Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Enamela Denta
"Pada kasus gigi tiruan penuh, salah satu faktor yang mempengaruhi prognosis perawatan adalah retensi dan stabilitas. Faktor anatomis yang mempengaruhi retensi dan stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah adalah kedalaman ruang retromylohyoid. Kedalaman ruang retromylohyoid dapat diasumsikan sebagai ketinggian tulang alveolar bagian posterior rahang bawah. Berkurangnya ketinggian tulang alveolar berkaitan dengan resorpsi tulang alveolar yang dapat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Penelitian ini menggunakan 70 kartu rekam medik pasien gigi tiruan penuh rahang bawah yang datang ke klinik Prostodonsia Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia periode Januari 2005-Juni 2007 yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis univariat disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi variabel usia, jenis kelamin, dan kedalaman ruang retromylohyoid. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat hubungan antara usia dan kedalaman ruang retromylohyoid serta perbedaan kedalaman ruang retromylohyoid antara kelompok perempuan dan laki-laki. Nilai p yang diperoleh adalah 0,334 dan 1,000 (p> 0,05). Kesimpulan: (1) Kondisi yang paling banyak ditemukan pada pasien GTP rahang bawah adalah ruang retromylohyoid dalam. (2) Kondisi ruang retromylohyoid dangkal lebih banyak ditemukan pada kelompok perempuan dibandingkan laki-laki. (2) Tidak terdapat hubungan antara usia dan kedalaman ruang retromylohyoid. (3) Tidak terdapat perbedaan kedalaman ruang retromylohyoid antara kelompok perempuan dan lakilaki.

Anatomic factor that influences the retention and stability of the mandibular denture is the depth of retromylohyoid space. The depth of retromylohyoid space can be assumed as the height of alveolar ridge in posterior region of the mandible. The decrease of the height of alveolar ridge caused by alveolar ridge resorption that is influenced by age and sex. This test used 70 medical records of mandibular complete denture patients who came to Prosthodontic Clinic of Dental Hospital Faculty of Dentistry University of Indonesia within January 2005 - June 2007 period that fulfilled the criteria. Univariate statistical analysis is presented in the frequency distribution of age, sex, and the depth of retromylohyoid space. Bivariate statistical analysis using Chi-Square test and Two Sample Kolmogorov-Smirnov Test was done to analyze the relationship between age and the height of retromylohyoid space, also the difference of the depth of retromylohyoid space in female and male. The result showed that significance values are 0,334 and 1,000 (p > 0,005). It was concluded that (1) A deep retromylohyoid space is the most condition occurred between the patients (2) A shallow retromylohyoid space is occured more in female than male. (3) There is no relationship between age and the depth of retromylohyoid space. (4) There is no difference of the depth of retromylohyoid space in female and male."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Nurhidayanti
"Keberhasilan perawatan gigi tiruan penuh dipengaruhi oleh retensi dan stabilitas. Retensi merupakan kemampuan gigi tiruan untuk tahan terhadap gaya gravitasi, sifat adhesi makanan, dan gaya-gaya yang berhubungan dengan pembukaan rahang, sedangkan stabilitas adalah kemampuan gigi tiruan untuk tetap stabil atau tetap pada posisinya saat digunakan. Salah satu faktor yang berperan dalam retensi dan stabilitas adalah ketinggian perlekatan dasar mulut. Perlekatan dasar mulut perlu diperhatikan karena hubungannya terhadap puncak alveolar sangat penting pada pasien yang akan memperoleh perawatan gigi tiruan penuh rahang bawah. Penelitian ini menggunakan 71 kartu status milik Klinik Departemen Prostodonsia Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Fakultas Kedikteran Gigi Universitas Indonesia yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis statistik secara univariat berupa distribusi frekuensi dari variabel jenis kelamin, usia, ketinggian pelekatan dasar mulut dan analisis bivariat dengan uji kolmogorov-smirnov. Nilai p yang didapat dari hasil penelitian > 0,05. Kesimpulan : (1) Perlekatan dasar mulut normal adalah yang paling banyak ditemukan baik pada pasien perempuan maupun lakilaki. (2) Tidak terdapat hubungan antara pertambahan usia dengan ketinggian perlekatan dasar mulut. (3) Tidak terdapat perbedaan ketinggian perlekatan dasar mulut yang signifikan antara pasien perempuan dan laki-laki.

