Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abimanyu T. Alamsyah
"Berdasarkan konvensi hukum laut perserikatan bangsa-bangsa (united nations convention on the law of the sea) 1982, indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state), yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau (DKP 2000). Menurut UNESCO (RI 1997an) pulau kecil adalah pulau yang lebih kecil daripada 10.000 km2 penduduk kurang dari 500.000 orang. Namun terminologi pulau kecil tersebut terlalu besar untuk mewakili ke khasan permukiman di gugus pulau mikro, termasuk di Kepulauan Seribu dan pulau-pulau mikro di perbatasan Indonesia. Luas pulau-pulau mikro tersebut banyak yang kurang dari 1 km2 (DKP 2006). Luas total sekitar 110 pulau di Kepulaluan Seribu hanya 8,69 km2 di dalam laut seluas 6.979,50 km2 (Rayaconsult 2001).
Nelayan diidentifikasi sebagai termasuk miskin di Indonesia (RI 1997a). Agar turut brperan dalam penyelamatan lingkungan hidup, penataan ruang perlu merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan (WCED 1988) untuk peningkatan kualitas hidup komuniti lokal dan lingkungannya (ICPQL 1996), termasuk nelayan yang tinggal di region gugus pulau mikro kepualauan seribu.
Dalam kenyataannya sukar untuk mengukur kualitas hidup. Mengikuti paradigma kebersamaan (Fischer-Kowalsky et al. 1992), kualitas hidup pergantung kepada keramahan hubungan manusia dengan lingkungannya. Sebaliknya, daya dukung lingkungan hidup juga dipengaruhi oleh keefektifan metabolisme industri dan teknologi dapat mengubah limbahnya sehingga metabolisme alam dapat mengkonsumsinya sebagai makanan atau zat hera ( McDonough dan Braungart 1998). Hanya dengan meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat untuk memelihara maka kualitas lingkungan mereka dapat meningkat.
Suatu region adalah suatu bagian dari lingkungan hidup. Region diidentifikasi untuk keperluan penataan, sedangkan regionisme penataan adalah konsep dasar untuk menentukan batas-batas suatu region.
Sepanjang sejarah, esensi suatu region telah diidentifikasi melalui berbagai pendekatan, teori dan paradigma untuk berbagai tujuan dan bidang ilmu. Dalam mengidentifikasi keterkaitan antara ekologi dengan kultur di suatu tempat, Berg dan Dasmann (1977) menganjurkan untuk penggunaan konsep bioregion, region yang mengacu kepada kawasan geografis maupun kawasan kesadaran kultural penghuninya. Regionisme ini berkembang menjadi bioregioalisme, suatu pemahaman mengenai bagaimana untuk hidup di bioregion. Namun penerapan yang berkembang selama ini lebih beriorientasi kepada region daratan dan belum menyentuh masalah pulau-pulau mikro.
Paradigma laut sebagai milik umum mengantar nelayan besar untuk mengeksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya kelautan, Friedheim menyatakan perlunya institusi pentadbiran laut agar dapat mengalokasikan pemanfaatan dan pelestariannya secara lebih adil, efektif dan efisien (Friedheim 1999a, Bengen 2003). Namun pentadbiran sumberdaya laut tidak dapat meninggalkan kepentingan pemukim pulau yang kehidupannya berbasisi laut.
Fokusdisertasi ini adalah mempelajari keberlanjutan permukiman gugus pulau mikro di bioregion Kepulauan Seribu, serta mengevaluasi fungsi kebijakan penataan permukiman setempat selama ini dalam meningkatkan kualias hidup pemukim dan lingkungan setempat. Disertasi ini akan membuktikan bahwa kelemahan hasil penataan dapat dimulai sejak pemilihan regionisme penataannya. Beberapa temuan akan bermanfaat sebagai acuan penataan gugus pulau mikro lain yang serupa.
2. MASALAH PENELITIAN
Berbagai kebijakan, perencanaan dan penataan telah dilakukan untuk membangun daerah metropolitan jakarta, termasuk untuk Kepulauan Seribu. Walaupun demikian kondisi kehidupan penduduk gugus pulau mikro setempat tidak meningkat secara nyata.
Penataan ruang Kepulauan Seribu selama ini tidak mampu meningkatkan kualitas kehidupan pemukim dan lingkungan setempat.
3. HIPOTESIS
Daya dukung terhadap kehidupan di permukiman gugus pulau mikro menyangkut daya dukung manusia selain lingkungan alamnya, yang berinteraksi dan berproses secara berkelanjutan antara metabolisme sistem kehidupan manusia dengan metabolisme sistem alamnya. DI Kepualauan Seribu, metabolisme manusia termasuk penerapan iptek pendukung kehidupan pulau-pulaunya, sedangkan metabolisme alam termasuk kehidupan di pulau maupun di laut sekitarnya. Hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Hipotesis 1:
Penataan ruang selama ini masih didominasi oleh regionisme daratan, sehingga tida memperhatikan bioregion gugus pulau mikro yang ada di dominasi laut.
Hipotesis 2:
Peningkatan kualitas hidup pemukim dan lingkungan gugus pulau mikro di Kepualauan Seribu selama ini tidak dapat berkelanjutan karena penataan ruang selama ini tidak terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam suatu pentadbiran bioregion gugus pulau mikro.
4. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengungkapkan kelemahan penataan permukiman di Keluapauan Seribu.
2. Mengkaji secara kritis kelemahan penerapan regionisme penataan yang lama terhadap keberlanjutan permukiman di gugus pulau mikro.
3. Mengkonstruksi regionisme penataan yang baru untuk gugus pulau mikro.
4. Menawarkan prinsip-prinsip penataan permukiman di gugus pulau mikro yang lebih memiliki kemampuan untuk mendukung peningkatan kualitas hidup pemukim dan lingkungannya.
5. Mengindikasikan konsekuensi regionisme penataan yang baru terhadap pentadbiran gugus puau mikro di Kepulauan Seribu.
5. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kombinasi dari penelitian deskriptif dan penelitian penjajagan (Neuman 1997:19-21, 31-34). Sebagai penelitian deskriptif, gejala setempat akan diperlakukan sebagai gejala umum, dalam kasus ini kekhasan permukiman dibgugus pulau mikro. Penelitian ini dapat dianggap sebagai penelitian awal karena, dari hasil penelusuran peneliti, hingga kini penelitian mengenai regionisme penataan permukiman di gugus pulau mikro serta kaitannya dengan pentadbiran bioregion gugus pulau mikro belum pernah dilakukan.
