Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Patricia Simandjaja
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2005
T58333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvia Francina Lumempouw
"latar belakang : Cedera kranioserebral menyebabkan gejala sisa kecatatan fisik dan fungsi kortikal luhur, antara lain menyebabkan amnesia pasca cedera yang dinilai berdasarkan Test Orientasi Amnesia Galwston (TOAG). P 300 auditorik berfungsi sebagai alat ukur secara elektroneurofisiologi yang diduga mempunyai korelasi dengan amnesia pasca cedera (APC) kranioserebral. Metodologi : Penelitian berdasarkan penelitian ldinik prospektif seksi silang dengan statistik diskriptif dan analitik. Diteliti 60 penderita CK tertutup yang dirawat di bangsal Neurologi RSUPNCM (30 CKR dan 30 CKS) serta 60 orang normal dart karyawan RSUPNCM. Penderita (Skala Koma Glasgow awal 9-15) dan orang normal telah lulus SO, dengan umur 20-40 tahun. Pada penderita dilakukan pengukuran TOAG dan masa laten P 300 auditorik pada hart yang sama setelah mencapai SKG 15, pada orang normal diukur masa laten P300 auditorik. Dianalisa masa laten P 300 penderita CK tertutup dan masa laten P 300 orang normal kemudian hubungan masa Iaten P 300 dengan APC kranioserebral. Hasil penelttlan : Rerata masa laten P 300 orang normal mempunyai hubungan regresi tinier positif dengan bertambahnya umur (p = 0,0001). Rerata masa laten P 300 penderita CKR (p = 0,0005) dan CKS {p =0,0005) bermakna memanjang dibandingkan rerata masa laten orang normal, tetapi pada penderita CKR distrtbusi masa laten P 300 dalam area 95 % ( + 2SO) kurva normal untuk masa laten P 300 orang normal. Sedangkan distribusi masa laten P 300 penderita CKS 93% diluar area 95 %(+2SO) kurva normal p = 0,0005 dan 43% diluar area 99,7% (+3SD) kurva normal (rerata rnasa Iaten P300 CKS "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T58417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Sugianto
"Latar belakang dan tujuan: Dalam dekade terakhir. penggunaan PCS termasuk N. Tibialis posterior, semakin dirasakan manfaatnya Kegunaannya terutama untuk memperkirakan keluaran dari penderita gangguan medula spinalis. Hasil perekaman PCS dapat dikatakan normal ataupun abnormal tergantung dari nilai normal yang sudah didapat sebelumnya, dalam hal ini masa laten dan amplitudo. Saat ini nilai normal yang dipakai berasal dari rujukan luar negeri. Terdapat kemungkinan nilai normal tersebut kurang tepat dipakai untuk orang Indonesia dikarenakan perbedaan yang ada antara orang Indonesia dan Non Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rerata nilai normal masa laten dan amplitudo PCS N. Tibialis posterior orang dewasa Indonesia. Metode: Perekaman PCS N. Tibialis posterior diambil dari para sukarelawan di lingkungan bagian Ilmu Penyakit Saraf FKUI RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai bulan Desember 1997 sampai Juli 1998. Analisis statistik menggunakan metode uji-t, dan uji regresi linier dan multivariat. Hasil Rekaman dilakukan pada 104 subyek, terdiri dari 52 pria dan 52 wanita, berusia antara 15-50 tahun. Hasilnya adalah sebagai berikut (1) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten pria dan wanita, (2) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten dari tungkai kanan dan tungkai kiri; (3) terdapat korelasi yang bermakna antara usia ataupun tinggi badan dengan masa laten, di mana semakin tua ataupun tinggi seseorang masa latennya semakin panjang, dan (4) hanya pada usia saja terdapat hubungan yang bermakna dengan amplitudo, di mana semakin tua seseorang amplitudonya semakin kecil. Oleh karena itu, usia dan tinggi badan harus diperhatikan saat mengevaluasi hasil perekaman PCS N. Tibialis posterior."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Basuki
