Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irmasari Chumairah
"Latar belakang: Infeksi COVID-19 pertama kali terjadi di Wuhan, China pada 19 Desember 2019 hingga ditetapkan sebagai pandemik global oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. Di Indonesia kasus pertama yang terkonfirmasi ditemukan pada tanggal 2 Maret 2020 dan sejak saat itu kasus COVID-19 semakin meningkat hingga mencapai 2.983.830 pada 21 Juli 2021. Pada kondisi melonjaknya kasus COVID-19 di dunia khususnya Indonesia telah menjadikan modalitas radiografi toraks sebagai salah satu penunjang diagnosis maupun sebagai parameter perkembangan kondisi klinis pasien. Negara Italia dan Inggris menggunakan radiografi toraks sebagai lini pertama di triage untuk penentuan tatalaksana awal, karena pemeriksaan RT-PCR memakan waktu cukup lama. Selain itu, pasien kritis yang tidak dapat dimobilisasi untuk pemeriksaan CT scan toraks dipilih untuk dilakukan pemeriksaan radiografi toraks menggunakan portable X-ray. Kondisi tersebut membuat negara Italia mengembangkan sistem skoring toraks Brixia untuk memantau perkembangan klinis pasien yang dirawat di rumah sakit. Karena sistem skoring toraks Brixia belum pernah digunakan sebagai prediktor untuk memperkirakan perjalanan penyakit pada pasien COVID-19, maka penelitian ini akan menilai skoring tersebut sebagai prediktor perkembangan klinis pasien COVID-19.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol menggunakan 48 data sekunder berupa sistem skoring toraks Brixia dari radiografi toraks yang diambil dari Picture archiving and communication system (PACS), serta data klinis dalam jangka waktu dua minggu pertama berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya pada pasien COVID-19 terkonfirmasi di RSCM periode Maret 2020 – Juli 2021.
Hasil: Rerata skoring toraks brixia antara kelompok klinis perburukan dan perbaikan tidak bermakna signifikan (p > 0,05), sehingga tidak dapat menilai titik potong skoring toraks Brixia. Namun didapatkan perbedaan rerata yang signifikan (p < 0,05) antara skoring toraks Brixia dengan kondisi akhir klinis hidup dan meninggal, yaitu didapatkan rentang skor di awal perawatan 7,8 – 16,6 dapat mengarah ke kondisi klinis kritis bahkan kematian di akhir perawatan. Selain itu juga didapatkan perbedaan rerata (p < 0,05) antara interval onset gejala dengan kelompok gejala klinis perburukan dan perbaikan pada pasien COVID-19.
Kesimpulan: Sistem skoring toraks Brixia tidak dapat dijadikan prediktor dalam menentukan perkembangan klinis perburukan atau perbaikan pada pasien COVID-19, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai parameter tunggal dalam tatalaksana pasien. Namun secara tidak langsung skoring ini dapat memprediksi kondisi akhir ke arah hidup atau meninggal dikaitkan juga dengan interval onset gejala. Hal ini terjadi karena kondisi klinis perburukan maupun perbaikan disebabkan oleh proses perjalanan penyakit yang masih berlangsung sesuai onset gejala, serta daya imunitas individu yang bervariasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Wulan Sari
"Latar belakang: Infeksi COVID-19 menyebabkan terjadinya pandemik diseluruh dunia. Pemeriksaan rRT-PCR merupakan pemeriksaan yang di rekomendasikan dari WHO untuk penegakkan diagnosis dari COVID-19. Faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan rRT-PCR untuk diagnosis COVID-19, membuat pemeriksaan penunjang berupa radiografi toraks dan CT-scan toraks juga sangat dibutuhkan guna membantu diagnosis COVID-19. CT-scan toraks lebih sensitif untuk membantu mengarahkan diagnosis COVID-19 namun kurang praktis dalam hal desinfeksi dan dekontaminasi serta transportasi pasien ke ruang CT-scan, dan limitasi ketersediaannya pada fasilitas kesehatan. Di sisi lain, radiografi toraks dengan sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan CT-scan, namun memiliki beberapa keunggulan terkait ketersediaan alat serta tidak tidak terkendala masalah transportasi dan dekontaminasi. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder pemeriksaan radiografi dan CT-scan toraks pasien-pasien dengan hasil rRT-PCR positif yang tersedia di PACS Departemen Radiologi RSCM mulai bulan Maret 2020 hingga Juli 2021, dengan total 41 sampel. Kemudian dilakukan analisis dengan konkordansi dan Kohen Kappa. Hasil: Pada analisis Kappa Cohen, terdapat kesesuaian sedang (0,55) antara penebalan pleura, kesesuaian lemah antara gambaran opasitas ground glass (GGO) (0,32), konsolidasi (0,38), efusi pleura (0,36) , distribusi lesi perifer (0,39), fokus lesi yang multifokal (0,32), zona paru yang terkena (atas 0,32, tengah 0,24, bawah 0,36), dan keterlibatan paru bilateral (0,27) serta tidak terdapat kesesuaian antara gambaran opasitas retikuler (0,06) dan lesi sentral (-0,10) pada radiografi dan CT-scan toraks. Pada analisis Konkordansi terdapat kesesuaian kuat antara gambaran GGO(80,5%), penebalan pleura (90,2%), efusi pleura (92,6%), lokasi lesi di perifer(82,9%), kesesuaian sedang antara konsolidasi (68,2%), lesi multifokal (73,1%), Zona bawah(78%), zona tengah (65,8%) dan keterlibatan paru bilateral (70,7%) dan lemah antara lesi di zona bawah (63,4%) serta tidak ada konkordansi antara opasitas retikuler (48,7%) dan lesi di sentral (51,2%) pada radiografi dan CT-scan toraks.