Sesuai dengan esensi studi dan keterbatasan data pada awal studi, penelitian ini menggunakan kombinasi antara metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif dan metode kritik-eideografis (positive social science, interperlatif social science dan critical social science, Neuman 1997:60-80). Walaupun metode kuantitatif digunakan dalam pengolahan data awal, pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian longitudinal yang bersifat kualitatif, yang dilakukan dari tahun 2002 hingga 2004. Relevansi dengan perkembangan hingga tahun 2006 ditelusuri melalui informasi tambahan dari data sekunder dari pemerintah kabupaten Kepualauan Seribu maupun Departemen Kelautan dan Perikanan.
Kritik-ideografis dilakukan terhadap regionisme produk penataan ruang yang lama.
Identifikasi siapa yang termasuk komuniti pulau, serta pengungkapan regionisme yang digunakan pakar penataan ruang selama ini, melalui pengungkapan korelasi antara profil responden dengan persepsinya, dengan menggunakan metode uji korelasi variabel non-parametrik spearman.
Temuan ini kemudian dapat mengungkapkan peluang dan keterbatasan regionisme penataan uang digunakan dalam produk perencanaan tata ruang selama ini, hubungannya dengan pentadbiran gugus pulau mikro serta kondisi komuniti lokal dan lingkungan kehidupannya.
6. HASIL PENELITIAN
1. Kelemahan penataan ruang selama ini
Sebagai suatu ekoregion gugus pulau mikro, Kepualauan Seribu adalah suatu kesatuan lingkungan hidup terdiri dari pulau-pulau yang sangat kecil, relatif berdekatan, dengan total daratan tidak lebih dari 10km2, terpisah dari pulau besar atau pulau induknya, serta unsur lautan di sekitarnya yang jauh; lebih luas daripada daratannya. Kondisi ini menyebabkan pengaruh ekosistem laut dan perubahan iklim setempat lebih dominan daripada daya dukung ekosistem daratannya.
Tidak semua pulau mikro berpenduduk. Bagian terbesar pemukim gugus pulau mikro adalah nelayan atau bekerja mendukung kehidupan berbasis sumberdaya lingkungan laut. Di masa lalu tidak semua pulau dipilih sevagai pulau perumahan. Mereka tinggal terutama di satu atau lebih pulau yang berada di tengah ekoregionnya. Beberapa pulau dan karang di sekitarnya merupakan pelindung alami, penyedia air bersih, dan lainnya dapat menjadi pulau penyedia cadangan sumberdaya alam.
Setiap komuniti pulau laut pada awalnya memilih tempat tinggal di kesatuan gugus pulau mikro yang berbeda. Kesatuan gugus pulau permukiman ini dapat disebut sebagai suatu antroporegion gugus pulau ikro. Antroporegion yang menyatu dengan ekoregion gugus pulau mikro dapat disebut sebagai bioregion gugus pulau mikro. Bioregion pulau mikro pertama di kepualauan Seribu adalah bioregion gugus pulau Kelapa dan gugus pulau Panggang yang dihuni oleh komuniti turunan Mandar-Banten. Kemudian berkembang pula bioregion gugus pulau Genteng dihuni oleh komuniti Bugis. Kemudian komuniti lain datang dan tinggal di bioregion gugus pulau mikro lama dan baru. Ini membuat bioregion gugus.
Demi mewujudkan suatu Cagar Alam Laut, yang kemudian menjadi Taman Nasional Laut, sekitar tahun 1980-an pemukim di bioregion gugus pulau mikro Pulau Genteng di pindahkan ke Pulau Sebira dan Pulau Kelapa Dua. Setelah lebih dari 20 tahun, nelayan Bugis di Pulau Kelapa Dua tetap miskin (TCP 2004). Disisi lain, Pulau Sebira sangat terpencil di bagian Utara Kepulauan Seribu. Ini membuat tindakan penyelamatan kegiatan mereka di laut dari pembajakan seolah-olah di luar tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Penataan ruang selama ini, termasuk pemindahan permukim daerah setemat. Penataan ruang selama ini, termasuk pemindahan permukim pulau Genteng ke kedua pulau baru tersebut, terbukti tidak meningkatkan kesejahteraan maupun kualitas hidup mereka.
2. Kelemahan regionisme penataan ruang selama ini
Berdasarkan undang-undang penataan ruang No. 24/1992 (RI 1992), penataan ruang yang lama mengacu kepada regionisme administrasi dan fungsional. Penataan ruang DKI Jakarta, termasuk kepualauan Seribu, cenderung didominasi regionisme daratan. Hasil kajian peta, studi lapangan, wawancara mendalam, dan kajian kritis terhadap londisi setempat dan produk penataan ruang sejak 1964-1999 menunjukkan rencana yang dibuat tidak konsisten, banyak kontradiksi dan potensi konflik antara rencana tata ruang yang ada.
Region administrasi lama tidak saja mengabaikan kondisi ekoregion laut namun juga antroporegion setempat. Tanpa referensi mengenai daya dukung laut setempat, rencana zonasi Taman Nasional Laut mengurangu era oenghidupan nelayan tradisional. Area eksploitasi minyak dan gas bumi tidak termasuk area tanggung jawab terhadap dampak tumpahan minyak ke laut sekitarnya. Penataan berdasarkan region fungsional sangat sektoral dan tidak terintegrasi dengan penataan ruang lain di region yang sama (Dephut 1986, 1995, 2002). Tidak ada penjelasan mengenai waktu-ruang pekerjaan komuniti lokal yang mempengaruhi masa pemanfaatan suatu bagian pulau dan laut sekitar pulau.
Persepsi pakar tata ruang juga menunjukkan bahwa regionisme penataan selama ini cenderung berbasis daratan. Regionisme daratan tidak mampu mengantisipasi perubahan lingkungan akibat aktifitas pembangunan berbasis laut.
Asumsi dasar dan aplikasi bioregionisme selama ini berbeda dengan kondisi permukiman di gugus puau mikro. Cakupan penerapannya masih terbatas kepada bioregion sebagai daratan luas dan sebelumnya dihuni oleh komuniti yang relatif homogen. Bioregionisme selama ini belum cukup mengidentifikasi regionisme penataan bagi permukiman yang berbais laut di gugus pulau mikro, semacam di Kepulauan Seribu.
3. Regionisme penataan untuk peningkatan gugus pulau mikro
Waktu-ruang unsur ekoregion suatu gugus pulau mikro selalu berubah. Oleh karena itu kehidupan di lingkungan Kepulauan Seribu selalu berubah sehubungan dengan perubahan kondisi dan perilaku ekoregion setempat. Antroporegion setempat juga berubah bersama dengan perubahan kondisi dan perilaku penduduk untuk mengantisipasi perubahan kondisi ekoregion, perkembangan ilmu dan teknologi kepulauan, serta perubahan kultur pemukim gugus pulau mikronya.
