Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Affan Priyambodo Permana
"Pendahuluan: Sindrom Disfungsi Hiperaktivitas Nervus Kranialis (SDHNK) merupakan gejala dan tanda yang ditimbulkan karena kontak pada pangkal saraf kranial di dekat batang otak. Neuralgia trigeminal merupakan contoh SDHNK berupa nyeri episodik unilateral pada nervus trigeminus yang menyebabkan nyeri hebat, cepat, dan sensasi tersetrum terutama jika dipicu oleh sentuhan. Diagnosis klinis masih merupakan baku standar dalam penegakkan diagnosis SDHNK. Demi meningkatkan ketepatan diagnosis, penelitian yang menilai pemeriksaan preoperasi semakin meningkat dan terutama difokuskan pada pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging, MRI) dan pengolahan data.
Tujuan: Menelaah pemeriksaan MRI preoperasi yang mendeskripsikan kelainan pada struktur anatomi yang menjadi penyebab SDHNK.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang ada pasien dengan SDHNK yang menjalani dekompresi mikrovaskular di Departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2014 sampai Juli 2014.
Hasil: Dalam pelayanan Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo selama periode April 2012 sampai April 2014 telah dilakukan operasi dekompresi mikrovaskular pada 19 pasien SDHNK dengan kasus Neuralgia Trigeminal sebanyak 12 pasien dan Spasme Hemifasial 7 pasien. Usia pasien berkisar antara 49-74 tahun (rerata 56 tahun). Sebaran gender terbagi rata untuk SDHNK dengan rasio laki-laki berbanding perempuan 1:0,9. Dilakukan uji diagnostik dalam menilai adanya offending artery antara MRI preoperatif dengan temuan saat operasi. Sensitivitas didapatkan sebesar 47,4%. Keluaran pasca operasi pada kasus neuralgia trigeminal segera dirasakan pasien pasca operasi dengan tingkat keberhasilan 100%, pada kasus spasme hemifasial 58 % mengalami kesembuhan total dan sisanya 42% reduksi hingga tidak mengganggu, setelah dilakukan operasi dekompresi mikrovaskular.
Kesimpulan: Pemeriksaan MRI dengan prosedur standar untuk evaluasi SDHNK di RSCM memiliki sensitivitas 47,4%, dimana cukup tinggi sebagai pemeriksaan penyaring. Operasi dekompresi mikrovaskuler merupakan prosedur aman, memiliki tingkat keberhasilan tinggi dan rekurensi rendah.n MRI dengan prosedur standar untuk evaluasi SDHNK di RSCM memiliki sensitivitas 47 4 dimana cukup tinggi sebagai pemeriksaan penyaring Operasi dekompresi mikrovaskuler merupakan prosedur aman memiliki tingkat keberhasilan tinggi dan rekurensi rendah.