The success of prosthodontic treatment is influenced by retention and stability. Retention is quality inherent in the denture which resist the force of gravity, the adhesiveness of foods, and the forces associated with the opening of the jaws, and stability is denture`s ability of being firm, steady and constant in position when forces is applied to it. One important factors in retention and stability is the height of mouth floor. The mouth floor needs to be concerned because its relationship to alveolar ridge which is very important to a patient who will get mandibular complete denture treatment. As the sample test, seventy one medical records of the Prosthodontic Clinic in Dental Hospital Faculty of Dentistry University of Indonesia which qualify the criteria were used. Univariat statistical analysis is in the form of frequency distribution from the variables of sex, age, height of mouth floor and bivariat analysis with kolmogorov-smirnov test. The result showed (p>0, 05). It was concluded that (1) Normal height of mouth floor is the most common occurrence in male and female. (2) There was no relationship between age and the height of mouth floor. (3) There was no difference between the height of mouth floor in male and female."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Suryandari
"Pada kasus gigi tiruan penuh, salah satu faktor yang mempengaruhi prognosis perawatan adalah retensi dan stabilitas. Dalam hal retensi dan stabilitas gigi tiruan penuh rahang bawah, posisi lidah memiliki peranan penting. Walaupun seseorang memiliki posisi lidah normal sejak lahir, namun kondisi itu dapat berubah dan menghasilkan posisi lidah abnormal (retracted tongue). Penyebab perubahan posisi lidah ini dapat dikaitkan dengan ketinggian dasar mulut. Sehingga diasumsikan bahwa posisi lidah mungkin berkaitan dengan resorpsi tulang alveolar. Resorpsi tersebut dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Penelitian ini menggunakan 75 kartu rekam medik pasien gigi tiruan penuh rahang bawah yang datang ke klinik Prostodonsia Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia periode Januari 2005-Juni 2007 yang memenuhi kriteria penelitian. Dengan pendekatan deskriptif, analisis univariat disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi variabel usia, jenis kelamin, dan posisi lidah menurut klasifikasi Wright. Sedangkan dengan pendekatan analitik, digunakan analisis bivariat dengan Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test untuk melihat hubungan antara usia dan posisi lidah menurut klasifikasi Wright serta untuk mengetahui perbedaan posisi lidah menurut klasifikasi Wright antara kelompok perempuan dan laki-laki. Nilai p yang diperoleh adalah 1,000 (p>0,05). Kesimpulan: (1) Posisi lidah kelas I merupakan posisi lidah yang paling banyak ditemukan dan yang paling jarang adalah posisi lidah kelas III. (2) Tidak terdapat hubungan antara usia dan posisi lidah menurut klasifikasi Wright. (3) Tidak terdapat perbedaan posisi lidah menurut klasifikasi Wright antara kelompok perempuan dan laki-laki."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gemala Birgitta
"Pembersihan gigi tiruan lepas akrilik sangat penting untuk mencegah terjadinya peradangan pada mukosa mulut dibawah basis gigi tiruan akrilik. Peradangan dapat disebabkan oleh plak dan mikroorgauisme yang menempel pada basis gigi tiruan akrilik tersebut.
Urnumnya pasien-pasien pemakai gigi tiruan lepas akrilik membersihkan gigi tiruannya dengan menggunakan sabun atau pasta gigi, tetapi belum ada penelitian mengenai efektivitas kedua bahan tersebut. Selain itu ada pula bahan pembersih yang mengandung peroksida yang terdapat dalam bentuk tablet yang dilarutkan dalam air.