"Tujuan penelitian : Mendapatkan nilai rerata orang dewasa normal tentang (1) n peroncus dan n.tibialis serta PAST n.suralis, (2). Mengamati apakah usia, jenis kelamm dan panjang tungkai mempengaruhi nilai rerata yang didapat, (3). Mengamati apakah terdapat perbedaan antara tungkai kanan dan kiri. Subyek penelitian : Meliputi 50 orang yang terdiri dari 26 orang pria dan 24 orang wanta di lingkungan bagian ilmu penyakit saraf FKUI-RSUPNCM, Jakarta; usia 16-50 tahun, dalam keadaan normal dan schat. Tempat penelitian : Laboratonum EMG-Evoked potential bagian ilmu penyakit saraf FKUI RSUPNCM, Jakarta, data dikumpulkan dari Desember 1997 s./d. Mei 1998. Pemeriksaan : Dilakukan terhadap (1). N.peroneus, n.tibialis dan n.suralis dengan alat EMG Medelec MS-6 II, (2). Data yang didapat dicatat secara manual kemudian diolah dengan komputer di bagian statistik ilmu kesehatan masyarakat FKUI-RSUPNCM. Hasil: Dari analisa statistik didapatkan (1). Pengaruh jenis kelamin terhadap (a) PAOT n.peroneus didapatkan perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita pada latensi proksimal tungkai kanan dan tungkai kiri, sedangkan KHS dan latensi F pada tungkai kiri, (b) PAOT n.tibialis didapatkan perbedaan bermakna antara pra dan wanita pada amplitudo F tungkai kanan, (c). PAST n.suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna baik pada tungkai kanan maupun tungkai kini. (2) Pengaruh usia terhadap (a). PAOT n.peroncus tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua tungkai, (b). PAOT n.tibialis didapatkan perbedaan bermakna pada amplitudo tungkai kiri, (c) PAST n suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua tungkai. (3). Pengaruh panjang tungkai terhadap PAOT nperoneus, n.tibialis dan PAST n suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna pada semua parameter. Kesimpulan : Secara umum (1). PAOT n peroncus dari subyek yang diteliti dipengaruhi oleh (a). Jenis kelamin latensi proksimal tungkai kanan dan kin pada pria lebih panjang daripada wanita KHS pria lebih cepat daripada wanita, (b). usia dan panjang tungkai tidak mempengaruhi nilai yang didapat (2). PAOT n tibialis, (a) Jenis kelamin : amplitudo F pada pria lebih tinggi daripada wanita, (b). Usia : amplitudo dipengaruhi oleh usia, yaitu makin tua usia amplitudo makin rendah, (3). Panjang tungkai : tidak mempengaruhi nilai yang didapat. (3). Pada penelitian ini PAST n suralis tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan panjang tungkai. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darma Imran
"Objectives - To determine prevalence of distal sensory polyneuropathy (DSP) in HIV infected patients, whether clinical manifestation are affected by HIV disease stage, CD4 cell count or other clinical variables. Methods - Seventy-two of HIV patients attending Pokdisus out-patient clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital in July to September 2004 were included in this cross sectional study after excluding confounding factors. An interview focusing on risk and symptoms of DSP, neurologic examination and electroneurography study were performed. DSP was diagnosed if subjects had simptoms of peripheral neuropathy in distal limb, decreased or absent ankle jerks, decreased or absent vibratory perception at the toes and electroneurographic evidence of polyneuropathy. A p value of < 0,05 was considered significant Results - Of the 72 patients 52 were classified as AIDS and 20 as asymptomatic HIV. The majority of patients were males 62 (86.1%). The ages of patients ranged from 21 - 45 years, mean 26.9 years. Risk factors for HI\! were IDU in 73.6% and sexual in 26.4%. CD4 cell count ranged from 1 to 1562 sellmm3 , median 113 sellmm3 . Clinical and electroneurographic evidence of DSP was revealed in 20.8% (15172) of the patients. Significant associatior. between lower CD4 count and DSP was found (p=0.002). Conclusion - DSP was found in 20.8% of the patients. Subjed with low CD4 cell count commonly-have DSP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2005
T58423
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hartono