Dalam mengantisipasi perubahan kondisi ekoregionnya, setiap kelompok pemukim memiliki waktu-ruang dan strategi mempertahankan kehidupan masing-masing yang tidak selalu ramah lingkungan dan tidak semua berkelanjutan.
Upaya pemulihan atau peningkatan kearifan lingkungan dan kapasitas pemukim setempat hanya dapat bermanfaat bila pemukim sendiri terlibat dalam proses peningkatan kualitas kehidupannya dalam jangka panjang. Pendekatan ramah lingkungan dan kegiatan peningkatan kualitas hidup hanya dapat efektif bila komuniti pulau-laut setempat menjadi pelaku kunci dalam mengembangkan region gugus pulau mikronya sendiri, termasuk dalam proses penataannya.
Pengertian bioregion sebagai acuan dasar regionisme penataan gugus pulau mikro dapat digunakan, namum berbeda dengan fungsi awal bioregionalisme. Dalam bentuk baru, bioregion gugus pulau mikro dapat berfungsi secara operasional sebagai regionisme penataan gugus pulau mikro secara berkelanjutan. Bioregionisme gugus pulau mikro bukan sekadar untuk memahami ekoregion dan antroporegion setempat, namun juga sebagai dasar upaya bagaimana agar proses
penalaan betul-betul untuk meningkatkan kualitas hidup pemukim dan lingkungan
gugus pulau mikro setempat. Oleh karena itu bioregionisme gugus pulau mikro
sebagai regionisme penataan merupakan acuan utama proses pentadbiran bioregion
gugus pulau mikro yang dapat mendorong l-ceterlibatan pemukim setempat.
4). Prinsip-prinsip penataan dan pentadbiran gugus pulau mikro
Beberapa prinsip yang perlu diperhatilcan dalam penataan dan pentadbiran
bioregion gugus pualu mikro, adalah sebagai berikut:
1. Region penataan harus berbasis bioregion gugus pulau mikro,
2. Tujuan utama penataannya adalah meningkatkan kualitas hidup setempat,
3. Penataan perlu mengacu kepada waktu-ruang metabolisme unsur-unsur
bioregionnya
4. Pelaksanaannya perlu melaiui proses yang ramah lingkungan,
5. Penataan permukiman merupakan bagian dari proses berlanjut pentadbiran
bioregion gugus pulau mikro,
6. Komuniti pulau-laut setempat berperan dalam menentukan hari depan
region permukimannya sendiri.
7. Hasilnya harus merupakan peningkatan kualitas permukiman di gugus
pulau mikro secara berkelanjutan.
5). Konsekuensi bioregionisme gugus pulau mikro
Mengacu kepada kondisi dan potensi setempat, paling kurang ada tiga strategi
potensial yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup pemukim dan
lingkungan gugus pulau mikro.
1. Dasar Konsepruai : Mengubah regionisme penataan yang semula berbasis
daratan menjadi berbasis bioregion gugus pulau mikro yang meliputi
ekoregion dan antroporegion pulau-laut setempat.
2. Pendekatan Penatrmn: Mengubah pendekatan penataan yang semula
berorientasi produk menjadi berorientasi proses sebagai bagian dari pruses
pentadbiran bioregion gugus pulau mikro; proses belajar bersama
berkelanjutan untuk mewujudkan peluang untuk meningkatkan kualitas
hidup setempat
3. Kelembagaan: Pengembangan institusi untuk memfasilitasi proses
perubahan dari berbasis regioisrne daratan menjadi bioregionisme gugus
pulau mikro, melalui peningkatan keberdayaan dan peran komuniti pulau-
laut setempat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D626
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Saladin
"Globalization has influenced widely to social order in postmodern era. Members of society have freedom individually to articulate their set of values and cultural symbols in everyday life. In the postmodern society, there are many varieties of consumer's taste to the cultural products, including housing products, as a part of efforts of the people to reach a social position in their society.
This study is a qualitative research with case study Lippo Karawaci, the property company member of Lippo Group, one of main business group in Indonesia. Problem statement is function of corporate culture as an adaptive strategy, or in other word, how employees of Lippo Karawaci operate their corporate culture as an adaptive strategy face globalization. Aims of this research want to understand why corporate culture becomes a significant factor of successfulness of the company, and how corporate culture should be operated face globalization. This study uses cultural theory approach as an adaptive strategy.
As a qualitative research, this research combines some research approaches, i.e. naturalistic, phenomenology, and ethno-methodology approaches. This research also uses polyphony and multi-textual approaches, which are suitable for assessing postmodern society. Methods of data collecting are participant observation and in-depth interviews.
Field research found some facts. Varieties of needs and consumer's taste to the housing products and its facilities stimulate employees of Lippo Karawaci to give response by operating generative principles of their corporate culture dynamically, and doing innovations continuously, both in housing design and service management. Housing products of Lippo Karawaci are received by consumers, and have become a trend in the property market. They are also selling the power of cultural capital of Lippo Group chairman.
Conclusion of this research are: first, globalization influenced property market strongly, and has been understood superficially, both by consumer and producer; second, employees of Lippo Karawaci face globalization successfully, by selling innovation, creativity, and cultural capital; third, development of exclusively settlement, like Lippo Karawaci, must be planned carefully, because it can leads to social gap and chaos.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D487
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uguy, Mediana Johanna Hendriette
"ABSTRAK
Suburbanisasi dalam pengembangan wilayah jabotabek, ditandai dengan pembangunan jalan raya bebas hambatan yang memencar dari Jakarta hampir ke segal arah, yang menghasilkan pola perkembangan sprawl. Berpindahnya fungsi hunian ke pinggi kota Jakarta mendorong pula timbulnya fungsi-fungsi lain yang mengikutinya yaitu kesehatan, pendidikan, perbelanjaan, dan lain-lain. Pembangunan kawasan pinggir kota yang sangat pesat ini telah menimbulkan juga berbagai permasalahan lingkungan hidup.
Timbulnya permasalahan lingkungan hidup di kawasan peri-urban antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Fungsi daerah-daerah resapan dan tangkapan air berkurang, digantikan oleh fungsi permukiman, baik untuk hunian maupun usaha komersial; (2) Kapasitas infrastruktur jalan raya dan jaringan transportasi massal tidak memadai untuk melayani penduduk ulang-alik; (3) Arus ulang-alik yang tinggi juga menunjukkan mata pencarian penduduk yang tinggal di luar kota berada di dalam Kota Jakarta; (4) Harga lahan relatif murah di luar jakarta merupakan salah satu pendorong pembangunan fasilitas hunian besar-besaran di kawasan peri-urban; (5) Kapasitas pelayanan publik tidak sepadan dengan pertumbuhan populasi dan kompleksitas pembangunan di peri0urban. Kualitas lingkungan buruk seperti kekumuhan, jalan rusak, limbah yang tidak teratasi dengan baik, dan tata ruang semrawut merupakan indikasi dari fungsi pelayanan publik yang tidak berjalan dengan baik.
