Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jeffri
"Latar belakang: Sindrom koroner akut SKA merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Mortalitas SKA dari berbagai studi di luar negeri diketahui berhubungan dengan kadar kalium serum saat admisi. Penelitian mengenai hubungan kadar kalium serum dengan mortalitas pada SKA masih perlu dilakukan karena adanya kemajuan dalam terapi kardiovaskular yang cukup pesat terutama pada era PCI saat ini dan adanya hasil yang bertolakbelakang antara studi terbaru dengan panduan yang ada.
Tujuan: Menilai hubungan antara kadar kalium serum saat admisi dengan mortalitas selama perawatan pasien SKA in-hospital mortality.
Metode: Data kadar kalium dan kematian diperoleh dari rekam medis dengan desain studi kohort retrospektif terhadap 673 pasien SKA yang dirawat dengan sindrom koroner akut di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Keluaran utama yang diamati berupa mortalitas selama perawatan. Analisis bivariat dengan Pearson Chi-square dan multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk menentukan hubungan antara kadar kalium serum abnormal dengan kematian pada sindrom koroner akut.
Hasil dan Pembahasan: Subjek yang datang dengan kadar kalium serum yang abnormal K < 3,50 mEq/L atau > 5,0 mEq/L saat admisi sebesar 24,22 163 pasien , sedangkan grup dengan kalium normal sebesar 510 subjek 75,78. Dari analisis regresi logistik, setelah adjustment terhadap faktor perancu eGFR, didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar kalium serum abnormal saat admisi dengan mortalitas selama perawatan dengan nilai p = 0,04 adjusted RR 2,184; 95 CI: 1,037-4,601. Terjadi peningkatan risiko mortalitas pada subjek dengan kadar serum kalium 4,0-

Background: Acute coronary syndrome ACS is the leading cause of increased morbidity and mortality across the globe. This mortality was known to be associated to the serum potassium level on admission. More studies are still needed due to rapid advancement in cardiovascular medicine especially in the era of interventional cardiology and also the conflicting results that exist between recent studies and established guidelines.
Aims: To determine association between serum potassium levels on admission of subjects with acute coronary syndrome and in-hospital mortality.
Methods: Included in the study were 673 acute coronary syndrome patients hospitalised in Indonesian National Cipto Mangunkusumo Hospital. The outcome of the study was all-cause in-hospital mortality. Logistic regression models adjusted for risk factors, hospital treatment, and co-morbidities were constructed.
Results: Total of 163 patients 24,22 with abnormal serum potassium K < 3,50 mEq/L or > 5,0 mEq/L and 510 subjects with normal serum potassium 75.78. Logistic regression analysis after adjustment of the confounder eGFR shows significant association between serum potassium level on admission and in-hospital mortality with p value of 0,04 adjusted RR 2.184; 95 CI: 1.037-4.601. The risk of dying for patients with serum potassium of 4.0-.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Adriansyah
"Latar Belakang : Neuropati perifer merupakan manifestasi ekstraartikular pada Artritis Reumatoid AR yang sudah lama diketahui dan ditemukan pada sekitar 50-57,4 pasien AR dengan patogenesis yang belum jelas hingga saat ini. Nerve Growth Factor NGF, yang dilaporkan berhubungan dengan kejadian neuropati perifer pada pasien Diabetes Mellitus ditemukan dengan kadar yang lebih tinggi pada pasien AR dibandingkan orang normal. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian yang bertujuan mengetahui hubungan antara kadar NGF dengan kejadian neuropati perifer pada pasien AR.
Tujuan : Untuk mengetahui rata-rata kadar NGF darah dan ada tidaknya hubungan antara kadar NGF dengan kejadian Neuropati Perifer pada pasien AR.
