Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syafkhardi
"Desa transmigrasi merupakan contoh lingkungan kehidupan manusia di pedesaan yang dibangun dengan terencana, lengkap dengan lahan usaha dan fasilitas umum yang dibutuhkan. Desa transmigrasi bukanlah hanya merupakan tempat tinggal saja tetapi juga sekaligus menyediakan potensi yang dapat diolah untuk kehidupan transmigran. Desa transmigrasi diharapkan menjadi lingkungan permukiman yang mampu memberikan kehidupan bagi penduduk transmigran. Perencanaan permukiman transmigrasi dilakukan pada daerah yang masih kosong penduduk atau masih merupakan hutan, sehingga konsep-konsep perencanaan lingkungan permukiman dapat diterapkan.
Program transmigrasi merupakan bagian integral dari rencana pembangunan daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan transmigran. Motivasi seseorang berpartisipasi dalam Program transmigrasi adalah untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera. Keberhasilan transmigran pada akhirnya diukur berdasarkan kesejahteraannya. Semakin baik kesejahteraan transmigran dapat dianggap semakin berhasil program transmigrasi yang dilaksanakan. Dengan mengetahui tingkat kesejahteraan transmigran diharapkan pemerintah bersama masyarakat dapat melakukan penilaian terhadap pelaksanaan proyek transmigrasi. Aktifitas kegiatan kehidupan transmigran di desa transmigrasi dimulai pada saat lokasi permukiman mulai didiami. Dengan berjalannya waktu, desa transmigrasi akan berkembang yang antara lain dapat dilihat dari pertambahan jumlah penduduk, perkembangan aktifitas kegiatan dan meningkatnya pelayanan jasa.
Desa transmigrasi Dwi Warga Tunggal Jaya dan Desa Tunggal Warga di Kabupaten Tulang Bawang Lampung merupakan permukiman yang sudah ditempati oleh transmigran selama lebih dari 20 tahun. Di desa-desa ini jumlah penduduk dan aktifitasnya sudah berkembang. Telah terjadi pembauran antara penduduk transmigran dengan penduduk yang bukan transmigran. Penelitian ini ingin mengetahui keadaan kesejahteraan penduduk transmigran dan perbedaannya dengan penduduk yang bukan transmigran, serta beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan penduduk di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya dan Desa Tunggal Warga Kecamatan Banjar Agung Lampung.
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai masukan bagi kebijakan program transmigrasi di masa datang
2. Sebagai masukan bagi usaha untuk menanggulangi permasalahan di lokasi permukiman transmigran
3. Sebagai masukan untuk mempersiapkan calon transmigran
4. Sebagai masukan bagi proyek perencanaan permukiman baru atau proyek pemindahan penduduk selain transmigrasi
Rumusan hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Tingkat kesejahteraan penduduk bukan transmigran di desa penelitian lebih tinggi dari tingkat kesejahteraan penduduk Transmigran di Desa Tunggal Warga dan Desa Dwi Warga Tunggal Jaya.
2. Dalam hal faktor yang mempengaruhi kesejahteraan penduduk di desa penelitian di Desa Tunggal Warga dan Desa Dwi Warga Tunggal Jaya, diduga:
a. Motivasi mempunyai hubungan yang positif dengan kesejahteraan
b. Penguasaan keterampilan mempunyai hubungan yang positif dengan kesejahteraan
c. Tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang positif dengan kesejahteraan
Pemilihan responden sebagai sampel dilakukan dengan metode Sampel Acak Distratifikasi (Stratified Random Sampling). Jumlah sampel di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya adalah 70 responden yang terdiri dari penduduk transmigran 35 responden dan penduduk bukan transmigran 35 responden. Demikian juga dengan Desa Tunggal Warga sebanyak 70 responden yang terdiri 35 responden transmigran dan 35 responden bukan transmigran. Total keseluruhan berjumlah 140 responden.
Hipotesis pertama, yang dibuktikan adalah kesejahteraan penduduk bukan transmigran lebih tinggi dari kesejahteraan penduduk transmigran. Uji statistik yang digunakan adalah Uji Mann - Whitney atau disebut juga Uji U. Untuk menguji hipotesis 2a, 2b dan 2c digunakan metode korelasi rank (jenjang) Spearman.
Pada umumnya responden transmigran mata pencahariannya adalah bertani dengan menanam karet dan singkong karena tanahnya tidak cocok buat tanaman lain. Rata-rata luas lahan karet yang berproduksi 0,7 Ha dan luas lahan singkong yang berproduksi 0,54 Ha.
Mata pencaharian responden bukan transmigran umumnya di sektor jasa dan perdagangan, mareka tidak saja melayani daerah transmigran tetapi juga melayani daerah di sekitarnya. Jadi usaha mereka bisa berkembang dengan cepat. Penduduk bukan transmigran pada umumnya mempunyai keterampilan yang dapat diandalkan sebagai mata pencaharian. Pendapatan penduduk transmigran di desa penelitian rata-rata berada di bawah kebutuhan hidup minimal. Pengelolaan data pendapatan penduduk dengan SPSS-10 memberikan hasil 60,64% penduduk transmigran di Desa Tunggal Warga pendapatannya berada di bawah kebutuhan hidup minimal. Penduduk transmigran Desa Dwi Warga Tunggal Jaya sebanyak 63,68% masih mempunyai pendapatan di bawah kebutuhan hidup minimal.
Penduduk bukan transmigran yang umumnya bergerak dalam sektor pelayanan dan jasa, mempunyai pendapatan rata-rata di atas kebutuhan minimal. Untuk Desa Tunggal Warga hanya 0,89% yang pendapatannya berada di bawah kebutuhan hidup minimal. Penduduk bukan transmigran di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya 0,59% yang pendapatannya di bawah kebutuhan hidup minimal.
Berdasarkan batas kebutuhan hidup minimal Rp. 93.172,- didapat skor rata-rata pendapatan penduduk transmigran di Desa Tunggal Warga adalah 3,114 dengan standar deviasi 0,796 dan di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya adalah 3,143 dengan standar deviasi 0,772. Untuk penduduk bukan transmigran di Desa Tunggal Warga skor rata-rata 6,457 dengan standar deviasi 0,780 dan untuk Desa Dwi Warga Tunggal Jaya didapat skor 6,343 dengan standar deviasi 0,802.
Berdasarkan data respoden, skor partisipasi pendidikan rata-rata penduduk transmigran di Desa Tunggal Warga adalah 4,97 (standar deviasi 1,34) dan penduduk transmigran di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya 4,57 (standar deviasi 1,58). Penduduk bukan transmigran mempunyai skor partisipasi pendidikan yang lebih tinggi yaitu 6,8 (dengan standar deviasi 0,40) untuk desa Tunggal Warga dan 6,77 (dengan standar deviasi 0,49) untuk Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. Data ini menggambarkan adanya kesadaran yang lebih tinggi di lingkungan penduduk bukan transmigran. Walaupun demikian partisipasi pendidikan penduduk transmigran di Desa Tunggal Warga rata-rata 4,97 (dalam skala 1 ski 7) dan Desa Dwi Warga Tunggal Jaya sebesar 4,57 (dalam skala 1 s/d 7) masih cukup baik karena sudah di atas 50%.
Dari penelitian terhadap responden di Desa Tunggal Warga, keadaan kesehatan penduduk transmigran mempunyai skor rata-rata 3,71 (standar deviasi 1,51) dan penduduk bukan transmigran skor rata-rata 5,88 (standar deviasi 0,72). Untuk penduduk transmigran di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya skor keadaan kesehatan rata-rata adalah 4,0 (standar deviasi 1,31), sedangkan skor rata-rata penduduk bukan transmigran adalah 6,00 (standar deviasi 0,64). Keadaan kesehatan yang lebih baik pada penduduk bukan transmigrasi menggambarkan keadaan gizi yang lebih baik, kesadaran akan kebersihan yang lebih tinggi dan kondisi tempat tinggal yang lebih sehat.
Keadaan rumah tinggal penduduk transmigran di kedua desa, yang terbanyak berlantai semen dan berdinding papan, walaupun sudah ada juga yang berlantai semen dan berdinding bata. Rumah tinggal penduduk bukan transmigran kebanyakan berlantai semen dan berdinding bata. Dari hasil penelitian didapat gambaran bahwa kualitas rumah tinggal penduduk bukan transmigran umumnya lebih baik dari rumah tinggal penduduk transmigran.
Rata-rata kesejahteraan penduduk transmigran di Desa Tunggal Warga mempunyai skor 16,01 (dengan standar deviasi 3,98) dan rata-rata kesejahteraan penduduk bukan transmigran mempunyai skor 24,60 (dengan standar deviasi 2,28). Untuk Desa Dwi Warga Tunggal Jaya rata-rata skor kesejahteraan penduduk transmigran adalah 15,84 (dengan standar deviasi 3,94) dan penduduk bukan transmigran adalah 24,93 (dengan standar deviasi 2,36). Dari hasil tersebut didapat gambaran bahwa rata-rata kesejahteraan penduduk bukan transmigran lebih tinggi daripada kesejahteraan penduduk transmigran di desa penelitian.
Untuk Desa Tunggal Warga skor motivasi penduduk transmigran rata-rata adalah 40,52 (dengan standar deviasi 6,68) dan skor motivasi penduduk bukan transmigran adalah 52,24 (dengan standar deviasi 2,08). Untuk Desa Dwi Warga Tunggal Jaya skor rata penduduk transmigran adalah 40,60 (dengan standar deviasi 5,67) dan skor penduduk bukan transmigran rata-rata 51,48 (dengan standar deviasi 2,94).
Hasil ini memberikan gambaran kepada kita bahwa motivasi penduduk bukan transmigran lebih tinggi dibandingkan motivasi penduduk transmigran, baik di Desa Tunggal Warga maupun Desa Dwi Warga Tunggal Jaya.
Penduduk pendatang yang bukan transmigran mencapai tingkat kehidupan yang baik karena mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Penduduk transmigran umumnya tidak mempunyai keterampilan selain berkebun singkong dan berkebun karet. Keadaan ini membuat mereka sangat bergantung kepada produksi komoditi tertentu, tergantung kepada keadaan kesuburan lahan dan harga jual komoditi yang diproduksi.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor tingkat pendidikan penduduk transmigrasi lebih rendah dari tingkat pendidikan penduduk bukan transmigran.
Dari hasil penelitian dan pengujian hipotesis didapat kesimpulan sebagai berikut :
1. Program transmigrasi belum berhasil memberikan kesejahteraan kepada penduduk transmigran di desa-desa penelitian, walaupun kegiatan ekonomi dan jasa pelayanan di desa tersebut sudah berkembang.
2. Kesejahteraan penduduk bukan transmigran lebih tinggi dari kesejahteraan penduduk transmigran. Sebanyak 60,64% penduduk transmigran di Desa Tunggal Jaya dan 63,88% di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya pendapatannya di bawah kebutuhan minimal, sedangkan penduduk bukan transmigran di desa penelitian hampir semuanya berpendapatan di atas batas kebutuhan minimal. Walaupun demikian, umumnya penduduk transmigran mengatakan kehidupan mereka di Jawa sebelum ikut program transmigrasi lebih susah lagi karena tidak punya lahan.
3. Terdapat hubungan yang positif antara motivasi dengan kesejahteraan. Penduduk bukan transmigran mempunyai motivasi yang lebih tinggi daripada penduduk transmigran. Motivasi yang tinggi pada penduduk bukan transmigran didukung oleh informasi yang cukup dan gambaran yang lebih lengkap tentang daerah baru, sebelum mereka memutuskan untuk pindah.
4. Terdapat hubungan yang positif antara penguasaan keterampilan dengan kesejahteraan. semakin tinggi tingkat keterampilan semakin tinggi tingkat kesejahteraan. Penduduk bukan transmigran umumnya mempunyai penguasaan terhadap keterampilan sehingga dapat berperan dalam kegiatan perdagangan dan jasa.
5. Terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan kesejahteraan. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk cenderung semakin tinggi juga tingkat kesejahteraannya.
6. Kriteria perencanaan permukiman transmigrasi yang berhubungan dengan tingkat kesuburan lahan yang sesuai, belum sepenuhnya diterapkan pada pelaksanaannya. Lahan garapan penduduk transmigran saat ini tidak dapat ditanami oleh tanaman selain singkong dan karet. Mereka tidak bisa beralih menanam komoditi lain walaupun harga jual singkong dan karet tidak dapat memberikan keuntungan yang memadai buat mereka. Di pihak lain harga pupuk dan bibit karet mereka rasakan cukup mahal.
7. Dampak lingkungan pembangunan permukiman dan pembukaan hutan belum dikaji dengan teliti. Saat ini terdapat ancaman hama belalang dan kesuburan tanah semakin lama semakin berkurang.

The Welfare of Transmigration Village Community in Kecamatan Banjar Agung (A Case Study on Welfare Differences Between Transmigrated Community and Non-Transmigrated Community in Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya, Kecamatan Banjar Agung Lampung)
The transmigration village is a model for the rural community environmental village planned and developed with complete productive land and public facilities. The transmigration village is not only equipped with settlement opportunities but also provided with potential resources to support the transmigrant's life. The transmigration settlement plan is implemented in unoccupied areas or forests for the planning concept to be fully implemented.
The transmigration program is an integrated part of the regional development plan to increase the economic growth in the area. It is expected that the economic growth will also increase transmigrant's income and welfare. The motivation of the community to participate in transmigration program is to get social and welfare betterment. The success of transmigration program is measured based on the welfare achieved. The more the welfare improvement, the more successful the transmigration program is. By identifying the level of welfare it is expected that the government together with the community are able to assess the implementation of the transmigration project. Transmigrant economic activities will begin at the time of the resettlement period. After a certain time, the transmigration village will develop and can be identified by population growth and development of activities and services.