Berdasarkan pengenalan permasalahan di atas, saya mengembangkan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
(1) Apakah kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan perkotaan yang ada telah mengarahkan pembangunan menuju tujuan keberlanjutan, yaitu telah mempertimbangkan keseimbangan tujuan-tujuan ekologi, ekonomi, dan sosial? Pada implementasi dari kebijakan tersebut, aspek-aspek apa saja yang menjadi penghambat tercapainya tujuan keberlanjutan dimaksud.
(2) Faktor-faktor apa saja yang menentukan pengembangan lingkungan peri-urban?
(3) Konsep apa yang dapat diusulkan bagi pengembangan lingkungan peri-urban yang menuju keberlanjutan?
Tujuan dan Manfaat
Tujuan utama penelitian ini adalah menemukan konsep baru bagi pengembangan lingkungan peri-urban yang menuju keberlanjutan. Upaya membangun konsep dimaksud, antara lain dengan: (1) Mengevaluasi kebijakan pembangunan perkotaan dan mengenali aspek-aspek apa saja yang menjadi pendorong maupun penghambat dalam pencapaian tujuan berkelanjutan;
(2) Menemukan faktor-faktor yang membentuk kawasan peri-urban, baik eksternal maupun internal; dan (3) Mengajukan konsep berkelanjutan perkotaan sebagai tujuan pengembangan.
Manfaat studi ini adalah turut mengisi khazanah Ilmu Lingkungan, sebagai body of knowledge, menyangkut aktivitas manusia dalam mengintervensi kawasan peri-urban dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip ekologi dalam perencanaan. Pemanfaatan ruang dan pengelolaan kota. Dalam konteks ini ditekankan bahwa manusia adalah bagian dari lingkungan hidup kotanya yang saling berinteraksi secara interdependen dengan komponen lainnya menuju suatu keadaan homeostasis atau keseimbangan.
manfaat praktis bagi pemerintah adalah tersedianya salah satu referensi, untuk mengevaluasi serta mengembangkan pembangunan dan pengelolaan kotanya, mengenal dan memahami lingkungan hidup lokalnya, baik potensi maupun ancaman yang terkandung di dalamnya. Bagi masyarakat umum, perorangan, atau lembaga swadaya, atau badan-badan perwkilannya, hasil studi ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang lingkungan hidupnya secara lokal maupun dalam pengertian yang luas; guna berpartisipasi scara lebih cerdas dan efektif dalam penentuan kebijakan, perencanaan, dn pengelolaan kota tempat tinggalnya. Kita membentuk lingkungan kita dan kemudianlingkungan yang kita bentuk itu membentuk kita. Pilihan ada pada kita."
2006
D642
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madrim Djody Gondokusumo
"ABSTRAK
Penelitian ini memilih topik kemiskinan dan lingkungan permukiman buruk di dalam kota, karena keprihatinan terhadap keberadaan masyarakat miskin yang signifkan dan kerusakan lingkungan yang parah di Jakarta. Melalui penelitian dengan perspektif ilmu lingkungan ini, penulis menawarkan konsep pemikiran baru untuk perencanaan tata ruang kota , yang dapat memberi arah jelas kepada pembangunan berkelanjutan di perkotaan. Pembangunan berkelanjutan yang dimaksud adalah proses mencapai masyarakat sejahtera dalam lingkungan hidup berkelanjutan. Masyarakat sejahtera berarti seluruh anggota masyarakat dapat berproses meningkatkan kualitas hidup mereka, baik secara material maupun non-material atau spiritual, dan tidak ada kesenjangan yang terlalu mencolok. Lingkungan hidup berkelanjutan berarti fungsi-fungsi lingkungan yang saling berinteraksi membentuk sistem kehidupan di Planet Bumi ini selalu terjaga.
Beberapa studi (antara lain Brundtland, G.H., 1987:235 dan World Bank 2000:25) mengungkapkan bahwa penduduk kota di seluruh dunia telah meningkat secara signifikan sejak tahun 1950an, dan sejalan dengan itu terjadi pula peningkatan jumlah penduduk miskin, terutama di negara-negara sedang berkembang atau miskin. Permasalahan pokok kota-kota besar di negara-negara sedang berkembang, termasuk Jakarta, antara lain adalah kemiskinan dan kesenjangan, kriminalitas dan pengangguran, kelangkaan air bersih dan sanitasi, banjir dan genangan, pencemaran air dan udara, sampah, lingkungan pemukiman kumuh yang luas, serta kemacetan lalu lintas. Hal tersebut menunjukkan bahwa di kota0kota itu tidak berlangsung proses pembangunan berkelanjutan.
Kota adalah suatu ekosistem yang terbentuk oleh proses-proses sosial. Permasalahan kota yang saling berinteraksi, hanya dapat difahami dengan paradigma holistik. Paradigma holistik melihat alam sebagai suatu entilas, suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berinteraksi. Bagian-bagian atau komponen-komponen itu tidak dapat dipelajari secara terpisah-pisah, melainkan harus difahami bahwa setiap komponen adalah bagian dari suatu keseluruhan.
Masalah
Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010, pemerintah kota mengakui bahwa masalah kritis yang dihadapinya adalah (a) kemiskinan dan kesenjangan, dan (b) kerusakan lingkungan. Kedua masalah itu harus diatasi, agar tercapai proses pembangunan berkelanjutan, yaitu masyarakat sejahtera dalam lingkungan hidup berkelanjutan.
Pedoman utama pembagungan kota Jakarta sejak 1965 adalah kebijakan rencana (tata ruang) kota, baik berbentuk Master Plan, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) maupun RTRW yang berlaku sekarang hingga 2010. Akan tetapi kebijakan rencara kota Jakarta itu gagal menciptakan proses pembangunan berkelanjutan, karena (1) berfokus kepada pendekatan fisik dengan tujuan pertumbuhan ekonomi semata, (2) kondisi masyarakat, yang terdiri dari strata sosial berbeda, kemiskinan yang masih signifikan dan kesenjangan yang lebar antar strata masyarakat, luput dari perhatian para penentu kebijakan, yaiu para elit (penguasa, pemodal, para ahli)...."
