Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nury Nusdwinuringtyas
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi latihan otot-otot pernafasan yang spesifik terhadap pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK). Untuk mencapai tujuan ini digunakan jenis deskriptif-analitis. Metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang menyangkut masing-masing variabel dependen ,dan variabel independen .Sedangkan metode analitis ,yaitu randomized clinical trial untuk mengetahui efek latihan otot pernafasan.
Dilakukan alokasi random sehingga didapatkan 8 pasien PPOK yang masuk dalam latihan pernafasan, dan 8 pasien yang masuk dalam latihan pemulihan. Sedangkan 7 orang pasien PPOK lagi tidak diberikan intervensi dan tidak melalui alokasi random ,dimasukkan sebagai kontrol dalam penelitian ini. Kelompok pernafasan mendapat latihan pernafasan diafragma + Pursed Lip Breathing (PLB). Latihan pernafasan dilakukan tiap hari di rumah , dan 3 kali se minggu datang ke Instalasi Rehabilitasi Medik untuk latihan dengan supervisi. Kelompok pemulihan berlatih dengan sepeda statis. Kelompok pemulihan berlatih 3 kali se minggu di Instalasi Rehabilitasi Medik, berlatih di bawah supervisi. Intervensi diberikan selama 8 minggu. Metoda analisis dilakukan sebagai berikut : Analisis univariat untuk mengetahui frekuensi karakteristik masing-masing kelompok. Sedangkan analisis bivariat (uji-t berpasangan, uji Wilcoxon) untuk mengetahui efek akibat intervensi.
Hasil dari penelitian sebagai berikut: Pada kelompok pernafasan didapati kekuatan otot ekspirasi (MEP) tampak meningkat bermakna. (p< 0,05), derajat sesak berkurang ( p>O,05), dan kemampuan berjalan meningkat dengan bermakna (p(0,05). Namun, pada kelompok pernafasan dijumpai pula peningkatan tahanan jalan udara (Raw) (p>0,05). Pada kelompok pemulihan didapati penurunan udara residu (RV] paling besar meskipun tidak bermakna (p>0,05), kesegaran jasmani (V02 maksimum) meningkat (p>0,05). Pada kelompok kontrol didapati penurunan kekuatan otot ekspirasi (MEP) mendekati bermakna (p>0,05). Kekuatan otot inspirasi (MIP) memberikan hasil tidak seperti harapan, meskipun tidak bermakna tampak MIP justru menurun pada ke dua kelompok dengan intervensi, dan meningkat pada kontrol (p>0,05).
Dari hasil penelitian tersebut di atas diperoleh kesimpulan sebagai berikut: latihan pemafasan dan pemulihan, ke duanya memperbaiki kualitas hidup yang dibuktikan dengan meningkatnya kemampuan berjalan. Keberhasilan ke duanya didapat dengan pendekatan yang berbeda, latihan pemafasan dengan meningkatnya kekuatan otot ekspirasi, menyebabkan sesak berkurang, dengan demikian kualitas hidup membaik. Latihan pemulihan dengan terjadinya peningkatan kesegaran jasmani, didapati kualitas hidup yang membaik. Dengan demikian disarankan pemberian latihan otot pernafasan, bila latihan yang diberikan dimaksudkan untuk mengontrol sesak, dan latihan pemulihan bila bertujuan meningkatkan kesegaran jasmani. Selain hal tersebut di atas harus diingat bahwa pada latihan pernafasan diafragma + PLB, dijumpai peningkatan tahanan jalan udara. Sedangkan latihan pemulihan meskipun udara residu menurun paling besar, hal tersebut menyebabkan kekuatan otot inspirasi menurun.

The purpose of this study was to examine the efficacy of targeted respiratory muscle training in patient with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). The study was conducted using descriptive-analytical method. The descriptive method would result in information related to any dependent and independent variable. The analytical method of randomized clinical trial based the study of the effect of respiratory muscle training.
A random allocation was done resulted in 8 (eight) patients with COPD belonged the breathing exercise group, 8 (eight) patients received general exercises reconditioning. The other 7 (seven) patients with COPD belonged to a control group with no intervention and without random allocation. The respiration group underwent diaphragmatic breathing exercises + Pursed Lip Breathing (PLB). Breathing exercises were done daily at home and 3 (three) times a week, under supervision at The Instalation of Rehabilitation Medicine, Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital. The recoditioning group received exercises with ergocycle, 3 (three) times a week which lasted for 8 (eight) weeks under supervision at The Institution. The method of analysis was done as follows : Univariat analysis was conducted to study the frequency characteristics of groups. Bivariat analysis (paired-t test, Wilcoxon test) was conducted to study the effect of intervention.
Result of the study were as follows: The respiration group showed increased expiration muscle strength (MEP) significantly (p<0,05), degree of dyspnea decreased (p>0,05) and walking ability increased significantly (p'(0,05). However, the airway resistance (Raw) increased (p>0,05). In the reconditioning group decreased of residual volume (RV) was observed insignificantly (p>0,05) physical fitness (V02 Max) increased (p>0,05). In the control group decrease of respiratory muscles strength was observed almost significantly (p>O,05). The inspiratory muscle strength did not show result as expected, but decreased insignificantly in both groups with intervention and increased in the control group (p>0,05).
