Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2001
362.198 2 BUK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aziz Fauzi
"Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan kewenangan yang diberikan UUD NRI Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Akibat hukum dari pengujian suatu undang-undang yang tidak sesuai dengan konstitusi ditentukan lebih lanjut dalam Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Suatu undang-undang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dikarenakan prosedur pembentukan tidak sesuai UUD NRI Tahun 1945 atau materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Mendasari ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dipahami bahwa inti dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang adalah untuk membatalkan norma yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, dalam beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya membatalkan norma, melainkan juga membuat norma yang berakibat pada terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran. Kendati perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945, namun hal tersebut diperlukan untuk memastikan UUD NRI Tahun 1945 tetap sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ketatanegaraan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tesis ini akan menjelaskan 2 (dua) pokok bahasan. Pertama, sebab terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran konstitusi dalam pengujian undang-undang dengan memberikan makna tekstual (textual meaning) terhadap UUD NRI Tahun 1945 melalui pemaknaan yang berbeda dari makna asli (original meaning) UUD NRI Tahun 1945. Sehingga, secara materiil terjadi perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang disebabkan adanya penafsiran Mahkamah Konstitusi yang menganggap kalimat konstitusi tidak jelas atau tidak memberikan jalan keluar. Kedua, akibat hukum perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) terjadi perubahan makna tekstual terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang berakibat pada terjadinya perubahan implementasi ketentuan UUD NRI Tahun 1945; dan (ii) wewenang MPR untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 tidak menjadi hilang setalah perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Sebab, wewenang MPR untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 merupakan wewenang atribusi yang bersumber dari UUD NRI Tahun 1945, sehingga tidak akan hilang sepanjang tidak dihapus dari UUD NRI Tahun 1945.

The judicial review of the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945) is an authority given to the Constitutional Court by the UUD NRI Tahun 1945. The legal consequences of reviewing a law that is inconsistent with the constitution are further specified in Article 56 and Article 57 of Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court, namely that they do not have binding legal force. A law is declared to have no binding legal force because its formulation is not in accordance with the UUD NRI Tahun 1945 or the contents of paragraphs, articles and/or parts of the procedural law are contrary to the UUD NRI Tahun 1945. Based on the provisions of Article 56 and Article 57 of the Law It can be understood that the essence of the Constitutional Court's authority in reviewing laws is to abolish norms that are contrary to the UUD NRI Tahun 1945. However, in several of its decisions, the Constitutional Court not only annuls norms, but also makes norms that result in fatal in the occurrence of amendments to the UUD NRI Tahun 1945 through monitoring. Although the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 through the stipulation of the Constitutional Court was not specified in the UUD NRI Tahun 1945, this was necessary to ensure that the UUD NRI Tahun 1945 remained in accordance with the needs and developments of the state administration. By using normative juridical research methods, this thesis will explain 2 (two) main topics. First, the reason for the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 through the interpretation of the Constitutional Court. The results of the study show that the Constitutional Court interprets the constitution in judicial review by giving a textual meaning to the UUD NRI Tahun 1945 through a different meaning from the original meaning of the UUD NRI Tahun 1945. Thus, materially there was a change in the UUD NRI Tahun 1945 due to the interpretation of the Constitutional Court which considered the sentence of the constitution to be unclear or did not provide a way out. Second, the legal consequences of changing the UUD NRI Tahun 1945 through the interpretation of the Constitutional Court. The results showed that: (i) there was a change in the textual meaning of the UUD NRI Tahun 1945 which resulted in a change in the implementation of the provisions of the UUD NRI Tahun 1945; and (ii) the MPR’s authority to amend the UUD NRI Tahun 1945 was not lost after the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 was through the interpretation of the Constitutional Court. This is because the MPR’s authority to amend the UUD NRI Tahun 1945 is an attribution authority originating from the UUD NRI Tahun 1945, so it will not be lost as long as it is not removed from the UUD NRI Tahun 1945"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Akbar Wahyu Nuryamto