2005
D1887
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emirhadi Suganda
"ABSTRAK
Indonesia saat ini mempunyai jumlah pulau sekitar 17.000 buah dan panjang pantai sekitar 81.000 km. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Canada. Bagi indonesia, sumberdaya kawasan perkotaan pantai sangat penting karena terdapat 140 juta penduduk atau 60% penduduk indonesia tinggal di wilayah ini dengan lebar 50 km dari garis pantai. Sampai tahun 2000, terdapat 42 kota besar dan 181 kabupaten berada di wilayah pantai yang menjadi tempat pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Wilayah perkotaan pantai sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan penerima dampak dari daratan. Hal ini karena letak wilayah pantai yang berada diantara daratan dan lautan, dan adanya keterkaitan serta saling mempengaruhi antara ekosistem daratan dan lautan. Daya dukung dan daya tampung wilayah perkotaan pantai sudah melampaui kapasitasnya, 80% masyarakat perkotaan pantai masih relatif miskin, berpendidikan rendah dan sering termarjinalisasikan (DKP, 2005).
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Pembangunan kawasan perkotaan pantai saat ini, merupakan salah satu penyebab degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang mengakibatkan letidaksejahteraan masyarakat, khususnya petani dan nelayan". Penataan ruang yang diperuntukan bagi kawasan perkotaan pantai, jika dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan, mempunyai formula sebagai berikut:
a. Ditinjau dari aspek berkelanjutan, penataan ruang = f (X,Y,Z)
Penataan ruang adalah fungsi dari (lingkungan, ekonomi, sosial)
Dimana:
X = Lingkungan, berupa keseimbangan ekosistem
Y= Ekonomi, berupa adanya kesempatan pekerjaan.
Z = Sosial, berupa teratasinya masalah kependudukan.
b. Ditinjau dari aspek kawasan, keberlanjutan = f (P, Q)
Keberlanjutan adalah fungsi dari integrasi penataan ruang (kawasan daratan, pantai)
Dimana:
P= Penataan ruang di kawasan daratan
Q = Penataan ruang di kawasan pantai
Pertanyaan penelitian yang timbul dalam rangka pembangunan berkelanjutan di kawasan perkotaan pantai adalah: (i) Mengapa pembangunan di kawasan perkotaan pantai menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial; (ii) Tata ruang perkotaan pantai yang bagaimana, yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dan fokus pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat?.
Tujuan yang dirancang adalah untuk mengantisipasi tantangan dan prospek yang ada di masa mendatang, sebagai berikut: (a) Menemukan kelemahan pembangunan di kawasan perkotaan pantai yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang pada akhirnya menyebabkan ketidak berlanjutan (Lingkungan, Ekonomi & Sosial); (b) Menemukan dan menetapkan prinsip serta kriteria untuk penataan ruang kawasan perkotaan pantai dalam pembangunan berkelanjutan, yang dapat membuat masyarakat strata bawah dapat meningkatkan kesejahteraannya lahir dan batin (well being). Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1: Pembangunan kawasan perkotaan pantai akan berkelanjutan jika mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai. Hipoesis 2: Penataan ruang kawasan perkotaan pantai yang melibatkan partisipasi dan menampung aspirasi masyarakat, akan meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teori/konsep yang sudah ada (Exploratory Research) dengan carapre-scriptif. Sedangkan metoda penelitian yang dipilih adalah berupa gabungan antara penelitian metode kualitatif (untuk ranah makna) dan penelitian metode kuantitatif (untuk ranah fakta).
Wilayah penelitian yang diambil adalah: Kecamatan Pulomerak sebagai lokasi yang sudah dikembangkan (Desa Mekarsari, Desa Tamansari, Desa Margasari, dengan jumlah total responden 97 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan Kecamatan Bojonegara dipilih untuk lokasi yang akan dikembangkan (Desa Bojonegara, Desa Margagiri, Desa Puloampel, dengan jumlah total responden 95 KK). Adanya pembangunan, merupakan daya tarik internal bagi penduduk pendatang, karena Pulomerak-Bojonegara mempunyai fasilitas pusat jasa, pusat perekonomian and simpul transportasi. Sedangkan daya tekan eksternal adalah berupa kemiskinan dan pengangguran penduduk di luar kawasan. Pembangunan tersebut pada kenyataannya menimbulkan degradasi, baik lingkungan fisik maupun sosial, berupa ketidaksejahteraan penduduk lokal.
Kerangka konsep penelitian ini adalah: Pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana dengan mempertimbangkan aspek penduduk, tata ruang dan sumberdaya alam. Pada kawasan penelitian pembangunan belum berkelanjutan, disebabkan oleh: tekanan jumlah penduduk (asli dan pendatang) yang mempengaruhi ketidakseimbangan daya dukung dan daya tampung; kemudian tata ruang yang ada belum dilaksanakan secara taat asas; sehingga menyebabkan degradasi lingkungan. Melalui studi kepustakaan, dihimpun data tentang pembangunan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah, permasalahan perkotaan pantai dan kemiskinan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Dynamic SWOT ( untuk mengetahui konsep strategi wilayah), analisis kebijakan Analytical Hierarchi Process (AHP). Untuk menganalisis daya dukung dan daya tampung, digunakan interpretasi superimposed data topografi berupa peta Rupabumi digital 1:25.000, melalui program GIS. Sedangkan untuk mengetahui data profil kependudukan diambil uji statistik dengan program Excell. Juga dilakukan observasi mendalam atas aspirasi penduduk tentang kesulitan, keresahan dan harapan hidup. Analisis dan sintesis dari proses penelitian tersebut di atas, diharapkan akan menemukan "Model Tata Ruang di Kawasan Perkotaan Patai dalam Pembangunan Berkelanjutan". Untuk kawasan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah yang akan dikembangkan adalah gabungan antara teori consensus planning, teori pola perkembangan lincar Branch; dan teori pendekatan normatif von thurunen. Pengembangan teori yang dipelajari dari studi kepustakaan di bidang kewilayahan/tata ruang, akan didasarkan pada Ecological Landscape Planning yaotu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu bio-fisik, masyarakat dan ekologi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pendekatan perencanaan tata ruang berbasis lansekap ekologi adalah perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung. Teori Lansekap Ekologi menekankan peran dan pengaruh manusia pada struktur dan fungsi lansekap, serta bagaimana jalan keluar untuk merestorasi degredasi lansekap.