Tulisan ini melaporkan hasil penelitian tentang perbandingan efektivitas sabun, pasta gigi dan hidrogen peroksida 3 % clalam membersihkan gigi tiruan lepas akrilik.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini, nilai derajat kebersihan gigi tiruan lepas akrilik yang paling tinggi adalah bila gigi tiruan dibersihkan dengan sabun, disusul dengan pasta gigi dan hidrogen peroksida 3 %, walaupun secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati
"Latar Belakang: Kasus kehilangan gigi banyak terjadi di Indonesia dan kesadaran masyarakat Indonesia untuk mengganti dengan segera masih kurang. Kondisi kehilangan gigi tersebut juga dipengaruhi oleh hormon seksual. Hormon esterogen berfungsi untuk menjaga osteointegrasi, sedangkan hormon testosteron berfungsi untuk menjaga densitas tulang. Di samping itu kurva oklusal, terutama dari bidang sagital seringkali digunakan sebagai acuan untuk perawatan di bidang prostodonsia dan ortodonsia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi jenis kelamin dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan ekstrusi gigi antagonis pada kasus kehilangan satu gigi posterior.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik potong lintang. Sampel penelitian ini berupa model studi yang diambil dari pasien RSGMP FKG UI, dimana kondisi pasien saat dicetak berumur 20-40 tahun dengan kehilangan satu gigi posterior yang memiliki gigi antagonis. Sampel penelitian ini adalah 40 buah dengan 20 buah kasus perempuan dan 20 buah kasus laki-laki. Kemudian, studi model di fotokopi dan dilakukan pengukuran dengan acuan berupa bidang oklusal pada rahang atas dan curve of Spee pada rahang bawah.
Hasil: Usia rata-rata dari sampel adalah 28,45 tahun (laki-laki 31,15 tahun; perempuan 25,75 tahun) dan lama kehilangan ratarata adalah 4,35 tahun (laki-laki 3,825 tahun; perempuan 4,875 tahun). Rata-rata ekstrusi gigi antagonis pada 20 kasus laki-laki adalah 2,707 mm dan pada 20 kasus perempuan adalah 2,444 mm. Dari hasil analisis bivariat dengan menggunakan chi-square didapat nilai p adalah 0,185 (p>0,05).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara jenis kelamin dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan ekstrusi gigi antagonis pada kasus kehlangan satu gigi posterior.

Background: Many cases of loss teeth in Indonesia and Indonesian people awareness to immediately change it are low. The condition of loss teeth is depending on sexual hormone. Estrogen is useful to keep the osteointegration, while testosterone is useful to keep the bone density. Occlusal curve, especially from sagital plane often use as a reference in a both prosthodontics and orthodontics treatment.
Objective: The purpose of this research is to see the correlation between gender and the change of occlusal curve based on the value of extrusion antagonist tooth in loss a posterior tooth.
Method: This research is a cross sectional analytic research. Sample, in this research is a study model of the patient from RSGMP FKG UI. When the dentist made the duplication of the patient?s mouth, the patient age is 20-40 years old and the patient loss one of their teeth that has antagonist teeth. The number of sample in this research is 40 cases those 20 cases from women?s patients and 20 cases from men?s patients. Than, copy the study models with the photocopy machine and measuring the extrusion of the antagonists teeth. These measurements use an occlusal plane (maxilla) and curve of Spee (mandible) as a reference.
Result: Mean of the age is 28,45 years old ( men are 31,15 years old and women are 25,75 years old). Mean of duration of loss teeth is 4,35 years (men is 3.825 years and women is 4.875 years). Mean of extrusion of antagonist teeth in 20 men?s cases is 2,707 mm and in 20 women?s cases is 2,444 mm. The result of bivariat analysis (chi square) is p=0,185.
Conclusion: Gender has no correlation with changing of occlusion curve in loss of posterior tooth."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vani Natasha
"Latar Belakang: Kesadaran masyarakat dalam mengganti kehilangan gigi posterior masih berada dalam angka yang rendah. Padahal, banyak studi menyatakan kehilangan gigi yang tidak diganti akan menyebabkan perubahan lengkung oklusal karena pergerakan patologis geligi sisa terutama dalam bidang vertikal. Pergerakan vertikal tersebut dipengaruhi berbagai hal, antara lain usia pasien. Akibat perubahan lengkung oklusal antara lain mastikasi menjadi tidak efisien serta akan mempersulit rencana perawatan dan prognosis pembuatan protesa.
Tujuan: Mengetahui korelasi usia dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan ekstrusi gigi pada kehilangan gigi posterior yang tidak diganti.
Metode: Penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang pada studi model dan kartu status pasien RSGMP FKG UI tahun 2006-2008. Metode pemilihan sampel penelitian adalah purposive sampling dan didapatkan sebanyak 64 sampel penelitian. Analisis statistik secara univariat berupa distribusi frekuensi dari variabel usia, nilai ekstrusi gigi, serta uji bivariat menggunakan korelasi Pearson.
