Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kharis Kurnia
"Penelitian ini bertujuan menganalisis dinamika Confidence Building Measures (CBMs) terhadap proliferasi senjata nuklir antara India dan Pakistan. Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik CBMs dalam keterkaitannya dengan proliferasi senjata nuklir. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini menemukan faktor aplikasi CBMs dari segi kepatuhan hukum tidak terpenuhi secara maksimal sehingga mekanisme pengendalian senjata dan perlucutan senjata dalam proliferasi senjata nuklir antara India dan Pakistan tidak berjalan dengan baik.

This study aims to analyse the dynamic of Confidence Building Measures (CBMs) against the nuclear arms proliferation between India and Pakistan. The research is made through identification of CBMs characteristic in its relation with the nuclear arms proliferation. This research uses qualitative method with descriptive design. The result of this research finds that there is a factor in the CBMs application from the legal compliance point of view which is not fulfilled in maximum, hence the control mechanism and disarmament in the nuclear arms proliferation between India and Pakistan does not work properly.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T53235
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Marman Saputra
"Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 dan berlakunya UNCLOS 1982 telah mempengaruhi penggunaan laut untuk kepentingan ekonomi dan pertahanan Indonesia, termasuk penerapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen Indonesia. Di satu sisi, UNCLOS 1982 memberikan manfaat bagi pembangunan nasional yang meningkatkan luas wilayah yurisdiksi nasional. Ini berarti bahwa Indonesia dapat mengambil keuntungan di ZEE dan landas kontinen. Di sisi lain juga meningkatkan kerentanan karena wilayah yang semakin luas. Teori Seapower tentang karakteristik kekuatan negara maritim dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis kegagalan Indonesia menjadi negara maritim.
Penelitian ini dibagi menjadi dua aspek, aspek fisik dan aspek kebijakan. Menurut Alfred T. Mahan bahwa ada enam karakteristik kekuatan negara maritim, yaitu geografi, posisi wilayah, jumlah dan karakter penduduk, karakter nasional dan karakter pemerintah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia gagal menjadi negara maritim, karena minimnya sumber pendukung dari Seapower yaitu minimnya armada niaga, kekuatan angkatan laut, serta pangkalan dan pelabuhan, dan lemahnya kebijakan maritim Indonesia.

The Declaration of Djuanda on December 13th 1957 and the entry into force of UNCLOS in 1982 have influenced the use of the sea for economic and defense interests of Indonesia, including the application of Exclusive Economic Zone (EEZ) and the continental shelf of Indonesia. On one hand, the 1982 UNCLOS provides benefits for national development which increases the extent of national jurisdiction. This also means that Indonesia can take advantages in the ZEE and the continental shelf. On the other hand it also increases vulnerability because of the vast marine area. The Seapower theory about the characteristics of maritime power in this study is used to examine and analyze the failure of Indonesia as a maritime state.
The study is divided into two aspects, the physical aspects and the aspects on policy. According to Alfred T. Mahan, there are six characteristics of maritime state. They are geography, position of the region, number and character of population, national character and character of the government. This study concludes that Indonesia has failed to become maritime state, due to the lack of supporting power as Seapower factors such as the limitation of trade shipping, the limited force of the navy, the limitation of bases and sea ports, and the weakness of Indonesian maritime policy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Widian
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang topik kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Sejak tahun 1990an, Indonesia telah dan terus berperan sebagai fasilitator dialog dalam isu sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia selalu berusaha mengubah nuansa sengketa menjadi lebih kooperatif. Hal ini didukung oleh posisi dasar Indonesia yang bukan sebagai negara klaim di perairan tersebut. Namun, sejak tahun 2009, saat Tiongkok menegaskan klaimnya di Laut Tiongkok Selatan, Indonesia terlihat menegaskan kebijakannya untuk menyatakan kedaulatannya di wilayahnya yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan, walaupun Indonesia tidak mengubah posisi dasarnya dalam isu sengketa tersebut. Hal ini mengindikasikan suatu persepsi ancaman yang dirasakan Indonesia akibat perilaku Tiongkok sehingga Indonesia merasa harus menegaskan kedaulatannya. Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan apa saja faktor yang mungkin dapat mengancam Indonesia di Laut Tiongkok Selatan dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Dalam menjawab pertanyaan ini, artikel ini akan merujuk pada teori Perimbangan Ancaman Balance of Threat oleh Steven Walt dan konsep Perimbangan Intensitas Ringan. Untuk mengaplikasikan teori dalam analisis, data-data dalam penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduktif. Dalam analisis, penelitian ini menemukan bahwa perilaku Tiongkok di wilayah Indonesia yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan sejak tahun 2009 memberikan persepsi ancaman bagi Indonesia terkait keamanan wilayahnya dan mendorong Indonesia melakukan perimbangan terhadap ancaman tersebut, walau Indonesia tetap memposisikan diri bukan sebagai negara klaim. Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia telah melakukan perimbangan terhadap ancaman yang dihasilkan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