"xPermanence Principle menentukan agar lembaga pemberantas korupsi dibentuk dengan dasar hukum yang kuat dan stabil seperti konstitusi atau setidaknya undang-undang khusus yang memberi penguatan kelembagaan, memastikan eksistensi dan melindunginya dari perambahan mandat hingga pembubarannya. Pengaturan dalam UUD sejalan dengan constitusional importance sebagaimana pandangan Mahkamah Konstitusi bahwa KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan memiliki kedudukan yang sejajar dengan lembaga negara yang tersebut dalam UUD NRI 1945. Lembaga negara independen sendiri merupakan konsep perkembangan cabang kekuasaan di luar trias politica konvensional yang kemudian disebut sebagai The Fourth Branch of The Government atau cabang kekuasaan ke-empat (De Vierde Macht). Permanence Principle adalah salah satu prinsip the Jakarta Statement On Principles for Anti-Corruption Agencies yang kemudian dikembangkan lagi oleh Colombo Commentary. Merupakan instrument pedoman implementasi Pasal 6 dan Pasal 36 UNCAC sebagaimana telah diratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Negara diberi mandat untuk memberlakukan kerangka hukum, kelembagaan dan kebijakan yang kuat untuk mengatasi korupsi. Dalam konsepsi negara hukum, komisi negara independen merupakan eksistensi cabang keempat (fourth-branch institutions) yang berfungsi untuk menjaga integritas cabang kekuasaan lainnya. Keberadaannya sejalan dengan tujuan dari separation/distribution of power yaitu menghindari pemusatan kekuasaan semata agar hukum dan demokrasi berjalan efektif, mendorong pemerintahan yang responsive, dan menjadikan kompetensi aparat yang profesional. Sehingga dapat memberikan perlindungan dan peningkatan hak-hak fundamental dan keadilan sosial. Melalui metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis permanence KPK berdasarkan Colombo Commentary On the Jakarta Statement On Principles for Anti-Corruption Agencies. Penelitian menunjukkan bahwa undang-undang KPK tidak mempunyai kekhususan dalam urgensi permanence. Darinya berkorelasi faktual atas perubahan yang terjadi secara kilat dan tidak diharapkan publik karena justru tidak memberi penguatan yang diperlukan. Bercermin pada lembaga pemberantas korupsi masa lalu yang selalu berakhir layu dan mati, diperlukan penguatan permanence sebagaimana mandate UNCAC, sekaligus berkorelasi dengan narasi constitusional importance sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.

The Permanence Principles stipulate that a corruption eradication agency should be formed with a strong and stable legal basis such as a constitution or at least a special law that provides institutional strengthening, ensures its existence and protects it from encroachment on its mandate until its dissolution. The provisions in the Constitution are in line with constitutional importance establishing the view of the Constitutional Court that the KPK is a state institution that is independent and has an equal position with the state institutions referred to in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The independent state institution itself is a concept of the development of branches of power outside the trias politica convention later referred to as the Fourth Branch of Government or the fourth power branch (De Vierde Macht). The Permanence Principle is one of the principles of The Jakarta Statement On Principles for Anti-Corruption Agencies which was further developed by the Colombo Commentary. It is a guiding instrument for the implementation of Articles 6 and 36 of the UNCAC as ratified by Law Number 7 of 2006. The state is mandated to uphold strong legal, institutional and policy frameworks to tackle corruption. In the constitution of a rule of law state, an independent state commission is the existence of the fourth branch (fourth branch institution) which functions to maintain the integrity of the other branches of power. Its existence is in line with the objectives of the separation/sharing of powers, namely avoiding the concentration of power solely so that law and democracy can work effectively, encourage responsive government, and make the apparatus professionally competent. So as to provide protection and improvement of fundamental rights and social justice. Through normative juridical research methods, this paper will analyze the permanence of the KPK based on the Colombo Commentary on the Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agency. Research shows that the KPK law has no specificity in the urgency of permanence. From that, there is a factual correlation of changes that occurred quickly and were not expected by the public because they did not provide the necessary reinforcement. Reflecting on past corruption eradication institutions which always ended in lay and die, permanent strengthening is needed as mandated by the UNCAC, while at the same time correlating with the narrative of constitutional importance as stated in the decisions of the Constitutional Court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rayhan Naufaldi Hidayat
"Tulisan ini menganalisa bagaimana pemenuhan hak memilih/ right to vote bagi difabel netra dalam akses pemilu di Indonesia. Pokok analisa tertuju pada bagaimana perkembangan konsep dan aturan hak memilih difabel netra serta bagaimana evaluasi dan cetak biru proyeksi hak memilih difabel netra di Indonesia. Tulisan ini dalam menganalisa menggunakan metode penelitian hukum doktrinal dengan studi kasus hanya terfokus pada pemilu tahun 2019 dan 2024. Indonesia tengah memasuki babak baru pengakuan hak bagi difabel netra setelah turut serta bergabung menjadi negara pihak yang tunduk pada Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Ratifikasi dilakukan melalui pengesahan UU 19/2011 yang dilanjutkan dengan UU 8/2016. Penanda baru telah tercipta sejatinya paradigma harus diletakkan atas dasar hak yang mengacu pada esensi dari keberagaman manusia. Martabat menuntut kesetaraan akan peluang partisipasi politik dalam penikmatan yang sama. Difabel netra berhak atas penikmatan hak memilih pada pemilu melalui jaminan kesempatan dan akses yang disesuaikan. Akan tetapi, hambatan masih saja terus berulang, seperti ditolak memilih, sulit mengakses informasi dan pemungutan suara tanpa otonomi serta privasi. Oleh karenanya, pembenahan harus menjadi proyeksi holistik sedari koherensi antar norma pemilu, pendataan yang menyeluruh hingga pengembangan pemungutan suara yang berbasis asistensi, sistem braille bahkan pemanfaatan teknologi baru.