Hasil: Didapatkan 64 sampel penelitian yang melengkapi kiteria inklusi. Usia sampel penelitian berkisar 20-58 tahun (usia rata-rata 38.53, SD ± 11.952). Hasil uji statistik korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna (p<0,01) dengan nilai korelasi Pearson (-0.402) dimana kekuatan korelasi adalah sedang dan berbanding terbalik antara usia pasien dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan ekstrusi gigi antagonis.
Kesimpulan: Usia memilki hubungan bermakna dengan kedalaman lengkung oklusal dari bidang sagital berdasarkan besar ekstrusi pada kasus kehilangan gigi posterior yang tidak segera diganti.

Background: The awareness of replacing missing posterior teeth is still very low within the public even though research have shown that unreplaced missing tooth will likely alter the occlusal curve caused by pathological movement of antagonist totth, mainly on the vertical plane. The vertical movement is influenced by many factors, including patient?s age. Altered occlusal curve will reduce the efficienct of masticatory process as well as increasing the complexities of prognosis of protheses production and treatment planning.
Aim: to study the correlation between aging on occlusal curve alteration as a result of unreplaced missing posterior tooth.
Method: Descriptive studies using cross-sectional study method based on 2006-2008 data of dental cast and dental record of RSGMP FKG UI patients. Purposive sampling will be the method used and 64 samples will be used. Statistical analusis approach used was univariate statistics using frequency distribution of age, and dental extrusion measurement. Bivariate statistic test based on pearson correlation was also used to test the correlation between the two variables.
Conclussion: All sixty four samples used met both inclusive and exclusive criteria. The samples age ranged from 20-58 years old, with a mean of 38.53 and standart deviation of 11.952. The Pearson correlation statistical test indicated a medium correlation and a inversed proportion relationship between age and occlusal curve alteration caused by antagonist tooth extrusion."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tiarma Talenta Theresia
"Latar Belakang: Angka kesakitan gigi di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun sebagai akibat belum memadainya kualitas pelayanan kesehatan gigi. Hal ini dapat dilihat dengan masih tingginya angka pencabutan gigi. Saat ini rasio penambalan dan pencabutan gigi sebesar satu berbanding tujuh. Dengan demikian, masalah kesehatan gigi paling menonjol adalah kehilangan gigi akibat karies dan penyakit periodontal. Keputusan untuk ekstraksi gigi merupakan bagian dari rencana perawatan. Keputusan ini dibuat setelah mempertimbangkan keuntungan dan kerugian mempertahankan gigi yang telah rusak. Kehilangan satu gigi posterior menyebabkan keadaan hipofungsi gigi antagonis yaitu keadaan tidak berfungsinya gigi untuk mastikasi. Dengan kata lain, kehilangan satu gigi menyebabkan kehilangan dua gigi, kehilangan dua gigi menyebabkan kehilangan empat gigi dan demikian seterusnya. Konsep ini disebut losing teeth ?two-forone?. Gigi yang tidak memiliki antagonis cenderung akan bergerak dari posisi normalnya ke arah vertikal atau disebut ekstrusi yang pada akhirnya menyebabkan perubahan lengkung oklusal.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara jumlah kehilangan gigi posterior dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan nilai ekstrusi gigi antagonis.
Metode: Penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional study). Sampel penelitian berupa model studi dan kartu status pasien. Pengukuran ekstrusi untuk rahang atas mengikuti pedoman penyusunan gigi posterior sedangkan untuk rahang bawah mengikuti pengukuran kedalaman Curve of Spee.
Hasil: Didapatkan 57 kasus. Usia berkisar 30-50 tahun. Hasil uji statistik chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara jumlah kehilangan gigi posterior dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan nilai ekstrusi gigi antagonis.
Kesimpulan: Jumlah kehilangan gigi posterior tidak berhubungan dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan nilai ekstrusi gigi antagonis.

Background: Dental illness rate in Indonesia tends to increase every year due to the insufficient of dental health service?s quality. It can be seen through the high level of tooth extraction rate. At the moment, the ratio of restoration and extraction of tooth is 1:7. Therefore, the biggest dental issue is loss of tooth due to caries and periodontal disease. The decision to remove tooth is a part of the treatment-planning process and is made after assessing the advantages and disadvantages associated with retention of the tooth. Losing one posterior tooth can result a hypo function condition of the antagonist tooth which is a condition that makes the ntagonist tooth useless because it no longer has a tooth to chew against. Therefore, losing one tooth can result in the loss of the use of two, losing two teeth can result in the loss of the use of four and so on. This concept is called losing teeth "two-for-one". The unopposed tooth has a tendency to move from its normal position in vertical direction or it can be called extrusion and in the end causes the changing of occlusion curve.
