Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Geis Alaztha
"Latar belakang: micro-RNA saat ini telah diketahui berperan dalam patofisiologi berbagai penyakit termasuk di bidang kardiovaskular. miR-26a platelet dikaitkan dengan aktifitas platelet tinggi.Resistensi klopidogrel telah diketahui memiliki prevalensi yang cukup tinggi di populasi Asia, yang mana dapat mempengaruhi mortalitas serta kejadian kardiovaskular mayor. Hubungan antara ekspresi miR-26a platelet dengan resistensi klopidogrel begitu pula dengan TIMI flow pasca IKPP pada IMA-EST di populasi Asia, belum pernah dilaporkan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ekspresi miR-26a platelet terhadap reaktivitas platelet dan perfusi miokardium pasca IKPP.
Metode: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan mendapatkan terapi dosis loadingklopidogrel 600 mg, dimasukkan kedalam populasi penelitian. Kami mengukur reaktivitas platelet dengan menggunakan VerifyNow P2Y12, aktifitas platelet tinggi didefiniskan jika memiliki nilai > 208 PRU. Metode RealtimePCR Taqman dilakukan untuk analisa ekspresi miR-26a platelet. Ekspresi miR-26a platelet dan reaktivitas platelet dikorelasikan dengan TIMI flowpasca IKPP pada pasien IMA-EST.
Hasil: Terdapat 100 subyek yang direkrut pada studi ini. Diantaranya, 59% menunjukkan peningkatan ekspresi miR-26a. Reaktifitas platelet meningkat pada 27 % pasien studi ini dikategorikan non-responder terhadap klopidogrel. Terdapat hubungan antara ekspresi dengan penurunan fungsi penghambatan platelet (OR 4.2, p = 0.006). Indeks reaktivitas platelet >208 PRU meningkatkan risiko TIMI flow < 3 (OR 3.3, p= 0.015). Tidak terdapat hubungan langsung antara ekspresi miR-26a platelet dan TIMI flow < 3.
Kesimpulan: Pasien dengan peningkatan ekspresi miR-26a platelet memiliki risiko untuk mengalami menjadi non-responderklopidogrel. Tidak terdapat hubungan langsung antara ekspresi miR-26a platelet dan TIM flowpasca IKPP.

Background: micro-RNA has now been known to play a role in the pathophysiology of various diseases including cardiovascular disease. Clopidogrel resistance has been known prevalent in Asian population, that may affect mortality and major cardiovascular events. The relationship between the expression of platelet miR-26a and clopidogrel resistance as well as TIMI flow post primary PCI in STEMI among Asian populations, has never been done.
Objective: the aim of this study is to define whether miR-26a platelet expression has a relation with platelet reactivity and myocardial perfusion after primary PCI.
Methods: STEMI patients who underwent primary PCI and has received 600 mg loading dose of clopidogrel were recruited for the study. We measured platelet reactivity by VerifyNow P2Y12, high platelet reactivity was defined as > 208 PRU. Realtime PCR by taqman method were performed to asses the expression of miR-26a platelet. miRNA-26a platelet expression and platelet reactivity were correlated with TIMI flow post primary PCI in STEMI.
Hasil: there were 100 patients recruited for this study. among them, 59% of patients with high expression of miR-26a platelet. Platelet reactivity showed 27% of the patients were clopidogrel non-responders. There was a relationship between high miR-26a expression and decreased function of platelet inhibition (OR 4.2, p = 0.006). Platelet reactivity index > 208 increased the risk of suboptimal reperfusion (OR 3.3, p = 0.015). There was no direct correlation between miR-26a expression and TIMI flow < 3.
Conclusion: Patients with high miR-26a platelet expression had increased risk of being clopidogrel non responders. There is no direct relationship between miR-26a platelet expression and TIMI flow after primary PCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agill Agassi Tsalitsa
"Implantasi stent koroner yang tidak adekuat berhubungan dengan terjadinya major adverse cardiac event (MACE). Prosedur post dilatasi pasca implantasi stent terbukti memberikan ekspansi stent yang optimal. Namun, studi mengenai aplikasi strategi ini dalam intervensi koroner perkutan primer (IKPP) masih terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui luaran klinis dari post dilatasi pasca implantasi stent pada pasien infark miokard akut elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani IKPP dalam kurun waktu satu tahun. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif. Luaran klinis primer berupa MACE yang terdiri dari kejadian infark miokard berulang, total repeat revascularization, kematian kardiovaskular dan kematian semua sebab. Luaran klinis sekunder berupa trombosis stent. Total 288 pasien yang dianalisis (130 kelompok post dilatasi dan 158 kelompok tanpa post dilatasi). Tanpa post dilatasi memiliki perbedaan bermakna dengan angka kejadian MACE yang lebih tinggi (adjusted OR 1,82 (95% IK 1,003 – 3,32, p 0,049), kematian kardiovaskular, (adjusted OR 5,29 (95% IK 1,4 – 19,2, p 0,012) dan kematian semua sebab (adjusted OR 4,05 (95% IK 1,45 – 11,3, p 0,007) dalam waktu satu tahun. Proporsi juga meningkat untuk kejadian infark miokard berulang (6,9% vs 11,4%; p 0,19) walaupun tidak bermakna secara statistik. Post dilatasi pasca implantasi stent menunjukkan luaran klinis yang lebih baik pada tindakan IKPP.