This paper analyzes how the visually diffabled are able to access the right to vote in Indonesian elections. The point of the analysis focuses on how the development of the concept and rules of the right to vote for the visually diffabled have evolved, as well as the evaluation and blueprint for the implementation of the right to vote in Indonesia. This paper analyzes using the doctrinal legal research method, with a case study focused solely on the 2019 and 2024 elections. Indonesia has entered a new era of rights recognition for individuals with visual different ability by becoming a state party to the Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Ratification was carried out through the Law 19 of 2011, followed by Law 8 of 2016. A new marker has been created to indicate that the paradigm must be based on rights that refer to the essence of human diversity. Dignity necessitates equal rights to political participation and equal enjoyment. Individuals with visual different ability have the right to vote in elections by ensuring personalized opportunities and access. However, impediments persist, such as being refused the right to vote, difficulty getting information, and voting without autonomy and privacy. Thus, improvement must be a holistic projection, ranging from electoral norm coherence to extensive data gathering to the development of assistance-based voting, braille systems, and even the employment of new technology."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudigdo Sastroasmoro
"TUJUAN (1) Menilai efek pemberian dabutamin data perjalanan penyakitmembran hialin (PMFi)" ringan pada xieonatps kurangislan (NKB) (2) ,Mendeteksi gangguan faal, kardiovaskular pada-PMH ringan; (3}; Menilai respons faal kardiovaskular; pada ..PMH ringan; terhadap pemberiandobutamin; (4).Mendeteksi faktor risiko untuk.terjadinya PMH pada NKB. TEMPAT PENELITIAN: Unit perawatan neonatus tingkat II pada rumah sakit rujukan utama, SUBYEK PENELITIAN: NKB dengan ibunya.
PENGURURAN DAN INTERVENSI NKB yang.lahir di RSCM diikuti sampai terjadi PMH atau tidak. Faktor risiko dihitung dengan analisis bivariat dan regresi logistik. Faal ven tnkel dari aliran darah otak (ADO diperiksa dengan teknik" Doppler Faal, diastolik' ventikel varian dari kin diestimasi dengan mengukur puncak E, puncak-A, dan rasio Faal sistolik ventrikel kiri diukur dengan periode praejeksi (PPE) dan waktu ejeksi ventrikel kiri (WEVKi) yang"dikoreksi terhadap laju jantung, serta rasio PPE/WEVKi: ADO'dinilai dengan pengukuran kecepatan aliran darah otak (KADO) maksimal dari Ina1, indeks Pour-ot dan akselerasi aliran Perinrih dobutamin diteliti dengan uji intervensi tersamar ganda dengan desain silang. Pengaruh`dobutamin dalam perjalanan PMI-J dinilai dengan analisis kesintasan pasien yang mendapat dobitamin atau placebo, dengan metode Kaplan Meier dan uji Breslow: Efek pada analisis kesehan adalah saat pasien memerlukan ventilasi mekanik atau mengalami perburukan yang mengancam jiwa.

PURPOSE To determine: (1) effects of dobutamine administration on the clinical course of preterm infants with mild hyaline membrane disease (HMD); (2) cardiovascular involvement in mild HMD; (3) response of cardiovascular functions in patients with mild HMD to dobutamine administration; (4) risk factors for the development of HMD in preterm infants.
SETTING Level2neonatal unit of a national referral hospital. STUDY SUBJECTS Preterm infants with their respective mothers.