Metode : Penelitian potong lintang dengan metode consecutive sampling pada pasien AR rawat jalan di poli reumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dilakukan dalam kurun waktu Juli 2015-Maret 2016. Pemeriksaan laboratorium dan fisiologi yang dilakukan adalah NGF dan Elektromiografi-Kecepatan Hantar Saraf EMG-KHS. Subjek kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan ada atau tidaknya neuropati perifer. Analisis bivariat kemudian dilakukan untuk melihat hubungan antara NGF dengan neuropati perifer diantara 2 kelompok. Data sekunder berupa usia, jenis kelamin, Laju Endap darah LED, C-Reactive Protein CRP, Disease Activity Score DAS 28 LED dan DAS 28 CRP didapat dari rekam medis sebagai data karakteristik dasar pasien.
Hasil : Sebanyak 132 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini dan didapatkan neuropati perifer sebanyak 45,5 60 orang selama Juli 2015-Maret 2016. Median kadar NGF pada pasien AR adalah 4,11 pg/mL 0,0-24,5 pg/mL. Median NGF pasien AR dengan neuropati perifer adalah 4,11 pg/mL 1,1-20,83 pg/mL, sementara median NGF pada pasien AR tanpa neuropati adalah 3,89 pg/mL 0,0-24,5 pg/mL. Jenis neuropati yang ditemukan pada pasien AR adalah polineuropati 29 subyek/21,97, mononeuropati multipleks 20 subyek/15,15 dan Carpal Tunnel Syndrome 15 subyek/11,36. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara kadar NGF serum dengan kejadian neuropati perifer pada pasien AR p=0,716.
Simpulan : Kadar NGF serum pasien AR didapatkan median sebesar 4 pg/mL dengan median NGF serum pada kelompok neuropati perifer 4,11 pg/mL dan kelompok tanpa neuropati 3,89 pg/mL. Tidak terdapat hubungan antara NGF serum dengan kejadian neuropati perifer pasien AR.

Background : Peripheral neuropathy is an extra articular manifestations in Rheumatoid Arthritis RA, which has been known and is found in approximately 50 to 57.4 of patients with RA with an unclear pathogenesis until now. In DM type 2 patients, Nerve Growth Factor NGF is associated with peripheral neuropathy. NGF level is also reported to be higher among RA patients than that of among healthy subjects. The correlation between NGF level and peripheral neuropathy among RA has not been concluded yet.
Aim : To find out the mean levels of NGF blood serum and the relationship between the NGF serum levels and Peripheral Neuropathy among patients with RA.
Methods : A cross sectional study using consecutive sampling method including patient of rheumatology clinic at Cipto Mangunkusumo hospital was performed between July 2015 to March 2016. The laboratory and physiology measurement incude NGF level and Electromyography Nerve Conduction Velocities EMG NCV were examined to the subjects. Patients were classified into 2 groups based on the diagnosis of Peripheral Neuropathy PN PN positive and PN negative. Bivariate analysis were done to investigate the relationship between NGF and PN among groups. Secondary data such as age, sex, Erythrocyte Sedimentation Rate ESR, CRP, Disease Activity Score DAS 28 ESR and CRP obtained from their medical record as a basic characteristic data of patients.
Results : Among 132 subjects, PN was found in 60 subjects 45,5. The median level of NGF in RA patients was 4.11 pg mL 0.0 to 24.5 pg mL. The median NGF level of RA patients with peripheral neuropathy was 4.11 pg mL 1.1 to 20.83 pg mL, while the median of NGF level in RA patients without neuropathy was 3.89 pg mL 0.0 to 24.5 pg mL. Types of neuropathy among patients with AR were polyneuropathy 29 subjects 21.97, mononeuropathy multiplex 20 subjects 15.15 and Carpal Tunnel Syndrome 15 subjects 11.36. In this study we found no association between NGF serum level and peripheral neuropathy among patients with RA p 0.716.