The transmigration village of Dwi Warga Tunggal Jaya and Tunggal Warga at Tulang Bawang Regency in Lampung Province have settlement occupied by transmigrants over 20 years. in these villages the population and activities have been growing. And assimilation has taken place among transmigrants and non-transmigrants. The objective of this research is to identify and compare (1) the welfare difference of transmigrant and non-transmigrant communities and (2) influential factors on community welfare in Desa Dwi Warga Tunggal Jaya and Desa Tunggal Warga in Banjar Agung District.
The benefits of this research are:
1. An input and reference to the future policy of the transmigration program
2. An input to efforts to solve the problems in transmigration settlement
3. An input to the transmigrants preparation
4. An input to new settlement plans and population resettlement beyond the transmigration program.
Hypotheses of this research are:
1. The level of community welfare of the non-transmigrants is higher than that of the transmigrant community in the researched villages (Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya).
2. For the studied village it is presumed that:
a. Motivation has a positive correlation to welfare
b. The skills level has a positive correlation to the welfare achieved
c. The education level has a positive correlation to welfare
The selection of the respondents used the Stratified Random Sampling System. The number of samples in Desa Dwi Warga Tunggal Jaya was 70 respondents that consist of 35 transmigrants and 35 non-transmigrants, and the same numbers and distribution is also applied in Desa Tunggal Warga, and the total number of respondents was 140. The first hypothesis was tested by Mann-Whitney Test or U test. Hypotheses a, b, and c were tested by applying Correlation of Spearman Rank.
In general, the occupation of transmigrants is farming/cultivating rubber and cassava due to unsuitability to other plants. The average productive land of rubber plantation is 0.7 ha and cassava plantation is 0.54 ha. And the non-transmigrant's occupation and activities is `in the services and trade sectors. They do not only cover the area but also the adjacent villages so that their business grows faster. Most of the non-transmigrant communities possess reliable skill to support their occupation. The income of transmigrants in the studied sub district (desa) averages below the minimum standard of living. Data processing of community income results in 60.64% of the transmigrant community in Desa Tunggal falling under minimum standard of living. About 63.68% of transmigrated community in Desa Dwi Warga Tunggal Jaya falls under minimum standard of living.
The non-transmigrant communities had an average income above the minimum standard of living. In Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya, namely 0.89% and 0.59% of the population have the income below standard of living.
Based on the minimum standard of living of Rp 93,172, it is found that the score of the average income of the transmigrants community in Desa Tunggal Warga is 3.114 with a deviation standard of 0.796, and 3.143 with deviation standard of 0.772 for Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. The non-transmigrant community in Desa Tunggal Warga scores 6.457 with deviation standard of 0.780, and 6.343 with deviation standard of 0.802 for Desa Dwi Warga Tunggal Jaya.
Based on the respondent's data, scores of education of the average transmigrant community in Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya are 4.97 (deviation standard 1.34) and 4.57 (deviation standard 1.58) respectively. Non-transmigrant community had higher scores of 6.8 (deviation standard 0.40) and 6.77 (deviation standard 0.49) respectively for Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. The data indicate that higher awareness exists in non-transmigrant community environment. However, the education of transmigrant community in Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya average 4.97 and 4.57 (scale of I - 7), which figures quite good and acceptable input.
From the survey on respondents in Desa Tunggal Warga it is observed that the health conditions of transmigrants and non-transmigrants has an average score of 3.71 (deviation standard 1.51) and 5.88 (deviation standard 0.72). The transmigrants in Desa Dwi Warga Tunggal Jaya have an average score of 4.0 (deviation standard 1.31) and the non-transmigrants scored 6.00 (standard deviation 0.64). Better health conditions of nontransmigrants indicate a better nutrient and awareness of healthy and clean living condition.
The houses of transmigrants in both villages consisted of cemented floor and wooden walls, and some have the permanent construction. The house of the non-transmigrants was mostly constructed by using permanent materials. The above description indicates that the house quality of non-transmigrants is better compared to those transmigrants.
The average score of welfare of transmigrants and non-transmigrants community in Desa Tunggal Warga is 16.01 (deviation standard 3.98) and 24.60 (deviation standard 2.28) respectively. And the average score of welfare of transmigrants and non-transmigrants in Desa Dwi Warga Tunggal is 15.84 (deviation standard 3.94) and 24.93 (deviation standard 2.36) respectively. This describes that the average welfare score of nontransmigrants is higher than that of transmigrants in the studied area.
The average motivation scores of transmigrants and non-transmigrants community in Desa Tunggal Warga are 40.52 (deviation standard 6.68) and 52.24 (deviation standard 2.08) respectively. The same categories for Desa Dwi Warga Tunggal Jaya have the motivation scores of 40.60 (deviation standard 5.67) and 51.48 (deviation standard 2.94) respectively.
These results give us a description that motivation of non-transmigrants is higher than that of transmigrants community either in Desa Tunggal Warga or Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. The migrated community, beyond a transmigration program, achieve better living standard due to applicable skill in the area. Most of the transmigrated community, which is included in transmigration program, do not have applicable skill other than cassava and rubber cultivation. This makes them to be dependent on the certain commodity production, land fertility, and price of sold commodity.
The results of the study point out that the average score of level of education of 'transmigrants are lower than that of non-transmigrants. From the study and test of hypothesis, conclusion could be drawn as follows:
1. Although economic activities and services have already developed, transmigration program has not yet bring welfare to transmigrated community in the studied villages.
2. The level of welfare of non-transmigrants is higher than that of transmigrants. About 60.64% and 63.88% of transmigrants in Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya have the income below the minimum standard of living, and most of the non-tranmigrants in the studied villages have the income above the minimum standard of living. In general, however, the transmigrants said that their level of welfare in the original villages (namely, Java Island) was poorer and difficult because they did not have cultivated land.
3. There is a positive correlation between motivation and the level of welfare. The nontransmigrants have higher motivation than that of the transmigrants. Higher motivation of non-transmigrated community is supported by adequate information and complete description of the new area before making to decision to migrate.
4. There is a positive correlation between skill mastering and welfare, the higher the level of skill the higher the level of welfare. Non-transmigrants possess specific skill applicable to the activities in the village that they play important role in sectors of trade and services.
5. There is a positive correlation of the level of education and the level of welfare, the higher the level of education the higher the level of welfare that may take place.
6. The criteria for transmigrants resettlement planning that concern with the land suitability and fertility are not yet fully implemented. Cultivated land of the transmigrants cannot grow plants other than cassava and rubber. They cannot shift to other commodities though the price of cassava and rubber is low that they cannot get sufficient income to support their living expenses, and on the other hand the price of fertilizer for their plantation is relatively high and expensive.
7. The environmental impact of resettlement development for transmigrants and forest and land clearing is not carefully analyzed and studied. At the current time, there are threats of grasshoppers scourge and decreasing land fertility in the transmigration area."
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 10769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tantular, Rakyan
"Pertambahan penduduk secara berlebihan di kota terutama yang berasal dari urbanisasi menyebabkan daya dukung dan daya tampung kota menjadi semakin menurun, salah satunya adalah berkurangnya lahan untuk permukiman. Akibat dari kurangnya lahan untuk permukiman maka dibutuhkan penambahan ruang dan lahan. Penambahan ruang dan lahan yang tidak memungkinkan lagi di dalam kota menyebabkan terjadinya pelebaran luas ke arah pinggir kota/belakang kota (hinterland). Hal seperti itu yang terjadi di DKI Jakarta, dan berkembang ke arah pinggiran termasuk daerah Depok. Akibat perluasan tersebut, maka daerah seperti kota Depok dapat dikatakan sebagai daerah suburban bagi kota Jakarta.
Kemudian dampak urbanisasi menimbulkan pelbagai bentuk penurunan kualitas lingkungan kota, terutama tata ruang yang tidak memenuhi syarat, terbentuk daerah kumuh, bertambahnya jumlah sampah, meningkatnya pencemaran perairan dan tanah oleh limbah domestik.
Urbanisasi juga mengakibatkan menurunnya estetika, menimbulkan ancaman terhadap peninggalan-peninggalan historis, menyempit/berkurangnya ruang terbuka, taman kota, lapangan olah raga, dan rekreasi.
Perkembangan yang berbeda di tiap-tiap kota membuat konsentrasi permukiman berbeda 'pula. Di satu sisi ada daerah dengan kepadatan tinggi dan disisi lain terdapat daerah dengan kepadatan rendah. Perbedaan konsentrasi tersebut secara otomatis akan menyebabkan perbedaan tingkat degradasi lingkungan secara khusus dan mempengauhi degradasi lingkungan perkotaan secara keseluruhan. (Sobirin dalam Koestoer, 2001:45)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Peningkatan kepadatan penduduk menurunkan kualitas lingkungan pemukiman baik fisik maupun sosial.
Adapun tujuan umum penelitian adalah: Memberikan solusi bagi masalah lingkungan hidup di Kota Depok.
Waktu, tenaga dan biaya adalah faktor utama yang membatasi penelitian ini dan besarnya wilayah penelitian serta banyaknya unsur-unsur yang diteliti. Lokasi penelitian akan dibatasi pada dua daerah saja yaitu daerah dengan kepadatan tertinggi dan daerah dengan kepadatan terendah pada tingkat Kecamatan dan masing-masing akan diambil satu daerah terpadat pada tingkat kelurahan. Kemudian unsur-unsur yang diteliti dari masing-masing variabel pembentuk permukiman adalah: kualitas perumahan (rumah) dalam bentuk dan ukuran yang dibatasi pada kesesakan penghuni dan kepemilikan ruang terbuka, keberadaan sanitasi, luasan bangunan, serta perlindungan hak milik; penataan lahan dan ruang dibatasi pada penggambaran kesesuaian penataan lahan dan ruang yang berdasar pada rencana seperti pendidikan (TK dan SD), peribadatan (masjid), niaga, kesehatan, olahraga dan rekreasi, pelayanan pemerintah; dan masalah sosial.
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode deskriptif (survei dan observasi lapangan). Untuk mempermudah pengambilan sampel populasi terutama dalam hubungannya dengan target responden, paneliti mengambil teknik purposive sampling dengan mengelompokkan populasi berdasarkan beberapa kriteria
Penilaian kualitas perumahan (tabel 35) secara umum di ketiga daerah penelitian adalah baik. Penilaian baik dan buruk didasarkan atas:
1. Kesesuaian dengan peraturan. Apabila sesuai maka penilaianya adalah baik
2. Kepemilikan dari faktor-faktor yang diteliti pada masing-masing sub variabel, seperti kepemilikan bak sampah, KM/WC sendiri, teras, halaman, surat-surat tanah dan bangunan. Apabila memiliki maka penilaianya adalah baik.
3. Apabila lebih dari 50% responden masuk dalam kriteria baik diatas maka dapat dikatakan bahwa secara umum kualitas perumahan di lokasi penelitian adalah baik.
Bobot nilai tertinggi yang diambil oleh peneliti adalah koefisien dasar bangunan. Kemudian masalah perlindungan hak milik berbobot terendah dengan alasan tidak terlalu berdampak langsung kepada kualitas permukiman. Pembobotan nilai dari kualitas perumahan itu sendiri adalah 20 (skala 100) dari keempat variabel yang diteliti, seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya.
Salah satu acuan pengelolaan lahan dan ruang adalah dengan melihat kesesuaian peruntukan daerah berdasarkan aturan koefisien dasar bangunan, disamping kesesuaian lainnya berdasarkan aturan pemerintah setempat (mengacu kepada RT/RW kota Depok). Hampir semua daerah permukiman tidak menempati daerah bahaya seperti keadaan tanah yang miring (curam), tidak berada di daerah cekungan dan tidak dilewati tegangan tinggi. Hal ini berarti secara umum, ketiga daerah penelitian memiliki nilai baik pada pengelolaan lahan dan ruang.
Secara umum hasil penggalian dari responder didapat semua sarana dari sisi jumlah adalah cukup kecuali taman bermain, penerangan jalan dan depo sampah dianggap kurang, kondisi dan sarana yang adapun dianggap kurang. Semua pelayanan sarana adalah baik, kecuali masalah depo/angkutan sampah. Rata-rata kondisi sarana adalah baik kecuali taman bermain, penerangan jalan dan depo/angkutan sampah adalah kurang. Lapangan olah raga dan saluran air dianggap cukup.
Pembobotan nilai: jumlah (50), kondisi (30), dan pelayanan (20). Pembobotan nilai pada jumlah lebih besar karena prasarana dan sarana ukurannya adalah jangkauan masyarakat, artinya sejauh mana prasarana dan sarana dapat melayani masyarakat. Kemudian kondisi prasarana dan sarana dimana hal ini lebih mengacu kapada fisik atau perawatan fisik, dan pelayanan lebih kepada interaksi/hubungan manusia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Interaksi/hubungan sosial antar masyarakat secara umum berdasar dari penggalian dari responden tentang keharmonisan hubungan antar tetangga adalah baik. Faktor keamanan dan kenyamanan yang turut mempengaruhi masalah sosial pada penelitian ini secara umum juga dinilai masih cukup baik, artinya dari ketiga daerah penelitian dua diantaranya masih dianggap relatif aman oleh responden.
Kesimpulan:
1. Hasil pengumpulan data di lapangan menunjukan sebagian besar responden, bekerja atau beraktivitas sehari-hari di Jakarta dan alasan pindah sebagian besar responden adalah harga tanah/rumah yang murah dan mencari suasana baru yang lebih baik, dengan demikian dapat dikatakan Kota Depok merupakan daerah penyangga (suburban) permukiman bagi DKI Jakarta
2. Masalah pada variabel Kualitas Perumahan adalah terlanggarnya peraturan tentang pemenuhan koefisien dasar bangunan (OS). Hal tersebut terjadi karena hampir semua responden mengembangkan rumahnya dengan cara penambahan ruangan ke arah horisontal (memanfaatkan lahan (persil) yang mereka miliki.