The conclusion of the study were as follows: Breathing excercises and reconditioning resulted in better quality of life as shown by increase in walking ability Both successes derived of different approaches: breathing exercises group by increase of expiratory muscle strength resulted in decrease of dyspnea and increase in quality of life. On the other side, reconditioning group resulted in better physical fitness and to better quality of life. Respiratory muscle training was recommended when the excersises were intended to control dyspnea and reconditioning was done if physical fitness was intended. We have to be aware of the increase of airway resistance in the diaphragmatic breathing excersises group + PLB. In the reconditioning group inspite of most decrease of residual air, there were decrease of inspiratory muscle strength.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T5152
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Yani Suryana
"Suksesnya pembangunan kesehatan dan gizi yang dilaksanakan Indonesia telah dapat menurunkan masalah gizi yang dihadapi secara bermakna. Tetapi suksesnya pembangunan tersebut mengakibatkan pula perubahan pola penyakit yang ada di Indonesia. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi terlihat berkurang, sebaliknya penyakit degenaratif dan penyakit kanker meningkat. Peningkatan kemakmuran ternyata diikuti oleh perubahan gaya hidup. Pola makan terutama di kota-kota besar bergeser dari pola makan tradisional yang banyak mengkonsumsi karbohidrat, sayuran dan serat ke pola makanan masyarakat barat yang komposisinya terlalu banyak mengandung lemak, protein, gula dan garam tetapi miskin serat. Sejalan dengan itu pada beberapa tahun terakhir ini mulai terlihat peningkatan angka prevalerisi kegemukan/obesitas pada sebagian penduduk Indonesia terutama di kota-kota besar, yang diikuti pula pada akhir-akhir ini di pedesaan.
Kelebihan gizi dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi dan penyakit batu kandung empedu. Salah satu faktor yang berperan adalah adanya kebiasaan makan-makanan trendi, makan-makan berlemak. Disamping itu faktor aktivitas fisik juga berperan dalam mengatur kebutuhan energi, dalam hal ini menyangkut aktivitas pekerjaan dan aktivitas olah raga. Selain itu faktor-faktor lain yang berperan adalah umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya masalah status gizi lebih dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa di Kota Bogor.
Desain penelitian ini adalah "cross sectional" dengan memanfaatkan data sekunder hasil pengumpulan data status gizi pada orang dewasa yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Bogor tahun 1997. Kemudian data yang diperoleh dianalisa baik secara bivariat maupun multivariat dengan menggunakan regresi logistik antara faktor risiko (kebiasaan makan-makanan trendi. kebiasaan makan-makanan berlemak, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan olah raga) dengan status gizi lebih pada orang dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor adalah sebesar 23,88% (klasifikasi Depkes).
Berdasarkan hasil analisis bivariat faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna antara lain : kebiasaan makan-makanan trendi. kebiasaan makan-makanan berlemak, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.
Dari hasil analisis model multivariat dengan memasukkan secara bersama-sama semua faktor risiko yang diduga mempunyai hubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa. dapat diketahui ada tiga faktor risiko yang berhubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa yaitu, kebiasaan makan-makanan trendi, umur dan jenis kelamin.
Selanjutnya dari analisis model regresi menunjukkan bahwa proporsi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor pada kelompok orang dewasa yang berumur 30-39 tahun kejadiannya 2,96 kali lebih tinggi, 40-49 tahun kejadiannya 5,01 kali lebih tinggi, 50-59 tahun kejadiannya 3,91 kali lebih tinggi, 60-65 tahun kejadiannya 2,73 kali lebih tinggi. dibandingkan kelompok umur < 30 tahun. Selain itu juga dapat diketahui hasil dari analisis model regresi bahwa proporsi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor pada kelompok yang jarang mengkonsumsi makan-makanan trendi 1,31 kali lebih tinggi dan yang sering mengkonsumsi makan-makanan trendi kejadiannya 2,97 kali lebih tinggi, dibandingkan dengan kelompok yang tidak pernah mengkonsumsinya. Sementara itu proporsi status gizi lebih orang dewasa pada kelompok orang dewasa yang berjenis kelamin perempuan 2,29 kali lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
Terdapat interaksi faktor kebiasaan makan-makanan trendi dengan jenis kelamin dalam kaitannya dengan status gizi lebih pada orang dewasa di Kota Bogor . Dimana pada kelompok perempuan yang jarang(1-4 kali/bulan) mengkonsumsi makan-makanan trendi proporsi status gizi lebilmya kemungkinannya 0,73 kali dari kelompok laki-laki yang jarang mengkonsumsinya. Demikian pula proporsi status gizi lebih orang dewasa pada kelompok perempuan yang sering mengkonsumsi makan-makanan trendi kemungkinannya 0,32 kali dari kelompok laki-laki yang sering mengkonsumsinya.

Factors Related to the Status of Excess of Nutrition on Adults in Bogor in 1997 (Analysis of Secondary Data)The success on health and nutrition development program carried out has been able to decrease nutritious problem that is faced by Indonesian significantly. However, the development also results in changing disease pattern that exists in Indonesia. Infectious disease and malnutrition seems decreased, on the contrary the generative and cancer diseases increased. The increasing of prosperity is followed by the changing of life style. The pattern of having food especially in the big cities moves from a traditional food pattern that consumes a lot of carbohydrate, vegetables and fiber into having a western food pattern that consumes a lot of fat, protein, sugar and salt but consumes less fiber. As consequences, the increase of over weight prevalent value can be seen in recent years in many part of Indonesia, especially in the big cities and also followed by the villages recently.
