Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jayadi Nas
Abstrak :
Konliik antar elit politik lokal pasca runtuhnya rezim Orde Baru merupakan suatu fenomena politik baru dalam lanscap perpolitikan di Indonesia yang jarang ditemukan pada masa sebelumnya. Pada masa sebelumnya, konflik yang sering terjadi adalah konflik antara elit politik di pusat dengan masyarakat di tingkat lokal atau konliik anlar elit politik pusat dalam memperebutkan pengaruh di tingkat lokal. Dalam konteks Pemilihan Gubemur dan Wakil Gubemur Provinsi Sulawesi Selatan periode 2003-2008, studi ini menemukan berbagai pola konflik, baik yang bersifat kontinuitas maupun pergeseran pola konflik. Pertama, pola konflik yang bersifat kontinuitas adalah pola konflik yang bersifat ulangan dari pola konflik sebelumnya, yakni konflik antar elit politik lokal yang didasarkan pada kepenlingan aliran politik dan kesukuan/wilayah. Konflik kepentingan antar aliran politik dan kesukuan wilayah adalah konflik yang kerapkali terjadi pada mesa sebelumnya. Bahkan konfiik yang didasarkan atas kepentingan suku sudah terjadi sejak zaman penjajahan. Kedua, ditemukan pergeseran pola konflik, dari konflik yang bersifat vertikal (antara kelompok bangsawan dangan bukan bangsawan) berubah menjadi konflik horizontal (konflik antar kelompok kepentingan). Konfiik kepentingan antara kelompok bangsawan dengan masyarakat biasa yang selama ini dominan dalam setiap pemilihan dan pengangkatan seorang pemimpin di Sulawesi Selatan, secara perlahan tidak muncul Iagi. Temuan teresbut menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan dan tuntutan perubahan zaman, pemilihan pemimpir: di Sulawesi Selatan seyogianya disesuaikan dengan nilai-nilai lokal dan nilai-nilai global. Konsep ini didasarkan atas pemikiran bahwa masyarakat Sulawesi Selatan dikenal teguh dalam menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Namun demikian tuntutan perubahan dan perkembangan zaman juga tidak dapat dinafikan. Ketiga, studi ini juga menemukan bahwa konflik antar elit politik yang terjadi di tingkat lokal tidak sepenuhnya disebabkan oleh perbedaan, persaingan, dan pertentangan antar elit di tingkat lokal, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap elit politik di tingkat pusat. Temuan tersebut menunjukkan bahwa konflik antar elit politik di tingkat lokal maupun pusat merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Meskipun elit politik di pusat memberikan kekuasaan kepada elit lokal maupun masyarakat unluk mengambil keputusan politik, tetapi elit politik di pusat masih tetap ingin berkuasa. Namun demikian, dalam kondisi tertentu elit poiitik lokal juga kerapkali mengambil keputusan sendiri dengan mengabaikan kebijakan elit politik pusat. Berdasarkan temuan tersebut dirumuskan suatu konsep teori bahwa desentralisasi politik tidak serta merta dapat mendorong kebebasan dan kemandirian elit politik lokal dan masyarakat secara substansial dalam mengambil keputusan politik. Elit politik di pusat masih berpengaruh, bahkan dalam kondisi tertenlu dapat memaksakan keinginan politiknya. Namun demikian, adanya kekuasaan politik yang diberikan secara perlahan memungkinkan elit politik lokal dan masyarakal dapat mengambil keputusan secara otonom tanpa bergantung pada elit politik pusat. ...... Local elite conflict after New Order regime is a new political phenomenon in the Indonesian political landscape which uneasy to find previously. In previous period, the existing conflicts usually took place between central political elite with local community or among central political elite themselves. In the context of local election in South Sulawesi to select new Govemor and Vice Governor for the period or 2003-2008, this study tries to identify several patterns of conflict which are continuously or altering pattern of political conflict. First, continuous conflict replicates from previous conflict, based on political tradition and ethnic. These conflicts existed even before the independence of the state. Second, there is a political alteration from vertical conflict (among royal families with ordinary people) to horizontal conflict (among interest groups). Conflict between royal families and ordinary people which is common in the elite selection process, slowly decrease and fade away. This finding shows that parallel with the change of an era, the election of local elite in the province should consider both local and global culture. This concept is based on the fact that the community in the province is lcnown as a faithful society in holding their cultural value. However, the global changing cannot be denied by the people. Third, this study also found that local political elite is not caused by differentiation, competition and contradiction in the local context, but it is also influenced by political opinion of elite in Jakarta. This finding shows that political conflict in local or central context is inter-connected and influential one to another. Even the political elites in Jakarta give power to the local elite to rule the province, but they still want to involve. However, in certain condition, local political elites sometimes make their own decision and disobey central elite?s policy. Based on those findings, it can be formulated a theoretical concept that political decentralization is not automatically endorse local political elite and society freedom and autonomy to decide substantive political decision. Political elites in Jakarta are still influential, even in certain condition can endorse their interest. However, the transfer of political power slowly gives a chance to local political elite and society to make their own decision autonomously independent fiom political elite in Jakarta.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D790
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Nasih
Abstrak :