ABSTRACT
AbstractThis research talk about Indonesian Policy in The South China Sea. Since 1990s, Indonesia has been played a role of dialogue falisitator in the South China Sea Disputes. Indonesia always tried to change the disputes environtment to become more cooperative. This role is supported by Indonesia rsquo a posisition as non claimant states in the issue. However, since 2009, when China rsquo s claim assertiveness rised, Indonesia seems to affirm its policy to assert its sovereignity in its territory that which intersects with The South China Sea, eventhough Indonesia still maintain its non claimant status. This indicated that Indonesia already feels some threat perseptions because of China rsquo s assertiveness and policy so that Indonesia urge to reaffirm its sovereignty in its territory. Seeing this, the question arises as to what factors might threaten Indonesia in the South China Sea and how these factors influence Indonesia 39 s policies in the South China Sea. In answering this question, this research will refer to the theory of the Balance of Threat by Steven Walt and the concept of Low Intensity Balancing. To apply the theory in analysis, the data in this research will use qualitative research method with deductive approach. In the process, the study found that China rsquo s behavior in Indonesian territory intersecting with the South China Sea since 2009 provided a threat perception for Indonesia and encouraged Indonesia to balance the threat, although Indonesia remained positioned as a non claimant country. Thus, this study concluded that Indonesia has use balancing policy to balance the threat produced by China in the South China Sea. "
2018
T51184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Lupita Sari
"Lingkungan strategis di era kontemporer telah berubah dan berpengaruh terhadap dinamika keamanan dalam sistem internasional. Perang dilakukan tidak hanya mengandalkan penggunaan kekuatan konvensional, tetapi kombinasi dengan instrumen non konvensional. Strategi hybrid warfare merupakan strategi yang diterapkan Rusia untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan dengan mengkombinasikan kekuatan konvensional dan non konvensional. Penerapan strategi hybrid warfare tersebut mengakibatkan persepsi ancaman bagi Estonia sebagai salah satu negara bekas Soviet yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan mengapa Estonia memiliki persepsi ancaman terhadap penerapan strategi hybrid warfare Rusia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor historis hubungan Estonia-Rusia, pengalaman ancaman di masa lalu, dan intensi Rusia dalam memproyeksikan ancaman hybrid merupakan faktor yang mempengaruhi persepsi ancaman Estonia. Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, Estonia meningkatkan komitmen pertahanan kolektif NATO, meningkatkan kekuatan pertahanan, dan mengeluarkan kebijakan pertahanan siber serta disinformasi.

The strategic environment in the contemporary era has changed and influenced the dynamics of security in the international system. War carried out does not only rely on the use of conventional forces, but also combines with non conventional instruments. Hybrid warfare strategy is a strategy applied by Russia to increase its influence in the region by combining the strength of conventional and non conventional instruments. The adoption of the hybrid warfare strategy poses a threat perception for Estonia as one of the former Soviet countries with high levels of vulnerability. This raises the question of why Estonia has a perception of Threat to the application of hybrid warfare strategy. This research is a qualitative research with case study method. The results show that the historical factors of Estonian Russian relation, previous experiences of threat, and Russian intentions in projecting hybrid threat were factors that influence Estonia rsquo s threat perception. To anticipate the threat, Estonia increased NATO 39 s collective defense commitment, increased defense force, and issued cyber defense policies and disinformation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T51246
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Arfakhsadz Putera
"Pembekuan konflik adalah suatu fenomena konflik yang tidak bisa terselesaikan secara penuh dan tidak ada kesepakatn damai. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa fenomena pembekuan konflik terhadap situasi keamanan di Ukraina Timur. Revolusi Maidan mengakibatkan Ukriana sebagai suatu negara berdaulat mengalami traksi konflik berkepanjangan dengan kekuatan pemberontak bersenjata yang merupakan proxy dari Rusia. Penggunaan pembekuan konflik merupakan salah satu instrument koersif bagi Rusia untuk tetap mengendalikan Ukraina dalam pengaruh kekuasaan hegemoni regionalnya. Studi ini menggunakan metode analisis level sistem internasional yang berdasarkan pada paradigma neorealisme klasik. Hasil dari analisa tersebut kemudian disimpulkan dengan penyebab asal mengapa suatu konflik dapat mengalami pembekuan.