Excess in nutrition can cause various health problems such as coronary heart, diabetes, hypertension, and gall stone. One factor which plays role is a habit of consuming trend food and fat food. Moreover, physical activity factor also plays role in regulating energy need which includes work and exercise activity. Besides that, other factors that plays role are age, gender and education level.
The purpose of this research is to know the problems of excess of nutrition status and its related factors on the adults in Bogor.
This research design is "cross sectional" by utilizing secundary data on nutritional status of adults. This data collected by Directorate for the Establishment of Nutrition for Community (Direktorat Bina Gizi Masyarakat), Health Department (Departemen Kesehatan) Republic of Indonesia and Health Service Bogor in 1997. The collected data was analyzed by either ` bivariat" or "multivariat" using "Logistic Regression" between risk factors (habit of having trend food, habit of having fat food, age, gender, education level, type of jobs and exercise) and excess of nutrition status of the adults.
The result shows that the excess of nutrition status prevalent of adults in Bogor is 23,88% (Depkes' classification). According to the analysis of "Bivariat" model, the risk factors which have significant relation are: habit of having trend food, habit of having fat food, ages, gender, education levels, and type of jobs.
From the analysis of "multivariat" model using all of the risk factors that are assumed has =elation with the excess of nutrition status of adults, found that there are three risk factors related to the excess of nutrition status of the adults. The three risk factors are habit of having trend food, ages and gender.
Further more, regression analysis model shows that the proportion of excess of nutrition status of the adults in Bogor compare to the group of people with less than 30 years old are as follows:
- Group with the age between 30 and 39 is 2.96 higher,
- Group with the age between 40 and 49 is 5.01 higher,
- Group with the age between 50 and 59 is 3.91 higher, and
- Group with the age between 60 and 69 is 2,73 higher.
Besides that, the regression analysis model also shows that:
- the proportion of excess to nutrition status of the adults in Bogor for a group of people that seldom consumed trend food is 1.31 higher compare to that of group that never consumed trend food, and The group that often consumed trend food is 2.97 higher compare to that of group that never consumed trend food.
Meanwhile the proportion of excess of nutrition status of the female adults is 2.29 higher than male adults.
There is interaction between the habit of having trend food factor and gender that is related to excess of nutrition status of the adults in Bogor. The female group that seldom (1-4 times/month) consumed trend food; the proportion of their excess of nutrition status is 0.73 more than the male group that seldom consumed it. The proportion of excess of nutrition status of the female adults that often consumed trend food is 0.32 higher than the male group that often consumed trend food.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T8370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
N. Shelly Cahyadi
"Karies gigi merupakan penyakit yang banyak menyerang anak-anak terutama kelompok usia 12 tahun; kelompok usia ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena merupakan saat terjadinya transisi pergantian gigi susu ke gigi tetap. Hasil penelitian Evaluasi Program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah untuk murid SD kelas 5 dan 6 di wilayah DKI Jakarta, prevalensi karies gigi cendrung meningkat dari 89.60% pada tahun 1988 menjadi 93.72% pada tahun 1996, namun demikian angka rata-rata anak yang mengalami karies gigi ( DMF-T) sedikit menurun dari 2.98 gigi menjadi 2.66 gigi. Dari kunjungan murid-murid SD ke Balai Pengobatan Gigi Puskesmas selama 3 tahun terakhir ini, proporsi karies gigi dan kelanjutannya tampaknya masih menduduki porsi tertinggi ( 75.88% - 78.75%) dibandingkan penyakit gigi dan mulut lainnya.