3. Gambaran pengelolaan lahan dan ruang di dalam masalah perubahan kualitas lingkungan permukiman dari hasil penelitian masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku (RTRW Depok 2000)
4. Masalah kurangnya sarana pendidikan dan kesehatan berdasarkan pada perbandingan antara jumlah penduduk dan minimal sarana yang dibutuhkan dan masalah kurangnya sarana dan prasarana dari sisi jumlah dan kondisi hasil penggalian masyarakat seperti taman, penerangan jalan, dan depo/angkutan sampah. Hal tersebut diduga penyebaran sarana yang kurang merata dan penyediaan sarana yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah kota setempat.
5. Hubungan antar masyarakat secara umum cukup serasi, kegiatan bersama antar warga masih ada seperti olah raga.
Saran
1. Perencanaan dan pembangunan desa atau kota-Kota kecil disekitar Jabodetabek harus merata agar perpindahan penduduk ke kota (DKI Jakarta maupun Kota Depok itu sendiri) dapat dikurangi.
2. Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk mengembangkan huniannya (memperluas bagunan) tanpa harus melanggar ketentuan yang ada. Hal ini berarti perencana kota (Pemkot Depok) harus dapat mengadopsi keadaan yang terjadi di masyarakat dalam mengembangkan bangunannya dengan mengevaluasi kelayakan peraturan atau ketentuan tentang masalah KDB secara berkala, dan ketentuan yang dibuat harus dijalankan dan diawasi secara ketat.
3. Pembangunan kota dan pembagian peruntukan lahan harus merata dan disesuaikan dengan perencanaan serta kebutuhan dari setiap daerah sehingga kepadatan penduduk dapat tersebar merata, tidak terkonsentrasi di satu atau dua daerah saja.
4. Sebaran beberapa fasilitas (sarana) tidak merata, karena itu pemerintah daerah setempat perlu meninjau kembali perencanaan pengembangan daerahnya. Hal yang perlu diperhatikan bahwa perencanaan pengembangan daerah harus mengadopsi kebutuhan masyarakat yang digali langsung dari masyarakat dan Pemerintah kota Depok harus dapat memprioritaskan pemenuhan kebutuhan akan sarana lingkungan bagi masyarakatnya.
5. Ruang terbuka dan balai pertemuan lingkungan diadakan dan dibangun baik oleh pemerintah atau warga itu sendiri. Kegiatan di ruang terbuka dan balai pertemuan diadakan/diaktifkan seperti pertemuan bulanan antar warga, kegiatan olah raga dan rekreasi.

Population Growth and the Changes of Settlement Environment Quality in Depok City (Case Studies in Bhaktijaya Neighborhood, Sukmajaya District and Duren Mekar Neighborhood, Sawangan District, Depok City)The overincreasad city population especially from the urbanization causes the descending of its bearing and carrying capacity, one of which is the shortage of land for housing. From that reason comes the needs to grow space and land. Since such needs can not be achieved in cities, it causes spreading towards the outskirts, which known as the hinterland. These kind of things happened in Jakarta, and to its suburban i.e. Depok. As a result of the so called spreading, area such as Depok could in a way be known as the suburbs of Jakarta.
Moreover the impact of the urbanization causes numerous forms of degradation of the city's environmental quality, especially the unqualified zoning, the forming of shanty-towns, the increment number of waste, and the escalation of contaminated water and land by domestic waste. Urbanization also causes the declining of city's esthetics, threaten the historical heritage, narrowing/lacking the open space, the city parks, the sports fields, and the recreational parks.
The diverse development on each city causes the diversity of housing density. There are low density neighborhoods on this side and high density neighborhoods on others. Such diversity automatically brings about the different level of specific environmental degradation and affects the whole deity's environmental degradation (Sobirin in Koestoer, 2001:46).
Based on the things mentioned above, the problems can be formulated as follows: The growth of population density decreases the environmental quality of settlement, physically as well as socially.
Furthermore, the main purpose of this research is to give solution for the environmental problem in Depok City.
Time, energy and cost were the main factors which limited the extent of the research area and the numbers of feature that had been observed. The research area was limited on two zones, that were the highest density zone and the lowest density zone on one district (kecamatan). From that, each would cover the densest population in the neighborhood (kelurahan). Furthermore the observed features from each variable forming the neighborhood were: the housing quality in shape and size limited on the overcrowded inhabitants and the ownership of the open space, the sanitation existence, the building coverage, and the property protection; the land use and space utilization limited on the consistency of the land use and space utilization based by urban planning, i.e. educational (SD and Tit), spiritual (mosque), commercial, health, sport and recreation facilities, also public services; The social issue was limited on the social interaction of the communities.
The method used in this study was the descriptive research design (survey and field observation). To make the sampling easy particularly in connection with the target; the researcher chose the purposive sampling technique with population grouping based an certain criteria
The general assessment of the housing quality (Table 35) in three research areas was fine. The assessment was based upon:
1. The consistency to the regulations. The assessment was fine if each (sub variable) accommodated to the regulations required.
2. The ownership of the observed factors on each sub variable, i.e. trash cans, bathroom/WC, porch, garden, land and building documents. If available the assessment was fine.
3. If more than 50% respondent fell into the criteria mentioned above, it could be said that the housing quality at the research location was generally fine.
The highest point taken by the researcher was the building coverage coefficient Moreover the property protection issue was at the lowest point with reason not having the direct impact to the housing quality. The point assessment of the housing quality itself was 20 (on the scale of 100) amongst four variables observed, as mentioned on the previous chapter.
One of the land and space management standard was to look at the consistency of the land use based on the building coverage coefficient regulation, beside the other consistency based on the local administrative regulation (referring to the Depok Urban Land Planning). Almost all neighborhoods did not occupy the dangerous area such as the precipitous ground (steep), the hollow ground and were not pass through by the high voltage wiring. This generally means, the three research area had a fine assessment in the land and space management.
Generally the in-depth interview came up with: all structures quantity was moderate except play grounds, street lamps and waste depots were found poor. All structure services were fine, except waste depots/removal. On the average the strictures condition were tine except play grounds, street lanes and waste depots/removal were poor. Sport fields and water plumbing were considered moderate.
The point assessment the number (50), the condition (30), and the services (20). The point assessment of the number was higher because the measurement of the structure and the infrastructure was the range of the public services, which mean how well these factors sewed the community. Then the condition of the structure and the infrastructure, which referred to the material or physical maintenance, and the public services referred to the human interaction relationship in providing the public services.
The social interaction/relationship, generally based on the respondents' interview about the harmony of the neighborhoods, was fine. The security and amenity factors which could affect the social issue in this research was generally graded fine enough, meaning that respondents of the two amongst three research area dill considered them relatively fine.
Conclusions:
1. The primary data collection showed that most of the respondents go to work or have their activities in Jakarta, and the reasons for their migration were the low-cost land/houses and the better new conditions. Hence the Depok City was the suburbs of DKI Jakarta.
2 The problem on the housing quality variables was the infringement of the building coverage coefficient regulations. This happened because most of the respondents extended their houses by adding rooms horizontally utilizing their land.
3. The portrayal of the land and space management in the issue of settlement environment quality change dug out from this research was still parallel to the recent land use planning (Depok Urban Land Planning Year 2000).
4. The lacking of educational and health facilities based on the ratio of population number and minimum facilities required and the problems of those based on the quantity and the condition came up at the in-depth interviews, e.g. playgrounds, street lamps, and waste removal. These were presumed as a result of uneven distribution of the public facilities and the unavailability of structure by the local government.
5. The interaction of the community was generally in harmony, the joint activity between people still existed such as sports.
Suggestions:
1. The planning and development of villages or small towns in the region of Jabodetabek should be even in order that the city migration (DKI Jakarta or Depok City itself) could be lessen.
2. People should be given the opportunity to extend their houses (extend the building) without violating the existing regulations. This meant that City planner (Depok City Administration) should adopt the condition happened in the community on building development by evaluating the proper regulations or rules about such problems concerning the building coverage coefficient continually, and the rules made should be operated and observed strictly.
3. City development and land use distribution should be even and accommodated with the plan and the needs in each area in order to achieve the even population density, not only concentrated on one or several areas.
4. The distribution of the facilities was uneven; hence the local administrator should review its development planning. Considering that local development planning should accommodate the community needs dug out directly from people and Depok City administrator should make priorities about the needs fulfillment of public environment facilities.
5. Open space and local community hall should be provided and built by the administrator or the community it selves. The activities in such place should be established, e.g. monthly neighborhood meeting, sports and recreations."
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraini Hendrawan
"Daya dukung Kota Jakarta semakin mendapat tekanan akibat pertumbuhan populasi penduduk yang cenderung eksponensial, sehingga dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan antara komponen-komponen lingkungan yang berperan penting dalam membentuk kualitas manusia kota. Diutamakannya kepentingan politik dan ekonomi di atas kepentingan-kepentingan lainnya menyebabkan penataan ruang seringkali mengabaikan keseimbangan antara komponen tersebut di atas.
Kesemrawutan pengelolaan pemerintah daerah menjadikan pembangunan fisik kota tidak terstruktur secara baik sehingga pemanfaatan lahan sebagai SDA yang terbatas menjadi tidak effisien. Belum disadarinya arti penting RTH terhadap kualitas lingkungan hidup merupakan permasalahan pokok dalam ketidakacuhan ini, karena kurang memadainya RTH dapat menyebabkan degradasi pada kualitas lingkungan fisik dan sosial. Ruang ini memiliki peran penting pada kondisi sosial masyarakat kota, khususnya remaja.
Batasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam penelitian ini adalah: 'Tempat umum/public space yang digunakan untuk menyalurkan aktivitas rekreasi penduduk kota, yang bersifat terbuka (tidak beratap), memiliki vegetasi sedikit hingga sedang, serta bersifat non komersial".
Untuk mengatasi permasalahan yang ada, maka ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab, yaitu:
1) Apakah RTH eksisting, khususnya di Kota Jakarta, sudah memenuhi kondisi optimal jika ditinjau dari persepsi remaja?
2) Bagaimana pengaruh RTH eksisting terhadap perilaku remaja?
3) Bagaimana pola pengelolaan RTH eksisting yang dilaksanaken oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta?
4) Apakah ada faktor-faktor yang juga menentukan dalam pengelalaan RTH selain peran pemerintah propinsi?
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk optimalisasi RTH Kota Jakarta. Sedangkan tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut:
1) mengetahui persepsi remaja mengenai RTH;
2) mengetahui perilaku remaja di RTH;
3) mengetahui pola pengelolaan RTH dengan menghasilkan acuan/guidelines sederhana;
4) mengetahui faktor-faktor penentu dalam pengelolaan RTH, agar dapat tercipta ruang rekreasi umum atau taman kota yang ideal.
Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode RAP (Rapid Assessment Procedures) dikombinasikan dengan survei, dan disain penelitian bersifat deskriptif analitik. Untuk melengkapi pertanyaan-pertanyaan individual melalui kuesioner dan depth interview, digunakan metode survei. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah remaja pengguna yang memenuhi kriteria penelitian di 4 (empat) lokasi Ruang Terbuka Hijau yang telah ditentukan, yaitu Lapangan Palapa, Pasar Minggu; Lapangan Blok Sr Kebayoran Baru; Lapangan Al Azhar, Kebayoran Baru; dan Taman Situ Lenibang, Menteng. Pemilihan sampel awal menggunakan teknik accidental sampling. Pada tiap lokasi penelitian, disebarkan kuesioner kepada 30 remaja pengguna taman. Dari jumlah tersebut di atas, dipilih 12 responden yang diikutsertakan dalam 2 (due) kelompok Focused Group Discussion (FGD). Satu kelompok FGD terdiri dari 6 (enam) responden. Responden lain yang dipilih untuk wawancara adalah orang tua responden yang ikut dalam FGD, dan stakeholder lain yang dianggap berperan dalam keberadaan Ruang Terbuka Hijau ini, diantaranya pemerintah daerah yang diwakili oleh dinas pertamanan, tokoh kelurahan setempat, beberapa penghuni rumah yang dekat dengan RTH penelitian, serta pedagang kaki lima yang melakukan aktivitasnya di lokasi penelitian.
Penelitian mengenai persepsi remaja terhadap RTH dititikberatkan pada aspek kebersihan, vegetasi, keamanan, suasana, dan kenyamanan. Sementara penelitian mengenai perilaku remaja di RTH dititikberatkan pada frekuensi kedatangan ke RTH, konsumsi waktu di RTH, kegiatan yang biasa dilakukan di RTH, Leman datang ke RTH, cara datang ke RTH, serta waktu tempuh dari tempat tinggal remaja ke lokasi RTH.

Optimizing the Open Space for the Youth: a Case Study: Four Open Spaces in DKI Jakarta Jakarta, the biggest city as well as the capital city of Indonesia faces daily an increasing pressure as a result of the inevitable increment of its population. This could disturb the environmental components that affect the quality of life of its community. By putting the political needs as well as the economical needs on top of the other needs, the city's administration often ends up in an ambiguous application of the urban master plan.
Mismanagement of city's administration causes the city to develop into an inappropriate way, leading to inefficient use of land, which is a limited natural resource. The unawareness of the important role of an open space to the environmental quality is an essential issue. The insufficient space of public recreation areas causes the degradation of physical and social environmental quality. The area is of great importance to the social well being of the city's inhabitants, especially to the youth at risk.
The term - open space - used in this paper is defined as a non commercial, open public space/urban park, with small to moderate vegetation, used to fulfill the needs of people's recreational activities.