Inadequate coronary stent implantation is associated with a major adverse cardiac event (MACE). Post-dilation procedure after stent implantation has been shown to provide optimal stent expansion. However, studies regarding this application in primary percutaneous coronary intervention (PPCI) are still limited. This study aims to investigate clinical outcomes of post-dilatation after stent implantation in patients with ST segment elevation myocardial infarction (STEMI) undergoing PPCI within one year. This study is a retrospective cohort study. Primary clinical outcome is MACE which consists of recurrent myocardial infarction, total repeat revascularization, cardiovascular death and all causes of death. Secondary clinical outcome is stent thrombosis. A total of 288 patients were analyzed (130 post-dilatation groups and 158 without post-dilatation groups). Without post-dilatation, there was a significant difference with a higher incidence of MACE (adjusted OR 1.82 (95% CI 1.003 - 3.32, p 0.049), cardiovascular death, (adjusted OR 5.29 (95% IK 1.4 - 19.2, p 0.012) and all-cause mortality (adjusted OR 4.05 (95% CI 1.45 - 11.3, p 0.007) within one year. Proportion also increased for the incidence of recurrent myocardial infarction (6.9 % vs 11.4%; p 0.19) although not statistically significant. Post-dilatation procedures after stent implantation showed better clinical outcomes in patients undergoing PPCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Ariyanti
"Latar Belakang : Model prediksi risiko mortalitas dan morbiditas pascapembedahan jantung digunakan untuk penjelasan kepada pasien mengenai risikoperioperasi, pemilihan tatalaksana, perbandingan hasil pascaoperasi dan alokasidana oleh penjamin kesehatan nasional. Husink dkk mengembangkan suatu sistemskor prediksi mortalitas dan morbiditas pasca pembedahan katup jantung yaitu skorHarapan Kita pada tahun 2015. Sistem skor model prediksi mortalitas memilikidaya kalibrasi dan diskriminasi yang baik sedangkan model prediksi morbiditasmemiliki daya kalibrasi baik dan daya diskriminasi sedang. Sampai saat ini belumada validasi eksternal pada sistem skor Harapan Kita tersebut, sehingga perludilakukan untuk dapat selanjutnya diimplementasikan secara klinis.
Tujuan : Memvalidasi secara eksternal sistem skor Harapan Kita sebagai prediktormortalitas dan morbiditas di rumah sakit pasien yang menjalani pembedahan katupjantung.
Metode : Penelitian merupakan studi potong lintang dengan metode validasieksternal temporal yang dilakukan di Departemen Kardiologi dan KedokteranVaskular Universitas Indonesia/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh DarahHarapan Kita, menggunakan data sekunder Januari 2015 hingga September 2016,yang diambil secara total sampling. Analisis data ditujukan untuk mendapatkannilai kalibrasi dan diskriminasi.
Hasil : Sampel akhir berjumlah 789, kejadian mortalitas di rumah sakit 8.6 68dari 789 sampel dan prediksi mortalitas dengan skor Harapan Kita 11.9 .Kejadian morbiditas di rumah sakit 34.7 dan prediksi morbiditas dengan skorHarapan Kita 19.1 . Setelah dilakukan penghitungan skor Harapan Kita padasemua sampel studi, didapatkan nilai kalibrasi prediksi mortalitas p = 0.169 dandiskriminasi/AUC sebesar 0,761 95 IK; 0.702-0.821 sedangkan prediktormorbiditas kalibrasi p = 0.689 dan AUC 0.753 95 IK; 0.716-0.789.
Kesimpulan : Sistem skor Harapan Kita secara eksternal valid untuk memprediksimortalitas dan morbiditas pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.