Tujuan daripenelitian ini untuk memperoleh informasi tentang hubungan faktor-faktor dengan status karies gigi anak SD; jenis disain penelitian adalah 'Analyzed cross sectional'. Lokasi penelitian di 106 SD dari 112 SD yang ada di kecamatan Tanjung Priok. Sampel yang diteliti adalah murid SD kelas 6 yang diambil secara 'systematic random sampling" sehingga diperoleh sejumlah 443 anak. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner wawancara untuk factor-faktor demografi, pola konsumsi makanan anak sehari-hari ( food recall 3 kali) disertai kebiasaan sikat giginya; disamping itu juga dilakukan pemeriksaan gigi. Data kemudian diolah secara statistik mulai dari analisis univariat, bivariat sampai multivariat yaitu dengan multipel regresi linier dan multipel regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi karies gigi ( DMF-T) anak SD kelas 6 di kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara 70.9% dengan rata-rata angka pengalaman karies 1.657 ± 1.487 gigi per anak; dan komposisi 'decayed" sebesar 61.3% , ?missing? 4.5%, dan tilled' 5.1% . Hasil model akhir menunjukkan, bahwa terjadinya karies gigi ( DMF-T) 43.78% dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen sebagai. berikut yaitu OHI-S, frekuensi sikat gigi yang secara bersamaan harus diimbangi dengan ketepatan waktu sikat gigi, dan bentuk molar satu bawah yang secara bersamaan harus diimbangi dengan jumlah karbohidrat lekat. yang dimakan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan . setiap penambahan 5 gram konsumsi karbohidrat lekat, kemungkinan akan meningkatkan karies gigi 3%. Juga ada interaksi frekuensi sikat gigi sikat gigi kurang dan- waktu sikat gigi tidak tepat dengan jumlah karbohidrat lekat yang dimakan; dimana dengan jumlah minimal karbohidrat lekat yang dimakan sebesar 8.85 gram per hari mempunyai resiko terjadinya karies gigi 2.08 kali; jumlah karbohidrat yang dimakan maksimal yaitu 98.10 gram temyata dapat meningkatkan resiko karies sebesar 235.40 kali. Dan ada hubungan sebab akibat antara bentuk molar satu bawah dengan terjadinya karies gigi, ini mungkin disebabkan karena gigi tersebut tumbuh lebih dahulu yaitu pada usia 6-7 tahun; pembentukan benih gigi dengan anatomi yang tidak normal sudah terjadi pada masa janin berusia 5 minggu dalam kandungan dan ada hubungannya dengan keturunan dan rasnya ; selain itu juga adanya pengaruh gravitasi sehingga sisa makanan lebih banyak mengumpul pada gigi rahang bawah tersebut.
Disarankan program penyuluhan oleh team UKGS ditingkatkan yang isinya mengubah pola kebiasaan sikat gigi anak yaitu dari sebelum makan dan sambil mandi menjadi sesudah makan dan minimal sikat gigi dua kali yaitu sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam. Disamping itu untuk menanggulangi masalah bentuk anatomi gigi molar satu bawah, dapat dilanjutkan pelaksanaan penambalan fissure sealant maupun tumpatan baru 'Atraumatic Restorative Treatment'.

Factors Related To Dental Caries Status Of The Sixth Grade Primary School Children In Tanjung Priok Subdistrict Of Northern Jakarta, 1997.Dental caries is a disease affecting children especifically 12 years old ; this age group needs special attention since the transition from the deciduous dentition to the permanent dentition occured in this age group. The evaluation study of School Dental Health Programs for 5th and 6th grades in the Jakarta , shows an increase in dental caries prevalence from 89.60 % in 1988 to 93.72% in 1996; the average DMFT figures however, went down from 2.98 to 2.66 teeth in the same period. Proportionally, dental caries and its sequela still in the first rank compared to other oral diseases in primary school children who were treated at the Health Centre Services.
The aims of the study is to obtain information on the relation between determinant factors and dental caries in primary school children; with an "Analyzed Cross Sectional" design. The study was done in 106 primary school out of 112 Primary school in the subdistrict of Tanjung Priok. The study sample comprises 6th grades through a "systematic random Sampling ", Total sample was 443 children. Data was obtained by questioners for demographic factors, daily food consumption patterns ( 3 times food recall ) and tooth brushing habits. Apart from that, dental examination was carried out. The data was statistically processed, from univariat, bivariat and multivariat analysis with multiple linear regression and multiple logistic regression.
The results show a dental caries prevalence ( DMF-T) of 70,9 % of 6 grades in the Tanjung Priok subdistrict with average of 1,657 ± 1.487 caries teeth; encompassing 61.3% decayed, 4.5% missing and 5.1% filled teeth. The latest model indicates that the 43.78% dental caries rate (DMF-T) may be explained by, independent variables : Oral Hygiene Index Simplify, frequency of brushing , shape of lower first molar, all of which have to be balanced by the amount of consumed " sticky" carbohydrate consumption may increase dental caries by 3 %. Interaction were found between good frequency of tooth brushing and incorrect brushing times, between insufficient frequency of tooth brushing and correct brushing times, between insufficient frequency of tooth brushing and incorrect brushing times. The latest interaction show that with the amount of sticky carbohydrate consumed, in which a minimum of 8.85 grams of sticky carbohydrates daily, caries risks will increase 2.08 times; a maximum of 98.10 gram will increase caries risks with 235.40 times. A cause and effect relationship between lower first molar anatomical shape and dental caries is presumably caused by the fact that the tooth in question is a the first permanent element to erupt, which is around 6-7 years of age, by tooth formation with abnormal anatomy would already occur at 5 weeks of intrauterine life and had a relationship with heredity and race, in addition to influence of gravitation causing much more food rests to accumulation teeth of the lower jaw.
It is suggested that school dental health education be improved to change the child's tooth brushing habits from "before meals" and "during bath" to "after meals" and a minimum of two times daily, which is after breakfast and before retiring at night. To cope with the problem of the anatomical shape of the lower first molar, fissure sealants and Aritmatic Restorative Treatment fillings may be employed.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Effendi
"Penyakit diare sampai saat ini masih tetap sebagai permasalahan kesehatan masyarakat yang perlu ditanggulangi secara- terus menerus. Peran serta masyarakat mempunyai andil yang besar dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat diare. Hal ini menjadi sangat penting, karena kegiatan tersebut sangat bertumpu pada perilaku dari masyarakat. Sesuai dengan permasalahan tersebut, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan, khususnya di daerah penelitian Kelurahan Semanan I, Kecamatan Kalideres Jakarta Barat.