Background: COVID-19 infection causes a worldwide pandemic. The rRT-PCR examination is recommended by WHO for the diagnosis of COVID-19. Factors that affect the accuracy of the rRT-PCR examination for the diagnosis of COVID-19, making supporting examinations of chest radiography and chest CT-scan also needed to help diagnose the COVID-19 infection. Chest CT scan is more sensitive to help direct the diagnosis of COVID-19 but is less practical in terms of disinfection and decontamination and transportation of patients to CT-scan rooms, and limited availability in health facilities. On the other hand, chest radiography has a lower sensitivity than CT scan, but has several advantages related to the availability of tools and transportation and decontamination problems. Methods: This study uses secondary data from chest radiographic and chest CT-scans examinations of patients with positive rRT-PCR results available at the PACS of the RSCM Radiology Department from March 2020 to July 2021, with a total of 41 samples. The analysis was carried out by using Kappa Cohen and concordance. Results: In Kappa Cohen's analysis, there was moderate agreement (0.55) between pleural thickening, weak agreement between ground glass opacity (GGO) images (0.32), consolidation (0.38), pleural effusion (0.36), lesion distribution peripheral (0.39), multifocal lesion foci (0.32), affected lung zones (upper 0.32, middle 0.24, below 0.36), and bilateral lung involvement (0.27) and no agreement between reticular opacity (0.06) and central lesion (-0.10) on chest radiograph and CT scan. In the Concordance analysis there was a strong concordance between the appearance of GGO (80.5%), pleural thickening (90.2%), pleural effusion (92.6%), the location of the lesion in the periphery (82.9%), moderate concordance between consolidation ( 68.2%), multifocal lesions (73.1%), lower zone (78%), middle zone (65.8%) and bilateral lung involvement (70.7%) and weak between lesions in the lower zone (63, 4%) and there was no concordance between reticular opacities (48.7%) and central lesions (51.2%) on chest radiographs and CT scans. Conclusion: From all the lesion assessments on chest radiographs and chest CT-scans, reticular opacity lession and the central location of the lesion had no agreement between chest radiographic findings and chest CT scan. The other lesions had moderate to weak agreement on chest radiographs and chest CT scans"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Masud
"Latar Belakang: Peraturan Kementerian Kesehatan No.15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jamaah haji menempatkan pasien dengan infeksi tuberkulosis dapat masuk dalam kategori tidak memenuhi syarat Isthitaah pada Tuberkulosis Totally drug Resistance (TDR) atau tidak memenuhi syarat Istithaah sementara pada Tuberkulosis sputum BTA Positif, Tuberkulosis Multi Drug Resistance, sehingga jamaah haji dengan TB berpotensi tidak dapat melaksanakan rukun islam kelima tersebut. Selain itu tingkat kebugaran dengan kategori cukup disyaratkan untuk memenuhi Istithaah kesehatan sesuai pasal 10. Saat ini belum ada laporan mengenai karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi Istithaah kesehatan pada jemaah haji dengan infeksi tuberkulosis Tujuan: Mengetahui karakteristik jamaah haji DKI Jakarta dengan infeksi tuberkulosis, mengetahui proporsi dan faktor-faktor terkait Istithaah kesehatan pada Jamaah haji dengan infeksi tuberkulosis. Metode: Studi potong lintang terhadap 31 jemaah haji DKI Jakarta yang sedang mendapatkan pengobatan tuberkulosis pada saat pelaksanaan ibadah haji tahun 2018. Kuesioner juga dilakukan terhadap Tim Kesehatan Haji Indonesia yang mendampingi subyek sebagai data tambahan. Analisa bivariat terhadap variabel kategorik-kategorik dilakukan menggunakan uji Chi Square atau bila persyaratannya tidak terpenuhi, maka dilakukan uji Fisher. Selanjutnya analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil: Pada studi ini didapatkan 31 subyek jemaah haji dengan Infeksi tuberkulosis dan menjalani pengobatan pada penyelenggaraan haji 2018. Dari data tersebut diketahui Sebagian besar subyek dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki: 19/31(61,3 %) dan hampir seluruhnya berusia antara 40 hingga 60 tahun keatas: 30/31(96.8%). Sebagian besar subyek memiliki IMT yang normal atau lebih: 28/31 (90.3 %). Penegakan diagnosis TB pada jamaah haji lebih banyak melalui konfirmasi klinis: 17/31 (54.8%) dengan 93% subyek tidak bergejala. Seluruh subyek sudah menyelesaikan fase intensif dan memiliki BTA negatif yang dinyatakan layak terbang. Pada penelitian ini, mengacu kepada Peraturan Kementerian Kesehatan No.15 Tahun 2016, seluruh subyek memenuhi syarat Istithaah kesehatan haji dalam kriteria Memenuhi Syarat Istithaah Kesehatan Haji dengan Pendampingan, yaitu subyek menderita TB dengan sputum BTA negatif pada pemeriksaan akhir kelayakan terbang: 29/31 (94%) atau TB MDR yang sudah dinyatakan layak pergi haji oleh Tim Ahli Klinis TB MDR: 2/31 ( 0.6 %). Subyek jemaah haji dengan Infeksi tuberkulosis memiliki tingkat kebugaran cukup 12/31 (38.7%), kurang 13/31 (41.9%) dan sangat kurang 6/31 (19.30%), sesuai dengan kriteria kebugaran yang ditetapkan dalam penelitian ini. Hasil Kuesioner kepada Tim Kesehatan Haji Indonesia diketahui bahwa semua jamaah mampu melakukan Thawaf, Sai, dan wukuf di Padang Arafah sebagai rukun haji. Kesimpulan: Subyek yang sudah menyelesaikan fase intensif dengan sputum BTA yang negatif atau TB MDR yang dinyatakan layak berangkat haji oleh TIM Ahli Klinis TB MDR dinyatakan layak terbang pada pemeriksaaan kesehatan tahap ketiga dengan Memenuhi Syarat Istithaah dengan Pendampingan. Sebanyak 19/31 subyek jamaah haji dengan tuberkulosis memiliki tingkat kebugaran dibawah nilai cukup. Meskipun demikian jamaah haji dengan infeksi tuberkulosis masih mampu menjalankan rukun haji di tanah suci. Pada penelitian ini, komorbid, lama pengobatan dan kadar Hb tidak signifikan secara statistik mempengaruhi Istithaah kesehatan dengan infeksi tuberkulosis.