Introduction: Hyperactive Dysfunction Syndrome of the Cranial Nerve (HDSCN) is the syndrome caused by cranial nerve root contact near the brainstem. Trigeminal neuralgia is one of the HDSCN with the severe, fast, tingling sensation, and unilateral episodic pain, especially when touched. In order to increase the diagnosis acuracy, the study to evaluate preoperative evaluation is increasing, particularly focusing in magnetic resonance imaging (MRI) and data processing.
Objectives: Evaluating preoperative MRI potency in describing anatomical abnormality, which cause HDSCN.
Methods: We used cross sectional study to evaluate the preoperative MRI, intraoperative findings, and outcomes to patients who came to Neurosurgery Department, Cipto Mangunkusumo Hospital in periods January 2012 to July 2014.
Results: There was 19 patients with HDSCN (12 with trigeminal neuralgia and 7 with hemifacial spasm) who seek medical attention to Cipto Mangunkusumo Hospital from April 2012 to April 2014 and performed microvascular decompression. The mean age of them were 56 years old with male-female ratio 1 : 0.9. Diagnostic study was performed to evaluate the finding of offending artery between preoperative MRI and intraoperative findings. The sensitivity of MRI found in this study was 47.4%. Post operative outcome in trigeminal neuralgia was 100% pain free episode, and 58% free spasm episode in hemifacial spasm. The 42% of the hemifacial spasm patient got the symptoms reduced and could perform daily activity normally.
Conclusions: Standard proceudre of MRI to evaluate HDSCN in Cipto Mangunkusumo Hospital has sensitivity 47.4%. This value was quite high to be used as screening tools. Microvascular decompression was a safe procedure with high success rate and low recurrence rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Zaldi Hidayat
"RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo merupakan rumah sakit rujukan yang berstandar nasional yang terdapat Departemen Bedah Saraf yang menyediakan fasilitas operasi elektif. Waktu tunggu menjadi salah satu aspek pelayanan yang dinilai oleh pasien. Oleh karena itu, untuk mengurangi waktu tunggu ini perlu diperhatikan beberapa kebijakan umum, yakni meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan, meningkatkan fasilitas rumah sakit, serta produktivitas penggunaan fasilitas tersebut. Pada saat tersedia 1 kamar operasi waktu tunggu pada operasi elektif ini masih tergolong tinggi dan belum mencapai target dari RSCM. Pada penelitian sebelumnya tahun 2016, ditemukan hasil bahwa rata-rata waktu tunggu operasi elektif ini adalah 35 hari. Pada tahun 2023, Departemen Bedah Saraf, menambahkan kamar operasi menjadi 2 kamar operasi untuk mengurangi waktu tunggu operasi elektif. Penulis melakukan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan jumlah kamar operasi pada operasi elektif di Departemen Bedah Saraf RSUPNCM pada bulan April-September tahun 2022 dan 2023. Penelitian ini dilakukan dengan metode jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan studi komparatif, yang difokuskan pada bulan April-September tahun 2022 dan 2023. Setelah dilakukan analisa mengenai pengaruh perubahan jumlah kamar operasi pada operasi elektif, menunjukkan dengan hasil jumlah operasi perbandingan pada tahun 2022 dan 2023 di bulan ((April 45,48), (Mei 32,84). (Juni 58,67), (Juli 57,74), (Agustus 50,81), (September 47,67). Pada hasil perbandingan rata-rata pada bulan April-September tahun 2022 dan 2023 menunjukkan adanya penurunan yang signifikan pada waktu tunggu operasi. Dengan penambahan kamar dapat menurunkan waktu tunggu operasi elektif serta meningkatkan jumlah operasi pada tahun 2023.

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo is a national standard referral hospital with a Neurosurgery Department which provides elective surgery facilities. Waiting time is one aspect of service assessed by patients. Therefore, to reduce waiting times it is necessary to pay attention to several general policies, namely increasing health energy capacity, improving hospital facilities, as well as productivity in the use of these facilities. When there is 1 operating room available, the waiting time for elective surgery is still relatively high and has not reached the RSCM target. In previous research in 2016, it was found that the average waiting time for elective surgery was 35 days. In 2023, the Department of Neurosurgery will add 2 operating rooms to reduce waiting times for elective operations. The author conducted this research with the aim of determining the effect of changes in the number of operating rooms on elective operations in the Neurosurgery Department of RSUPNCM in April-September 2022 and 2023. This research was carried out using a quantitative research method with a comparative study approach, which was specifically carried out in April-September 2022 and 2023. After analyzing the effect of changes in the number of operating rooms on elective surgery, the results showed the number of comparative operations in 2022 and 2023 in months ((45.48 April), (32.84 May), (June 58.67), (July 57.74), (August 50.81), (47.67 September). in April-September of the year 2022 and 2023 show a significant reduction in waiting times for operations. The addition of rooms can reduce waiting times for elective operations and increase the number of operations in 2023."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafif
"Pendahuluan: Arteriovenous malformation (AVM) serebral adalah kelainan vaskular di otak yang sering menyebabkan perdarahan intraserebral dan kejang, dengan prevalensi 10-18 per 100.000 orang pada populasi dewasa. Modalitas terapi meliputi observasi, reseksi bedah, bedah radiasi stereotaktik, dan embolisasi endovaskular. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi luaran klinis dan radiologis pasien AVM serebral setelah Gamma Knife Radiosurgery (GKRS) di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Metode: Studi observasional kohort-retrospektif dilakukan pada pasien AVM serebral yang menjalani GKRS di RSCM antara 2018 dan 2022. Evaluasi klinis dan radiologis dilakukan pada 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun, dan 3 tahun pasca tindakan. Pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil: Dari 41 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, usia rerata pasien adalah 25,76 tahun dengan mayoritas laki-laki (63,45), gejala klinis yang paling umum adalah nyeri kepala dan kejang. Rata-rata tingkat obliterasi AVM setelah 1 tahun pasca-GKRS adalah 71,69%, meningkat menjadi 87,21% setelah 2 tahun, dan mencapai 91,07% setelah 3 tahun. Dalam evaluasi satu tahun pasca-GKRS, seluruh 41 pasien mengalami resolusi nyeri kepala. Sedangkan, dari 15 pasien yang mengalami kejang sebelum GKRS, hanya 2 pasien yang masih mengalami kejang dalam evaluasi 1 tahun setelah GKRS. Terdapat korelasi kuat antara tingkat obliterasi dan ukuran nidus <3cm (r=0.39) dan ukuran 3-6 cm (r=0.83). Selain itu, peningkatan tingkat obliterasi memiliki korelasi terhadap Spetzler-Martin (SM) Grade yang lebih rendah (p=0,001).