MEASUREMENTS AND INTERVENTION Pre term infants born at Cipto Mangunkuswno Hospital, Jakarta, were followed from birth to detect the development of HMD. The risk or protective factors were calculated by univariate and logistic regression analyses. Right ventricular (RV) and left ventricular (LV) diastolic functions were estimated by measuring points E and A, and E/A ratio_ LV systolic function was estimated by measuring rate-corrected pre-ejection period (PEP) and left ventricular ejection time (LVET), and PEP/ LVET ratio. Cerebral blood flow velocity (CBFV) was determined at the anterior cerebral artery. Maximal and minimal flows were determined and Pourcelot Index calculated; acceleration of the flow was also measured. Comparison of preterms with or without mild HMD was performed in 23 gestational age and birth weight matched pairs infants. Effects of dobutamine were determined by randomized, double-blind, placebo controlled trial in 41 preterm infants with mild HMO. The role of dobutamine in the clinical course of mild HMD was determined by comparing survival curves of placebo-treated and dobutamine-treated patients using Kaplan-Meier method and Breslow hypothesis testing. The need for mechanical ventilation or deterioration of patient's condition was judged as the event of interest.
MAIN RESULTS Eighty-seven out of the 308 preterm infants studied developed HMD. Logistic regression model disclosed that antepartum hemorrhage, mode of delivery, sex, gestational period, and peri natal asphyxia were associated with the development of HMO. RV diastolic function parameters were not significantly different between infants with. or without mild HMD, and dobutamine did not alter the values. In contrast, LV E and A points were significantly different between the 2 groups,, although the E/A ratio was not different. Dobutamine improved the de-pressed LV diastolic function. Infants with mild HMD had significantly longer rate corrected PEP, ' shorter rate corrected LVET, and larger PEP/LVET ratio compared with those without HMD. The dysfunction was improved by dobutamine. CBFV was not significantly different between preterm infants with or without mild HMD, and dobutamine did not alter CBFV but it increased blood flow acceleration. Dabutamine treated infants had a significantly longer mean mechanical-ventilation-free survival than placebo, treated infants, i.e. 78 vs 61 hours.
CONCLUSIONS (1) Administration of dobutamine to standard treatment delays the deterioration of preteen infants with mild HMD, so that use of dobutamine 10 lrg/kg/min early in the course of the disease is recommended. (2) LV diastolic and systolic functions are depressed in mild HMD, and dobutamine can correct the dysfunction; however; RV diastolic function is not disturbed in mild HMD (3) CBFV is not significantly different between preterm infants vvith or without mild HMD; dobutamine hasnigligible effect on CBPV, but it increases.CBE acceleration: (4) As tepartun hemorrhage, mode of delivery, sex, gestational age, and asphyxia are independently associated with the development of HMOwoRDB Dobutamine prevent infants, hyalin"membranes', rardiovascular involvecerebral blood flow
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
D379
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda T. Angeles-Agdeppa
"Prevalensi anemia di negara berkembang masih tetap tinggi meskipun program suplementasi tablet besi-asam folat telah dilaksanakan dalam skala besar. Dampak suplementasi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti rendahnya kepatuhan minum tablet, efek samping yang kurang disukai, persediaan tablet kurang, rendahnya jangkuan program, status vitamin A yang rendah dan hambatan asorpsi zat besi karena suplementasi zat besi setiap hard.
Strategi yang mungkin dapat dilakukan untuk menurunkan prevalensi dan mengatasi masalah operasional adalah pemberian suplemen multi-vitamin mineral selama masa remaja dengan dosis lebih rendah dan frekuensi pemberian yang lebih jarang/tidak setiap hari.
Suatu penelitian kros-seksional telah dilakukan untuk mendapatkan informasi dasar tentang status gizi dan kesehatan remaja laki-laki serta putri yang telah mendapat haid pada tiga buah sekolah menengah yang dipilih secara acak di Jakarta Timur. Usia rata-rata remaja laki-laki adalah 14,8 tahun dan remaja putri 15,6 tahun. Para remaja tersebut berasal dari keluarga golongan sosial ekonomi mengengah. Prevalensi "thinness" lebih tinggi pada laki-laki (43%) daripada yang putri (10,2%) dan kelebihan berat badan lebih banyak pada remaja putri (32,9%). Prevalensi "stunting" pada remaja laki-laki dan putri (22%). Prevalensi anemia lebih tinggi pada remaja putri (21%) daripada laki-laki (2,5%).