Background: Indonesian Ministry of Health Regulation No. 15 of 2016 on health policy for Hajj pilgrims puts patients with tuberculosis (TB) infection in the category of not fulfilling Isthahah (conditions Totally Drug Resistance TB) or does not meet temporary Istithaah ( Smear positif TB, Multi Drug Resistance (MDR) TB), so that pilgrims with TB potentially unable for hajj. In addition, the level of fitness with sufficient category is required according to chapter 10. At present, there is no reports on the health Istithaah of pilgrims with tuberculosis infection. Objective: To determine the characteristics of DKI Jakarta pilgrims with tuberculosis infection, to find out the proportion of low fitness levels for pilgrims with tuberculosis infection and to find out the factors related to Istithaah. Methods: A cross-sectional study of 31 Special Capitol Region of Jakarta pilgrims who were receiving tuberculosis treatment during the Hajj pilgrimage in 2018 was conducted; in addition, the Indonesian Hajj Health Team who accompanied the subjects was also included as additional data. Bivariate analysis of categoric-categoric variables are done using Chi Square method or as alternative, the Fisher method is used if the Chi Square test requirements are not fufille. Significant variables will be further analyzed with multivariate analysis using the logistic regression test Results: A total of 31 subjects of the Hajj were found with tuberculosis infection and underwent treatment. The majority were male: 19/31 and aged above 40 years old : 30/31, BMI normal or more: 28/31, diagnosis through clinical confirmation: 17/31 with 29/31 of subjects asymptomatic. All subjects have completed the intensive phase of TB treatment. Subjects with negative sputum smear at the final inspection of flightworthiness: 29/31 or MDR TB that has been declared eligible for Hajj by the MDR TB Clinical Expert Team: 2/31 .Subjects of pilgrims with tuberculosis infection have a sufficient fitness level of 12/31, less :13/31 and very less :6/31 , according to the fitness criteria established in this study. The results of the questionnaire to the Indonesian Hajj Health Team revealed that all pilgrims were able to do Thawaf, Sai, and stay in Padang Arafah. Conclusion: Subjects who have completed the intensive phase with negative sputum smear or MDR TB who were declared eligible by the MDR TB Clinical Expert Team were declared eligible to hajj with Istithaah Requirements with Assistance. As many as 19/31 of Hajj pilgrims with tuberculosis had a level of fitness below sufficient value. Nevertheless, subjects are still able to run the pillars of the Hajj. Nevertheless, subjects are still able to run the pillars of the Hajj. In this study, comorbidities, duration of treatment and HB level were not statistically significant affecting health status with tuberculosis infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Sejati
"ABSTRAK
Latar Belakang. Terdapat gangguan sistem imun pada sepsis. Fase awal ditandai
dengan hiperinflamasi, sedangkan fase lanjut ditandai dengan imunosupresi.
Kematian kumulatif lebih banyak pada fase lanjut. Saat ini belum terdapat
penelitian yang secara khusus meneliti faktor prognostik mortalitas sepsis fase
lanjut dan mengembangkan model prediksi mortalitasnya.
Tujuan. Mengetahui faktor prognostik mortalitas sepsis berat fase lanjut di ICU
dan mengembangkan sistem skor untuk memprediksi mortalitas.
Metode. Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada pasien dewasa yang
mengalami sepsis berat di ICU RSCM pada periode Oktober 2011 – November
2012 dan masih bertahan setelah > 72 jam diagnosis sepsis ditegakkan di ICU.
Tujuh faktor prognostik diidentifikasi saat diagnosis sepsis berat ditegakkan di
ICU. Prediktor independen diidentifikasi dengan analisis Cox’s proportional
hazard. Prediktor yang bermakna secara statistik dikuantifikasi dalam model
prediksi. Kalibrasi model dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow dan kemampuan
diskriminasi dinilai dari area under curve (AUC) dari receiver operating curve.
Hasil. Subjek penelitian terdiri atas 220 pasien. Mortalitas 28 hari sepsis berat
fase lanjut adalah 40%. Faktor prognostik yang bermakna adalah alasan masuk
ICU (medis (HR 2,75; IK95%:1,56-4,84), pembedahan emergensi (HR 1,96;
IK95%:0,99 – 3,90), indeks komorbiditas Charlson > 2 (HR 2,07; IK95%:1,32-
3,23), dan skor MSOFA > 4 (HR 2,84; IK95%:1,54-5,24). Model prediksi
memiliki kemampuan diskriminasi yang baik (AUC 0,844) dan kalibrasi yang
baik (uji Hosmer-Lemeshow p 0,674). Berdasarkan model tersebut risiko
mortalitas dapat dibagi menjadi rendah (skor 0, mortalitas 5,4%), sedang (skor 1 –
2,5, mortalitas 20,6%), dan tinggi (skor > 2,5, mortalitas 73,6%).
Simpulan. Alasan masuk medis dan pembedahan emergensi, indeks komorbiditas
Charlson > 2, dan skor MSOFA > 4 merupakan faktor prognostik mortalitas
sepsis berat fase lanjut di ICU RSCM. Sebuah model telah dikembangkan untuk
memprediksi dan mengklasifikasikan risiko mortalitas.