Background: Mortality and morbidity risk prediction model after cardiac surgeryis used to explain perioperative risk, choice of treatment, comparation of surgeryresults, and for financial allocation consideration by national health insurance.Harapan Kita score was developed in 2015. This scoring system had a goodcalibration and discrimination for predicting mortality also a good calibration butmoderate discrimination for predicting morbidity. However this score never beenexternally validated.
Objective: To validate externally the Harapan Kita scoring system as an inhospitalmortality and morbidity predictor in patients who is undergoing valvular heartsurgery.
Methods: This is a cross sectional study with temporal external validation methodthat performed at the Department of Cardiology and Vascular Medicine,Universitas Indonesia National Cardiovascular Center Harapan Kita, usingsecondary data from January 2015 until September 2016, which taken by totalsampling method. Data analysis is intended to develop the calibration anddiscrimination level.
Results: The final samples were 789, with 8.6 68 from 789 samples mortalityevent and a mortality predictor of Harapan Kita Score 11.9. The Odds Ratio OR of all variables were similar with the OR of Harapan Kita score previous study. Callibration value for mortality predictor were p 0.169 with a discrimination AUC 0.761 95 CI 0.702 0.821 meanwhile calibration value formorbidity predictor were p 0.689 and AUC 0.753 95 CI 0.716 0.789.
Conclusion: Harapan Kita scoring system valid externally to predict in hospitalmortality and morbidity in patients undergoing valvular heart surgery
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55651
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
R. Ahmad Anzali
"Latar Belakang: Perbaikan dalam sistem, teknologi, dan farmakoterapi telah mengubah prognosis secara signifikan pada pasien infark miokard dengan elevasi segmen ST (IMAEST) selama beberapa dekade terakhir. Sekitar sepertiga pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) berisiko mengalami no-reflow (NR), suatu kondisi yang ditandai dengan perfusi miokard yang buruk meskipun aliran koroner epikardial berhasil dibuka. NR berdampak signifikan pada luaran klinis termasuk luas infark yang lebih besar, gagal jantung, dan kematian. Peningkatan D-Dimer dan Fibrinogen berkaitan dengan meningkatnya risiko NR. Beberapa publikasi telah menyimpulkan rasio D-Dimer dan Fibrinogen (DFR) memiliki spesifisitas yang lebih baik. Belum ada penelitian yang menilai hubungan DFR dengan NR pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara DFR dengan perfusi mikrovakular koroner yang dinilai dengan Quantitative Blush Evaluator (QuBE) pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Kami mengevaluasi 61 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan memenuhi kriteria untuk dilakukan penilaian myocardial blush menggunakan QuBE. Sampel pemeriksaan D-Dimer dan Fibrinogen diambil saat admisi. DFR dinilai hubungannya dengan nilai QuBE yang dikategorikan menjadi dua kelompok (QuBE <9 dan ≥9 unit arbiter). Hasil: Pasien dengan DFR ≥0,149 berisiko untuk memiliki nilai QuBE <9 unit arbiter sebesar 18,32 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan DFR <0,149 (IK 95% 2,49-134,68; p 0.004). Nilai batas DFR 0,149 memiliki sensitivitas 54,5% dan spesifisitas 82% untuk menggambarkan no-reflow pasca-IKPP (AUC= 0,665).