Frozen conflict is a phenomenon where a conflict cannot be fully resolved, and there is no peaceful agreement to end it. This research aims to analyze the frozen conflict in relation to the security situation in Eastern Ukraine. The Maidan Revolution resulted in Ukraine; as a sovereign state, experiencing the prolonged conflict traction with armed repel forces that serve as proxies for Russia. The use of frozen conflict is one coercive instrument for Russia to maintain control over Ukraine within its regional hegemonic power. This study employs the method of analysis at the international system level based on the classical neorealism paradigm. The analysis results are then concluded with the original causes of why a conflict can evolve to a “freezing” period.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Gibraltar Andibya Muhammad
"Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa (Brexit) menjadi salah satu kasus dari rentetan gelombang populisme global yang banyak dikaji oleh akademisi lintas disiplin, terutama ilmu sosial, politik dan budaya. Bila ditelaah melalui perspektif Ilmu Hubungan Internasional, Brexit menjadi salah satu studi kasus yang berhasil menunjukkan signifikansi berbagai bentuk wacana politik identitas dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Merujuk pada gambaran besar tersebut, penelitian ini bertujuan untuk meninjau literatur-literatur akademik yang membahas mengenai wacana politik identitas dalam Brexit. Adapun jenis literatur yang digunakan berupa berupa berupa artikel jurnal, buku dan bab dalam buku akademik. Tulisan ini adalah tinjauan literatur akademik yang menggunakan metode pengorganisasian taksonomi dengan cakupan 33 literatur akademik terakreditasi yang dikelompokkan ke dalam empat tema besar, yakni (1) Tinjauan Historis Hubungan Britania Raya dengan Eropa, (2) Aktor yang Berperan dalam Reproduksi Wacana Politik Identitas, (3) Ragam Bentuk Wacana Politik Identitas yang Muncul, dan (4) Interseksi Wacana Politik Identitas dengan Faktor Sosio-Ekonomi. Penulis menemukan bahwa faktor historis dan kejayaan masa lalu membuat independensi dan kepemimpinan yang kuat menjadi satu identitas yang berupaya dipertahankan dan Brexit merupakan upaya Britania Raya untuk dapat keluar dari tekanan Uni Eropa yang dianggap membahayakan dua hal tersebut. Pada akhirnya tulisan ini melahirkan sebuah kesimpulan, yakni ragam wacana politik identitas yang terus berkembang nantinya sangat didorong oleh kompleksitas domestik sebagai hasil dari interaksi antara aktor di tingkat elit dan di tingkat publik dalam menginterpretasikan tekanan di tingkat internasional. Kuatnya nuansa historis dalam mendorong praktik politik identitas dalam Brexit pada akhirnya membuat Brexit menjadi satu manifestasi tersendiri di mana faktor identitas mampu melampaui perhitungan rasional, terutama dalam aspek ekonomi.