Aim: To study the cross-sectional relationship between number of the tooth loss and changing of occlusion curve based on the value of extrusion of antagonist tooth.
Method: This study is an analytical study using the cross-sectional study method. Research?s samples are model study and dental record. The measurement of extrusion for maxilla was following the rule of posterior teeth arrangement and for mandible was using measurement for the depth of Curve of Spee.
Results: Of the total samples, 57 cases were useful for analysis. Age range between 30 and 50 years. There was no significant correlation (p>0,05) between cross-sectional measurements of number of tooth loss and changing of occlusion curve based on the value of extrusion of antagonist tooth.
Conclusion: Number of tooth loss has no correlation with changing of occlusion curve based on the value of extrusion of antagonist tooth."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Satrio Prabowo
"ABSTRAK
Latar Belakang: Proses penuaan dapat menyebabkan perubahan fisiologis pada jaringan gigi dan mulut, termasuk fungsi pada sendi temporomandibula. Mastikasi merupakan salah satu fungsi sistem stomagtonati yang dapat dipengaruhi oleh gangguan sendi temporomandibula (Temporomandibula Disorders). Tujuan: Menganalisis hubungan antara gangguan sendi temporomandibula terhadap kemampuan mastikasi, serta menganalisis pengaruh faktor sosiodemografi terhadap gangguan sendi temporomandibula dan kemampuan mastikasi. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain cross sectional pada 100 pasien Puskesmas Kecamatan Kramat Jati berusia 60 tahun ke atas. Dilakukan pencatatan diri responden, pemeriksaan klinis intraoral, dan wawancara menggunakan kuesioner kemampuan mastikasi dan ID-TMD. Hasil penelitian: Gangguan sendi temporomandibula memiliki hubungan (p < 0,05) terhadap kemampuan mastikasi. Terdapat hubungan antara usia dengan gangguan sendi temporomandibula, tetapi tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status ekonomi dengan gangguan sendi temporomandibula. Terdapat hubungan antara usia, tingkat pendidikan, dan status ekonomi dengan kemampuan mastikasi, tetapi tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kemampuan mastikasi. Kesimpulan: Terdapat pengaruh gangguan sendi temporomandibula terhadap kemampuan mastikasi pada lansia.

ABSTRACT
Background: Aging process involve physiological changes in the teeth and mouth tissues, including temporomandibular joint function. Mastication is one of the main functions of the stomatognathic system that may be affected by temporomandibular disorders. Objectives: To analyze the relationship between temporomandibular disorder towards masticatory ability, to analyze sociodemographic factors (age, gender, educational level, and economic status) towards temporomandibular disorder and masticatory ability. Methods: Cross-sectional study was conducted on 100 patients of Puskesmas Kramat Jati aged 60 years and over. Subject's data and oral examination were obtained, and interview for masticatory ability and ID-TMD were conducted. Results: There was correlation (p < 0.05) between temporomandibular disorder towards masticatory ability. There was correlation between age towards temporomandibular disorder, but there was no correlation between gender, educational level and economic status towards temporomandibular disorder. There was correlation between age, educational level, and economic status towards masticatory ability, but there was no correlation between gender towards masticatory ability. Conclusion: This study shows that temporomandibular disorders negatively influence masticatory ability in elderly."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrial
"Latar belakang: Tingkat pengetahuan kesehatan gigi mulut dan status gigi tiruan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup lansia. Namun, belum ada alat ukur tingkat pengetahuan kesehatan gigi mulut di Indonesia.
Tujuan: Mendapatkan alat ukur tingkat pengetahuan kesehatan gigi mulut, menganalisis hubungan tingkat pengetahuan kesehatan gigi mulut dan status gigi tiruan terhadap kualitas hidup lansia.
Metode: Cross-sectional pada 101 lansia. Pencatatan data dan pemeriksaan intraoral. Wawancara pengisian kuesioner tingkat pengetahuan kesehatan gigi mulut dan kualitas hidup lansia.