Pembahasan: Penelitian ini menunjukkan tingkat obliterasi yang tinggi pada pasien AVM serebral pasca-GKRS, terutama pada kelompok SM grade rendah dan ukuran nidus yang kecil. Meskipun demikian, perdarahan tetap merupakan risiko selama periode evaluasi pasca GKRS, terutama pada pasien dengan SM grade tinggi. Faktor seperti embolisasi sebelum GKRS tidak mempengaruhi tingkat obliterasi secara signifikan, sementara hubungan antara tingkat obliterasi dengan perbaikan klinis, seperti penurunan nyeri kepala, ditemukan bermakna.

Kesimpulan: Sebagai kesimpulan, ukuran nidus yang lebih kecil mempunyai korelasi signifikan dalam memprediksi obliterasi AVM serebral pasca GKRS. Meskipun GKRS dapat menjadi pilihan utama pada pasien dengan SM grade rendah dan ukuran nidus kecil, risiko perdarahan perlu dipertimbangkan selama pemantauan pasca tindakan. Perbaikan klinis, khususnya dalam mengurangi nyeri kepala, berkorelasi positif dengan tingkat obliterasi AVM setelah GKRS.


Introduction: Brain arteriovenous malformation (AVM) is a vascular disorder in the brain often associated with intracerebral hemorrhage and seizures, with a prevalence of 10-18 per 100,000 adults. Treatment modalities include observation, surgical resection, stereotactic radiosurgery, and endovascular embolization. This study aimed to evaluate the clinical and radiological outcomes of cerebral AVM patients after Gamma Knife Radiosurgery (GKRS) at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM).

Methods: A retrospective cohort observational study was conducted on brain AVM patients who underwent GKRS at RSCM between 2018 and 2022. Clinical and radiological evaluations were performed at 6 months, 1 year, 2 years, and 3 years post-procedure. Sampling was conducted using consecutive sampling based on inclusion and exclusion criteria.

Results: Of the 41 patients meeting the inclusion and exclusion criteria, the mean age was 25.76 years with a predominance of males (63.45%). The most common clinical symptoms were headache and seizures. The average AVM obliteration rate after 1 year post-GKRS was 71.69%, increasing to 87.21% after 2 years, and reaching 91.07% after 3 years. At the one-year evaluation post-GKRS, all 41 patients experienced resolution of headaches. Among the 15 patients with pre-GKRS seizures, only 2 patients still experienced seizures at the 1-year evaluation post-GKRS. There was a strong correlation between obliteration rate and nidus size <3 cm (r=0.39) and size 3-6 cm (r=0.83). Furthermore, increased obliteration rates correlated with lower Spetzler-Martin (SM) Grade (p=0.001).

Discussion: This study demonstrates high obliteration rates in brain AVM patients after GKRS, particularly in the low SM grade and small nidus size groups. However, hemorrhage remains a risk during the post-GKRS evaluation period, especially in patients with high SM grades. Factors such as pre-GKRS embolization did not significantly affect obliteration rates, while a significant association between obliteration rate and clinical improvement, such as reduction in headaches, was found.

Conclusion: In conclusion, smaller nidus size significantly predicts brain AVM obliteration post-GKRS. Although GKRS may be the primary choice for patients with low SM grade and small nidus size, the risk of hemorrhage needs consideration during post-procedural monitoring. Clinical improvements, particularly in reducing headaches, positively correlate with AVM obliteration rates after GKRS."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library