Background : Improvements in systems, technology, and pharmacotherapy have
significantly changed the prognosis of STEMI patient over the past few decades.
Approximately one third of patients undergoing primary percutaneous coronary intervention
(PPCI) are at risk for no-reflow (NR), a condition characterized by poor myocardial perfusion
despite successful opening of epicardial blood flow. NR has significant impact on clinical
outcomes including greater infarct size, heart failure, and death. Increased D-Dimer and
Fibrinogen are associated with an increased risk of NR events. Several publications have
concluded that the D-Dimer and Fibrinogen ratio (DFR) has better specificity. There are no
studies that have assessed the relationship between DFR and NR in STEMI patients
undergoing PPCI.
Objective: This study aims to determine the association between DFR and coronary
microvascular perfusion using the Quantitative Blush Evaluator (QuBE) in STEMI patients
undergoing PPCI.
Methods: We evaluated 61 STEMI patients who underwent PPCI and met the criteria for
myocardial blush assessment using the QuBE program. D-Dimer and Fibrinogen examination
samples were taken at admission. DFR was assessed for its association with the QuBE score
results which were divided into two groups (QuBE <9 arbitrary units and ≥9 arbitrary units).
Results: Patients with DFR ≥0.149 had a 11.26 times greater risk of having QuBE <9 arbitrary
units than patients with DFR <0.149 (CI 95% 2,49-134,68; p 0.004). The DFR cut point of
0.149 had a sensitivity of 54.5% and a specificity of 82% for predicting NR (AUC= 0.665; p
0.019).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aldo Ferly
"Latar Belakang : Gagal jantung adalah salah satu kondisi dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Penyebab paling sering dari masalah gagal jantung adalah iskemia yang disebabkan oleh stenosis pada pembuluh darah koroner. Studi viabilitas adalah metode non-invasif untuk mengidentifikasi sel miokard yang mengalami kondisi stunning maupun hibernating yang mungkin memperoleh manfaat dari revaskularisasi. Studi sebelumnya mencoba melihat perananan viabilitas dengan kesintasan tidak menemukan kaitan antara adanya viabilitas miokard dan juga kesintasan.

Tujuan : Studi ini mencoba membandingkan luaran kejadian kardiovaskular mayor (KKM), mortalitas, rehospitalisasi maupun perbaikan dari fraksi ejeksi pada pasien kardiomiopati iskemik yang akan menjalankan bedah pintas arteri koroner dengan atau tanpa studi viabilitas

Metode : Suatu studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Menurun yang diputuskan untuk dilakukan Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) oleh Heart Team Meeting dari Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Pasien tersebut dikelompokan kedalam grup yang dilakukan studi viabilitas dan grup yang tidak dilakukan studi viabilitas. Dilakukan follow up pada pasien ini dan dilakukan pencatatan luaran seperti kematian, rehospitalisasi dan juga perbaikan dari fraksi ejeksi.

Hasil : Didapatkan adanya 216 pasien yang menjalankan BPAK dengan dilakukan pemeriksaan viabilitas dan 269 pasien yang menjalankan BPAK tanpa dilakukan pemeriksaan viabilitas. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara dilakukannya uji viabilitas dengan luaran KKM, mortalitas maupun rehospitalisasi paska dilakukan prospensity score adjustment. Namun, mereka yang dilakukan uji viabilitas lebih banyak yang mengalami perbaikan fraksi ejeksi dibandingkan dengan mereka yang tidak dilakukan uji viabilitas.