"Latar belakang : Angka kejadian dan kematian penderita cedera kranio-serebral cukup tinggi. Dalam upaya memperkecil angka kematian dan kecacatan penderita cedera kranio-serebral diperlukan sarana untuk memprediksi keluaran pada cedera kranio-serebral. Berbagai penelitian untuk memprediksi ke1uaran telah dilakukan, diantaranya pemeriksaan neuro-fisiologis seperti PCAB (potensial cetusan auditori batang otak). Metodologi : Pemeriksaan PCAB dilakukan dengan menggunakan alat peme riksaan potensial cetusan Mede1ec ER 94a1sensor dengan stimulasi Mede1ec ST 10 sensor di laboratorium EMG bagian Neurologi RSUPNCM terhadap 58 penderita cedera kranio-serebral dengan SKG 5-10 usia 20-50 tahun yang dirawat di bagian Neurologi RSUPNCM dalam waktu 6-72 jam pertama dengan memperhatikan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan. Dilakukan klasifikasi gambaran PCAB dan keluaran (contracted scale Glasgow Outcome Scale) dalam 10 hari perawatan dan dilakukan uji statistik korelasi PCAB dengan keluaran dengan tingkat kemaknaan p=0,05. Basil penelitian: PCAB normal didapatkan pada 53,45% penderita dan PCAB abnormal didapatkan pada 46,55% penderita. Pemanjangan latensi antar ge10m bang unilateral didapatkan pada 32,76%, pemanjangan bilateral pada 3,450/0, dan hanya timbul gelombang I unilateral pada 10,34% penderita. Tidak didapatkan penderita dengan hanya timbul gelombang I bilateral. Sebagian besar penderita (74,08%) mengalarni pemanjangan latensi antar gelombang Ill-V, 3,7% penderita dengan pemanjangan latensi antar gelombang I-V. Keluaran baik terjadi pada 43,4% dan keluaran buruk. terjadi pada 56,6% penderita. keluaran baik terjadi pada 76,42% penderita dengan PCAB normal dan keluaran buruk terjadi pada 88,890/0 penderita dengan PCAB abnormal. Secara statistik terdapat perbedaan bennakna antara keluaran penderita dengan PCAB normal dan PCAB abnormal dan makin berat ke1ainan PCAB maka kemungkinan keluaran buruk lebih besar (p<0,05). Kesimpu/an Kata kuoci PCAB dapat memprediksi keluaran buruk. pada penderita cedera kranio-serebral dengan akurat.

Background: The morbidity and mortality rate of craniocerebral injury patients is quite high. An adequate equipment is needed to predict the outcome of craniocerebral injury to reduce the mortality and prevent more disability. Several researches for predicting the outcome have already been done, such as neurophy siological studies like BAEP (Brainstem Auditory Evoked Potentials). Method : BAEP studies have been done, using Medelec ER 94a / ST 10 equip ment at the EMG-EP laboratory of the Department of Neurology of the Cipto mangunkusumo Hospital, in 58 craniocerebral injured patients with a Glasgow Coma Scale between 5-10, age 20-50, who were admitted to the Neurology ward of the Ciptomangunkusumo Hospital within the first 6-72 hours by looking at the inclusion and exclusion criteria. Statistic evaluation have been done to classify the correlation of BAEP abnonualities with the 10 days outcome (contracted scale of Glasgow Outcome Scale) with a significance ofp = 0.05. Result : Normal BAEP are found in 53.45% patients and abnormal ones are found in 46.55% patients. A unilateral extended interpeak latency was found at 32.76% and 3.45% had a bilateral prolongation and 10.34% only had a unilateral first peak. Most of the patients (74.08%) had a prolongation of the III-V interpeak latency, 3.7% patients had a prolongation of the I-V interpeak latency. 43.4% patients had a good outcome and 56.6% a bad outcome. Good outcome occurred at 76.42% patients with normal BAEP and bad outcome occurred at 88.89% patients with abnormal BAEP. Statistically, there is a significant difference between the outcome of patients with normal and abnormal BAEP, and the probability for a bad outcome was more in the presence of severe BAEP abnormalities (p<0.05). Conclusion: BAEP is able to predict the outcome of craniocerebral injury patients acurately.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T58370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Tjen