Tahapan penelitian dikembangkan dengan melihat beberapa indikator sebagai berikut: hasil indikator degradasi lingkungan, yang terdiri atas data erosi, sedimentasi, pencemaran dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian. Untuk mengetahui besarnya lokasi perubahan penggunaan ruang/lahan, digunakan metoda GIS, yaitu dengan cara analisis superimposed dalam kurun waktu 10 tahun (1992-1997-2002). Kemudian hasil superimposed ini dibandingkan dengan peraturan yang berlaku antara lain acuan pada Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Berkurangnya lahan alamiah dan bertambahnya lingkungan buatan dari tahun 1992 s/d 2003, memperlihatkan adanya pengawasan pembangunan yan tidak terkendali dan tata ruang yang ada belum memasukkan konsep lingkungan hidup secara utuh, sehingga kepentingan pembangunan ekonomi lebih ditekankan dibanding kepentingan atas perlindungan dan kelestarian alam. Dilihat dari hasil indikator penggunaan ruang dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian, dengan adanya penggunaan ruang secara berlebihan, dan terjadinya konvensi hutan lindung menjadi daerah terbangun. Dilihat dari hasil indikator kemiskinan, yang terdiri dari data indikator kemiskinan, Human Development Index (HDI), Millennium Development Goals (MDGs), Partisipasi masyarakat dan aspirasi ibu rumah tangga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi sosial pada kawasan penelitian. Analisis SWOT yang didasarkan pada loika yang memaksimalkan kekuatan (stength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (treats). Untuk mengurangi terjadinya degradasi lingkungan, dan kesenjangan ekonomi-sosial, serta untuk memperkecil ancaman bagi kebijakan tata ruang yang belum mendukung, maka diperlukan penyempurnaan atas kebijakan tata ruang yang ada (strategi W1-T3). Hasil akhir kebijakan publik yang dipilih oleh para pakar melalui model AHP adalah kebijakan penataan ruang dengan pendekatan : ekologi/holistik, daratan & pantai, dengan pelaku masyarakat/ stakeholders, ekosentrisme sebesar 38% (new paradigm), lebih diutamakan dibanding dengan kebijakan ruang dengan pendekatan: mekanistik, daratan & pantai, pelaku pemerintah & industri swasta, biosentrisme sebesar 35% (bussines as usual plus), dan kebijakan penataan ruang dengan pendekatan: mekanistik, bias daratan, pelaku pemerintah, antroposentrisme sebesar 27% (bussines as usual). Perubahan kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara instant, melainkan harus secara bertahap.
Kesimpulan penelitian:
a. Kelemahan pembangunan di kawasan Perkotaan Pantai saat ini, yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, karena belum mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai, dan pemerintah belum taat asas dalam perencanaan, pengendalian dan pelaksanaan pembangunannya.
b. Prinsip penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah dengan menggunakan perencanaan tata ruang berbasis Lansekap Ekologi, yaitu perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung.
c. Kriteria penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah berdasarkan keberpihakan pada lingkungan yang pengembangannya menggunakan etika lingkungan ekosentrisme, dengan memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologi, keberpihakan pada ekonomi kemasyarakatan, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditujukkan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat ; keberpihakan pada keadilan sosial.
d. UU Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, perlu disempurnakan karena: () Bias pemerintah (seharunya perpihak pada pemerintah, pengusaha dan masyarakat sebagai kesatuan stakeholders), (ii) Bias kota (seharusnya dengan pendekatan perkotaan dan pedesaan), (iii) Bias daratan (seharusnya dengan pendekatan daratan, lautan dan udara), (iv) Belum menerapkan sanksi bagi pelanggaran pelaksanaan penataan ruang di lapangan.
e. Perencanaan tata ruang yang ada cukup baik sebagai payung normatif, namun untuk rencana detail tata ruang (RDTR) seperti yang digunakan di kota bojonegara perlu disempurnakan, khususnya peruntukan bagi kawasan pantai.
f. Degradasi lingkungan fisik dan sosial yang terjadi, disebabkan aparat pemerintah tidak taat asas dalam melaksanakan tata ruang di lapangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.
g. Kemiskinan di kawasan penelitian terjadi karena pemerintah melaksanakan pembangunan ekonomi, lebih berpihak pada pelaku ekonomi (elit pengusaha), dibanding dengan berpihak pada masyarakat umum, termasuk petani dan nelayan.
h. Penetapan kebijakan baru dalam penataan ruang perkotaan pantai: yaitu model proses penataan ruang kawasan perkotaan pantai.
Saran penelitian
a. Perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian "Model Proses Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Pantai" sebagai konsep baru, harus disertai dengan tatanan baru pada proses pembuatan kebijakan dan kelembagaan penataan ruang Kebijakan berbasis bottom-up approach akan memperkuat landasan pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. Sedangkan kelembagaannya dapat dikembangkan BKTRD) Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah), yang secara normatif sebagai perwakilan BKTRN di pusat, namun mempunyai kewenangan otorisasi di daerah.
b. Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, tidak sekedar tataran peraturan dan konsep, namun lebih kearah kemauan politik dan budaya. Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan untuk penataan ruang dalam pembangunan berkelanjutan, fokus pada pendekatan partisipasi politik (political Participation) dan pendekatan budaya (Cultural Vibrancy)."
2007
D623
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madrim Djody Gondokusumo
"ABSTRAK
Penelitian ini memilih topik kemiskinan dan lingkungan permukiman buruk di dalam kota, karena keprihatinan terhadap keberadaan masyarakat miskin yang signifkan dan kerusakan lingkungan yang parah di Jakarta. Melalui penelitian dengan perspektif ilmu lingkungan ini, penulis menawarkan konsep pemikiran baru untuk perencanaan tata ruang kota , yang dapat memberi arah jelas kepada pembangunan berkelanjutan di perkotaan. Pembangunan berkelanjutan yang dimaksud adalah proses mencapai masyarakat sejahtera dalam lingkungan hidup berkelanjutan. Masyarakat sejahtera berarti seluruh anggota masyarakat dapat berproses meningkatkan kualitas hidup mereka, baik secara material maupun non-material atau spiritual, dan tidak ada kesenjangan yang terlalu mencolok. Lingkungan hidup berkelanjutan berarti fungsi-fungsi lingkungan yang saling berinteraksi membentuk sistem kehidupan di Planet Bumi ini selalu terjaga.
Beberapa studi (antara lain Brundtland, G.H., 1987:235 dan World Bank 2000:25) mengungkapkan bahwa penduduk kota di seluruh dunia telah meningkat secara signifikan sejak tahun 1950an, dan sejalan dengan itu terjadi pula peningkatan jumlah penduduk miskin, terutama di negara-negara sedang berkembang atau miskin. Permasalahan pokok kota-kota besar di negara-negara sedang berkembang, termasuk Jakarta, antara lain adalah kemiskinan dan kesenjangan, kriminalitas dan pengangguran, kelangkaan air bersih dan sanitasi, banjir dan genangan, pencemaran air dan udara, sampah, lingkungan pemukiman kumuh yang luas, serta kemacetan lalu lintas. Hal tersebut menunjukkan bahwa di kota0kota itu tidak berlangsung proses pembangunan berkelanjutan.