Kesimpulan : Tidak ada perbedaan dari KKM, kesintasan maupun rehospitalisasi pada pasien yang menjalankan BPAK dengan data viabilitas dibandingkan dengan mereka yang menjalankan BPAK tanpa data viabilitas. Namun, pasien yang menjalankan BPAK dengan data viabilitas lebih mungkin memiliki perbaikan dari fraksi ejeksi


Backgrounds : Heart failure with reduced ejection fraction is one of the condition with significant morbidity and mortality. The most common etiology is ischemia caused by stenosis of coronary artery. Viability study is a non-invasive methods to identify which myocardial cells that may experienced stunning or hibernating conditions that may gain benefit from surgical revascularization using coronary artery bypass graft (CABG). Previous study failed to identify the benefit of viability study on major adverse cardiovascular events (MACE), mortality or rehospitalization.

Aim : This study aims to compare the outcome of major adverse cardiovascular events (MACE), mortality, rehospitalization and improvement of ejection fraction in patients with ischemic cardiomyopathy that had coronary artery bypass graft surgery with and without undergoing myocardial viability study.

Methods : A retrospective cohort study were done on patients with heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF) that were decided to do coronary artery bypass graft by heart team meeting of National Cardiovascular Center Harapan Kita. The patients were grouped according to whether they undertook viability study or not. Follow up were done on these patients and outcome such as mortality, rehospitalization and improvement of ejection fraction were recorded.

Results : There are 216 patients that had CABG with viability study and 269 patients that had CABG without viability study. There are no statistically significant differences between those undergoing viability study and outcome of MACE, mortality or rehospitalization after prospensity score adjustment. However, those with viability study are more likely to have improvement of ejection fraction compared to those that do not have viability results.

Conclusion : There are no differences in either MACE, survival or rehospitalization in patients that did CABG procedure with viability data compared to those that do not have the data. However, those that have viability data are more likely to have improvement of ejection fraction."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fatimah Defina
"Latar belakang: Polimorfisme genetik dari reseptor P2Y12 dikatakan dapat
mempengaruhi aktivasi reseptor P2Y12 atau menghambat aktivasi trombosit. Beberapa
polimorfisme nukleotida tunggal dalam gen P2Y12 ditemukan dapat menyebabkan
variabilitas antarindividu dalam agregasi platelet. Telah diidentifikasi lima
polimorfisme dari gen P2Y12 yaitu T744C, C34T, G52T, ins801A, dan C139T. Salah
satunya, polimorfisme C34T adalah salah satu dari polimorfisme yang dikatakan ada
kaitannya dengan peningkatan agregasi platelet yang dapat menunjukkan kemungkinan
untuk terjadinya modifikasi respon terapi clopidogrel. Namun hingga saat ini belum
ada penelitian yang menilai hubungan langsung antara polimorfisme reseptor P2Y12
dengan TIMI-flow beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, termasuk fungsi
penghambatan platelet pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme
nukleotida tunggal pada reseptor P2Y12 dengan TIMI flow beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya, termasuk penghambatan fungsi platelet.
Metode: Studi potong lintang pada 167 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
dilakukan pemeriksaan polimorfisme C34T reseptor P2Y12 dengan metode Taqman
dan pemeriksaan fungsi penghambatan platelet yang diukur dengan VerifyNow P2Y12.
Hasil: Dari 167 subjek penelitian, studi polimorfisme mengungkapkan proporsi pasien
dengan heterozygous mutan sebanyak 34.1%, dan 1.8% pasien merupakan homozygous
mutan. Sisanya adalah homozygous wildtype ditemukan sebanyak 64.1%. 25.7% pasien
tergolong non-responder terhadap clopidogrel. Secara keseluruhan tidak terdapat
hubungan secara langsung antara polimorfisme C34T dengan TIMI flow < 3, namun
terdapat hubungan antara polimorfisme C34T dengan penurunan fungsi penghambatan
platelet (OR 2.17, p = 0.046).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan secara langsung antara polimorfisme C34T
dengan TIMI flow, namun pasien dengan polimorfisme C34T pada reseptor P2Y12
memiliki risiko untuk mengalami penurunan penghambatan fungsi platelet.