Hasil: Uji validitas dan reliabilitas menunjukkan hasil yang baik. Jenis kelamin (p=0.000), tingkat ekonomi (p=0.004), letak geografis (p=0.000), dan OHI-S (p=0.013) memiliki hubungan bermakna terhadap tingkat pengetahuan kesehatan gigi mulut. Tingkat ekonomi (p=0.006) dan OHI-S (p=0.001) memiliki hubungan bermakna terhadap kualitas hidup. Hanya 24 subyek yang menggunakan gigi tiruan.
Kesimpulan: Diperoleh alat ukur tingkat pengetahuan kesehatan gigi mulut yang valid dan reliabel. Di pedesaan tingkat pengetahuan kesehatan gigi mulut dan permintaan gigi tiruan yang rendah dibandingkan dengan di perkotaan. Faktor yang paling mempengaruhi kualitas hidup lansia adalah OHI-S dan tingkat ekonomi.

Background: The level of knowledge of oral health and dental denture status is a factor that affects the quality of life of the elderly. However, there is no measuring instrument level of knowledge of oral health that have been estabelished in Indonesia.
Objective: Obtaining measuring instruments of oral health knowledge, analyzing the correlation between oral health knowledge, denture status on quality of life of the elderly.
Methods: Cross-sectional study in 101 elderly. Data recording and intraoral examination. Interview questionnaire for oral health knowledge and quality of life of the elderly.
Results: Validity and reliability showed good results. Gender (p=0.000), economic level (p=0.004), geographic factor (p= 0.000), and OHI-S (p=0.013) statistically siqnificant to the level of knowledge of oral health. Economic level (p=0.006) and OHI-S (p=0.001) statistically significant to quality of life. Only 24 subjects wear denture.
Conclusion: Obtained level measuring instruments dental oral health knowledge valid and reliable. In rural areas have a level of knowledge of oral and dental health of denture demand lower than in urban areas. The factors that most affect the quality of life of the elderly is OHI-S and economic levels.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sofyan Hidayat
"Terlepasnya mahkota tiruan saat mengunyah merupakan masalah yang sering dijumpai pada pemakai mahkota tiruan atau gigi tiruan jembatan. Terutama pada mahkota gigi yang kecil, pendek dan konus. Penyebab utamanya adalah faktor retensi dan resistensi yang kurang pada gigi penyangga. Salah satu metode untuk meningkatkan retensi dan resistensi pada praparasi mahkota adalah pembuatan groove. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan resistensi mahkota tiruan penuh logam dengan berbagai bentuk preparasi groove. Penelitian dilakukan secara eksperimental laboratoris menggunakan 24 spesimen, yang terdiri dari 6 spesimen preparasi mahkota tanpa groove, 6 spesimen dengan groove bentuk box, 6 spesimen dengan groove bentuk V dan 6 spesimen dengan groove bentuk half round pada masing-masing spesimen tesebut dilakukan uji kompresi. Nilai rerata gaya melepaskan mahkota tiruan logam pada groove berbentuk box (27,97 kgF+SD 1,08), bentuk V (6,15 kgF+SD 0,22), half round (1,77 kgF+SD 0,22) dan tanpa groove (0,95 kgF+SD 0,13). Preparasi groove bentuk box adalah terbaik resistensinya, diikuti bentuk V, half round dan tanpa groove. Penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi untuk pemilihan bentuk groove bila para klinisi menjumpai kondisi gigi molar yang pendek dan konus.

Dental crown or bridges can occasionally come loose or come off from the tooth while chewing. Especially on small, short and conus teeth.The main cause is lack of retention and resistance to the teeth. There are several methods to increase retention and resistance on crown, inlay and onlay preparation, which is parallelism, groove preparation, crown buildup and surface roughness. The aim of this study wasto know the resistance differences of a full metal crown with various forms of groove preparation. This was experimentall laboratories, study using compressive strength test in 24 specimens in which 6 specimens without grooves preparation, 6 specimens with box-shaped groove, 6 specimens with V-shaped groove and 6 specimens with half round grooves. The mean value of metal crown that come off during test on box-shaped Groove (27,97 kgF+SD1,08), V-shaped (6,15 kgF+SD 0,22), half round (1,77 kgF+SD 0,12) and without groove (0,95 kgF+SD 0,13). It is concluded that resistance is best in box-shaped, followed by V-shaped, half round and without groove. When clinicians find short and conus molar teeth, it is recommended the use of groove to increase the resistance of the crown.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T39302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>