Jenis disain penelitian ini adalah `analyzed cross sectional", yang bertujuan untuk mengetahui perilaku pencarian pengobatan penderita diare, faktor-faktor yang mungkin berhubungan dan faktor dominan yang mempengaruhinya. Penelitian dilakukan terhadap sejumlah 3.636 jiwa dan yang berhasil diteliti perilaku pencarian pengobatan diare adalah 419 kasus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka maiden diare selama dua minggu untuk semua kelompok umur di Kelurahan Semanan I adalah 12,5%, dan kejadian diare adalah 0,59 kali per orang selama satu tahun. Sedangkan episode diare balita terjadi 3,7 kali per anak selama satu tahun. Penderita diare yang terbanyak adalah kelompok umur balita dan bayi, masing-masing 60,9% dan 22,4%. Lama sakit diare bervariasi yang banyak dipilih adalah berobat ke bidan (14,3%), Puskesmas (12,6%), tidak mencari pengobatan sama sekali (11,2%), perawat (6,9%), pengobatan tradisionil/dukun bayi (6,7%), kader kesehatan (4,3%), dokter (2,9%) dan klinik kesehatan (2,2%). Tempat rujukan yang dianggap lebib layak adalah Puskesmas, Praktek Dokter dan Bidan. Penelitian ini mendapatkan bahwa Puskesmas merupakan tempat rujukan yang paling banyak dikunjungi dibanding fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yaitu 74,3%. Faktor-faktor paling dominan yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan adalah sebagai berikut : pada lapisan pertama antara tidak mencari versus mencari pengobatan adalah; sikap pengobat, pekerjaan, persepsi akibat dan lama sakit. Sedangkan pada lapisan ke dua antara mengobati sendiri versus ke pengobat adalah; persepsi gawat, sikap pengobat, pengetahuan penyakit, lama sakit dan biaya berobat Selanjutnya pada lapisan ke tiga antara ke pengobat tradisionil versus ke pengobat modern adalah; kepercayaan gaib dan lama sakit dan pada lapisan ke empat antara pilihan ke fasilitas pelayanan Puskesmas versus pelayanan swasta adalah; jarak, persepsi gawat, pendidikan, persepsi akibat dan sikap pengobat.
Sudah waktunya bahwa kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat tidak hanya dititik beratkan pada pelayanan pengobatan di Puskesmas, namun secara proaktif kegiatan pelayanan kesehatan perlu lebih diarahkan pada promosi kesehatan dan pelayanan prevensi sekunder yaitu mendorong masyarakat untuk berobat yang benar, terutama terhadap yang rentan menderita diare."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T1701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chasan Sudjain Kusnadi
"Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang cenderung semakin luas penyebarannya, sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Berbagai upaya telah ditempuh pemerintah untuk menekan penyebaran penyakit DBD, melalui penatalaksanaan kasus dan pengendalian nyamuk penyebar penyakit DBD. Pemerintah telah mengembangkan program pemberantasan vektor intensif dalam usaha memperkecil wilayah terjangkit DBD.
Studi ini bermaksud mengetahui kecenderungan masalah penyakit DBD, perkembangan kegiatan pemantauan vektor, mengetahui masalah dalam pelaksanaan program P2.DBD, mengetahui dampak program P2.DBD di Kotamadya Jakarta Barat. Dipilih Kodya Jakarta Barat bersandar kepada beberapa pertimbangan strategis untuk mencermati masalah-masalah tersebut. Hasil studi ini dan penelitian sejenis diharapkan dapat memberi masukan dan dasar pertimbangan pemerintah untuk merencanakan metode terbaik guna meningkatkan efektivitas program P2.DBD, khususnya upaya pengendalian vektor DBD.
Menggunakan pendekatan observasional dan dengan desain studi penampang (cross sectional), studi ini mengumpulkan data dan informasi sekunder dari responden menggunakan daftar cek dan formulir isian. Angka insidens angka kematian (mortality rate) dan angka kematian kasus (case fatality rate) berfluktuasi dengan pola 5 tahunan (sampai 1988), selanjutnya menjadi berpola dua tahunan. Musim penularan diperkirakan berlangsung pada bulan Maret-Juni.
Pelaksanaan pengendalian vektor intensif mempunyai kecenderungan untuk menurunkan angka insidens DBD, namun masih memerlukan pencermatan dan penelitian dalam kawasan yang lebih luas. Surveilans epidemiologi DBD sangat bermanfaat dalam melakukan perencanaan, implementasi, dan penilaian (evaluasi) program P2.DBD.
Sudah saatnya pemerintah mengupayakan keterlibatan warga masyarakat secara lebih aktif dalam pemberantasan penyakit DBD; dan pendekatan pengendalian vektor dengan menggunakan pestisida sudah waktunya ditinjau kembali. Sebagai alternatif dalam pengendalian vektor DBD dapat digunakan pengendalian vektor berwawasan lingkungan.

Dengue hemorrhagic fever (DHF) was one of the health problems in Indonesia tends to wider spreader in accordance with the high mobility and dense population. Many efforts have implemented by the government to depressed the widespread of the disease through the cases management and the control of the mosquito?s vector of the disease.