The exit of the United Kingdom from the European Union (Brexit) is one of the cases of a series of waves of global populism which has been widely studied by academics across disciplines, especially social, political and cultural sciences. When examined through the perspective of International Relations, Brexit is one of the case studies that successfully demonstrates the significance of various forms of identity political discourse in influencing a country's foreign policy. Referring to this big picture, this study aims to review academic literature that discusses the discourse of identity politics in Brexit. The type of literature used is in the form of journal articles, books and chapters in academic books. This paper is a review of academic literature that uses a taxonomic organization method covering 33 accredited academic literature which are grouped into four major themes, namely (1) Historical Review of the Relations between Great Britain and Europe, (2) Actors Playing a Role in the Reproduction of Identity Political Discourse, (3) Various Forms of Identity Political Discourse Appears, and (4) Intersection of Identity Political Discourse with Socio-Economic Factors. The author finds that historical factors and past glories have made the identity as a nation with independence and strong leadership is necessary to be maintained. Brexit is an attempt by the United Kingdom to get out of European Union pressure which is considered dangerous to these two elements. In the end, this paper gives birth to a conclusion, namely that the variety of identity politics discourse that continues to develop are strongly driven by domestic complexities as a result of interactions between actors at the elite level and at the public level in interpreting pressures at the international level. The strong historical overtones in encouraging the practice of identity politics in Brexit ultimately emphasize Brexit as a manifestation in which the identity factor was able to go beyond rational calculations, especially in the economic aspect."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Fransiska Indriana Vita Sari
"Pasca Tragedi 9/11, negara-negara di dalam sistem internasional diminta untuk mendukung dan mengadopsi kampanye Global War on Terror dalam merespon ancaman terorisme. Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung kampanye ini. Selain karena terekspos rezim dalam sistem internasional, Indonesia juga mengalami ancaman terorisme dari dalam negeri. Seiring dengan berjalannya waktu, pilihan tindakan Indonesia pun berkembang: dari hanya patuh terhadap rezim kontraterorisme yang berlaku dan menerima bantuan, menjadi aktor yang turut menggerakkan agenda kontraterorisme dalam berbagai forum multilateral. Indonesia bahkan dapat dikatakan sebagai “lead sharper” kebijakan kontraterorisme di Asia Tenggara. Melihat perkembangan Indonesia dalam kebijakan luar negerinya, menarik untuk menilik bagaimana isu kontraterorisme berdinamika dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan: “Apa bentuk kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh Indonesia untuk memenuhi kebutuhan kontraterorisme selama 2001-2019? Apa saja faktor yang mempengaruhi pilihan kebijakan tersebut?” Pertanyaan ini akan coba untuk dijawab dengan menggunakan analisis realisme neoklasik dalam tiga pemerintahan di Indonesia. Dengan menjawab pertanyaan tersebut, diharapkan penelitian ini dapat melacak upaya kontraterorisme yang dilakukan Indonesia selama delapan belas tahun ke belakang dan mampu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan tersebut.

After the 9/11 Tragedy, countries in the international system were asked to support and adopt the Global War on Terror campaign in responding to the threat of terrorism. Indonesia was one of the countries that supported this campaign. Apart from being exposed of the regime in the international system, Indonesia was also facing the threat of terrorism from its domestic sphere. Over time, Indonesia's choice of action has also grown: from only obeying the prevailing counterterrorism regime and receiving assistance, to being an actor who helps move the counterterrorism agenda in various multilateral forums. Indonesia can even be said to be the "lead sharper" of counterterrorism policies in Southeast Asia. Seeing Indonesia's development in its foreign policy, it is interesting to see how the counterterrorism issue is having its dynamic with foreign policy to achieve the country’s goals. Thus, this research seeks to answer the question: “What form of foreign policy was carried out by Indonesia to meet counterterrorism needs during 2001-2019? What were the factors that influenced this policy choice?” These questions will be answered using an analysis of neoclassical realism in Indonesia’s three reign governments. By answering these questions, it is hoped that this research will be able to trace Indonesia's counterterrorism efforts over the past eighteen years and analyze the factors that influenced these choices."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eghy Mario Pratama
"Peperangan di era modern menunjukkan karakteristik yang mengabur dan bercampur, baik dalam hal keterlibatan aktor dan/atau instrumen yang digunakan, membuat kita berkutat dalam zona abu-abu antara perang dan damai. Hal inilah yang tergambar dalam konsep perang hibrida dalam ilmu Hubungan Internasional. Konsep ini mengakomodasi unsur kapabilitas konvensional, formasi dan taktik tak reguler, teroris, dan aksi kriminal. Diperkenalkan pada tahun 2007 oleh mantan perwira Amerika Serikat, Frank Hoffman, konsep ini mendapatkan momentum puncaknya mulai tahun 2014. Kala itu, dunia internasional diramaikan oleh manuver politik Rusia dalam Krisis Ukraina. Sejak saat itu, konsep ini semakin sering dibahas secara akademis dan biasanya menyebutkan aksi Rusia sebagai contoh kasus utama. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa konsep perang hibrida ala Barat ini dianggap kurang tepat untuk menjelaskan aksi Rusia yang demikian. Maka dari itu, muncullah konsep Gibridnaya Voyna atau perang non-linear ala Rusia, yaitu sebuah doktrin perang yang diilhami dari Jenderal Rusia bernama Valery Gerasimov (Doktrin Gerasimov). Kehadiran konsep perang hibrida dalam dua perspektif berbeda ini pun mendominasi perdebatan akademis arus utama. Sejak kemunculannya hingga sekarang, konsep perang hibrida ini terus diperdebatkan esensinya. Maka dari itu, tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk meninjau bagaimana perdebatan literatur akan konsep tersebut berkembang.