ABSTRACT
Background. Immune system derrangement occurs during the course of sepsis,
characterized by hyperinflamation in early phase and hypoinflamation and
immunosupression in late phase. The number of patient die during late phase is
larger than early phase. Until now, there is no study specifically addressing
prognostic factors of mortality from late sepsis and developing a mortality
prediction model.
Aim. To determine prognostic factors of mortality from late phase of severe
sepsis in ICU and to develop scoring system to predict mortality.
Method. A retrospective cohort study was conducted to identify prognostic
factors associated with mortality. Adult patients admitted to ICU during
November 2011 until October 2012 who developed severe sepsis and still alive
for minimum 72 hours were included in this study. Seven predefined prognostic
factors were indentified at the onset of severe sepsis in ICU. Cox’s proportional
hazard ratio was used to identify independent prognostic factors. Each
independent factors was quantified to develop a prediction model. Calibration of
the model was tested by Hosmer-Lemeshow, and its discrimination ability was
calculated from area under receiver operating curve.
Result. Subjects consist of 220 patients. Twenty eight-day mortality was 40%.
Significant prognostic factors indentified were admission source (medical (HR
2.75; CI95%: 1.56 – 4.84), emergency surgery (HR 1.96; CI95%:0.99 – 3.90),
Charlson comorbidity index > 2(HR 2.07; CI95%:1.32 – 3.23), and MSOFA score
> 4 (HR 2.84; CI95% : 1.54 – 5.24). Prediction model developed has good
discrimination ability (AUC 0.844) and good calibration (Hosmer-Lemeshow test
p 0.674). Based on the model mortality risk can be classified as low (score 0,
mortality 5.4%), moderate (score 1 – 2.5, mortality 20.6%), and high (score > 2.5,
mortality 73.6%).
Conclusion. Medical and emergency surgery admission, Charlson comorbidity
index > 2, and MSOFA score > 4 were prognostic factors of mortality from late
phase of severe sepsis in ICU at Dr.Cipto Mangunkusumo general hospital. A
model has been developed to predict and classify mortality risk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Hero Wantara
"

Latar Belakang : Pasien kanker paru sering mengalami pneumonia, hal ini terjadi karena penurunan daya tahan tubuh. Pneumonia menyulitkan penanganan, memperburuk kualitas hidup, mengurangi survival  dan seringkali merupakan penyebab  langsung kematian pasien kanker paru. Penangananan pneumonia pada pasien NSCLC(non small cell lung cancer) dengan antimikroba yang terus menerus tanpa memperhatikan kultur sensisitivitas akan menyebabkan resistensi dari kuman penyebab pneumonia tersebut.

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien NSCLC, pola kuman penyebab pneumonia pada pasien NSCLC, dan membandingkan kesintasan pasien NSCLC yang menderita pneumonia yang disebabkan oleh bakteri MDR (multidrug resistance) dengan yang disebabkan oleh bakteri non-MDR.

Metode : Penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan subjek penelitian adalah pasien NSCLC dengan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri MDR dan non-MDR yang dirawat di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo bulan Januari 2013–Desember 2017. Analisis dilakukan dengan analisis multivariat regressi cox.

Hasil: Setelah dilakukan pemeriksaan kultur BAL(Bronchoalveolar lavage), cairan pleura dan sputum, diperoleh 32 subjek hasil  kulturnya hanya bakteri MDR, 14 subjek  tumbuh bakteri MDR dan non-MDR, dan 23 subjek hanya tumbuh bakteri non-MDR.  Bakteri non- MDR terbanyak penyebab pneumonia pada pasien NSCLC adalah Klebsiella pneumoniae sebanyak 37,3%, sedangkan bakteri MDR yang terbanyak menyebabkan pneumonia pada pasien NSCLC adalah  Acinetobacter baumannii  sebanyak 23,2%. Median survival Pasien NSCLC dengan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri MDR adalah 57 hari(43,707-70,293) sedangkan yang oleh bakteri non-MDR 92 hari(58,772-125,228). 