This study tend to characterized the disease trends, the surveillance of vector, to understand the problem faced in the implementation of the DHF control program, and to know the impact of the program within the West Jakarta Municipality. The municipal was chosen based on several strategic considerations to observe the problems. The results of this study and another will gave benefits for the inputs and basic considerations for the government both local and central government, to plan better method for the improvement of effectively of DHF control, especially vector control.
This observational study designed as cross-section using the secondary data and information from the subject of study with a set of checklist and/or forms. The incidence rate, mortality rate, and case fatality rate have a fluctuation and variation in 5 yearly pattern (up to 1988), and two yearly patterns there after. The period of disease transmission estimated on March to June.
The implementation of the intensified vector control program tends to lower or depressed the incidence rate of the disease, but there's still needed to make kin observation and studies in wider areas. The disease surveillance benefit for planning, implementation, and evaluating the disease control program.
It's the time for the government to think (globally) and search for active community participation in the control of the disease; and the pesticides approach to the vector control program is now on the time for reviewed. As an alternative for the vector control we could initiate the new approach named the environmental base vector control.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husni Jamarin author
"Pada hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 1985, ditemukan bahwa 30 persen kematian bayi yang terjadi disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan diantaranya 40 persen kematian bayi ini diperkirakan karena tetanus. Tetanus neonatorum merupakan salah satu penyebab utama kematian bayi. Namun sebenarnya penyakit ini dapat dicegah dengan dua dosis imunisasi tetanus toxoid yang diberikan kepada ibu hamil, dimana dosis gandanya sudah dapat memberikan perlindungan terhadap bayinya sebesar 80 % terhadap penyakit tetanus neonatorum.
Ibu hamil "eligible" adalah ibu hasil yang datang ke Puskesmas yang belum mendapatkan imunisasi. TT1 atau TT2. Ada beberapa hal yang mempengaruhi pencapaian cakupan imunisasi tetanus toxoid (TT) ibu hamil antara lain: missed opportunity (MO) yaitu hilangnya kesempatan mendapatkan vaksinasi tetanus toxoid bagi ibu hamil yang telah datang ke Puskesmas dengan alasan apapun. Dari penelitian data sekunder Juli 1991-Januari 1992 di Jakarta Timur (Husni Jamarin, 1992), didapatkan bahwa "missed opportunity" (MO) imunisasi TT ibu hasil adalah 22.5 persen; hasil ini tidak merata disetiap Puskesmas.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor/ karakteristik dari ibu hamil dan faktor yang terdapat pada petugas Puskesmas yang berhubungan dengan kejadian "missed opportunity" didaerah ini. Data ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan observasi (pengamatan) yang dilakukan oleh petugas yang telah dilatih sebelumnya. Jenis penelitian ini adalah cross sectional, dengan menganalisa hubungan variabel bebas dan variabel tergantung kemudian dilihat besarnya odds ratio yang terjadi. Unit analisa adalah ibu hamil "eligible" yang datang kesebelas Puskesmas Kelurahan di Kecamatan Duren Sawit. Sampel yang diperoleh dari hasil penelitian ini sejumlah 277 orang (ibu hamil "eligible") yang berkunjung ke Puskesmas.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa ditemukan kejadian "missed opportunity" di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit sebesar 54.5 %. Setelah dianalisa, ditemukan bahwa faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian MO ini adalah: faktor karakteristik dari ibu hamil yang menolak vaksinasi TT dengan alasan kehamilan muda (38.9%), takut suntik TT (27.8%), terburu-buru dan ada tanda-tanda keguguran (16.7%). Dari faktor petugas puskesmas yang menolak vaksinasi TT dengan alasan bukan hari pelayanan imunisasi TT (35.2%), kehamilan muda (33.3%), bumil sakit (11.1%) dan lain-lain (20.5%).
Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan kepada Sudinkes Jakarta Timur untuk meningkatkan cakupan imunisasi TT dan meurunkan kejadian MO dengan merumuskan intervensi didaerah ini dalam bentuk Plan of Action (POA). Saran berikutnya menggiatkan pelaksanaan sistem skrining guna memperbesar cakupan imunissi TT dan sekaligus menurunkan kejadian MO. Selain itu perlunya supervisi yang ketat guna mencegah tingginya kejadian MO secara dini."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Abduh
"ABSTRAK
Tantangan utama bidang kesehatan sampai tahun 2000 di Indonesia adalah tingkat pendidikan yang rendah; sikap, perilaku dan kebiasaan hidup sehat yang kurang baik; peran aktif dalam kesehatan masih rendah. Pelayanan kesehatan pencegahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada Puskesmas di seluruh Indonesia, termasuk imunisasi polio, sebagian besar pelayanannya dilaksanakan pada Posyandu yang tersebat didesa-desa, dimana lima program prioritas dijalankan, ialah KB, KIA, Gizi, Imunisasi dan Diare.
Program imunisasi yang dituangkan pada Pengembangan Program Imunisasi (PPI) dimulai sejak tahun 1977. Imunisasi polio yang diberikan tiga kali dosis pada bayi usia 2-11 bulan memberikan daya lindung pada bayi terhadap penyakit polio: namun masih banyak bayi yang tidak lengkap melakukan imunisasi polio, hal ini mengakibatkan tidak-sinambung imunisasi meskipun secara nasional angka persentasenya menurun.