To resolve the problems mentioned above, several questions have to be answered, i.e.:
1) has the existing open space, especially in Jakarta, achieved the optimum condition according to the youth's perception?
2) What is the effect of the existing open space towards youth's behavior?
3) How is the management pattern of the existing open space performed by the Government of DKI Jakarta?
4) Is there any other factor besides the role of the government that is essential in the open space management?
The main purpose of this research is to achieve optimum conditions for Jakarta's open space. Particular purposes are furthermore:
1) To asses the youth's perception of the open space;
2) To asses the youth's behavior at the open space;
3) To identify the pattern of open space management by producing modest guidelines;
4) To identify significant factors in open space management, so that the ideal concept of public recreation space could be obtained.
The research method used was the Rapid Assessment Procedures (RAP) combined with a survey, and an analytic descriptive research design. To conclude some individual questions through questionnaires and in-depth interviews, a survey method was used. The target group of this research was the youth as users of the open space in relation to the research criteria at the 4 (four) following research locations: Palapa Ground, Pasar Minggu; Blok S Ground, Kebayoran Baru; Al Azhar Ground, Kebayoran Baru; and Park Situlembang, Menteng. The samples of the first phase were selected through the so-called accidental sampling technique. At each location questionnaires were distributed to 30 park-users of the target group. Twelve of them were selected, to participate in 2 (two) Focused Group Discussions (FGD). One Group consisted of 6 (six) respondents. Other respondents, who were selected to go through in-depth interviews, were the parents of certain FGD's respondents, and other stakeholders who were considered essential to the state of the open space, being the local government represented by DKI Jakarta's Park Office, local community figures, several house dwellers living nearby the research locations, and sidewalk vendors who performed their selling activities on the location.
"
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11020
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Agus Suprihanto Soerono
"Masalah Penelitian:
Kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup belakangan ini kian banyak terungkap di lapangan baik berupa polusi udara, air maupun alam pada umumnya.
Polusi udara yang terjadi pada waktu musim kemarau biasanya berupa kabut asap yang terjadi di Sumatera atau Kalimantan Barat.
Selain peladang berpindah, yang biasanya dituding melakukan pembakaran hutan adalah pengusaha yang sudah mengantungi izin perkebunan kelapa sawit yang ingin melakukan land clearing secara mudah, murah dan cepat, sehingga bisa menanam benih kelapa sawit tepat waktu ketika musim hujan tiba.
Belakangan ini fungsi media massa sebagai sarana hiburan semakin meningkat, terutama dengan munculnya berbagai stasiun televisi yang menambah khazanah media elektronik di tanah air.
Di bidang lingkungan hidup dalam fungsinya sebagai sumber informasi media massa berperan untuk melakukan kontrol sosial (watch dog) terhadap perusahaan yang melakukan pencemaran atau perusakan terhadap lingkungan hidup.
Metode Penelitian: Dengan Content Analysis/Analisis Isi dan metode survey/kuesioner di Kelurahan Menteng dan Kelurahan Jelambar.
Tujuan Penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui peranserta media massa, khususnya media cetak terhadap masalah-masalah lingkungan hidup dan manfaat tulisan-tulisan di media massa tersebut terhadap masyarakat serta mengenai kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan.
Berdasarkan hasil dan pembahasan data yang diperoleh dan penelitian ini, maka kesimpulan yang diperoleh adalah:
1. Peran serta media massa, khususnya media cetak dalam penyebaran berita-berita/tulisan-tulisan mengenai masalah-masalah lingkungan ternyata sangatlah kecil. Ini terlihat dari kecilnya persentase pemuatan tulisan mengenai masalah-masalah tersebut (tidak sampai 1%).
2. Pemberitaan media massa belum memberi manfaat yang besar terhadap pelestarian lingkungan hidup. Hal itu terlihat dari persentase responden yang membaca masalah lingkungan hidup hanya 13%. Sikap masyarakat belum banyak terpengaruh oleh pemberitaan media massa mengenai lingkungan hidup. Hal itu terlihat dari responden yang menjawab dengan berbagai alasan untuk tidak menerapkan pengetahuan mengenai lingkungan hidup yang diperolehnya dari media massa dalam kehidupan sehari-hari.
Saran
1. Insan Pers perlu mendorong media massa cetak untuk meningkatkan intensitas pemberitaan mengenai lingkungan hidup. Dorongan pemerintah dalam era reformasi sulit diterapkan dalam era reformasi, karena pemerintah tidak mempunyai wewenang lagi sekuat seperti pada zaman Orba yang bisa mencabut SIUPP suatu Koran.
2. Para Redaktur-sebagai pelaku utama pengambil keputusan-di ketiga media cetak tersebut perlu meningkatkan intensitas pemberitaan mengenai masalah lingkungan di media masing-masing. Sehingga semboyan: think globally, act-locally benar-benar bisa diwujudkan.
The Role of Mass Media in Socializing Environmental Aspect (Case Study in Three Newspaper published in Jakarta)Recently cases of environments pollution are increasingly uncovered in the field such as air pollution, water pollution as well as the nature in general.
Air pollution in the dry seasons usually known as cloud fog that occurs in Sumatera Island or West Kalimantan. The smoke fog usually occurs because of fired forests that cause air pollution in the neighboring countries such Malaysia and Singapore. Because of the air pollution by the smoke fog make the neighboring countries deliver a protest to Indonesian Government.
If we make an exploration, apparently the fired forest is caused by shifting cultivation that wants to make land clearing for their swidden agriculture areas.
Besides that, the next person that accused doing the forest fired are the entrepreneurs that hold approval to build palm field who want to do land clearing easily, chip and rapid, so they can engage in planting the palm seed on time when the rain season come.
While the pollution in the big city that occurs because of the smoke form the muffler of the vehicle that mixed with lead. Pollution of the vehicle is aggravated by the sum of the vehicle those own by the people.
As well as the pollution that occurs in the environment near industries that throws the wastewater to the rivers, to the ground or release to the nature without chemically treatment process. The more over is pollution from the waste of the household to the water bodies such as lake, dam, river, pond or water channel. Those because of the People?s manner that used the water bodies as place to defecation or used the water bodies as `huge septic tank' for their closet in the household.
Whereas in the other edges the people also used the water bodies as water resources for daily need. Recently the need of the environment conservation is felt increasing. Those because increasing of the sum of population of the people made bigger compression to the environment.
Problem Formulation
In the Article 3 of The Law No. 40/1999 about Press, enclosed that national press (mass media) have functions as:
1. As information resources
2. Education
3. Entertainment and
4. Social control.
Recently, entertainment function of mass media is increasing, mainly because of the establishment of new private television stations in the country.
Trend of uniting the education and information function lead to shape of new communication such as Infotainment and Edutainment. (Dahlan 1990:3-20). In the field of environment, int its function as information resources, mass media has important role to provide social control (watch dog) to the private sector those doing pollution or destroying the environment.
But in the context as watch dog, not all of the mass media play its role excellently. Maybe in the side of the management of the mass media less understand the meaning of the air pollutions problems, pollution of the physical or social environment, to be covered intensively.
The less understanding of environmental problems in the management of the mass media, make them not give suitable place for environment news.
Survey Methods:
- Content Analysis for environmental news those were enclosed in the Kompas, Republika and Sinar Harapan Daily Newspaper.
- Purpossive Sampling for wives in the slump area of Jelambar and exclusively area of Menteng.
Purpose of the survey:
- To identify the participation of mass media, especially printed newspaper on environmental problems and the benefit of the articles in mass media on society and about social awareness on environmental sustainability.
From the survey can be made conclusion that:
1. Participation of mass media especially printed mass media in spreading news/articles on environmental news very tiny. This can be seen from very little the percentage of contained in the publication on those issues.
2. Mass media coverage not yet gives bigger benefit on environmental sustainability. Those can be seen from the percentage of respondent only 13% reading environmental news. Society's attitude not yet influenced by newspaper coverage on environment. Those can be seen from the respondent that using various reason not to applicate their knowledge on environment they got from mass media on daily life.
Recommendations:
1. Mass media man need to push the mass media to increasing intensity of coverage on environmental news. Push from the government in reform era rather difficult to applicate, because the government has no power anymore as strong as Orba rezim that can banned license of a media.
2. Editors-as prime actor in decision making-in the three mass media need to increase the intensity of coverage on environmental issues in each media. So the motto: think globally, act locally can be realized.
"
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T 11844
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doloksaribu, Jasukar Edison
"Kota pada umumnya berkembang secara laissez-faire, yaitu tanpa dilandasi perencanaan kota yang menyeluruh, terpadu, dan tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu yang relatif pendek.
Oleh karena itu, bukanlah suatu pemandangan yang aneh jika kota-kota di Indonesia menampilkan wajah ganda. Terlihat perkembangan pembangunan yang serba mengesankan dalam wujud arsitektur modern dan pasca modern di sepanjang tepi jalan kota. Sungai yang semula mengalir jernih dan mengemban fungsi sebagai salah satu sumber kehidupan penduduk, tidak dapat lagi melanjutkan fungsinya karena kadar pencemaran yang melampaui baku mutu.
Lingkungan resapan air yang strategis pun menjalankan tugasnya secara prima sebagai penjaga gawang ekologis, dengan serta merta berubah menjadi kawasan permukiman, perdagangan, perhotelan dan kegiatan komersial lainnya.
Kota Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi Riau, banyak melakukan pembangunan fisik. Pembangunan fisik di Kota Pekanbaru berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, yaitu semakin menurunnya kualitas air sungai di Kota Pekanbaru terutama Sungai Siak sebagai sumber air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Pekanbaru, semakin menyulitkan masyarakat memperoleh air bersih.
Pembangunan fisik Kota Pekanbaru membawa implikasi perubahan fungsi lahan dan kepadatan penduduk, baik secara alamiah maupun pertambahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi). Dengan tingkat pertumbuhan rata rata (4,6%). Dengan pertambahan peduduk yang tinggi ini semakin menyulitkan PDAM dalam pelayanan air bersih, sehingga masyarakat memilih alternatif lain yaitu air tanah.
Pengambilan air tanah yang berlebihan atau tidak dikelola dengan baik, dampak lingkungan adalah penurunan tinggi permukaan air tanah dan bentuk cekungan permukaan air tanah (cone of depression), dampaknya pada penurunan permukaan tanah (amblasan).
Jika air tanah turut tercemar maka semakin memperparah keadaan masyarakat, dan akan berdampak pada timbulnya berbagai penyakit, dan biaya mahal yang dikeluarkan oleh masyakat. Hal ini dapat memicu konflik sosial antara yang mampu dengan yang tidak mampu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menganalisis ketidak mampuan PDAM dalam penyediaan air bersih bagi kebutuhan masyarakat kota Pekanbaru,
2. Mengetahui dan menganalisis hubungan antara pengambilan air tanah oleh penduduk dengan kondisi air tanah,
3. Mengetahui hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan perubahan fungsi lahan/tanah,
4. Mengetahui kualitas hidup masyarakat yang tidak mendapatkan air dari PDAM.
Berdasarkan teori dan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini hipotesis sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara pertambahan jumlah penduduk dengan eksploitasi air tanah oleh masyarakat.
2. Terdapat hubungan pertambahan penduduk dengan kondisi air tanah. Tempat penelitian ini dilakukan di Kota Pekanbaru, sebagai ibu kota Provinsi Riau. Peneliti memilih kota Pekanbaru sebagai wilayah penelitian, karena kota ini menunjukkan pertumbuhan penduduk dan pembangunan fisik yang relatif tinggi yang berdampak pada sumberdaya air dan lingkungan.
Variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:
1. Jumlah penduduk, kemampuan PDAM sebagai variabel bebas,
2. Perubahan fungsi lahan, kondisi air tanah, pengambilan air tanah sebagai variabel terikat.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara purposive, sample ditentukan dengan acak sederhana (random sample). Pengumpulan data sekunder dengan cara penelaahan kepustakaan yakni berupa buku-buku, karangan ilmiah, serta tulisan-tulisan dan dengan instansi yang ada hubungan dengan tujuan penelitian ini. Penyampaian data dilakukan secara deskriptif dengan data kuantitatif yaitu korelasi dengan rumus pearson, untuk memudahkan operasi perhitungan menggunakan perangkat lunak komputer.
Berdasarkan uji korelasi, memperlihatkan bahwa adanya hubungan negatif antara ketidak mampuan PDAM dengan eksploitasi air tanah oleh masyarakat, dan hubungan positif antara pertambahan penduduk dengan penurunan permukaan air tanah.

A city in general is expanding in laissez faire way, this means has not been based on a comprehensive, integrated city plan, and not simply prepared or planned to be able accommodate the growth of massive population in relatively short time.
Therefore it is not, a strange view when cities in Indonesia put forward a double fold face. The development of construction seems to be very impressed in the form of modern architectures and ultra modern along the main cities streets. The rivers, which are originally, flows fresh water and bearing the function of people's life source, presently, are no more having the function due to contamination level beyond standard quality.
The environmental water absorption naturally has been for centuries functioning primarily as ecological equilibrium, is now changed all of sudden to become area of settlement, trades, hotels and other commercial activities.
The city of Pekanbaru as the capital city of Riau Province, had much to do with physical constructions, because the impact of the decrease in the quality of river water mainly in Soak River that supply raw water for PDAM (Public Water Supply Company) has become increasingly difficult to treat, in producing potable water.
The physical development of Pekanbaru city has brought implication to functional change of soil and population density both naturally and the increase in migration from rural to urban area the average growth rate of 4, 6%. With this high growth rate is becoming more and more difficult to PDAM in supplying ample clean water, so that people prefer to choose alternative i.e. ground water.
Excessive exploitation of ground water and it doesn't managed perfectly will result in the lowering of ground water level and the cone of depression, the impact in lowering of land surface (subsidence).