"LATAR BELAKANG DAN TUJUAN : Potensial cetusan somatosensorik telah banyak digunakan dalam penelitian strok. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan korelasi antara derajat kekuatan motorik dan potensial cetusan somatosensorik pada penderita dengan serangan pertama strok iskemik. METODOLOGI : Telah diteliti 44 penderita (usia rerata 52 tahun) strok iskemik. Evaluasi klinis mencakup penentuan derajat kekuatan motorik dan perekaman potensial cetusan somatosensorik dilakukan pada waktu bersamaan dalam kurun waktu 3-5 hari setelah saat serangan. Penentuan kekuatan motorik menggunakan skala Medical Research Council. HASIL : Kelainan potensial cetusan somatosensorik ditemukan pada 36,36% penderita strok iskemik. Analisis statistik menunjukkan adanya pemanjangan masa konduksi sentral yang bermakna pada sisi lesi(t=2,17; p=O,037). Korelasi yang bermakna ditemukan antara derajat kekuatan motorik dengan potensial cetusan somatosensorik(p=O,00157). KESIMPULAN : Hasil penelitian ini menunjukkan cukup banyak kelainan potensial cetusan somatosensorik pada penderita strok iskemik. Ada korelasi yang bermakna antara derajat kekuatan motorik dengan potensial cetusan somatosensorik.

BACKGROUND AND PURPOSE; Somatosensory evoked potentials have been widely applied in the study of stroke. The aim of this study is to detennine the correlation between the severity of motor paresis and somatosensory evoked potentials in patients with first attack of ischemic stroke. METHODS; Forty four patients (average age 52 years) were evaluated within 3-5 days after symptom onset. In the clinical assessment a quantitative evaluation of motor paresis using the Medical Research Council scale was included. Somatosensory evoked potentials were recorded once at the same time. RESULTS ; Somatosensory evoked potential abnormalities were found in 36,36% of the patients. The statistical analysis indicated a significant prolongation of the central conduction time of the affected side compared with that of the unaffected side (t=2,17; p=O,037). There was a significant correlation between the severity of motor paresis and somatosensory evoked potentials (p=O.00157). CONCLUSIONS; Our study demonstrates that somatosensory evoked potential abnonnalities are common in patients with ischemic stroke and that somatosensory evoked potential abnormalities correlate with the severity of motor paresis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T58341
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Tiksnadi
"Latar belakang: Penegakkan diagnosis gangguan pemusatan perhatianlhiperaktivitas (GPPH), suatu gangguan perilaku terbanyak pada anak usia SD, dilakukan secara subjektif. Anak GPPH menunjukkan berbagai spektrum gangguan kognitif yang sering menyebabkan kegagalan fungsi kehidupan sosial dan akademik. Pemeriksaan P300 event-related potential (ERP) merupakan teknik pemeriksaan neurofisiologis yang wring digunakan untuk meuilai fungsi kognitif secara objektif.
Tujuan: Untuk mengetahui profil pemeriksaan P300 pada anak GPPH.
Metoda: studi potong lintang pemeriksaan ERP auditorik diskriminasi 2 nada pada 75 anak GPPH yang memenuhi kriteria inklusi. Performa motorik dan gelombang ERP yang timbal terhadap nada target direkam dan dianalisis.
Hasil: Rerata kecepatan reaksi, hits, dan latensi gelombang P300 didapatkan berbeda bermakna antara tipe-tipe GPPH (inatentif, hiperaktif, dan kombinasi). Anak GPPH dengan komponen inatentif menunjukkan kecepatan reaksi dan latensi gelombang P300 yang memanjang (p<0.001), serta hits yang lebih rendah (p<0.01). Commission error cenderung lebih tinggi pada anak GPPH dengan komponen hiperaktif. Pada anak GPPH tipe hiperaktif juga taxnpak kecenderungan respon motorik yang mendahului terbentuknya gelombang P300. Amplitudo gelombang P300 pada sadapan frontal ditemukan lebih tinggi pada anak GPPH tipe inatentif.
