagai pemilih menjadi terpinggirkan. Selain itu, ableism juga datang dari internal keluarga disabilitas yang menghambat tahap pendataan penyandang disabilitas netra sebagai calon pemilih. Hal ini menyebabkan semakin terhambatnya pemenuhan hak penyandang disabilitas netra pada penyelenggaraan Pilgub DKI Jakarta 2017.

The focus of this research is to analyze the impact of ableism on visual disabilities and the obstacles to fulfilling their political rights in DKI Jakarta Gubernatorial Election 2017. Obstacles faced by voters with visual disabilities persist even though The Persons with Disability Act which prioritizes the disability perspective has been passed in 2016 and has strengthened the election regulations. This study attempts to analyzes the causes of not being fully facilitated voters with visual disabilities through Critical Disability Theory (CDT). The research uses qualitative research methods by collecting primary data through in-depth interviews with relevant informants and using secondary data from literature reviews to answer research question. The findings show that ableism occurs from the external factors such as the lack of understanding of KPPS officers at the polling stations so the needs of visual disabilities as voters are marginalized. Apart from that, ableism also comes within disabled families which hinders the data collection stage. These causes further obstacles to fulfilling the political rights of visual disabilities during the 2017 DKI Jakarta Gubernatorial Election."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enos Wahyu Octamannuel
"Survei Alvara Research Center pada tahun 2020 menunjukkan bahwa Generasi Z cenderung apatis dan melabeli politik sebagai pembahasan yang terlalu serius atau menjenuhkan. Alih-alih menjauh dari pembahasan politik karena label tersebut, kontradiksi ditemukan ketika Generasi Z kerap mengandalkan media sosial sebagai prioritas dalam merespon isu politik. Aksi #SemuaBisaKena hadir untuk merespon keputusan DPR RI dan pemerintah yang ingin melanjutkan pengesahan RKUHP pada Mei 2022. Aksi ini merupakan wujud partisipasi politik yang dipopulerkan oleh kelompok mahasiswa dan elemen masyarakat lain demi mengingatkan publik akan ancaman pengesahan pasal-pasal bermasalah RKUHP. Penelitian ini akan mengkaji tipologi Aksi #SemuaBisaKena di Jakarta Tahun 2022 melalui Teori Connective Action dengan menunjukkan adanya tipologi tertentu dari partisipasi politik yang mengutamakan komunikasi yang dipersonalisasi melalui konektivitas media digital sebagai basis aksi. Penulis beragumen bahwa tipologi Organizationally Enabled Network sesuai dengan aksi politik mahasiswa Generasi Z melalui penggunaan Twitter dan Instagram. Hal ini terjadi karena terdapat kecocokan antara strategi Aliansi Nasional Reformasi KUHP sebagai kelompok penggagas gerakan dengan karakteristik partisipan Generasi Z sebagai digital native. Kesesuaian tersebut dapat dilihat pada: (1) Hierarki dan hubungan organisasi dengan melihat ketiadaan struktur yang kaku dan fleksibilitas metode partisipasi; (2) Penggunaan teknologi sosial sebagai strategi propaganda aksi, baik mobilisasi massa pada aksi digital ataupun demonstrasi di jalan; (3) Personal action frame yang berfokus pada penggunaan tagar sebagai simbol yang inklusif dan pembuatan konten dalam lingkup keterbukaan teknologi media sosial. Kombinasi aksi antara aksi digital dan aksi jalanan menjadi bentuk partisipasi politik Generasi Z, meskipun masih ditemukan beberapa kelemahan sebagai tantangan dari partisipasi politik online.

A survey conducted by the Alvara Research Center (2020) shows that Generation Z tends to be apathetic and labels politics as too serious or boring. However, contradicting this label, Generation Z often relies on social media as their primary means of responding to political issues. The #SemuaBisaKena Action has emerged as a response to the decision made by the Indonesian Parliament and the government to proceed with the ratification of the RKUHP in May 2022. This movement represents a form of political participation popularized by student groups and other segments of society, aiming to remind the public about the risks associated with the ratification of problematic articles within the RKUHP. This research will analyze the typology of the #SemuaBisaKena Action in Jakarta in 2022 through the Connective Action Theory. It will demonstrate a specific typology of political participation that prioritizes personalized communication using digital media connectivity as the foundation for action. The author argues that the typology of the Organizationally Enabled Network aligns with the political actions of Generation Z students, utilizing platforms like Twitter and Instagram. This alignment occurs due to the compatibility between the strategies of Aliansi Nasional Reformasi KUHP (ANRK) as the driving force behind the movement and the characteristics of Generation Z as digital natives. This compatibility can be observed in three aspects: (1) The absence of a rigid hierarchical structure and the flexibility of participation methods; (2) The utilization of social technology as a strategy for action propaganda, including mass mobilization for digital actions and street demonstrations; (3) A personal action frame that focuses on using hashtags as inclusive symbols and generating content within the realm of social media technological openness. The combination of digital and street actions represents the form of political participation by Generation Z, albeit with some weaknesses that pose challenges to online political participation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>