If the ground water is contaminated it would aggravated the people's condition and to have impact in the spreading of various water borne diseases, which in turn able to trigger a social conflict between the have and the have not.
This research is intended to identify the following matters:
1. To find out and to analyze the incapability of PDAM in supplying clean water to the people of Pekanbaru.
2. To find out and to analyze relationship between ground water exploitation by inhabitant and the condition of ground water.
3. To identify the relationship between the growth of people and the change of soil function.
4. To identify the quality of people's life who are not getting enough water supply from PDAM.
Based on the theory and the problems able to put forward put to the front in this research the following hypothesis:
1. There is relationship between the population growth and exploitation ground water.
2. There are relationship between the population growth and the condition of ground water.
This research was conducted in the City of Pekanbaru, the capital city of Riau Province. This city is selected as area of research, because it indicated the population growth and relative-high physical development that bring the impact to water resources and surroundings.
Variables are found in this research as follows:
1. Growth populations and the capacity of PDAM, are as independent variable;
2. Change in soil function, the condition of ground water, and water exploitation, are as dependent variable.
The primary data collection that was performed by way of purposive manner was defined by random sample. The secondary data by way of bibliography research that is bound from books, scientific papers, and writings from existing agency in relation to the goal of this research.
The presentation of data is conducted descriptively with quantitative data with correlation by applying person formulation. To make the counting operation easy using computer soft ware.
Based on correlation-test, it indicated that there are negative correlation between the incapability of PDAM and the exploitation of ground water by people, and positive correlation between the growth of population and the lowering of ground water surface.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Martini Restoeningsih
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Perkembangan suatu kota yang potensial berhubungan erat dengan pertambahan jumlah penduduk secara alami dan migrasi sebagai daya tarik daripada kota tersebut. Dengan perkembangan jumlah penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan, maka akan mengakibatkan bertambahnya kebutuhan berbagai fasilitas dan sarana pelayanan kehidupan kota, juga akan menimbulkan bertambah luasnya perkampungan di perkotaan dan/atau akan disertai dengan perkembangan permukiman-permukiman baru di pinggiran kota. Proses ini akan berkembang terus sampai titik tertentu, dan jika untuk beberapa kebutuhan tidak dapat dipenuhi oleh kota tersebut, maka akan timbul tendensi terbentuknya kota-kota baru atau kota-kota satelit yang masih mempunyai kaitan erat dengan kota-kota intinya tadi.
Masalah transportasi Wilayah Jakarta Selatan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Kekeliruan dalam hal pengelolaan lalu lintas.
2. Kekeliruan dalam implementasi kebijaksanaan transportasi.
3. Kebijaksanaan transportasi tidak tepat
4. Pelanggaran perilaku berlalu lintas.
5. Prasarana dan sarana transportasi tidak memadai.
6. Gangguan dari segi non-lalu lintas, antara lain:
a. Pedagang Kaki Lima (PKL) di sepanjang tepi jalan beraspal, bahkan juga menempati lokasi yang diperuntukkan bagi para pedestrian.
b. Perubahan fungsi tata guna lahan, semula bangunan tempat tinggal kini berubah menjadi toko, restoran, klinik, salon, kantor, atau bisnis lain.
7. Penyimpangan/kekeliruan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK).
8. Pembangunan terlalu bersifat horisontal.
9. Tidak lengkapnya penyediaan fasilitas umum dalam satu wilayah.
Masalah transportasi merupakan masalah yang disebabkan oleh banyak faktor dan sifatnya sangat beranekaragam. Kota Jakarta telah dipadati oleh jumlah penduduk yang laju pertumbuhannya meningkat dengan pesat yang mengakibatkan kepadatan ruang oleh bangunan sangat tinggi pula atau pola tata guna lahan yang tidak teratur lagi sesuai dengan peruntukannya, sehingga Wilayah Jakarta Selatan yang semula menurut RUTR Kota direncanakan sebagai daerah resapan air telah menyimpang dari fungsinya. Kepadatan bangunan baik sebagai tempat tinggal maupun fasilitas sosial/umum semakin meningkat, akibatnya arus lalu lintas sebagai pergerakan penduduk semakin meningkat pula. Akar masalah transportasi secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Aspek Sosial.
1. Pertambahan jumlah penduduk (terutama proses urbanisasi), mengakibatkan kebutuhan prasarana dan sarana kota meningkat.
2. Penyediaan fasilitas umum dalam satu wilayah tidak lengkap, sehingga manusia mencari kebutuhan hidupnya di luar wilayahnya.
3. Pola pergerakan penduduk meningkat pula.
B. Aspek Fisik.
1. Luas lahan terbatas, dengan demikian kepadatan penduduk dan bangunan meningkat pula.
2. Pembangunan yang bersifat horisontal.
3. Perubahan fungsi lahan di luar rencana sebenarnya (menyimpang RUTR Kota).
4. Efisiensi dan efektivitas penggunaan badan jalan menurun, karena dipergunakan sebagai on street parking yang dilegalkan, pedagang kaki lima, parkir liar pengguna jasa PKL tepi jalan, galian kabel, dan lain-lain.
5. Perbaikan atau perlebaran jalan masih bersifat parsial, hingga terbentuk bottle neck area.
6. Penyediaan off street parking bagi fasilitas umum tidak memadai.
7. Kualitas dan kondisi sarana atau moda transportasi semakin menurun. Kenyamanan dan keamanan moda transportasi tidak terjaga dengan baik. Akibatnya kegemaran menggunakan kendaraan pribadi meningkat.
8. Jumlah kendaraan bermotor pribadi (roda dua ataupun roda empat) meningkat.
C. Aspek Kelembagaan/Manajemen
1. Tarif retribusi off street parking lebih tinggi daripada on street parking, sehingga orang cenderung parkir di tempat liar atau di badan jalan.
2. Pelanggaran hukum, tata tertib, dan sopan santun ber lalu lintas.
Batas wilayah studi tesis ini adalah Wilayah Jakarta Selatan dengan luas 14.573 ha dan terdiri atas sepuluh kecamatan. Penelitian ini merupakan suatu tipe penelitian deskriptif. Data yang dikumpulkan akan dijabarkan berupa tabel dalam interval angka tertentu yang kemudian dianalisis secara deskriptif-kualitatif dengan latar belakang kasus kemacetan lalu lintas di Wilayah Jakarta Selatan. Berdasarkan identifikasi masalah serta beberapa faktor yang berpengaruh dan tertera pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian tesis ini adalah mencari solusi bagi masalah transportasi kota. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu pihak pemerintah serta instansi yang terkait dalam usaha menciptakan transportasi kota yang menunjang lingkungan hidup kota yang berkelanjutan.
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dalam tesis ini, maka penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
A. Aspek Sosial.
1. Perencanaan dan strategi pembangunan kota tidak hanya mencakup lingkungan dalam arti fisik, melainkan juga sosial, ekonomi, dan budaya dari segenap lapisan masyarakat.
2. Masalah yang paling berat dihadapi Kota Jakarta adalah masalah urbanisasi, karena dari pertambahan jumlah penduduk berarti terjadi perubahan terhadap segi lainnya.
3. Pemecahan masalah transportasi harus secara menyeluruh, antara lain dari segi land use kota, penyediaan fasilitas umum dalam satu wilayah harus lengkap sesuai tingkat ekonomi penduduknya, pengadaan prasarana dan sarana transportasi harus sesuai antara supply dan demand, pengurangan pemilikan kendaraan pribadi, perbaikan kualitas, kenyamanan, dan keamanan moda transportasi, dan lain-lain.
B. Aspek Fisik.
1. Perencanaan kota harus pula memikirkan ruang bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, misal dalam penyediaan lokasi tempat tinggal, lokasi lapangan pekerjaan, serta fasilitas umum lainnya.
2. Pelebaran jalan bukan pemecahan masalah kemacetan lalu lintas, cara pembuatan MRT (Mass Rapid Transit) mutlak diperlukan.
C. Aspek Kelembagaan/Manajemen.
1. Kekeliruan dan penyimpangan RUTR Kota sudah cukup besar. Pembangunan, konservasi, dan manajemen perkotaan merupakan prasyarat untuk mendptakan penataan lingkungan yang baik, dalam hal ini tata guna lahan dan transportasi.
2. Meskipun jalan terus diperlebar dan jalan Tol terus dibangun, pengguna kendaraan selalu akan menemukan kemacetan yang terus terakumulasi. Bila sebuah kota dibangun tanpa perencanaan matang, hanya penyelesaian jangka pendek yang sungguh-sungguh mentah dalam konsep, artinya setiap hal yang dilakukan hanya merupakan akibat dari yang telah terjadi, maksudnya A dilakukan karena telah terjadi masalah B, bukannya A dilakukan agar masalah B tidak terjadi.
Dalam tesis ini penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
A. Aspek Sosial.
1. Setiap perencanaan pembangunan jalan harus memikirkan bagian untuk pengguna kendaraan roda dua, pedestrian/pejalan kaki, "teluk tunggu" bagi kendaraan yang akan berputar, juga bagi kendaraan umum untuk menurunkan dan menjemput penumpang.
2. PKL dipindahkan ke lokasi yang sesuai dengan peruntukannya.
3. Menyadarkan semua lapisan masyarakat untuk berpedoman "lebih baik naik kendaraan umum," dengan cara memperbaiki sistem manajemen transportasi, memperbaiki kualitas kendaraan umum, menciptakan kenyamanan dan keamanan kendaraan umum, mengurangi jumlah pemilikan dan pemakaian kendaraan pribadi.
B. Aspek Fisik.
1. Pengembalian fungsi lahan yang sesungguhnya sesuai dengan rencana.
2. Mengembalikan efisiensi dan efektivitas pemakaian badan jalan, artinya seluruh lebar badan jalan hanya untuk arus pergerakan lalu lintas.
3. Setiap kawasan permukiman secara bertahap dilengkapi dengan sarana lingkungan yang jenis dan jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat berdasarkan standar fasilitas umum/fasilitas sosial.
C. Aspek Kelembagaan/Manajemen.
1. Penegakan hukum, tata tertib, dan sanksi pelanggaran lalu lintas yang adil, kontinyu, dan konsekuen bagi seluruh lapisan masyarakat.
2. Menghilangkan terminal kendaraan umum yang bersifat sementara di persimpangan jalan, dengan sanksi pelanggaran yang tinggi.
3. Memberi sanksi bagi kendaraan umum yang berhenti tidak pada tempatnya.
ABSTRACT
The Relationship Between City Transportation and The Environment (Case Study: South Jakarta City)Back Ground:
The development of a potential city is closely related to its population growth. The population growth in this city may come from natural growth and that from migration as a result of its city attraction. Because of the growth of the population who live in the city, there is an increasing in facility needs as well as spaces for housing. These housing not only occupy the space within the city but also in the city perimeter or the urban area. This process continues to grow until a certain point and if the necessity for facility doesn't meet the demands then a new city or small county's tend to born, which are closely connected to the heart of the city. The increasing of diverse activity requires a certain amount of space for the people to perform their activities. The need to perform their activities means demanded space for their activities. This space necessity is used for housing, work, education, recreation, moving/mobilization or transportation etc.
The following are the transportation problems in South Jakarta:
1. Mismanagement in traffic system.
2. Misimplementation In traffic policy.
3. Improper traffic policy.
4. Act of violation in traffic.
5. Lack of traffic infrastructure.
6. Traffic disturbance such as:
a. The existence of street vendor along the shoulder and pedestrian walkways.
b. Alteration of land use function (e.g. housing altered to offices or business).
7. Violation in city land use planning.
8. The lack of buildings that have multiple floors to save space.
9. Incompleteness of public facility.
Problems in transportation come from many factors. However a transportation problem is not difficult to solve as long as it is supported by the citizens of the community that are willing to be discipline and willing to cooperate. The city of Jakarta that is crowded by its population tends to alter its land use planning because of the need in living spaces. South Jakarta, which was supposed to be a water conservation area, was misused. The increase in density of residential and commercial buildings caused traffic in South Jakarta to be even more crowded.
The main problems in South Jakarta can be broken down to the following aspects:
A. Social Aspects.
1. Population Growth, particularly the urbanization process, eventually requires city infrastructure to support living needs.
2. Inadequate public facilities. People tend to fulfill! their needs in places that are farther away.
3. The increase in people transit.
B. Physical Aspects.
1. Limited amount of space, which causes the increase of density of buildings and population.
2. The development of buildings that take up a large amount of space.
3. Alteration in land use.
4. Deterioration of street shoulders which leads to the existence of street vendors, illegal parking cable project, etc.
5. Road repairs and rearrangements are not completely done causing roads to merge.
6. Parking areas for stores or services that are not spacious.
7. The deterioration of public transportation convenience, as a result of the escalating number of private transportation usage.
8. The escalating number of cars and motorcycles.
C. Management and Institutional Aspects.
1.The off street parking fee is higher than that of the on street parking makes parking on the side of the road more preferable.
2. Violation of traffic law, the act of reckless driving and carelessness.
The boundary of this field study is the territory of South Jakarta with an area of 14,573 hectares that consists of ten sub-districts. This is a descriptive type of research. The gathered data will be compiled in the form tables in the specified interval and then are analyzed descriptively and qualitatively with the traffic congestion in the region of South Jakarta. The objective of this investigation is to evaluate or view the relationship between transportation problems and city space organization or the planning of land use of The South Jakarta region, which is closely related to the environmental aspects.
It's expected that this research is able to help the reader, government, institution or any other parties who are concerned and are willing to make an effort to make Jakarta a more attractive, beautiful, harmonious, comfortable, safe and prosperous city, specifically South Jakarta.
According to this summary, it can be concluded that:
A. Social Aspects.
1. The planning and strategy of the city development does not only in dude physical environment development, but also socially, economically and culturally.