Kesimpnlan: Pemeriksaan P300 auditorik diskriminasi 2 nada dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif anak GPPH. Inatentivitas dan hiperaktivitas rnempengarubi performa motorik dan latensi gelombang P300. Amplitudo yang tinggi di area frontal mungkin merupakan mekanisme kompensasi anak GPPH dalam upaya mengatasi gangguan atensi yang terjadi.

Background: Subjective behavioral assessment of attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD), the most common pediatric behavioral disorder in school-aged children, has norm to date. Children with ADHD commonly show some spectrums of cognitive dysfuction; accounting for many social and learning problems. P300 event-related potential (ERP), as a neurophysiological technique, provides measurements of speck cognitive domains objectively.
Objective: To investigate profiles of P300 ERP in school-aged children with ADHD.
Method: Auditory ERP two-tone discimination ('oddball') paradigms were recorded from 75 children diagnosed with ADHD (inattentive, hyperactive, and combined type). Motor performances and ERPs elicited to target stimul were analyzed for between-group differences. Results: Reaction times (RTs), hits, and P300 latency were significantly differ between groups. Slower RTs, poorer hits, and longer P300 latency were significantly recorded in groups with inattentive component (p
Conclusions: Auditoric P300 ERP two-tone discrimination paradigmn in ADHD children are capable to reveal disturbances in some aspects of cognitive domains. Inattention and hyperactivity-impulsivity impact the motoric performance and the P300 latency. Attenuated P300 amplitude in frontal region may reflect an attentional compensation mechanism in ADHD children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Faulina Sjarifuddin
"Latar Belakang :
Event-related potensial (ERP), terutama P300, merupakan perubahan potensial otak yang menggambarkan proses pengolahan stimulus yang diterima. Pemeriksaan ERP merupakan salah satu tekhnik neurofisiologis yang non-invasive, tetapi objektif, yang sexing digunakan untuk mengevaluasi aktivitas kognitif seseorang, terutama yang berkaitan dengan atensi, persepsi memori, fungsi eksekutif, dan kontrol perilaku.
Metode :
Pemeriksaan ERP auditorik diskriminasi 2 nada dilakukan pada 81 anak asimptomatik yang memenuhi kriteria inklusi dari 3 sekolah dasar swasta di Jakarta. Rerata performa motorik (kecepatan reaksi, hits, dan commission error) serta iatensi dan amplitude komponen-komponen ERP (N I00, N200, dan P300) yang timbul terhadap nada target direkam dan dianalisa berdasarkan faktor usia dan jenis kelamin.
Basil :
Kecepatan reaksi, hits, dan latensi P300 secara statistik berbeda bermakna berdasarkan faktor usia. Terdapat korelasi negatif dengan kekuatan sedang antara faktor umur dan kecepatan reaksi dan latensi P300 (p<0.0l). Sedangkan faktor usia dan hits berkorelasi secara positif dengan kekuatan sedang. Tidal( didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara performa motorik maupun latensi dan amplitudo P300 terhadap faktor jenis kelamin.
Kesimpulan :
Perkembangan fungsi kognitif anak tampaknya berkaitan dengan maturasi otak sejalan dengan pertambahan usia, dan tidak berkaitan dengan faktor jenis kelamin. Perneriksaan ERP auditorik diskriminasi 2 nada dapat digunakan untuk menilai perkembangan fungsi kognitif anak.

Background :
Event Related Potentials (ERPs), especially P300, are electrical changes generated in the brain in association with stimuli processing. They can provide a non-invasive but objective means to evaluate the activity of human brain associated with attention, perception, memory, decision making, and control of behavior.
Methods:
Auditory ERP two-tone discrimination (`oddball ) paradigm was presented to 81 healthy asymtomatic school aged children of three private elementary schools in Jakarta. Motor performances (reaction time, hits, and commission error) and latency and amptlitude of ERP components (N100, N200, and P300) elicited to target stimuli were recorded and analyzed for between group difference (age and sex).