Tulisan ini meninjau 60 literatur terakreditasi internasional mengenai konsep perang hibrida. Menggunakan metode taksonomi, literatur-literatur tersebut terbagi ke dalam tiga kategori tematis, yaitu: (1) tinjauan konsep perang hibrida, berdasarkan sudut pandang Barat dan Rusia; (2) aktor-aktor yang terlibat dalam perang hibrida; dan (3) relasi perang hibrida dengan terma peperangan lainnya. Dari tinjauan pustaka yang dilakukan, tulisan ini lalu berupaya untuk menyingkap konsensus, perdebatan, serta kesenjangan literatur yang ada dalam perdebatan konsep tersebut. Selanjutnya, tulisan ini turut menampilkan sejumlah tren dalam perkembangan literatur konsep perang hibrida yang ada, seperti tren yang didasarkan pada: (1) latar belakang historis; (2) persebaran tema yang diangkat; (3) sudut pandang aktor; dan (4) posisi akademis. Dari identifikasi demikian, diketahui bahwa tinjauan konsep perang hibrida menjadi tema mayoritas dalam perdebatan literatur, dengan realisme sebagai paradigma yang paling dominan digunakan oleh para cendekiawan. Terakhir, tulisan ini menghadirkan beberapa rekomendasi bagi berbagai pihak ke depannya dalam konteks hadirnya konsep perang hibrida, baik dalam segi akademis, empiris, maupun praktis.

War in the modern era shows blurred and blended characteristics, be it in terms of actors involvement and/or the instruments used, leaving us struggling in the grey zone between war and peace. This is what is reflected in the concept of hybrid warfare in International Relations. This concept accommodates the elements of conventional capabilities, irregular formation and tactics, terrorist, and criminal acts. Introduced in 2007 by former United States officer Frank Hoffman, this concept gained its peak momentum starting in 2014. At that time, the international world was enlivened by Russian political maneuver in the Ukraine Crisis. Since then, the concept has increasingly been discussed academically and usually cites Russian action as a prime case example. However, other opinions state that the Western concept of hybrid warfare is considered unsuitable to explain such Russian action. Therefore, the concept of Gibridnaya Voyna or Russian's non-linear warfare emerged, which is a war doctrine inspired by the Russian General named Valery Gerasimov (Gerasimov Doctrine). The presence of hybrid warfare concept in these two different perspectives dominated the mainstream academic debate ever since. Since its emergence until now, the very essence of hybrid warfare concept continues to be debated. Therefore, this paper aims to review how the literature debate about the concept has developed.