2. The most difficult dilemma that Jakarta faces is urbanization, because the escalation of the population demands other aspects (social, physical, economic aspects) to rise just as much.
3. The transportation problem has to be solved comprehensively, which include land use, the availability of public facilities that suits the economic levels of its citizens have to be raised, there has to be an appropriate proportion between vehicles on the road and the road itself, a decreasing amount of private transportation and better quality in public transportation therefore it would be desirable.
B. Physical Aspects.
1. City planning has to in dude space of the low-level income society, such as providing housing, job market and other public facility.
2. Road expansion is not the only solution to traffic congestion. There is also, for instance, Mass Rapid Transit (MRT).
C. Management and Institutional Aspects.
1. The violation of the city and land use planning has been enormous. Development, conservation, and city management is an absolute prerequisite to create an exceptional environmental management in land use planning and transportation.
2. Traffic expansions and the building of tolled roads must be continued, even though traffic congestion may exist.
In this thesis it is proposed several suggestions that are described below:
A. Social Aspects.
1. Every road development planning should consider multi traffic users such as motorcycles, pedestrians, U-turns, bus stops and so on.
2. Street vendors have to be relocated to a more appropriate area that would not aggravate others.
3. Campaigns for public transportation that supports the improvement of management transportation system, improvement of public transportation quality and discouragement of multi vehicle ownership and usage. The establishment of convenience and safety ness in public transportation.
B. Physical Aspects.
1. Restore land use function to its original purpose.
2. Restore efficiency and effectiveness of the use of the road.
3. Every dwelling area should be prepared with the appropriate environmental infrastructure which the quantity meets the requirements of the standard public facility, such as education, health, religious facility, sport and recreational areas, shopping centers etc.
C. Management and Institutional Aspects.
1. Restore law and order, apply fair punishment, enforcers should be consequential toward all violators without discrimination.
2. Ban temporary terminals at intersections, apply sanction persistently.
3. Give stringent sanctions to those who violate.
"
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T11177
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanik Suryo Haryani
"ABSTRAK
Berbeda dengan keadaan suatu kota yang telah direncanakan secara matang untuk menjadi kota dengan fungsi spesifik seperti kota pemerintahan, metropolitan Jakarta tumbuh sebagai kota multifungsi, di mana kegiatan pemerintahan, perdagangan, industri dan pendidikan berpusat, sekaligus menjadi pintu gerbang bagi arus barang dan orang dari dan ke negeri ini. Tidaklah mengherankan apabila Jakarta memiliki daya tarik yang sangat besar bagi para urbanit yang mencoba mengadu untung demi perbaikan nasib di sini. Kenyataan selanjutnya adalah bahwa para urbanit yang sebagian besar memiliki keahlian dan ketrampilan terbatas memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan jumlah penduduk dan pertambahan daerah pennukiman kumuh di ibu kota.
Permukiman kumuh didefinisikan antara lain sebagai permukiman dengan unit-unit rumah dengan ukuran kecil-kecil serta kondisi fisik lingkungan yang buruk (Drakakish, 1980). Sebagian wilayah Kecamatan Penjaringan di Jakarta Utara adalah gambaran dari permukiman kumuh yang diobservasi dalam penelitian ini.
Tujuan pokok dari penelitian yang dilakukan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kondisi fisik lingkungan permukiman kumuh dengan kondisi sosial ekonomi penghuninya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait dan otoritas perencanaan tata ruang perkotaan serta program perbaikan kampung.
Hipotesis yang diajukan adalah: semakin rendah kondisi sosial ekonomi penghuni, maka akan semakin kumuh lingkungan permukimannya.
Penelitian dilakukan melalui beberapa langkah pendekatan. Pendekatan pertama yaitu studi menggunakan data primer, dalam hal ini interpretasi foto udara tahun 1982 dan tahun 1994. Interpretasi ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai persebaran permukiman kumuh di Kecamatan Penjaringan. Pendekatan kedua adalah studi melalui observasi terestrial dengan cara mengamati langsung kondisi fisik lapangan serta wawancara langsung dengan para responden. Pendekatan ketiga adalah studi melalui data sekunder yang terkait dengan masalah ini, di antaranya data statistik, peta dan laporan-laporan dari instansi pemerintah.
Analisis data dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kualitas lingkungan permukiman dan persebaran kekumuhan. Analisis ini merupakan gabungan antara pengolahan data lapangan dan interpretasi foto udara, dengan skenario foto udara ini akan menjadi verifikasi analisis data terestrial. Untuk keperluan penilaian, permukiman kumuh dibagi dalam tiga kategori, yaitu kumuh ringan, kumuh sedang dan kumuh berat. Tolok ukur atau indikator kekumuhan ini dihitung dengan cara memberikan nilai dan bobot pada setiap variabel yang telah ditetapkan dalam himpunan variabel kondisi fisik linglcuangan. Dalam hal ini, mengacu pads kriteria penilaian dari Ditjen Cipta Karya Departemen PU dan BAPPEM MHT DKI Jakarta, variabel kondisi fisik lingkungan permukiman yang dilibatkan ada sepuluh macam, yaitu genangan air, sarana sanitasi, sarana pembuangan sampah, kepadatan hangman, lebar jalan masuk, kondisi permukaan jalan masuk, ketersediaan somber air bersih, keadaan konstruksi bangunan rumah, tats letak blok permukiman dan leas rumah mukim. Kelompok variabel bebas yang akan dipelajari hubungannya dengan variabel kondisi fisik lingkungan permuldman di batasi tiga item, yaitu: pendapatan, tingkcat pendidikan serta kesehatan penghuni.
Analisis data menggunakan cara-cara yang lazim digunakan dalam metoda statistik, antara lain metode chi square untuk mengetahui adanya hubungan antara masing-masing variabel kondisi fisik dengan masing-masing variabel kondisi sosial ekonomi, serta metoda regresi berganda untuk mengetahui pola hubungan ketergantungan antara tingkat kekumuhan dengan variabel-variabel kondisi sosial ekonomi. Untuk memudahkan operasi perhitungan digunakan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences).
Uji hipotesis dengan metode Chi square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kedua kelompok variabel. Sebanyak tiga puluh pasang tabulasi silang diuji, untuk menyelidiki adanya hubungan antar variabel-variabel yang terlibat. Sebanyak 23 item atau sekitar 77 persen dari ketiga puluh jenis yang diuji tersebut menunjukkan adanya hubungan antar variabel yang signif:kan. Faktor penghasilan penghuni menempati urutan pertama dalam hal banyaknya hubungan yang terbukti, yaitu 9 hubungan dari 10 macam yang diuji. Kemudian diikuti faktor tingkat pendidikan dengan 8 hubungan yang signifkan dan terakhir faktor kesehatan dengan 6 hubungan yang terbukti, masingmasing dari 10 hubungan yang diuji. Bila ditinjau kualitas kedekatan hubungan antar variabel yang telah teruji, rata-rata berada pads tingkat hubungan sedang dengan nilai contingency antara 0,30 sampai 0,49. Hubungan paling kuat terdapat antara pendapatan responden dengan kondisi konstruksi bangunan rumah yang ditempatinya dengan nilai contingency 0,500.
Perhitungan regresi antara indikator tingkat kekumuhan Y dengan ke tiga variabel.bebas: X11 (pendapatan), X12 (tingkat pendidikan) dan X13 (kesehatan) menghasilkan persamaan: Y = 7,279 + 0,458 X11 + 1,764 XS2 + 2,598 X13
Persamaan di atas menggambarkan pola hubungan antara variabel-variabel yang terlibat, dalam hal ini Y mewakili kondisi fisik lingkungan permukiman dan X11, X12 dan X13 mewakili kondisi sosial ekonomi penghuni. Persamaan regresi memberikan informasi bahwa antara kondisi fisik lingkungan dan kondisi sosial ekonomi terdapat hubungan positif atau sebanding, artinya peningkatan nilai variabel-variabel pada ruas kanan persamaan akan berakibat meningkatnya nilai variabel pada ruas kiri persamaan tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa bertambah buruknya kualitas pendapatan, tingkat pendidikan dan kesehatan penghuni akan berakibat atau menandakan semakin kumuhnya lingkungan permukiman.
Dugaan hasil pengujian persamaan regresi di atas hipotesa yang diajukan telah dapat dibuktikan.
Verifikasi basil analisis data terestrial dengan interpretasi foto udara menunjukkan adanya kesesuaian yang cukup baik dalam hal distribusi kekumuhan -Observasi terestrial menunjukkan bahwa sebagian besar permukiman berada dalam status kumuh berat. Perbandingan komposisi ini adalah 65,00 %; 26,70 % dan 8,30 % berturut-turut untuk permukiman kumuh berat, kumuh sedang dan kumuh ringan. Hasil interpretasi foto udara tahun 1994 memberikan komposisi dengan urutan seperti di atas: 68,15 %; 24,60 % dan 7,25 %. Di satu sisi tekanan akibat pertambahan jumlah penduduk mendorong berkembangnya pemukiman kumuh, terlihat dengan bertambahnya luas areal permukiman kumuh secara keseluruhan sebesar 2,90 hektar dari tahun 1982 sampai tahun 1994. Di sisi lain upaya-upaya peningkatan atau perbaikan kampung yang dilakukan pemerintah maupun swadaya masyarakat berhasil menekan perkembangan permukiman kumuh, bahkan dapat mengurangi luas permukiman berstatus kumuh berat. Peningkatan kualitas ini ditandai dengan berkurangnya luas areal permukiman kumuh sebesar 28,35 hektar dalam icurun waktu yang sama.
Faktor-faktor pendorong terjadinya kekumuhan permukiman yang teramati di lapangan mencakup tiga komponen besar, yaitu kepadatan, pola hidup penghuni dan keadaan lingkungan permukiman.
Kepadatan dimaksudkan sebagai kepadatan penghuni dan kepadatan bangunan permukiman. Semakin banyak penghuni dalam satu rumah yang ukurannya lebih kecil akan mendorong terjadinya kekumuhan. Di daerah penelitian kepadatan penghuni mencapai rata-rata 5 m2lorang, di bawah standar kebutuhan normal 6 - 9 m2lorang. Mengenai kepadatan bangunan permukiman diperoleh informasi yang akurat dari interpretasi foto udara, di mama sebagian besar blok permukiman mempunyai penutupan bangunan (building coverage) rumah mukim rata-rata di atas 75 %, yang dapat digolongkan ke dalam katagori kumuh berat.
Komponen pola hidup penghuni meliputi tiga aspek, yaitu penggunaan sarana sanitasi, tempat pembuangan sampah dan pemenuhan somber air bersih. Kenampakan di daerah penelitian mengenai adanya kecenderungan menuju kekumuhan permukiman adalah banyaknya responden yang tidak memiliki sarana sanitasi sendiri (sebanyak 20,80 %) ataupun mau menggunakan fasilitas sanitasi umum, melainkan membuang hajat secara babas di tempat-tempat terbuka seperti sungai yang aimya tak mengalir lancar atau laut.
Dorongan menuju kekumuhan akibat pola hidup yang kurang bersih dari unsur pembuangan sampah terlihat dominan, dan ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah responden yang membuang sampah sembarangan (43,30 %). Ketersediaan air bersih dalam jumlah normal sulit dipenuhi di daerah penelitian, ditunjukkan dengan banyaknya responden yang memenuhi kebutuhan air bersih dengan cara membeli air kalengan dan penjaja air keliling sebanyak 53,30 %. Hal ini menunjukkan bahwa sarana permukiman lingkungan tidak layak.
Komponen keadaan lingkungan permukiman mencakup empat aspek, yaitu tata letak blok permukiman, kondisi konstruksi bangunan rumah mukim, lebar jalan dan kondisi permukaan jalan masuk. Dorongan kekumuhan dari aspek tata letak ini teramati dengan rendahnya kualitas tata letak di sebagian besar permukiman responden (61,70 %) di daerah penelitian. Demikian pula kontribusi kondisi bangunan rumah mukim menuju kekumuhan permukiman tampak dari banyaknya rumah non permanen sebesar 46,70 % yang menggambarkan keadaan lingkungan buruk. Mayoritas jalan masuk di daerah penelitian mempunyai lebar kurang dari 1,0 m (54,20 %). Sempitnya jalan mengakibatkan jalan tersebut tidak mampu berfungsi secara layak sebagai alur lalu lintas, tampat bak sampah, penempatan saluran drainasi maupun sebagai pembatas antara rumah ke rumah. Jelas bahwa hal ini akan memicu buruknya keadaan lingkungan yang mengarah pada kekumuhan. Kondisi permukaan jalan yang ditemui di lapangan sebagian besar becek dan tergenang di saat hujan, memberikan dorongan terjadinya kondisi lingkungan buruk dan kumuh.

ABSTRACT
Correlation Between Physical Condition and Community's Socio-economic Condition in Slum Settlement Area. (A Case Study in Penjaringan Subdistrict, North Jakarta)
Within a diverging scheme with a well planned city for specific function as an administration city, the metropolitan of Jakarta emerges as a multi function city. This means Jakarta functions as a place for administration, trading, industry, education activities and consequently becomes the mayor place for exchange of goods and peoples of this country. It is not surprising that Jakarta performs greatly attractive for the migrants who find employments and a better live. Then the further reality was coming. In fact most migrants are unskilled and in turns, they in most contributed to high population growth and expansion of slum settlements in the capital city. Slum settlement is defined, among others, as a settlement occupied by very small houses and bad environment condition (Drakakish, 1980). In this context Penjaringan Subdistrict of North Jakarta is a good example to be observed due to its slum settlement.
The main aim of the current research is to discover the correlation between physical condition and community's socio-economic condition in slum settlement area. The gained result is expected as an input for interrelated participants and autorized board on city masterplanning and settlement betterment programmes. The presented hypothesis: as the quality of community's socio-economic condition goes lower, the settlement environment will be found worse.