Kota adalah suatu ekosistem yang terbentuk oleh proses-proses sosial. Permasalahan kota yang saling berinteraksi, hanya dapat difahami dengan paradigma holistik. Paradigma holistik melihat alam sebagai suatu entilas, suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berinteraksi. Bagian-bagian atau komponen-komponen itu tidak dapat dipelajari secara terpisah-pisah, melainkan harus difahami bahwa setiap komponen adalah bagian dari suatu keseluruhan.
Masalah
Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010, pemerintah kota mengakui bahwa masalah kritis yang dihadapinya adalah (a) kemiskinan dan kesenjangan, dan (b) kerusakan lingkungan. Kedua masalah itu harus diatasi, agar tercapai proses pembangunan berkelanjutan, yaitu masyarakat sejahtera dalam lingkungan hidup berkelanjutan.
Pedoman utama pembagungan kota Jakarta sejak 1965 adalah kebijakan rencana (tata ruang) kota, baik berbentuk Master Plan, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) maupun RTRW yang berlaku sekarang hingga 2010. Akan tetapi kebijakan rencara kota Jakarta itu gagal menciptakan proses pembangunan berkelanjutan, karena (1) berfokus kepada pendekatan fisik dengan tujuan pertumbuhan ekonomi semata, (2) kondisi masyarakat, yang terdiri dari strata sosial berbeda, kemiskinan yang masih signifikan dan kesenjangan yang lebar antar strata masyarakat, luput dari perhatian para penentu kebijakan, yaiu para elit (penguasa, pemodal, para ahli)...."
2005
D745
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emirhadi Suganda
"Indonesia saat ini mempunyai jumlah pulau sekitar 17.000 buah dan panjang pantai sekitar 81.000 km. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Canada. Bagi indonesia, sumberdaya kawasan perkotaan pantai sangat penting karena terdapat 140 juta penduduk atau 60% penduduk indonesia tinggal di wilayah ini dengan lebar 50 km dari garis pantai. Sampai tahun 2000, terdapat 42 kota besar dan 181 kabupaten berada di wilayah pantai yang menjadi tempat pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Wilayah perkotaan pantai sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan penerima dampak dari daratan. Hal ini karena letak wilayah pantai yang berada diantara daratan dan lautan, dan adanya keterkaitan serta saling mempengaruhi antara ekosistem daratan dan lautan. Daya dukung dan daya tampung wilayah perkotaan pantai sudah melampaui kapasitasnya, 80% masyarakat perkotaan pantai masih relatif miskin, berpendidikan rendah dan sering termarjinalisasikan (DKP, 2005).
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Pembangunan kawasan perkotaan pantai saat ini, merupakan salah satu penyebab degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang mengakibatkan ketidaksejahteraan masyarakat, khususnya petani dan nelayan". Penataan ruang yang diperuntukan bagi kawasan perkotaan pantai, jika dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan, mempunyai formula sebagai berikut:
a. Ditinjau dari aspek berkelanjutan, penataan ruang = f (X,Y,Z)
Penataan ruang adalah fungsi dari (lingkungan, ekonomi, sosial)
Dimana:
X = Lingkungan, berupa keseimbangan ekosistem
Y= Ekonomi, berupa adanya kesempatan pekerjaan.
Z = Sosial, berupa teratasinya masalah kependudukan.
b. Ditinjau dari aspek kawasan, keberlanjutan = f (P, Q)
Keberlanjutan adalah fungsi dari integrasi penataan ruang (kawasan daratan, pantai)
Dimana:
P= Penataan ruang di kawasan daratan
Q = Penataan ruang di kawasan pantai
Pertanyaan penelitian yang timbul dalam rangka pembangunan berkelanjutan di kawasan perkotaan pantai adalah: (i) Mengapa pembangunan di kawasan perkotaan pantai menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial; (ii) Tata ruang perkotaan pantai yang bagaimana, yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dan fokus pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat?.
Tujuan yang dirancang adalah untuk mengantisipasi tantangan dan prospek yang ada di masa mendatang, sebagai berikut: (a) Menemukan kelemahan pembangunan di kawasan perkotaan pantai yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang pada akhirnya menyebabkan ketidak berlanjutan (Lingkungan, Ekonomi & Sosial); (b) Menemukan dan menetapkan prinsip serta kriteria untuk penataan ruang kawasan perkotaan pantai dalam pembangunan berkelanjutan, yang dapat membuat masyarakat strata bawah dapat meningkatkan kesejahteraannya lahir dan batin (well being). Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1: Pembangunan kawasan perkotaan pantai akan berkelanjutan jika mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai. Hipoesis 2: Penataan ruang kawasan perkotaan pantai yang melibatkan partisipasi dan menampung aspirasi masyarakat, akan meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teori/konsep yang sudah ada (Exploratory Research) dengan carapre-scriptif. Sedangkan metoda penelitian yang dipilih adalah berupa gabungan antara penelitian metode kualitatif (untuk ranah makna) dan penelitian metode kuantitatif (untuk ranah fakta).
Wilayah penelitian yang diambil adalah: Kecamatan Pulomerak sebagai lokasi yang sudah dikembangkan (Desa Mekarsari, Desa Tamansari, Desa Margasari, dengan jumlah total responden 97 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan Kecamatan Bojonegara dipilih untuk lokasi yang akan dikembangkan (Desa Bojonegara, Desa Margagiri, Desa Puloampel, dengan jumlah total responden 95 KK). Adanya pembangunan, merupakan daya tarik internal bagi penduduk pendatang, karena Pulomerak-Bojonegara mempunyai fasilitas pusat jasa, pusat perekonomian and simpul transportasi. Sedangkan daya tekan eksternal adalah berupa kemiskinan dan pengangguran penduduk di luar kawasan. Pembangunan tersebut pada kenyataannya menimbulkan degradasi, baik lingkungan fisik maupun sosial, berupa ketidaksejahteraan penduduk lokal.