Dinamika antara Islam dan nasionalisme di Turki dan Indonesia terjadi karena adanya perspektif yang mendikotomikan antara Islam dengan nasionalisme. Islam dianggap sebagai nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan yang bersifat sakral. Sedangkan nasionalisme dianggap sebagai konsensus dan karena itu bersifat profan/sekuler, terlebih kelahirannya dipicu oleh perlawanan terhadap praktik sistem religio-politik integralisme Katholik di abad pertengahan. Pertentangan tersebut kemudian juga diberlakulam kepada seluruh agama, termasuk Islam. Penelitian ini menggunakan pijakan teori hubungan entara agama (Islam) dengan negara yang teruraikan dalam konsepsi negara-Islam, nasionalisme-sekuler, dan nasionalisme-religius. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisis deskriptifanalitis. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data dari sumber pustaka dan wawancara dengan bebrapa tokoh politik. Data- data tersebut kemudian dideskripsikan, sehingga menunjukkan dinamika antara Islam dan nasionalisme. Penelitian ini menemukan bahwa dinamika antara Islam dan nasionalisme di Turki dan Indonesia terjadi dalam organisasi-organisasi masyarakat sipil, partai- partai politik, dan lembaga-lembaga negara/pemerintahan. Dinamika di dalam salah satu institusi berpengaruh Inepada yang lain. Karakter nasionalisme Turki awalnya terbangun berdasarkan prinsip sekularisme laicisme. Dinamika antara Islam dan nasionalisme menyebabkan konvergensi antara keduanya tanpa mengubah konstitusi negara dan melahirkan paradigma baru nasionalisme dengan karakter sekularisme non-laicisme dalam praktik. Bentuk konvergensi antara Islam dan nasionalisme di Turki belum stabil karena sikap politik kalangan Islam belum didasarkan pada landasan teologis (theological statement), melainkan karena penimbangan-penimbangan politik (political statement) untuk menghindari tekanan kekuatan pro-sekularisme. Sedangkan karakter nasionalisme di Indonesia adalah nasionalisme-religius, karena konstitusi dan dasar negara (Pancasila) secara tegas memberikan ruang yang cukup kepada agama. Hanya saja, praktik politik represif rezim Orde Baru dalam periode politik dekade 1980-an terhadap kalangan Islam menghidupkan paradigma politik yang mendikotomikan antara Islam dengan nasionalisme. Umat Islam dicurigai memiliki cita-cita untuk mengembalikan Islam sebagai dasar formal dalam praktik politik-keagamaan. Tekanan rezim menyebabkan sebagian kalangan Islam mengkonstruksi pandangan teologis baru tentang konvergensi antara Islam dan nasionalisme yang berpengaruh kepada penerimaan mayoritas kalangan politik Islam di Indonesia kepada Pancasila berdasarkan pada pandangan teologis (theological statement), bukan sekedar politis (political statement). Implikasi teoritis penelitian ini adalah hubungan antara Islam dengan negara terjadi, negara-Islam dan nasionaIisme-sekuIer tidak berlaku, dan nasionalisme religius semakin menguat. Konsepsi nasionalisme-religius menempatkan agama (Islam) sebagai landasan moral dan etika dalam kehidupan politik kenegaraan. ...... The dynamics between Islam and nationalism in Turkey and Indonesia is due to a dispute between the Islamic view with nationalism. Islam is considered as the values that stem lion: God that is sacred. While nationalism is considered as a consensus and because it is profane / secular, first birth was triggered by the opposition to the practice of integralisrn religio-political system in the medieval Catholic. Conflicts are then also applied to all religions, including Islam. This research uses theoretical framework of the relation between religion (Islam) with the state described in the conception of state-Islam, nationalism, secular, and nationalist-religious. This study uses qualitative methode with analytical descriptive analysis techniques. Data collection was conducted by collecting data from literature sources and interviews with some political figures. These data are then described, thus showing the dynamics between Islam and Nationalism. This study found that the dynamic between Islam and nationalism in turkey and Indonesia occurred in in the civil society organizations, political parties, and the institutions of stare / government. Dynamics in one institution inlluent to another. Turkish nationalism awoke Erst character based on the principle of laicisme secularism. The dynamics between Islam and nationalism lcd to convergence between the two withoutchanging the state constitution andgave birth to anew paradigm of nationalism with the character of non-laicisrn secularism in practice. Form of convergence between Islam and nationalism in Turkey is not stable because of political attitudes among muslims are not based on theological foundation (theological statement), but because of political considerations (political statement) to avoid the pressureoftlre pro-secular forces. While the character of nationalism in Indonesia is a religious nationalism, because the constitution and the basic state (Pancasila) expressly provides enough space for religion. Only, a repressive political practices ofthe New Order regime in the period of the 1980s politics of Islamic political paradigm that contradict switch between Islam and nationalism. Muslims suspected of having to mtore the ideals of lslam as a formal basis in-state political practices. Pressure caused some of the Islamic regime to construct a new theological view about the convergence between Islam and nationalism, which had affected the acceptance among the majority of political Islam in Indonesia to Pancasila are based on theological view (theological statement), not merely political (political statement). Theoretical implications of this research is the relationship between Islam and the state occurs, the state-Islamic and secular-nationalism does not apply, and religious nationalism intensified. The conception of religious nationalism puts religion (Islam) as the foundation of morals and ethics in the political life of state.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
D915
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library