Background: Genetic polymorphism of P2Y12 receptors is said to have affect of
P2Y12 receptor activation or inhibit platelet activation. Several single nucleotide
polymorphisms in the P2Y12 gene were found to cause variability between individuals
in platelet aggregation. Five polymorphisms have been identified from the P2Y12 gene,
namely T744C, C34T, G52T, ins801A, and C139T. One of them, C34T is one of the
polymorphisms that is said to be related to increased platelet aggregation which can
indicate the possibility for modification of the response of clopidogrel therapy. But until
now there has been no research that assesses the direct relationship between P2Y12
receptor polymorphisms and TIMI-flow along with the factors that influence it,
including the function of platelet inhibition in STEMI patients undergoing PPCI
Objective: This study aims to determine the relationship between single nucleotide
polymorphisms at P2Y12 receptors with TIMI flow along with the faktors that
influenced it, including inhibition of platelet function.
Methods: A cross-sectional study of 167 STEMI patients who underwent PPCI. C34T
polymorphism of P2Y12 receptor was evaluated by the Taqman method and the
inhibition of platelet function was measured by VerifyNow P2Y12.
Results: Among 167 subjects, the heterozygous mutants group were 34.1%, and 1.8%
of patients were homozygous mutants. The rest 64.1% was homozygous wildtype.
25.7% of patients were classified as non-responders to clopidogrel. Overall there was
no direct relationship between C34T polymorphisms and TIMI flow <3, but there was
a relationship between C34T polymorphisms and decreased platelet inhibitory function
(OR 2.17, p = 0.046).
Conclusion: There is no direct relationship between C34T polymorphisms and TIMI
flow, but patients with C34T polymorphisms of P2Y12 receptors have a risk of
decreasing platelet function inhibition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Shabirina K
"Latar Belakang: Kongesti merupakan penyebab utama pada kondisi perburukan dari gagal jantung kronis yang disebut juga sebagai gagal jantung dekompensasi akut (GJDA). Pemeriksaan status kongesti intravaskular pada pasien GJDA dengan fraksi ejeksi rendah dan diabetes mellitus (DM) sangat penting dilakukan karena mempengaruhi prognosis dan memiliki angka kematian dan readmisi yang lebih tinggi. Pemeriksaan status volume intravaskular pada populasi ini dinilai sulit karena terjadi peningkatan permeabilitas dinding vaskular, sehingga lebih banyak terjadi kongesti interstitial. Beberapa penelitian menggunakan perhitungan estimasi volume plasma (eVP) dengan membandingkan kadar hemoglobin dan hematokrit sebagai indikator adanya kongesti intravaskular yang berperan sebagai modalitas prognostik pada pasien GJDA dan DM tipe 2.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara estimasi volume plasma (eVP) terhadap luaran lama rawat, readmisi 30 hari dan mortalitas 180 hari pada pasien GJDA dengan fraksi ejeksi rendah dan DM tipe-2.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dengan populasi penelitian pasien dengan GJDA dan DM tipe 2 selama periode Januari 2016 sampai dengan Januari 2021 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Hasil: Sebanyak 373 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, Nilai eVP awal > 5,04 ml/g berhubungan secara bermakna terhadap mortalitas 180 hari dengan sensitifitas 61% dan spesifisitas 59% (HR 2,12; IK95 1,13-3,98; p = 0,019). Nilai eVP akhir berhubungan secara bermakna terhadap readmisi 30 hari (OR 1,23; IK95 1,05 – 1,46; p = 0,025). Nilai eVP akhir secara bermakna berkorelasi positif dengan lama rawat inap (koefisien B 0,412, p = 0,02).
Kesimpulan: Nilai estimasi volume plasma yang tinggi berhubungan dengan lama rawat, readmisi 30 hari, dan mortalitas 180 hari pada pasien GJDA dengan DM tipe 2.