Kerangka konsep penelitian ini adalah: Pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana dengan mempertimbangkan aspek penduduk, tata ruang dan sumberdaya alam. Pada kawasan penelitian pembangunan belum berkelanjutan, disebabkan oleh: tekanan jumlah penduduk (asli dan pendatang) yang mempengaruhi ketidakseimbangan daya dukung dan daya tampung; kemudian tata ruang yang ada belum dilaksanakan secara taat asas; sehingga menyebabkan degradasi lingkungan. Melalui studi kepustakaan, dihimpun data tentang pembangunan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah, permasalahan perkotaan pantai dan kemiskinan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Dynamic SWOT ( untuk mengetahui konsep strategi wilayah), analisis kebijakan Analytical Hierarchi Process (AHP). Untuk menganalisis daya dukung dan daya tampung, digunakan interpretasi superimposed data topografi berupa peta Rupabumi digital 1:25.000, melalui program GIS. Sedangkan untuk mengetahui data profil kependudukan diambil uji statistik dengan program Excell. Juga dilakukan observasi mendalam atas aspirasi penduduk tentang kesulitan, keresahan dan harapan hidup. Analisis dan sintesis dari proses penelitian tersebut di atas, diharapkan akan menemukan "Model Tata Ruang di Kawasan Perkotaan Patai dalam Pembangunan Berkelanjutan". Untuk kawasan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah yang akan dikembangkan adalah gabungan antara teori consensus planning, teori pola perkembangan lincar Branch; dan teori pendekatan normatif von thurunen. Pengembangan teori yang dipelajari dari studi kepustakaan di bidang kewilayahan/tata ruang, akan didasarkan pada Ecological Landscape Planning yaotu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu bio-fisik, masyarakat dan ekologi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pendekatan perencanaan tata ruang berbasis lansekap ekologi adalah perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung. Teori Lansekap Ekologi menekankan peran dan pengaruh manusia pada struktur dan fungsi lansekap, serta bagaimana jalan keluar untuk merestorasi degredasi lansekap.
Tahapan penelitian dikembangkan dengan melihat beberapa indikator sebagai berikut: hasil indikator degradasi lingkungan, yang terdiri atas data erosi, sedimentasi, pencemaran dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian. Untuk mengetahui besarnya lokasi perubahan penggunaan ruang/lahan, digunakan metoda GIS, yaitu dengan cara analisis superimposed dalam kurun waktu 10 tahun (1992-1997-2002). Kemudian hasil superimposed ini dibandingkan dengan peraturan yang berlaku antara lain acuan pada Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Berkurangnya lahan alamiah dan bertambahnya lingkungan buatan dari tahun 1992 s/d 2003, memperlihatkan adanya pengawasan pembangunan yan tidak terkendali dan tata ruang yang ada belum memasukkan konsep lingkungan hidup secara utuh, sehingga kepentingan pembangunan ekonomi lebih ditekankan dibanding kepentingan atas perlindungan dan kelestarian alam. Dilihat dari hasil indikator penggunaan ruang dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian, dengan adanya penggunaan ruang secara berlebihan, dan terjadinya konvensi hutan lindung menjadi daerah terbangun. Dilihat dari hasil indikator kemiskinan, yang terdiri dari data indikator kemiskinan, Human Development Index (HDI), Millennium Development Goals (MDGs), Partisipasi masyarakat dan aspirasi ibu rumah tangga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi sosial pada kawasan penelitian. Analisis SWOT yang didasarkan pada loika yang memaksimalkan kekuatan (stength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (treats). Untuk mengurangi terjadinya degradasi lingkungan, dan kesenjangan ekonomi-sosial, serta untuk memperkecil ancaman bagi kebijakan tata ruang yang belum mendukung, maka diperlukan penyempurnaan atas kebijakan tata ruang yang ada (strategi W1-T3). Hasil akhir kebijakan publik yang dipilih oleh para pakar melalui model AHP adalah kebijakan penataan ruang dengan pendekatan : ekologi/holistik, daratan & pantai, dengan pelaku masyarakat/ stakeholders, ekosentrisme sebesar 38% (new paradigm), lebih diutamakan dibanding dengan kebijakan ruang dengan pendekatan: mekanistik, daratan & pantai, pelaku pemerintah & industri swasta, biosentrisme sebesar 35% (bussines as usual plus), dan kebijakan penataan ruang dengan pendekatan: mekanistik, bias daratan, pelaku pemerintah, antroposentrisme sebesar 27% (bussines as usual). Perubahan kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara instant, melainkan harus secara bertahap.
Kesimpulan penelitian:
a. Kelemahan pembangunan di kawasan Perkotaan Pantai saat ini, yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, karena belum mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai, dan pemerintah belum taat asas dalam perencanaan, pengendalian dan pelaksanaan pembangunannya.
b. Prinsip penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah dengan menggunakan perencanaan tata ruang berbasis Lansekap Ekologi, yaitu perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung.
c. Kriteria penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah berdasarkan keberpihakan pada lingkungan yang pengembangannya menggunakan etika lingkungan ekosentrisme, dengan memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologi, keberpihakan pada ekonomi kemasyarakatan, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditujukkan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat ; keberpihakan pada keadilan sosial.
d. UU Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, perlu disempurnakan karena: () Bias pemerintah (seharunya perpihak pada pemerintah, pengusaha dan masyarakat sebagai kesatuan stakeholders), (ii) Bias kota (seharusnya dengan pendekatan perkotaan dan pedesaan), (iii) Bias daratan (seharusnya dengan pendekatan daratan, lautan dan udara), (iv) Belum menerapkan sanksi bagi pelanggaran pelaksanaan penataan ruang di lapangan.
e. Perencanaan tata ruang yang ada cukup baik sebagai payung normatif, namun untuk rencana detail tata ruang (RDTR) seperti yang digunakan di kota bojonegara perlu disempurnakan, khususnya peruntukan bagi kawasan pantai.
f. Degradasi lingkungan fisik dan sosial yang terjadi, disebabkan aparat pemerintah tidak taat asas dalam melaksanakan tata ruang di lapangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.
g. Kemiskinan di kawasan penelitian terjadi karena pemerintah melaksanakan pembangunan ekonomi, lebih berpihak pada pelaku ekonomi (elit pengusaha), dibanding dengan berpihak pada masyarakat umum, termasuk petani dan nelayan.
h. Penetapan kebijakan baru dalam penataan ruang perkotaan pantai: yaitu model proses penataan ruang kawasan perkotaan pantai.
Saran penelitian
a. Perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian "Model Proses Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Pantai" sebagai konsep baru, harus disertai dengan tatanan baru pada proses pembuatan kebijakan dan kelembagaan penataan ruang Kebijakan berbasis bottom-up approach akan memperkuat landasan pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. Sedangkan kelembagaannya dapat dikembangkan BKTRD) Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah), yang secara normatif sebagai perwakilan BKTRN di pusat, namun mempunyai kewenangan otorisasi di daerah.
b. Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, tidak sekedar tataran peraturan dan konsep, namun lebih kearah kemauan politik dan budaya. Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan untuk penataan ruang dalam pembangunan berkelanjutan, fokus pada pendekatan partisipasi politik (political Participation) dan pendekatan budaya (Cultural Vibrancy)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
D641
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library