Pada penelitian ini diteliti masalah ketidak-sinambungan imunisasi polio di Puskesmas Pamulang, sampai berapa besar angka cakupan persentase ketidak-sinambungan imunisasi dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya.
Jenis penelitian ini kasus kelola, perhitungan sampel dengan cara two sample case study.
Dari beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan ketidak-sinambugan imunisasi polio ternyata ada lima faktor yang yang terbukti setelah dilakukan analisa multivariate dengan cara multiple logistic regresion, yakni pendidikan formal jbu, jenis pekerjaan orang tua, gejala sahit saat akan melakukan imunisasi polio ulang, peranan kader kesehatan dan peranan media massa.
Dengan demikian faktor-faktor tersebut dapat menjadi perhatian untuk penerapan program imunisasi polio lebih lanjut. "
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Alamsjah
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan PWS Berta pengaruh PWS terhadap peningkatan cakupan imunisasi di D.K.I. Jakarta selama tahun 1990 dan 1991. Sumber data untuk penelitian ini adalah data primer yang diambil dengan wawancara dan data sekunder yang berupa hasil cakupan imunisasi (aksesibilitas, kelengkapan, ketidaksinambungan imunisasi ), catatan buku biru, buku PWS. Jumlah puskesmas yang diambil pada tahun 1989 adalah 299 buah , pada tahun 1990 adalah 306 buah dan pada tahun 1991 adalah 307 buah ; jumlah ini diluar puskesmas yang ada di Kepulauan Seribu.
Dalam penelitian ini digunakan tabulasi silang , analisa stratifikasi. Disamping itu juga digunakan analsis regresi logistik ganda, untuk mengetahui besarnya pengaruh setiap faktor yang diteliti dengan mengendalikan semua faktor lain yang ikut mempengaruhi asosiasi tersebut.
Dari hasil analisa data diperoleh hasil bahwa PWS bermanfaat didalam peningkatan proporsi puskesmas yang dapat mencapai target aksesibilitas dan kelengkapan imunisasi selama tahun 1990 dan 1991, juga peningkatan proporsi puskesmas dengan ketidaksinambungan ringan selama tahun 1990 dan 1991.
Dengan adanya penelitian ini dapat diketahui :
1.Pemantauan Wilayah Setempat di D.K.I. telah melembaga.
2.PWS bermanfaat didalam peningkatan proporsi puskesmas yang dapat mencapai target aksesibilitas dan kelengkapan imunisasi selama tahun 1990 dan 1991, juga peningkatan proporsi puskesmas dengan ketidaksinambungan ringan selama tahun 1990.
3.PWS merupakan alat manajemen sederhana yang praktis yang harus dimanfaatkan oleh jajaran kesehatan secara melembaga dalam semua siklus pengambilan keputusan untuk memantau penyelenggaraan program imunisasi."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kus Sularso
"ABSTRAK
Penyakit Tb paru terdapat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Upaya pemberantasan penyakit Tb paru di Indonesia telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, yaitu pada tahun 1908 oleh suatu perkumpulan ( CVT ), yang selanjutnya menjadi yayasan ( SCUT ). Setelah kemerdekaan dilakukan oleh pemerintah, pada tahun 1952 programnya terdiri atas vaksinasi BCG dengan didahului test Mantoux, pengobatan penderita dan penyuluhan kesehatan .
Pemerintah mengharapkan pada akhir Pelita V prevalensi penyakit Tb paru di Indonesia menjadi 2,4 per 1000 penduduk, dan pada tahun 2000 menjadi 2 per 1000 penduduk. Kenyataannya pada awal Pelita V penyakit Tb paru masih dinyatakan sebagai masalah kesehatan di Indonesia.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah : Mendapatkan informasi tentang pengaruh faktor risiko terhadap kejadian Tb paru BTA + dalam rangka meningkatkan kegiatan Program Pemberantasan Penyakit Tb Paru di Kotamadya Surakarta. Secara Khusus yang diteliti adalah pengaruh tinggal serumah dengan tersangka penderita Tb paru, kontak dengan tersangka penderita Tb paru yang tidak berobat, tinggal dirumah yang berventilasi kurang , tinggal dikamar yang berventilasi kurang, tinggal dikamar yang masuknya cahaya matahari kurang, tinggal dirumah yang padat penghuni, pengaruh tinggal dalam kamar yang padat penghuni, kontak lama dengan tersangka penderita Tb paru, pengaruh tinggal dalam kamar yang lenmbab, merokok, terhadap terjadinya kasus Tb paru BTA + di Kotamadya Surakarta.