Setelah penelitian kros-seksional, dilakukan intervensi/suplementasi dengan tujuan menentukan pengaruh multivitamin-mineral dalam berbagai dosis pada hemoglobin, feritin plasma dan status vitamin A remaja putri. Tiga ratus enam puluh tiga subyek dipilih secara acak yaitu remaja putri yang telah mendapat haid, dengan kisaran usia 14-18 tahun dan tidak menderita clamant, infeksi saluran nafas, atau penyakit "gastro intestinal". Pengelompokan subjek menjadi 4 kelompok perlakuan (tiga kelompok mendapat suplemen dan sate mendapat plasebo) dilakukan secara "double-blind". Pil suplemen yang mengandung: 60 mg zat besi el, 2500 SI vitamin A, 250 ug asam folat, dan 60 mg vitamin C diberikan kepada kelompok dosis harian (DD); 60 mg zat besi el, 20 000 SI vitamin A, 500 g g asam folat dan 60 mg vitamin C untuk kelompok setiap minggu dosis rendah (WLD); ] 20 mg zat besi el , 20 000 SI vitamin A, 500 lag asam folat dan 60 mg vitamin C untuk kelompok setiap minggu-dosis tinggi (WHD), dan kelompok terakhir diberi pil plasebo (PL). Pil multi-vitamin dan mineral tidak dapat dibedakan dari pil plasebo secara kasat mata. Sebelum suplementasi didapati prevalensi anemia yang tinggi (21%), feritin plasma rendah (37%), dan retinol plasma rendah (31%).
Suplementasi selama 8 minggu menaikkan secara bermakna kadar hemoglobin (Hb), feritin plasma (FP), retinol plasma (RP), tinggi badan dan skor tes prestasi sekolah, semua kelompok yang mendapat suplemen. Kenaikan kadar FP kelompok dosis harian (DD) lebih besar (bermakna) daripada kelompok dosis setiap minggu.
Penambahan vitamin A dalam pd suplemen meningkatkan kadar RP dan rupanya berpengaruh pada penggunaan zat besi secara efisien untuk erythropoiesis. Peningkatan pada kelompok plasebo (PL) tidak jelas sebabnya, tetapi ada kemungkinan pengaruh obat cacing.
Peningkatan prestasi sekolah dapat disebabkan oleh peningkatan penyediaan zat besi dalam otak dan distribusinya ke sel-sel otak yang penting untuk kelancaran fungsi neuron "dopaminergic". Suplementasi multi-vitamin dan mineral dapat memacu pertumbuhan linier tetapi tidak mengkompensasi kehilangan awal. Bertambahnya tinggi badan karena suplemen multivitamin-mineral dapat dikaitkan Dengan perbaikan status zat, besi yang meningkatkan oksidasi dan penyediaan energi untuk propliferasi sal. Prevalensi "stunting", "thinness" dan kelebihan berat tidak berkurang. Berat badan rupanya tidak dipengaruhi oleh suplementasi multi- vitamin dan mineral.
Peningkatan masa suplementasi sampai 12 minggu tidak menghasilkan peningkatan Hb dan RP pada kelompok multi-vitamin dan mineral, tetapi memberikan waktu yang lebih lama untuk meningkatkan (bermakna) FP pada kelompok dosis mingguan..Pada kelompok dosis harian (DO) kadar FP bertambah tetapi tidak berbeda bermakna darn kadar pads minggu ke 8.
Tidak ada perbedaan efek dosis-frekuensi dari berbagai komposisi pil multi-vitamin dan mineral untuk seluruh rnasa suplementasi kecuali kenaikan FP yang menyolok kelompok dosis harian (DD) pada minggu ke-8.
Selama masa 12 minggu, "individual lobe counts" dari granulosit (gejala defisiensi asam folat) setiap kelompok dalam kisaran normal sedangkan subjek penelitian tidak menderita demam, infeksi saluran pernafasan dan infeksi saluran pencernaan. Dengan demikian penyebab anemia dalam penelitian i:ni disebabkan oleh kelcurangan zat besi dan/atau kekurangan vitamin A.
Pada minggu ke 36 (24 minggu atau 6 bulan setelah akhir suplementasi) subyek yang sama diperiksa lagi untuk menilai sisa (retention) pengaruh suplementasi multivitamin-mineral pada kadar Hb, FP, RP dan pertumbuhan badan.
Semua kelompok yang mendapat suplemen, kadar RP dan tinggi badannya tetap lebih tinggi secara bermakna. Kadar Hb yang lebih tinggi (bermakna) hanya terdapat pada kelompok mingguan-dosis-rendah (WLD), sedangkan kadar FP yang lebih tinggi ditemukan pada kedua kelompok mingguan (WLD, WHD). Kadar Hb dan FP cenderung menurun mulai akhir suplementasi sampai minggu ke 36 sesudahnya.