This paper reviews 60 internationally accredited literature on hybrid warfare concept. Using taxonomic methods, the literature is divided into three thematic categories, namely: (1) review of hybrid warfare concept, based on Western and Russian perspectives; (2) actors involved in hybrid warfare; and (3) the relation of hybrid warfare concept to other war terms. From the literature review conducted, this paper then seeks to unveil the conventional wisdoms, debates, and gaps found in the literature debate over the concept. Furthermore, this paper also shows a number of trends in the development of the existing literature of hybrid warfare concept, such as trends based on: (1) historical background; (2) distribution of themes raised; (3) actor's perspective; and (4) academic position. From this identification, it is known that the review of hybrid warfare concept is the majority theme found in the literature, with realism being the most dominant paradigm used by scholars. Finally, this paper presents several recommendations for various parties in the context of the hybrid warfare concept's existence, be it in academic, empirical, or practical sense.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Sufriana Nur Utami
"Tesis ini menganalisis bagaimana kebijakan Tiongkok dalam sektor antariksa pasca program Anti-satelit di tahun 2007. Permasalahan dimulai pada penembakan senjata ASAT oleh Tiongkok pada tahun 2007 dimana program ini mendapat respon negatif dari negara negara lain terhadap setiap aktivitas antariksa Tiongkok. Hal inipun dinilai dapat memicu terjadinya perlombaan senjata di sektor antariksa. Di sisi lain Tiongkok memiliki peran yang sangat besar dalam Asia - Pacific Space Cooperation Organization (APSCO) yang merupakan organisasi kerjasama keantariksaan di luar sistem PBB untuk wilayah Asia Pasifik. Kerjasama multilateral ini terdiri dari Tiongkok, Bangladesh, Tiongkok, Iran, Mongolia, Pakistan, Peru, dan Thailand. Penulis menganalisis melalui bentuk kerjasama ataupun program program dalam APSCO. Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pengambilan data melalui studi dokumen. Untuk menganilis kepentingan Tiongkok dalam APSCO pasca program ASAT ditahun 2007, penulis akan menggunakan konsep Transparancy and Confidence Building Measure (TCBMs) sebagai perspektif dan Analisa utama. Melalui komponen utamanya, yaitu pertukaran informasi dalam kebijakan di sektor antariksa, pertukaran informasi kegiatan antariksa, notifikasi pengurangan resiko, dan kontak dan kunjungan ke situs antariksa menghasilkan temuan atas strategi yang dilakukan Tiongkok dalam APSCO. Temuan utama penelitian ini adalah Tiongkok melakukan strategi untuk mendapatkan kepercayaan atau trust building pada aktivitas antariksanya melalui program program di dalam APSCO. Sangat penting untuk Tiongkok meningkatkan kepercayaan internasional dalam upaya memperluas pengaruhnya pada sektor antariksa.

This thesis analyzes how China's policies in the space sector after the Anti-satellite program in 2007. The problem started with China's firing of ASAT weapons in 2007 where this program received a negative response from other countries to China's space activities. This, too, is considered to be able to trigger an arms race in the space sector. On the other hand, China has a very big role in the Asia - Pacific Space Cooperation Organization (APSCO), which is a space cooperation organization outside the United Nations system for the Asia Pacific region. This multilateral cooperation consists of China, Bangladesh, China, Iran, Mongolia, Pakistan, Peru and Thailand. The author analyzes through the form of cooperation or program programs in APSCO. The author uses qualitative research methods by collecting data through document study. To analyze China's interest in APSCO after the ASAT program in 2007, the author will use the concept of Transparency and Confidence Building Measure (TCBMs) as the main perspective and analysis. From main components, namely the exchange of information on policies in the space sector, exchange of information on space activities, notification of risk reduction, and contacts and visits to space sites resulted in findings on China's efforts in APSCO. The main finding of this research is that China is making efforts to gain trust in its space activities through programs within APSCO. It is imperative for China to increase international confidence in its efforts to expand its influence in the space sector."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Archellie, Reynaldo de
"Tesis ini membahas pelibatan Rusia dalam kerangka kerjasama keamanan di kawasan Asia Timur. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kepustakaan. Hasil penelitian ini meyimpulkan bahwa pelibatan Rusia dalam kerangka kerjasama keamanan di kawasan Asia Timur dapat dijelaskan dengan menggunakan faktor kekuatan militer, ekonomi, politik, dan penerimaan Rusia sebagai kekuatan baru di kawasan. Pelibatan Rusia di kawasan Asia Timur sejak tahun 1994 membuktikan kekeliruan teoretis salah satu premis dalam paradigma neorealisme yang menyatakan bahwa struktur multipolar realtif tidak stabil dibanding biopolar. Kawasan Asia Timur relatif stabil dengan struktur multipolar sejak berakhirnya Perang Dingin. Mekanisme balance of power di kawasan Asia Timur dilakukan dalam kerangka dialog keamanan multilateral yang konstruktif.

The focus of this study is the Russia`s engagement into East Asian security cooperation. The purpose of this study is to understand why Russia has been engaged into East Asian security cooperation. This study summarizes that Russia`s engagement into East Asian security cooperation can be explained by military, economic, and political power, and the acceptance of Russia as a new great power in the region. Russia`s engagement in East Asia since 1994 has proved theoretical fallacy of the stability of multipolar structure thesis of neorealism instead of bipolar. Multipolar structure of East Asia since the end of the Cold War has been relatively stable. Balance of power mechanism in East Asia achieved by constructively multilateral security dialog."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30335
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>