Results:
Reaction times, hits, and P300 latency were significantly different between age groups (pcO.01). There were also moderately negative correlation between age groups and reaction limes and P300 latencies (p<0.01). Moderately positive correlation were noted between hits and age (p <0 01). None of motor performances nor latencies and amplitudes of P300 were different between sex groups (p>0.05).
Conclusions:
Maturation of cognitive brain functions in children are related to age development despite of sex gender. Auditory ERP two-tone discrimination ERPs are excellent tools for the study of cognitive brain functions in humans and the developmental time course of these functions in childhood.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Octaviana
"Latar Belakang: Pada penderita epilepsi dapat terjadi gangguan memori dan dipengaruhi oleh etiologi, tipe kejang, usia saat awal bangkitan, frekuensi kejang, factor herediter, dan akibat pengobatan epilepsi. Cognitive Event Related Potentials (ERPs) atau pemeriksaan P300 merupakan salah satu metode pemeriksaan fungsi kognitif (seperti atensi, memori, fungsi eksekutif). Pemeriksaan ini cukup akurat untuk mendeteksi penurunan fungsi memori. Pada penelitian sebelumnya terdapat pemanjangan masa laten P300 auditorik penderita epilepsi dibandingkan individu normal.
Tujuan: Mengetahui rerata masa laten gelombang P300 auditorik pads penderita epilepsi umum sekunder dengan gangguan memori dibandingkan epilepsi umum sekunder tanpa gangguan memori.
Disain dan Metode: Studi potong lintang dengan perbandingan internal pada aspek pemanjangan masa laten gelombang P300 auditorik antara kelompok yang mengalami gangguan memori dan yang tidak mengalami gangguan memori,
Hasil: Dan 93 penderita didapatkan 21 (22,6%) penderita mengalami gangguan memori. Faktor yang berpengaruh terhadap gangguan memori adalah frekuensi kejang>4 kali per bulan (p=0,009). Rerata masa laten gelombang P300 auditorik pada penderita epilepsi 340,81±32,84 milidetik, pada pasien dengan gangguan memori 385,1±12,81 milidetik, dan pada pasien tanpa gangguan memori 327,89+24,53 milidetik. Terdapat perbedaan bermakna antara gangguan memori dengan rerata masa laten P300 auditorik (p=0,000), Faktor yang berpengaruh terhadap masa laten gelombang P300 secara independen adalah frekuensi bangkitan > 4 kali per bulan (p<0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara gangguan memori pada penderita epilepsi sekunder dengan pemanjangan masa laten gelombang P300 auditorik.

Background: Memory impairment could be present in epilepsy, which is affected by etiology, seizure type, age at first seizure, seizure frequency, hereditary factors, and anti-epilepsy drugs, Cognitive Event Related Potentials (ERPs) or P300 examination is one of the methods to examine cognitive function (i.e. attention, memory, and executive function). This method is accurate enough, especially to detect reduction in memory function. Previous studies showed prolonged auditory P300 latency in epilepsy patients compared to normal population.
Purpose: To perceive the mean latency of auditory P300 in secondary generalized epilepsy with memory impairment compare to secondary general epilepsy without memory impairment.
Design and method: Cross sectional study with internal comparison in latency of auditory P300 aspect between group with and without memory impairment.
Result: From 93 patients, we have 21 (22.6%) patients suffering from memory impairment. The influencing fact to these circumstances is frequency of seizure which is more than 4 times per month (p=0.009). Mean latency of auditory P300 in secondary generalized epilepsy is 340,81±32.84 ms, in patients with memory impairment it is 385.1±12.81ms, and in patients without memory impairment it is 327.89+24.53ms. There is a significant correlation between memory impairment and mean latency of auditory P300 (p-O.000). The independently influencing facts to auditory P300 latency is frequency of seizure which is more than 4 times per month (p
Conclusion: A significant difference between memory impairment in secondary generalized epilepsy and elongation of auditory P300 latency is proven."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58452
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library