Oleh sebab itu suplementasi mingguan dengan pit dosis rendah (WLD) yang mengandung 60 mg zat besi el, dan 20 000 SI vitamin A, 500 μg asam folat dan 60 mg vitamin C selama 12 minggu, dapat dipertimbangkan sebagai strategi pencegahan untuk meningkatkan kesehatan, status gizi, dan skor tes prestasi belajar para remaja sebelum hamil. Suplementasi berkala perlu dilakukan setiap 6 bulan. Namun demikian perencana program perlu memperhatikan bahwa meskipun program suplementasi besi adalah jalur utama untuk menanggulangi anemia, di dalamnya harus ada pendidikan gizi antara lain tentang petunjuk aturan minum pil suplemen . Suatu strategi campuran yang seimbang yang terdiri dari strategi jangka menengah yang berhubungan dengan fortifkasi pangan dan strategi jangka panjang yang bertujuan mengubah kebiasaan makan melalui pendidikan gizi harus menjadi bagian program suplementasi zat besi untuk memastikan kesinambungan dari program.
Penelitian lebih lanjut dengan jumlah subyek yang lebih besar perlu dilakukan untuk menunjang/menegaskan basil penelitian ini dan mengetahui peranan kekurangan zat gizi lain yang berkaitan dengan anemia seperti protein, Cu, vitamin B2, vitamin B6, dan vitamin B12. Kadar RP yang tidak berubah pada minggu ke 12 perlu diteliti lebih lanjut. Dosis vitamin yang lebih rendah (10.000 SI) mungkin cukup untuk meningkatkan kadar retinal. Selain itu karena keterbatasan waktu penelitian ini perlu dilakukan penelitian longitudinal suplementasi multi-vitamin-mineral mingguan dosis rendah (WLD). Penelitian operasional tentang sistem penyampaian (delivery system) suplemen multi-vitamin-mineral di sekolah-sekolah juga penting dipertimbangan.

Prevalence of anemia (IDA) in pregnant women in Indonesia as well as in other developing countries is still high despite of large scale iron supplementation program. Reasons of ineffectiveness are poor compliance, law coverage, occurrence of iron dosage blockage, and law vitamin A status.
A cross-sectional study was conducted to obtain information on the health and nutritional status of randomly selected 118 males and 805 female school-going adolescents in three randomly selected high schools in East Jakarta. The prevalence of IDA was higher in females (21%) than in males (2.5%). Stunting was prevalent in both sexes (22%). The prevalence of thinness was higher in males (43%) than in females (10.2%), overweight was higher (32.9%) in females than in males (9.3%).
An intervention study for 12 weeks followed the cross-sectional study. This was to determine the effects of different regimens of multi-nutrient supplements on iron and vitamin A status of randomly selected 363 females in one randomly selected school .Allocation to 4 treatment groups were double-blind and all pills were similar on sight. Supplements contained 60 mg el iron, 2 500 IU vitamin A, 250 pg folic acid, and 60 mg vitamin C for the daily dose (DD); 60 mg el iron, 20 000 IU vita min A, 500,ag folic acid and 60 mg vitamin C for the weekly law dose (WLD); 120 mg el iron, 20 000 IU vitamin A, 500/,g folic acid and 60 mg vitamin C for the weekly high dose (WHD); and the last group was the Placebo (FL).
Supplementation significantly increased Hb, plasma ferritin (PF), and plasma retinol levels (PR) at the end of 8 weeks in all multi-supplemented groups. DD had significantly higher PF than the weekly doses. Other benefits were increased linear growth and test scores. The PL had significant decreased Hb and PF but increased PR.
Extending the supplementation period for 12 weeks resulted in no greater benefit in Hb and PR levels in the multi-nutrient supplemented groups but further significant increases in PF only in the weekly groups. All groups had further increased height.
At 36 weeks, a follow-up study was done to assess the retention of effects of multi-nutrient supplements on iron and vitamin A status of females as basis for the interval of supplementation. Remaining number of samples were: DD=37, WLD-45, WHD=40, PL =50. Hb, PF, PR and height in the WLD; PF, PR, and height in the WHD; PR and height in the DD remained significantly higher than baseline values.
The WLD supplement for 12 weeks every 6 months can be a possible preventive strategy to improve the iron status of female adolescents.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D45
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mesak, Felix Melchizedech
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D1774
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library