The current research is conducted through several approaches. The first way is a study through primary data, in this case interpretation of 1982 and 1994 aerial photograph. This interpretation is intended to gain information concerning with the distribution of slum settlement area in Penjaringan Subdistrict. The second mean is a terestrial observation based study by means of direct survey of physical site condition and interviewing the respondents. The third access is a study of interfaced secondary data, among others are statistical data, maps and government reports.
Data analysis were conducted to obtain the feature of settlement environment quality and expansion of slum condition. The analysis is a combined one between site data calculation and aerial photograph interpretation, within the scenario that aerial photograph was aimed as a verification of terestrial data calculation result. For scoring purposes, slum settlement was divided into three categories : light slum, medium slum and heavy slum. Slum indicator was calculated by assigning a value and grade to each variables defined in environment physical condition variable group. Based on evaluation criteria from Ditjen Cipta Karya, Public Works Department and BAPPEM MHT DKI Jakarta, the involved settlement physical environment variables consist of ten items: water impounding, sanitation facility, waste disposal facility, building density, access street width, access street surface condition, availability of water supply source, housing structure condition, site arrangement of housing block and the size of house space. The independent variables to be studied in connection with settlement physical environment condition were limitted into three items: income, education level and community's health.
Data analyses were conducted through scientific practices in statistical methods, those are Chi-square to obtain the existence of correlation between physical condition variables and socio-economic condition variables respectively, and multiple regression to identify the dependent correlation of slum category and its socio-economic condition. The calculation operation took the advantage of SPSS (Statistical Package for Social Sciences) software for its simplicity.
Chi-square hypothesis test identified a significant correlation between both variable groups. Thirty sets of cross tabulations were tested, to investigate the magnitude of correlation between interfaced variables. As much as 23 items or around 77 percent from those, indicated the existence of significant correlation of variables. Respondent income factor ranks at the first in case of proved correlation result, that is 9 significant correlation out of 10 selected items. Second rank is occupied by education level with 8 correlation and the last one is health factor with 6 proved correlation from 10 tested items each. From the quality of correlation view points, the proved variable correlations have medium grade in average sense, with the range of contingency coefficient for 0.30 - 0.49. The strongest correlation exists between respondent income and house structure condition with contingency coefficient of 0.500.
Regression calculation of slum condition grade Y to the three independent variables : X11 (income), X12 (education level) and X13 (health) results an equation:
Y = 7.279 + 0.458 X11 + 1.764 X12 + 2.598 X13 .
The above equation shows correlation form among involved variables, in this case Y represents settlement physical environment condition and X11, X12 and X13 represent community's socio-ecomical condition. Regression equation presents information that environment physical condition is paralelly correlated with socio-ecomic condition. It means the increasing score of the right hand side of the equation will improve the rate of left side, that will lead to a conclusion, i.e, as the quality of income, education level and community's health goes lower, the settlement environment will be degraded or it indicates a worse environmental condition. This is to say that proposed hypothesis has been proved by the above mentioned regression test result.
Verification of terestrial data analyses resulted in aerial photograph interpretation indicates a good similarity on slum distribution. Terestrial observation shows that most settlement area holds the heavy slum status. In comparison, the composition of heavy slum, medium slum and light slum is 65 %; 26.70 % and 8.30 % respectively. Interpretation of 1994 aerial photograph exhibits a composition as above: 68.15 %; 24.60 % and 7.25 %. From one aspect, population growth and population pressure promote the expansion of slum settlement, denoted by the new expansion of slum area of 2.90 ha, from 1984 to 1994. On the other hand, the government or community's self supporting effort succeeded in settlement betterment campaign, even it was possible to reduce the expansion of heavy slum settlement. This quality improvement was indicated by the reduction of slum settlement area of 28.35 ha during the same period.
The prompting factors on settlement slum observed on site consist of three main components, i.e. density, live style and settlement environmental condition.
Density refers to residential density and physical settlement density. More residents in a smaller house will stimulate slum condition. In observation, the density is 5 m2 per person on average, under the normal standard 6 to 9 m2 per person. Taking the physical settlement density into account, it was accurately recognized from aerial photograph that most settlement blocks have average settlement building coverage of more than 75 %, which can be classified into heavy slum category.
Life style component consists of three aspects: sanitation facility usage, availability of waste disposal facility and water supply. In observation, it was indicated that within slum settlement, quite a lot of respondents have no private sanitation facility (20.80 %) or agree to use public sanitation facility, but freely defecate in open space as rivers or sea. From the point of waste disposal, stimulus to slum condition resulted in dirty live style was apparently very dominant, and it was indicated by a proportion of respondent littering (43.30 %). Water supply in sufficient quantity was not available in observation area, indicated by respondents who meet their water demand from passing water sellers (about 53.30 %). All these show an improper settlement environment infrastructure.
Environment components cover four aspects, they are settlement blocks arrangement, house structure condition, access street width and access street surface condition. Slum pressure originated from arrangement aspect was observed from the low arrangement quality of most respondent's settlement (61.70.%). Similar pattern was indicated for housing structure contribution on slum formation. As much as 46.70 % non permanent housing structures was observed, as they represent unlikely environmental condition. Most access street width in observation area are less than 1.0 m (about 54.20 %).
These narrow streets cause inappropriate function of traffic path, disposal bin and drainage channel location, neighbourhood's border. It was clear that those matters will lead to bad environment to stimulate slum formation. Most street surfaces were muddy and impounded in rainy days, prompts the slum and bad environment.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsiti
"ABSTRAK
Kota sebagai lingkungan hidup buatan dapat dilihat sebagai hasil dari suatu proses interaksi antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Kota, sebagai pusat kegiatan dan konsentrasi kehidupan manusia, dewasa ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk menuntut berbagai sarana dan prasarana untuk mencukupi kebutuhannya.
Pembangunan dapat optimal bila didukung oleh perencanaan yang memadai. Salah satu dampak pembangunan terjadi pada sumber daya alam dan lingkungan. Akibat dampak berupa degradasi lingkungan, yang bila dibiarkan akan merusak lingkungan dan selanjutnya akan menurunkan kualitas lingkungan.
Untuk menangani masalah perkotaan ini sangat diperlukan perangkat pengaturan pengelolaan yang memadai.
Di Indonesia, permasalahan ini telah menjadi pusat perhatian berbagai pihak, baik pihak pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum, terbukti dengan munculnya berbagai peraturan perundang--undangan, kelembagaan, dan aktivitas lainnya.
Aktivitas tersebut perlu ditunjang oleh informasi akurat, tepat waktu, dan dipercaya. Namun informasi yang ada di berbagai lembaga sebagian tidak diterbitkan dan dikelola secara memadai sehingga tidak terjangkau oleh yang memerlukan. Informasi ini, apabila dikelola dengan baik dan dimanfaatkan secara optimal, akan sangat membantu para pengambil kebijakan pembangunan maupun pendidikan/pengembangan keilmuan. Selain itu terjadinya duplikasi penelitian akan sangat kecil.
Penelitian difokuskan pada: menyusun sistem informasi dan mekanisme kerja organisasi yang efisien dan optimal untuk mengelola informasi ekologi perkotaan.
Sampel/responden, berjumlah 100 orang yang dipilih dari berbagai instansi dan profesi (pengambil kebijakan, perencana/perancang, pengelola lingkungan, dan peneliti/staf pengajar), dan ditambah 100 orang pengelola informasi. Data diperaleh melalui kuesioner dan wawancara dengan para responden di berbagai kota yang telah ditentukan kriterianya. Survai dan studi kepustakaan dilakukan untuk memperkuat hasil penelitian.
Hasil penelitian menyimpulkan:
1. 1. Informasi ekologi perkotaan belum dikelola secara memadai
2. 2. Pusat informasi pada umumnya belum mendukung kebutuhan para pengambil kebijakan pembangunan maupun pendidikan/ pengembangan keilmuan.
3. 3. Responden (61%) menyatakan kesulitan mencari laporan penelitian, 88% menginginkan informasi mutakhir, 40% menginginkan abstrak, 26 % indeks, 16% resensi, 100% menghendaki informasi yang dibutuhkan harus dapat diketemukan; dan 95% menghendaki perlunya petugas pemandu subyek spesialis.
Agar informasi ekologi perkotaan dapat dimanfaatkan secara optimal, diperlukan suatu sistem simpan temu kembali informasi yang berbentuk Pusat Analisis Informasi Ekologi Perkotaan (PAIEP). PAIEP sebagai wadah yang bertugas mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat tinjauan, untuk disebarluaskan kepada peminatnya.
Untuk mengoptimalkan hasil informasi, diusulkan suatu mekanisme kerja dan struktur kelembagaan sebagai berikut:
1. Koordinasi meliputi: inventarisasi koleksi, pemanfaatan informasi, penyusunan bibliografi/katalog induk, analisis /evaluasi informasi, dan konsultasi untuk menghasilkan informasi baru yang lebih bermanfaat.
2. Koordinasi dengan pusat-pusat informasi dari berbagai pihak baik tingkat pusat (Bappenas, Pusat Studi Lingkungan (PSL), Pusat Informasi dan Dokumentasi untuk Perencanaan Kota dan Daerah (PUSIDO), Pusat Informasi Teknik Pembangunan (BIC), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional(BARORSURTANAL), dan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) dan tingkat daerah (Bappeda, PSL,PUSIDO, BIC, dan LSM) melalui hubungan kerja sama atau jaringan informasi. Untuk kelancaran dan kemudahan dalam pengoperasiannya, setiap jenis kelompok pusat informasi (PSL, PUSIDO, SIC,) menunjuk satu pusat informasi sebagai pusatnya. Pusat-pusat informasi daerah mempunyai kewajiban untuk mengumpulkan informasi di daerahnya masing-masing.
3. Pelayanan informasi di tingkat propinsi dilayani oleh PSL, sedangkan untuk tingkat pusat dilayani oleh PAIEP.
4. Sajian informasi berbentuk: Ringkasan literatur, laporan penelitian, bibliografi, brosur, buku penuntun, buku petunjuk alamat, daftar tambahan koleksi, informasi kilat, monografi, proseding, tinjauan kritis, dan sebagainya.
5. Untuk menjaga kelancaran dan kemudahan-kemudahan dalam pengelolaan, PAIEP sementara waktu sebaiknya berada di bawah koordinasi Kantor Menteri KLH.
6. Menemukan/memutakhirkan cara/prosedur yang efisien dan efektif berkenaan dengan pengumpulan, penyimpanan, analisis,evaluasi, dan penyajian informasi ekologi perkotaan.

ABSTRACT
Urban areas as a made life environment may be seen as the results of the interaction process between man, between man and his environment.
Urban areas as the centre of activities and the concentration of human life are growing very fast nowadays. Population growth and development need many kinds of facilities and infrastructure.
Development could be optimal, if supported by proper planning. Development has an impact on natural resources and environment. The impact is found as environment degradation that, if neglected, could damage the environment, and further more, degrading its quality. Therefore, a proper environment management is really needed to handle this urban problem. In Indonesia, this problem becomes the focus of attention by many parties, including Government, and private sectors, to result in many kinds of rules, new established institutions and other activities.
These activities need to be supported by an accurate, on time and trustworthy information. Unfortunately most of the information available in many of the institutions were not well published and well managed, resulting in being out of reach by those who need it.
When this information is managed well and optimally employed it will be very useful for development policy makers as well as education and science. Besides, duplication in research will be reduced.
This study focuses on information systems and the mechanism of proper and efficient organization of information on urban ecology. A sample of 100 persons as taken from a variety of institutions and professions (policy makers, planners/designers, environment officials, researcher lecturers) and an other 100 persons whose jobs deal with information.
Data were gathered from questionnaires and interviews to respondents in many places of which its criteria has been indicated. Literature study was carried out to strengthen the results of the research.
The conclusions of the research are as follows:
1. 1. The information of urban ecology is not well managed.
2. 2. Generally, the information centre is not capable of supporting the needs of development policy makers as well as education and science development.
3. 3. As many as 61% of the respondents state that they have difficulties in searching research reports, 88% of them are in need of current information, 26% need abstracts, 16% need reviews, 100% request that information they need must be found and 95% need the guidance of a subject specialist.
Direct access to an information system is needed to enable optimal use of the urban ecology information and therefore, Information Analysis Centre for Urban Ecology {IACUE) is needed.
IACUE as an institution whose tasks is to collect, maintain, analyze, evaluate and state of the art reviews to be distributed to those who are interested. To optimize the results of information, the study proposed an institutional structure and work mechanism as follows:
1. Coordination, including: collection inventory, the use of information, the preparation of bibliographies/union catalogue, analyzing/evaluating of information, and consultative work to produce new information that could be more useful.
2. Coordination through an information network covering centers of information of many parties including public offices suck as Bappenas, Pusat Studi Lingkungan (PSL), Pusat Informasi dan Dokumentasi untuk Perencanaan Kota dan Daerah (PUSIDO), Pusat Informasi Teknik Pembangunan (BIC), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Badan Koordinasi Survay dan Pemetaan Nasional (BAKORSURTANAL), Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) and institutions at district areas (Bappeda, PSL, PUSIDO, BIC, and LSM).To make it easy in its operation, every information centre (PSL, PUSIDO, BIC) should appoint one of the information centers as a center (coordinator). The district information centers are responsible for collecting information in their district areas.
3. Information services at provincial level are served by PSL while at the central level PAIEP {IACUE) has the responsibility.
4. The information channels take the form of: literature summaries, research reports, bibliographies, brochures, guide books, directories, accession lists, current con-tents, monographies, proceedings, critical reviews, etc.
5. To facilitate its administration, IACUE is suggested to be under the Ministry of State for Population and Environment.