Simpulan : kesintasan pasien NSCLC dengan pneumonia yang disebabkan  oleh bakteri MDR lebih singkat daripada yang disebabkan oleh bakteri non-MDR.

 


Back Ground: Lung cancer patients often experience pneumonia. This is due to the decrease in body endurance of the patients. Pneumonia complicates treatment, worsens the quality of life, reduces survival and is often a direct cause of death for lung cancer patients. Dealing with pneumonia in non-small cell lung cancer (NSCLC) patients with continuous antimicrobials treatment without regard to culture sensitivity will cause resistance of germs that cause pneumonia.

Objectives: This study aims to study the characteristics of NSCLC patients, the pattern of germs that cause pneumonia in NSCLC patients, and to compare the survival of NSCLC patients suffering from pneumonia caused by MDR (multidrug resistance) bacteria with those caused by non-MDR bacteria.

Methods: This study was a retrospective cohort with research subjects was NSCLC patients with pneumonia caused by MDR and non-MDR bacteria who were treated at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2013 to December 2017. Analysis was performed with multivariate cox regression analysis.

Results: The results of the culture examination of BAL(Bronchoalveolar lavage), pleural fluid and sputum showed that 32 subjects were infected only from MDR bacteria, 14 subjects infected by both MDR and non MDR bacteria, and 23 subjects were infected by only non MDR bacteria. The most non-MDR bacteria that cause pneumonia in NSCLC patients was Klebsiella pneumoniae as much as 37,3%, while the most MDR bacteria that cause pneumonia in NSCLC patients was Acinetobacter baumannii as much as 23,2%. Median survival of NSCLC patients with pneumonia caused by MDR bacteria was 57 days(43,707-70,293) while those by non-MDR bacteria was 92 days (58,772-125,228).

Conclusions: The survival of NSCLC patients with pneumonia caused by MDR bacteria is shorter than that caused by non-MDR bacteria.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Eka Krisnha Wijaya
"Latar Belakang: Pneumonia merupakan infeksi paru yang hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia. Mortalitas dan morbiditas terutama didapatkan pada pasien yang mengalami pneumonia berat. Intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan pada sekitar 6% pasien pneumonia. Lebih lanjut lagi, kegagalan ekstubasi berhubungan dengan peningkatan mortalitas pneumonia. Proses imunopatologi yang terjadi pada pneumonia berat dikaitkan dengan peningkatan kadar sitokin proinflamasi seperti IL-6 dan IL-17. Studi prognostik yang telah dilakukan saat ini belum dapat menggambarkan jelas peran sitokin tersebut terhadap terjadinya luaran buruk berupa gagal ekstubasi hingga mortalitas yang terjadi pada pasien pneumonia berat. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui peranan proses imunitas lokal dan sistemik melalui pemeriksaan kadar sitokin pada cairan bilasan bronkus dan darah terhadap luaran buruk dari pneumonia berat.
Tujuan: Mengetahui hubungan perbedaan kadar IL-6, 1L-17 darah dan cairan bilasan bronkus terhadap status ekstubasi dan mortalitas pada pasien pneumonia berat.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 40 pasien pneumonia berat. Subjek yang direkrut adalah pasien yang terintubasi dan menjalani tindakan bronkoskopi di IGD dan ruang intensif RSCM sejak November 2020 hingga Januari 2021. Analisis bivariat dengan uji beda rerata digunakan pada data skala numerik dengan sebaran normal dan uji Mann Whitney dengan sebaran tidak normal. Subjek penelitian diobservasi untuk keberhasilan ekstubasi 20 hari dan mortalitas 28 hari.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan proporsi gagal ekstubasi sebesar 80% dan mortalitas sebesar 75%. Etiologi terbanyak pneumonia berat pada penelitian ini adalah virus SARS-CoV-2 (28 subjek). Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan secara statistik bermakna dari IL-6, IL-17 darah dan cairan bilasan bronkus pada kelompok subjek yang gagal ekstubasi dan yang berhasil ekstubasi. Tidak didapatkan juga perbedaan secara statistik bermakna dari IL-6, IL-17 darah dan cairan bilasan bronkus pada kelompok subjek yang meninggal dan yang hidup.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan perbedaan kadar IL-6, IL-17 darah dan cairan bilasan bronkus terhadap pasien pneumonia berat yang gagal ekstubasi dan berhasil ekstubasi, serta yang meninggal dan yang hidup.