Penelitian dilakukan dengan metode kasus kontrol. Sebagai kasus dipilih penderita TB Paru BTA + yang berobat ke pelayanan kesehatan dibawah pengawasan Dinas Kesehatan Kotamadya Surakarta. Kontrol diambil dari tetangga terdekat penderita Tb paru BTA +. Cara pemilihan kontrol dilakukan secara acak dengan mengundi diantara penghuni serumah, yang berumur diatas 14 tahun. Data dikumpulkan dengan menggunakan daftar pertanyaan dan isian. Ditentukan kasus sejumlah 202 orang dan kontrol 202 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Faktor risiko yang terbukti mempunyai hubungan dengan terjadinya penderita Tb paru BTA + adalah kontak dengan tersangka penderita Tb paru. Orang yang kontak dengan tersangka penderita Tb paru mempunyai kemungkinan 3,027 ( 1,24 - 7,39 ) kali terkena Tb paru dibanding dengan orang yang tidak kontak dengan tersangka penderita Tb paru Tak ada interaksi antara kontak dengan tersangka penderita
Tb paru dengan faktor risiko tinggal dirumah yang berventilasi kurang , tinggal dikamar yang berventilasi kurang, tinggal dikamar yang masuknya cahaya matahari kurang, tinggal dirumah yang padat penghuni, tinggal dalam kamar yang padat penghuni, tinggal dalam kamar yang lembab, dan merokok.
Faktor risiko ventilasi kamar dan kepadatan penghuni serumah menjadi konfonding antara faktor risiko kontak dengan tersangka penderita Tb paru dengan terjadinya penderita Tb paru BTA +.
Berdasarkan hasil penelitian ini diusulkan untuk mengadakan penelitian dengan mengambil kontrol sedemikian rupa sehingga dapat diketahui faktor lingkungan apakah yang berpengaruh terhadap terjadinya penderita Tb paru BTA +.
Sambil menunggu penelitian yang lebih baik dapat, ditingkatkan penanganan kepada penderita dan kontak serumah , serta ventilasi kamar, dan kepadatan penghuni serumah dalam usaha mengurangi penularan Tb paru di Kotamadya Surakarta sesuai dengan hasil penelitian ini.
Daftar Pustaka : 60 ( 1974 -- 1992 )"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Santoso
"ABSTRAK
Penyakit demam berdarah sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat di Indonesia. Angka kesakitan dan luasnya wilayah terserang dari tahun ke tahun terus meningkat, dimana tahun 1992 angka kesakitan 9,45 % per 100.000 penduduk, meningkat menjadi 22,96 % per 100.000 penduduk tahun 1996. Daerah terserang berjumlah 187 kabupaten tahun 1987, meningkat menjadi 211 kabupaten tahun 1996. Penyakit demam berdarah ditularkan oleh nyamuk Ae.Aegypti dimana vektor ini banyak di jumpai di Indonesia.
Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit demam berdarah telah banyak dilakukan, tetapi faktor-faktor lainnya seperti kepadatan jentik, kepadatan vektor atau hal-hal lain yang sifatnya promotif dan preventif belum banyak dilakukan. Kepadatan jentik di suatu daerah akan berpengaruh langsung terhadap kepadatan vektor. Kepadatan vektor akan mempengaruhi tingkat resiko terjadinya penularan penyakit demam berdarah di suatu tempat.
Dalam penelitian ini membahas hubungan beberapa faktor yaitu frekuensi PSN, keteraturan PSN, jumlah kontainer yang dimiliki serta jumlah kontainer yang diabatisasi dengan indek kontainer. Penelitian dilakukan di Kelurahan Sawangan Lama, menggunakan desain kasus kontrol dengan jumlah sarnpel 367 kasus dan 367 kontrol.
Keterangan tabel, lihat pada PDF
Disarankan bahwa penyuluhan kepada masyarakat dalam hal pelaksanaan PSN harus memperhatikan frekuensi dan keteraturan pelaksanaan, dimana kegiatan PSN harus dilakukan sekurang-kurangnya 1 kali dalarn 1 minggu. Disamping itu diharapkan kepada program pemberantasan penyakit demam berdarah di Indonesia untuk mempertimbangkan penggunaan indikator CI dan BI selain indikator HI yang selama ini dipakai untuk monitoring kepadatan jentik di suatu tempat.

ABSTRACT
Household Factors Connected With Container Index In The District Of Sawangan Lama, Subdistrict Of Sawangan, Regency Of Bogor, In 1999Until now, the disease of dengue is problem of health for the people in Indonesia. The number of illness and the width of area, which is affected from the year-to-year, keep of rising. In 1992, number of illness as much as 9.45 % /100,000 populations, increased into 22.96 %/100,000 people in 1996. The affected area is amount as much as 187 regencies in 1987, increased into 211 regencies in 1996. The mosquito of Ae.Aegypti contaminates the disease of dengue where this vector is much found in Indonesia.
The research on the factors connected with the existence of the disease of dengue has been much performed, but the other factors such as the density of mosquito larva or other which is promotive and preventive are not much performed. The density of mosquito larva in the area will influence the risk level of contagious of dengue in the area.
In this research, it discusses the relation of several factors, namely PSN frequency, PSN orderliness, total owned container and total abated container with the container index. The research is performed in District of Sawangan Lama by using the Case Control design with the total samples as much as 367 cases and 367 controls.
Keterangan tabel, lihat pada PDF
It's suggested the information to the people in the case of PSN implementation should pay attention to the frequency and orderliness of implementation where PSN activity should be performed at least one time in a week. Besides, it's expected to the elimination program of dengue in Indonesia to consider the use of indicator CI and BI, besides the indicator HI, the old one has been used during this time to monitor the density of mosquito larva in the area.
PSN: Breeding places mosquito control.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>