6. It needs to select or find the most efficient and effective procedure in collecting, maintaining, analyzing, evaluating, and presenting urban ecology information.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baroto Setyono
"Kota Depok tidak dipersiapkan sebagai kota yang mandiri melainkan direncanakan bagi pengembangan pemukiman penduduk yang bekerja di DKI Jakarta. Muncul akumulasi perumahan baru (pemukiman tertata) yang dibangun oleh pengembang dengan prasarana lingkungan baik, mempunyai akses baik menuju Jakarta serta fasilitas-fasilitas lainnya seperti pusat perbelanjaan, pertokoan dan perkantoran. Sejak dibangunnya perumahan pertama oleh Perum Perumnas pada tahun 1976 yang dikenal dengan nama Perumnas Depok I, Depok dengan luas wilayah 6.794, 902 Ha pemukiman mulai berkembang dan tingkat mobilitas masyarakamya semakin meningkat. Maraknya pembangunan perumahan tersebut di satu sisi telah membawa dampak positif terhadap peningkatan perekonomian dan kualitas hidup penduduk kota Depok. Namun di sisi yang lainnya akan menimbulkan sumber bangkitan perjalanan baru yang apabila tidak diantisipasi, dikelola dan disalurkan fengan baik, maka akan menimbulkan masalah lalu lintas yaitu kemacetan lalu lintas. Pada gilirannya, hal ini akan meningkatkan pencemaran udara sehingga menurunkan kualitas hidup penduduk khususnya yang tinggal di sekitar wilayah kemacetan lalu lintas tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kemacetan lalu lintas, mengetahui pengaruh kemacetan lalu lintas terhadap kualitas hidup penduduk di sekitar wilayah kemacetan lalu lintas dan mengetahui upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Lokasi penelitian dipilih pada lokasi-lokasi yang rawan terhadap kemacetan lalu lintas di Kota Depok. Lokasi terpilih (wilayah kemacetan lalu lintas) yaitu Jalan Arif Rahman Hakim dipilih berdasarkan lamanya kendaraan berhenti dan lamanya kemacetan lalu lintas terjadi, sedangkan lokasi tidak mengalami kemacetan lalu lintas adalah Jalan Raya Sawangan. Penduduk yang diteliti kualitas hidupnya adalah keluarga yang tinggal atau menetap di sekitar lokasi penelitian. Tingkat kualitas hidup penduduk diukur berdasarkan indikator kesehatan akibat pencemaran udara oleh kemacetan lalu lintas, yaitu dengan variabel gangguan kesehatan, biaya pengobatan dan waktu tidak penuh kerja. Untuk melihat hubungan kualitas hidup penduduk dengan kemacetan lalu lintas digunakan perhitungan statistik Chi-Square.
Penyebab kemacetan yang terjadi di Jalan Arif Rahman Hakim adalah pengoperasian Terminal Bus Depok yang melebihi kapasitas pelayanan terminal tersebut, persimpangan sebidang antara Jalan Arif Rahman Hakim dan rel kereta api dan kurangnya sistem pengawasan dari manajemen lalu lintas. Adanya hubungan kemacetan lalu lintas terhadap kualitas hidup penduduk diketahui melaui derajat hubungan yang kuat (C=0,433) antara variabel kemacetan lalu lintas yaitu kualitas udara dengan gangguan kesehatan, derajat hubungan yang cukup kuat (C=0,365) antara kualitas udara dengan biaya pengobatan, dan derajat hubungan yang cukup kuat (C=0,316) antara kualitas udara dengan waktu tidak penuh kerja. Hal ini berarti menjawab hipotesis penelitian, yaitu terdapat hubungan antara kemacetan lalu lintas dan kualitas hidup penduduk. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi kemacetan lalu lintas yang terjadi di Jalan Arif Rahman Hakim adalah (i) Merubah status fungsi pelayanan terminal Kota Depok dari tipe C ke tipe A, atau Terminal Bus Kota Depok tetap dengan status fungsi tipe C dan membuat terminal baru di lokasi lain dengan status pelayanan tipe A. (ii) Membuat persimpangan tidak sebidang antara rel kereta api dengan Jalan Arif Rahman Hakim, baik berupa fly over atau under pass dan (iii) memperbaiki kualitas pengawasan manajemen lalu lintas dengan meningkatkan penegakkan hukum oleh aparat pengawas.

The Relationship Between The Quality Of Life Of Urban Settlers And The Traffic Jam: A Case Study in Depok CityDepok was not planned as a self-contained town, but planned for dormitory town. The merging new housing accumulation built by developers with good environment, has a good access to Jakarta and also other amenities such as shopping center, shops and offices. When it was developed and built as the first housing development of Perum Perumnas in 1976, it has been known as Perumas Depok I, Regional Depok with a wide of 6.794, 902 Ha, it expands and accelerates the social mobility progressively. The accumulation of housing development, on one side, has brought about positive impact on the economics and the quality of life for urban settlers in Depok; on the other side, it generates the source of disadvantageous situation due to traffic jam which is unexpected, anticipated and ill managed. The traffic jam, in turns will deteriorate the air, so that degradation of the quality of life for the residents especially who live around the region. The objective of the research is to identity the factors causing traffic jam and the influence of traffic jams on the quality of life for urban settlers around the region and also the efforts, which must be conducted to overcome the problem.
The research used a descriptive method. The location was selected at the location which gristle to traffic jams in Depok. The chosen location (traffic jam region) Jl. Arif Rahman Hakim was on the basis of duration vehicle desist and duration of traffic jam occurred; while the location which is not having a traffic jam is Jl. Sawangan Raya. Chosen population for quality of life were those families who live around the research area. The quality of life was measured by pursuant to health indicator anticipated by the effect of contaminated air by traffic jam, is variable of health problem, medication expenses and incomplied with timework. To support the findings of the relationship the quality of life for urban settler and traffic jam, it was used a statistical method of Chi-Square.
The cause of traffic jam occurred at Jl.. Arif Rahman Hakim is due to in efficient service function from bus terminal of Depok, an intersection between Jl. Arif Rahman Hakim and train track, and lack of management and control system. The existence of traffic jam influencing the quality of life for urban settler is indicated by a strong relationship with the level of C = 0,433 between variable of traffic jam that is air quality and the health problem, degree of relationship which is relatively strong (C=0,365) between air quality and the medication expenses, and degree of relation which is strong enough (C=0,316) between air quality and uncomplied with time work. This is evidence that, there is a relationship between traffic jam and the quality of life for urban settler. Efforts should be done to overcome or at least to leisure the traffic jam that occurred in J1. Arif Rahman Hakim is optimal returns the function of service bus terminal for Depok, if possible it chants to a status of function service bus terminal for Depok from type C to A, or the bus terminal remains to the status function is type C and it is making a new bus terminal in the other location with the status of type A. It makes two pieces of intersection between train track and Jl. Arif Rahman Hakim, good in the font of fly over or under pass. And it may improve the quality control of traffic management.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hasbi Azis
"Salah satu pilar ekonomi DKI Jakarta, masih bertumpu pada bisnis ritel (Kompas, 16/10/2003). Trend pembangunan mal, supermal atau plaza di Jakarta, menunjukkan kecenderungan peningkatan beberapa tahun belakangan ini.
Bangunan yang berkelanjutan hingga saat ini di Indonesia belum mempunyai konsep yang integral sebagai sebuah konsep yang menjadi kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Padahal, konsep ini telah menjadi sebuah kebijakan integralisasi konsep yang mengejewantahkan Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan, oleh sejumlah negara di berbagai belahan dunia.
Eco-Building atau Green Building untuk Indonesia adalah konsep penilaian atas bangunan gedung di Indonesia yang menunjang konsep bangunan yang berkelanjutan. Konsep Eco-Building ini berasal dari hasil modifikasi konsep penilaian Green Building. Alat bantu penilaiannya menggunakan matriks daftar periksa (checklist) Eco-Building yang juga telah dimodifikasi oleh Peneliti.
Masalah yang dihadapi adalah tidak diketahuinya sejauhmana penerapan konsep Eco-Building pada bangunan konstruksi komersil di Indonesia, khususnya manajemen operasional dari obyek yang diteliti dan bagaimana peranan dan dampak terhadap masyarakat yang bermukim di sekitar areal bangunan konstruksi komersil di Indonesia, khususnya terhadap bangunan yang diteliti.
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk merekomendasikan konsep Green Building untuk Indonesia dengan istilah Eco-building kepada pemerintah pusat maupun daerah, untuk mengetahui sejauhmana penerapan konsep Eco-Building pada bangunan gedung komersil di Indonesia, khususnya manajemen operasional dari obyek yang diteliti, dan untuk mengetahui peranan dan dampak terhadap masyarakat yang bermukim di sekitar areal bangunan gedung komersil di Indonesia, khususnya terhadap bangunan yang diteliti.
Penelitian dilakukan di dua buah bangunan gedung di wilayah Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan dengan aktivitas peruntukan berbeda, yaitu gedung Menara Kadin Indonesia dengan peruntukan perkantoran dan gedung Mal Ambasador dengan peruntukan tempat perbelanjaan dalam jangka waktu penelitian.
Hipotesis penelitian ini adalah "Bangunan dan pengelolaannya yang menerapkan konsep Eco-building akan menjadikan bangunan gedung tersebut dapat meminimalisasi degradasi lingkungan".
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan deskriptif analitik dari data kuantitatif dan kualitatif yang bertujuan verifikatif serta developmental atas gedung tempat penelitian. Pemilihan lokasi menggunakan metode cluster sampling, sedangkan penentuan sampel atas populasi gedung menggunakan metode pursposive sampling. Penentuan responden menggunakan metode accident sampling. Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi lapangan, kuisioner, wawancara dan diskusi mendalam serta studi literatur.
Panduan peniaian daftar periksa penelitian menggunakan panduan dasar dari Sustainable Building Technical Manual yang dikembangkan oleh Public Technology, Inc dan U.S. Green Building Council pada tahun 1996, dengan dengan modifikasi peneliti yang melakukan pembatasan pada beberapa kriteria tertentu atau dikembangkan karena argumentasi mengenai perbedaan situasi dan kondisi iklim dan aturan yang berlaku di Indonesia.
Penelitian menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil daftar periksa, Menara Kadin Indonesia memperoleh 41 poin yang mengindikasikan bahwa penerapan green building di gedung ini telah dilakukan dengan kualitas sangat baik. Mal Ambasador memperoleh 25 poin yang mengindikasikan bahwa penerapan green building di gedung ini berkualitas cukup. Ini berarti, belum optimal tapi tidak buruk.
Penelitian ini menyarankan untuk memberdayakan Perhimpunan Penghuni Gedung dan perlunya membangun jembatan penyeberangan, pembentukan komisi independen pembuatan konsep Eco-Building dengan pelibatan tenaga ahli multidisiplin ilmu, pembentukan lembaga independen penilai, pengadaan kawasan percontohan, keterlibatan pihak swasta, membuka industri turunan ramah lingkungan berbasis masyakarat lokal dan gerakan budaya peduli bangunan yang berkelanjutan serta perlu disusunnya lagi peraturan perundang-undangan yang berdasarkan konsep "bangunan berkelanjutan".

Jakarta's economy still relies on retail business (Kompas, 16/10/2003). For the last few years the city has seen a trend of increasing number of construction projects of malls, super malls and shopping centers.
National and local governments in Indonesia have never integrated the concept of the sustainable building in their policies despite the fact countries all over the world have the Agenda 21 concerning sustainable development manifested in their policies.
Eco-Building or Green Building to Indonesia was the concept of the assessment of the building in Indonesia that supported the concept of the sustainable building. These Eco-Building was came from results of the modification The concept of the Green Building assessment Aids it assessment made use of the list matrix checked (checklist) Eco-Building that also has modified by the Researcher.
The problem with Indonesia is that, how far the green building concept has been applied to commercial buildings in Indonesia, particularly the studied objects; and the extent of influence people who live in areas surrounding commercial buildings have, particularly on buildings under study.
This research aims at recommending the implementation of Green Building concept, known as "Eco-Building", to national and local authorities in Indonesia; particularly regarding existing commercial buildings; evaluating how far the concept of Eco-Building has been applied to commercial buildings in Indonesia, particularly the studied structures; and studying the extent of influence of people living in areas around commercial buildings in Indonesia, particularly on buildings under study.
Research was conducted in two buildings located in the district of Setiabudi, South Jakarta, to learn how far the concept of green building had been applied to these buildings. Each of them operated under different building/land use plan: Menara Kadin Indonesia was designated as office building while Mal Ambasador as shopping center.
The research proposed the following hypothesis: "Building and Management to which the concept of eco-building is applied has the potential building to minimize environmental degradation."
It used the descriptive-analytical approach to verify and develop quantitative and qualitative data of the studied buildings. Cluster sampling was used to determine the location, while purposive sampling was used to sample the building population. Respondents were selected through accident sampling, and media for data collection included field observations, questionnaires, interviews, in-depth discussions and literature studies.
As guidelines for research checklist assessment, Sustainable Building Technical Manual which was jointly prepared by Public Technology, Inc. and U.S. Green Building Council in 1996 was researcher's modificated used with some limitations to a number of certain criteria or adaptations to suit Indonesia's different conditions, climate and regulations.
Checklist results assigned Menara Kadin 41 points, indicating the building's excellent application of eco-building concept. Mal Ambasador had 25 points, which indicated its moderate application of eco-building concept. It was not optimal but it was not bad either.
The research recommended the empowerment of Building Tenant Associations and the importance of developing overpass, establishment of independent commission with the responsibility of devising the concept of eco-building involving multi-disciplinary experts, formation of independent assessment agency, construction of pilot areas, involvement of the private sector, environmental-friendly related industries setup with local community, the introduction of cultural movement oriented to sustainable development and also to require to be compiled again law and regulation which pursuant to Concept "sustainable building".
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>