Background: Pneumonia is a lung infection which is still a serious health problem worldwide. Mortality and morbidity are mainly found in patients with severe pneumonia. Intubation and ventilation are required in about 6% of pneumonia patients. Furthermore, extubation failure was associated with increased pneumonia mortality. Immunopathological processes that occur in severe pneumonia related to increased levels of proinflammatory cytokines such as IL-6 and IL-17. Prognostic studies have been carried out to the occurrence of adverse outcomes in patients with pneumonia such as extubation failure and mortality, but still little to know about the role of these cytokines. This study aims to determine the role of local and systemic immune processes through examination of cytokine levels in bronchial lavage fluid and blood on the adverse outcome of severe pneumonia.
Objective: The aim of this study was to determine the association of differences in blood and bronchial lavage levels of IL-6, 1L-17 to extubation status and mortality in patients with severe pneumonia.
Methods: This study was a prospective cohort study of 40 patients with severe pneumonia. Subjects in this study are patients who were intubated and underwent bronchoscopy in the emergency room and intensive care unit of Ciptomangunkusumo Hospital from November 2020 to January 2021. Bivariate analysis with the mean difference test was used on numerical scale data with normal distribution and Mann Whitney U test with abnormal distribution. Study subjects were observed for successful extubation of 20 days and mortality of 28 days.
Results: In this study, the proportion of failed extubation was 80% and the mortality rate was 75%. There were various etiologies of severe pneumonia in the study with SARS-CoV-2 being the major causes (28 subjects). In this study, there was no statistically significant difference between brochoalveolar lavage fluid and blood IL-6, IL-17 in based on extubation status. There was also no statistically significant difference between brochoalveolar lavage fluid and blood IL-6, IL-17 based on mortality status.
Conclusions: There was no association of differences in the blood and bronchoalveolar lavage levels of IL-6, IL-17 on patients with severe pneumonia who failed to extubate and successfully extubated, and those who deceased and those who lived.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Rahmawati
"Latar belakang: Gangguan tidur merupakan keluhan yang sering terjadi pada rinitis kronis, dengan penyebab tersering adalah hidung tersumbat. Hidung tersumbat juga merupakan faktor risiko terjadinya sleep disordered breathing (SDB). SDB memiliki spektrum penyakit yang luas, salah satunya adalah obstructive sleep apnea (OSA). Walaupun berbagai literatur telah membuktikan adanya gangguan tidur pada pasien rinitis alergi, penelitian mengenai gangguan tidur pada pasien rinitis nonalergi masih terbatas. Tujuan penelitian: Membandingkan derajat gangguan tidur antara kelompok rinitis alergi dan rinitis nonalergi di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 11 subjek rinitis alergi dan 11 subjek rinitis nonalergi yang berusia 18-60 tahun di Poliklinik THT RSUPN Ciptomangunkusumo. Derajat obstruksi nasal dinilai menggunakan kuesioner NOSE. Derajat gangguan tidur dinilai secara subjektif dengan kuesioner ESS, PSQI, dan ISI serta secara objektif dengan polisomnografi. Hasil: Tidak didapatkan perbedaan pada hasil skor NOSE, ESS, RSI, PSQI, ISI, maupun parameter polisomnografi antara kelompok rinitis alergi dengan kelompok rinitis nonalergi (p > 0,05). Didapatkan hubungan bermakna antara RDI NREM, RERA, saturasi minimum oksigen dan saturasi baseline oksigen dengan klasifikasi OSA pada kelompok rinitis kronis (p< 0,05). Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan derajat gangguan tidur antara rinitis alergi dan rinitis nonalergi.

Background: Sleep disturbance is common in chronic rhinitis, primarily caused by nasal congestion. Nasal congestion is also a risk factor for sleep disordered breathing (SDB). SDB refers to a spectrum of breathing abnormalities, one of which includes obstructive sleep apnea (OSA). Although many studies have linked sleep disturbance with allergic rhinitis, data regarding its association with nonallergic rhinitis seem to be limited. Aim : To compare the severity of sleep disturbance between allergic and nonallergic rhinitis. Methods: This cross-sectional study consisted of 11 subjects with allergic rhinitis and 11 subjects with nonallergic rhinitis at ORL-HNS outpatient clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital. NOSE questionnaire was used to assess the degree of nasal obstruction. The severity of sleep disturbance was subjectively assessed using ESS, PSQI, and ISI questionnaires and objectively assessed using polysomnography. Results: No significant differences in NOSE, ESS, RSI, PSQI, and ISI scores were found between both groups (p > 0,05). There was a significant relationship between RDI NREM, RERA, minimum oxygen saturation and baseline oxygen saturation with OSA classification in the chronic rhinitis group (p <0.05). Conclusion: The type of rhinitis (allergic or nonallergic) did not influence the severity of sleep disturbance."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Raditya
"Pendahuluan:Penentuan jenis cairan pleura menggunakan Kriteria Light merupakan langkah awal dalam diagnosis suatu efusi pleura. Kriteria Alternatif Heffner belum banyak diteliti dan digunakan di Indonesia. Kriteria ini memiliki kelebihan dibandingkan Kriteria Light, yaitu tidak memerlukan pengambilan serum darah. Ultrasonografi (USG) toraks juga memiliki nilai diagnostik dalam penentuan jenis cairan pleura dan penggunaannya semakin rutin. Apabila Ultrasonografi dapat digunakan untuk menentukan jenis cairan pleura tentunya akan meningkatkan efisiensi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji diagnostik dengan sampel konsekutif sebanyak 60 orang untuk membandingkan penambahan USG Thorax pada Kriteria Alternatif Laboratorium dengan Kriteria Alternatif Laboratorium saja dalam mendiagnosis eksudat/transudat. Kriteria inklusi adalah pasien efusi pleura dengan usia lebih dari sama dengan 18 tahun dan kriteria eksklusi adalah pasien yang pernah dilakukan pungsi pada sisi yang sama sebelumnya. Penelitian dilakukan di RSCM pada Januari-Maret 2019. Pada subyek penelitian dilakukan pemeriksaan USG toraks dan pemeriksaan LDH,protein, dan kolesterol cairan pleura serta LDH dan protein cairan serum darah.
Hasil: Pada pemeriksaan cairan efusi pleura menggunakan Kriteria Alternatif Heffner didapatkan hasil Sensitivitas dan Spesifisitas sebesar 97,67 % (IK 95% 87,71-99,94) dan 94,12 % (IK 95% 71.31-99.85) . Sementara pada penambahan USG toraks pada Kriteria Alternatif didapatkan hasil Sensitivitas dan Spesifisitas sebesar 97,67 % (IK 95% 87,71-99,94) dan 88,24 % (IK 95% 63,56-98,54).
Diskusi: Kriteria Alternatif Heffner memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik dalam menentukan eksudat/transudate. Nilai sensitifitas dari penambahan USG tidak lebih baik dalam mendiagnosis eksudat/transudat. Hasil gambaran efusi pleura kompleks pada USG dapat bermanfaat untuk perencanaan awal kasus eksudat.
Simpulan: Penambahan USG Thorax pada Kriteria Alternatif Laboratorium menurut Heffner memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tidak lebih baik dibandingkan dengan Kriteria Alternatif saja dalam mendiagnosis eksudat/transudat sesuai Kriteria Light sebagai baku emas pada populasi penderita efusi pleura di RSCM