Background : Congestion is the main cause of the worsening condition of chronic heart failure which is also known as acute decompensated heart failure (ADHF). Examination intravascular congestion status in patients with ADHF with low ejection fraction and diabetes mellitus (DM) is very important because it affects the prognosis and has a higher mortality and readmission rate. Examination of intravascular volume status in this population is considered difficult due to increased permeability of the vascular wall, resulting in more interstitial congestion. Several studies used the calculation of estimated plasma volume (ePV) by comparing hemoglobin and hematocrit levels as an indicator of intravascular congestion which acts as a prognostic modality in patients with ADHF and type 2 DM.
Aim : To determine the relationship between estimated plasma volume (eVP) and outcome of length of stay, 30-day-readmission and 180-day-mortality in ADHF patients with low ejection fraction and type-2 DM.
Methods: This is a retrospective cohort involving patients with ADHF, low ejection fraction and type 2 DM from Januay 2016 to January 2021 in National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Results: As many as 373 patients fulfilled inclusion criteria. Initial eVP > 5,04 ml/g is associated with 180-day-mortality with sensitivity and specificity of 61% and 59%, respectively (HR 2,12; 95%CI 1,13-3,98; p = 0,019). Pre-discharge eVP is also associated with 30-day-readmission (HR 1,23; IK95 1,05 – 1,46; p = 0,025). Pre-discharge eVP is also significantly correlated with length of stay (B coefficient 0,412, p 0,02)
Conclusion: High estimated plasma volume is associated with length of stay, 30-day-readmission and 180-day-mortality in patients with ADHF, low ejection fraction and type 2 DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Susandy Oetama
"Aplikasi mHealth memiliki potensi menurunkan angka rekurensi sindrom koroner akut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas ekonomi layanan standar disertai monitoring menggunakan aplikasi HARKIT iCARE dibandingkan layanan standar pada prevensi sekunder paska sindrom koroner akut. Penelitian ini berbentuk uji klinis acak tersamar dengan perspektif sosietal yang melibatkan 106 pasien paska sindrom koroner akut yang dirawat di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari bulan Juni sampai Desember 2022. Randomisasi menggunakan permutasi blok acak dengan tindak lanjut selama enam bulan. Utilitas kesehatan dinilai menggunakan kuesioner EQ-5D-5L yang dikonversi menjadi quality adjusted life years. Luaran penelitian berupa incremental cost effectiveness ratio. Permodelan Markov sederhana dengan jangka waktu lima tahun dan siklus 30 hari dilanjutkan analisis bootstrapping 10.000 kali simulasi menunjukkan quality adjusted life yearslebih tinggi pada kelompok HARKIT iCARE (3,23 vs 3,06) namun total biaya yang lebih tinggi (Rp 5.495.920.454 vs Rp 5.041.510.027). Incremental cost effectiveness ratio per quality adjusted life years sebesar Rp 2.673.002.511 melebihi ambang batas kesediaan untuk membayar Indonesia yaitu Rp 225.000.000. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kematian segala sebab dan kejadian kardiovaskular mayor. Layanan standar disertai monitoring aplikasi HARKIT iCARE tidak bersifat efektif secara biaya jika dibandingkan dengan layanan standar pada prevensi sekunder paska SKA.

mHealth application has a potential to improve acute coronary syndrome recurrency. The objective of this study was to determine the economic effectiveness of HARKIT iCARE compared to standard secondary prevention in acute coronary syndrome. This study was an economic evaluation alongside randomized clinical trial with societal perspective. A total of 106 hospitalized acute coronary syndrome patients from June to December 2022 in National Cardiovascular Center Harapan Kita were randomized using permuted block method. Base case trial follow-up period was six months. Health utility values were assessed using EQ-5D-5L questionnaire and then converted into quality adjusted life years. Study outcomes were incremental cost effectiveness ratio. A simple Markov model was constructed with time horizon of five years and 30 days cycle. Bootstrapping analysis with 10,000 simulation showed quality adjusted life years was higher in HARKIT iCARE group (3,23 vs 3,06) but higher total cost (Rp 5.495.920.454 vs Rp 5.041.510.027). Incremental cost effectiveness ratio per quality adjusted life years was Rp 2.673.002.511, exceeding the willingness to pay threshold based on three times of Indonesia gross domestic product per capita in 2023 Rp 225.000.000. There was no difference in all-cause mortality and major adverse cardiovascular event. HARKIT iCARE as addition to standard secondary prevention was not cost effective compared to standard care in post acute coronary syndrome patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library