Introduction: Determining the Nature of Pleural Effusion using Light Criteria is the first step to find the right etiology in pleural effusion patient. The Heffner Alternative Criteria was introduced to replace Light Criteria when there are difficulties to obtain blood serum. The use of this new criteria is very few in Indonesia and there are no research in Indonesian population yet. Thorax Ultrasonography is also a routine diagnostic imaging modalities in pleural effusion. It is used to guide safe thoracocentesis. The use of ultrasonography thereby can increase efficiency.
Methods: This was a cross sectional diagnostic study, using 60 consecutive samples. The population of this study is patient in RSCM Hospital between January-March 2019. Inclusion criteria is pelural effusion patient age 18 years old or older. Patient were excluded if already puncture at the same side before. Thorax Ultrasonography was done and the LDH, Protein, Cholesterol of the pleural fluid was obtained.
Discussion: Heffner alternative criteria had a good sensitivity and specificity in diagnosing exudate/transudate. But the sensitivity of adding USG was not better in diagnosing exudate/transudate. USG could have benefits in early planning intervention for exudate.
Results:The Sensitivity and Specificity of Heffner Alternative Criteria alone were 97,67 % (CI 95% 87,71-99,94) and 94,12 % (CI 95% 71.31-99.85). The Sensitivity and Specificity of Heffner Alternative Criteria with added Thorax Ultrasonography were 97,67 % (CI 95% 87,71-99,94) dan 88,24 % (CI 95% 63,56-98,54).
Conclusions:Adding Ultrasonography to Heffner Alternative Criteria was not improving the already very good Sensitivity and Specificity of Heffner Alternative Criteria alone in determining the nature of pleural effusion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nicholas Kristanta Sandjaja
"Latar Belakang. Pneumonia komunitas merupakan masalah kesehatan global dan memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Rasio neutrofil-limfosit merupakan petanda inflamasi yang sederhana, cepat dan murah serta dapat dilakukan di fasilitas terbatas. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa RNL saat awal perawatan dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas, lama rawat inap dan kemungkinan kejadian sepsis, tetapi belum ada studi yang meneliti perannya dalam memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dengan pneumonia komunitas.
Tujuan. Mengetahui peran rasio neutrofil-limfosit dalam memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dengan pneumonia komunitas.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif terhadap pasien pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM dari periode 1 November 2017-31 Desember 2018. Data neutrofil, limfosit dan leukosit serta RNL pada awal perawatan diambil dari rekam medis. Kriteria kesembuhan dalam 7 hari berupa perbaikan keluhan, pemeriksaan fisik, tanda vital yang stabil sesuai panduan IDSA/ATS dan atau perbaikan rontgent toraks. Nilai rasio neutrofil-limfosit yang optimal didapatkan menggunakan kurva ROC. Analisis variabel perancu dilakukan dengan regresi logistik.
Hasil. Terdapat 195 subjek penelitian yang dianalisis. Median usia sampel 65 tahun (21-90), dengan penyakit komorbid terbanyak adalah diabetes melitus (49,7%), terdapat 1 pasien yang mendapatkan antibiotik sebelum perawatan, dan 72,1% pasien dengan skor CURB-65 ≥ 2. Dari kurva ROC didapatkan nilai AUC 0,554 (IK95%: 0,473-0,635) dengan p>0,05. Analisa regresi logistik dan analisis subgrup menunjukkan CURB-65 skor 2 merupakan effect modifier.
Kesimpulan. Rasio neutrofil-limfosit pada awal perawatan tidak dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dewasa pneumonia komunitas yang dirawat

Background. Community acquired pneumonia is a global health problem and has a high morbidity and mortality. The neutrophil to lymphocyte ratio is a simple, rapid, inexpensive marker of systemic inflammation and can be done in a limited facility. Other studies had shown that neutrophil to lymphocyte ratio can be used to predict mortality, length of stay and sepsis, but there are no studies that investigate its role in predicting cure within 7 days in patients with community acquired pneumonia.
Aim. To investigate neutrophil to lumphocyte ratio as a predictor of cure within 7 days in patients with community acquired pneumonia.
Method. A retrospective cohort study was conducted using medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital for community acquired pneumonia patients who were admitted from the period 1st November 2017-31st December 2018. Neutrophil, lymphocytes and neutrophil to lymphocyte ratio was obtained upon admittance. Criteria for cure within 7 days include improvement of clinical symptoms, physical examination, stable vital signs according to IDSA / ATS guidelines and or improvement of chest X-ray. Neutrophil to lymphocyte cut off was determined using the ROC curve. Confounding factors was analysed using logistic regression.
Results. There were 195 subjects. Median age was 65 years (21-90). Diabetes mellitus (49.7%) was the most frequent comorbid. There were one patients treated with antibiotics prior to admission and 72.1 % of patients with a CURB-65 score ≥ 2. ROC curve showed that AUC 0.554 (95%CI: 0.473-0.635 ) with p>0.05. Logistic regression analysis and subgroup analysis showed that CURB-65 2 was an effect modifier.
Conclusion. Neutrophil to lymphocyte ratio upon admittance cannot be used as a predictor of cure within 7 days in adult patients with community acquired pneumonia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Hero Wantara
"Latar Belakang : Pasien kanker paru sering mengalami pneumonia, hal ini terjadi
karena penurunan daya tahan tubuh. Pneumonia menyulitkan penanganan,
memperburuk kualitas hidup, mengurangi survival dan seringkali merupakan
penyebab langsung kematian pasien kanker paru. Penangananan pneumonia pada
pasien NSCLC(non small cell lung cancer) dengan antimikroba yang terus menerus
tanpa memperhatikan kultur sensisitivitas akan menyebabkan resistensi dari kuman
penyebab pneumonia tersebut.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, pola kuman penyebab
pneumonia pada pasien NSCLC, dan membandingkan kesintasan pasien NSCLC
yang menderita pneumonia yang disebabkan oleh bakteri MDR (multidrug
resistance) dengan yang disebabkan oleh bakteri non-MDR.
Metode : Penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan subjek penelitian
adalah pasien NSCLC dengan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri MDR dan
non-MDR yang dirawat di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo bulan Januari
2013-Desember 2017. Analisis dilakukan dengan analisis multivariat regressi cox.
Hasil: Setelah dilakukan pemeriksaan kultur BAL(Bronchoalveolar lavage), cairan
pleura dan sputum, diperoleh 32 subjek hasil kulturnya hanya bakteri MDR, 14
subjek tumbuh bakteri MDR dan non-MDR, dan 23 subjek hanya tumbuh bakteri
non-MDR. Bakteri non-MDR terbanyak penyebab pneumonia pada pasien
NSCLC adalah Klebsiella pneumoniae sebanyak 37,3%, sedangkan bakteri MDR
yang terbanyak menyebabkan pneumonia pada pasien NSCLC adalah
Acinetobacter baumannii sebanyak 23,2%. Median survival Pasien NSCLC
dengan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri MDR adalah 57 hari(43,707-
70,293) sedangkan yang oleh bakteri non-MDR 92 hari(58,772-125,228).
Simpulan : kesintasan pasien NSCLC dengan pneumonia yang disebabkan oleh
bakteri MDR lebih singkat daripada yang disebabkan oleh bakteri non-MDR.

Back Ground: Lung cancer patients often experience pneumonia. This is due to
the decrease in body endurance of the patients. Pneumonia complicates
treatment, worsens the quality of life, reduces survival and is often a direct cause
of death for lung cancer patients. Dealing with pneumonia in non-small cell lung
cancer (NSCLC) patients with continuous antimicrobials treatment without
regard to culture sensitivity will cause resistance of germs that cause pneumonia.
Objectives: This study aims to study the pattern of germs that cause pneumonia
in NSCLC patients, and to compare the survival of NSCLC patients suffering
from pneumonia caused by MDR (multidrug resistance) bacteria with those
caused by non-MDR bacteria.
Methods: This study was a retrospective cohort with research subjects was
NSCLC patients with pneumonia caused by MDR and non-MDR bacteria who
were treated at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2013 to
December 2017. Analysis was performed with multivariate cox regression
analysis.
Results: The results of the culture examination of BAL(Bronchoalveolar lavage),
pleural fluid and sputum showed that 32 subjects were infected only from MDR
bacteria, 14 subjects infected by both MDR and non MDR bacteria, and 23
subjects were infected by only non MDR bacteria. The most non-MDR bacteria
that cause pneumonia in NSCLC patients was Klebsiella pneumoniae as much as
37,3%, while the most MDR bacteria that cause pneumonia in NSCLC patients
was Acinetobacter baumannii as much as 23,2%. Median survival of NSCLC
patients with pneumonia caused by MDR bacteria was 57 days(43,707-70,293)
while those by non-MDR bacteria was 92 days (58,772-125,228).
Conclusions: The survival of NSCLC patients with pneumonia caused by MDR
bacteria is shorter than that caused by non-MDR bacteria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library