Conclusion : The median of NGF serum level among RA patients was 4 pg mL. The median of NGF serum level among peripheral neuropathy group was 4.11 pg mL while the median of NGF level in RA patients without neuropathy was 3.89 pg mL. There was no relationship between NGF serum level and peripheral neuropathy among patients with RA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55597
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Mira Ratih
"Latar Belakang: Petugas kesehatan memiliki risiko terpajan darah atau jaringan tubuh saat bekerja. World Health Organization (WHO) memperkirakan adanya 3 juta pajanan setiap tahunnya pada 35 juta petugas kesehatan. Adanya profilaksis pascapajanan dapat menurunkan risiko penularan.
Tujuan: Mengetahui pelaksanaan profilaksis pascapajanan terhadap terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C pada petugas kesehatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM). Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada petugas terpajan yang terdata melalui laporan IGD, poli pegawai dan UPT HIV pada tahun 2014-2016. Data dikumpulkan dan diolah melalui SPSS versi 20.
Hasil Penelitian: Dari 196 pekerja yang melaporkan pajanan, sebagian besar merupakan perempuan (69,9%), bekerja sebagai perawat (38,3%) dan dokter (38,3%), serta terpajan secara perkutan (93,4%). Anti-HIV reaktif ditemui pada 25 (13%) sumber pajanan, HBsAg reaktif pada 13 (8%) dan anti-HCV reaktif pada 12 (6%) sumber. Petugas dengan anti-HBs protektif adalah 55 (28,1%) petugas. Dari 183 pajanan berisiko, 45,9% (81) petugas direkomendasikan pemberian ARV, 81,5% (66) petugas melakukan profilaksis dengan ARV, 60% petugas minum ARV secara lengkap (28 hari). Follow-up anti-HIV bulan ke-3 dan 6 dilakukan oleh 44 (24%) dan 41 (22,4%) petugas. Terdapat 37 pekerja yang direkomendasikan menerima vaksinasi Hepatitis B dan/atau immunoglobulin (HBIG). Dari 22 (59%) yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B, hanya 1 (2,7%) yang melakukan. Dari 15 (41%) yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B dan HBIG, hanya 2 (5,4%) yang melakukannya. Follow-up 3 dan 6 bulan HBsAg serta anti-HBs dilakukan oleh 41 (31,1%), 38 (28,8%) dan 2 (1,5%) petugas. Dari 182 petugas yang melakukan follow-up anti-HCV bulan ke 3 dan ke 6 adalah 39 (21,4%) dan 37 (20,3%) petugas.
Kesimpulan: Pelaksanaan profilaksis pasca pajanan terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C masih rendah. Oleh karena itu, penanganan profilaksis secara komprehensif penting dilakukan termasuk peningkatan pengetahuan dan kesadaran pekerja, peninjauan kembali SOP, dan komunikasi yang efektif.

Introduction: Health care workers (HCW) have exposure risk of blood or body tissue at work. World Health Organization (WHO) estimates there is 3 millions exposure to 35 millions workers annually. The existance of post-exposure prophylaxis could reduce the transmission risk. Goal: To identify the implementation of post-exposure prophylaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C among HCW in RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Method: A cross-sectional study was conducted to exposured workers who had been recorded in emergency ward, employee ward, and UPT HIV on 2014-2016. Data was collected and analyzed with SPSS 20.
Result: Among 196 HCW who reported the exposure, most of them were female (69.9%), worked as nurse (38.3%) and doctor (38.3%), and exposed percutaneously (93.4%). Positive anti-HIV was found in 25 (13%) people of exposure sources, positive HBsAg in 13 (8%) people and positive HCV in 12 (6%) people. Workers with protective anti-HBs were 55 (28.1%) people. In 183 reports, 81 (45,9%) workers were recommended to receive ARV, 66(81.5%) workers did receive it, and 40(60%) workers took complete ARV (28 days). Follow-up 3 and 6 months was done by 44 (24%) and 41 (22,4%) workers. There were 37 workers recommended to receive Hepatitis B vaccination and/or immunoglobulin (HBIG). In 22 (59%) recommended to receive Hepatitis B vaccination, only 1 (2,7%) who took that. In 15 (41%) recommended to receive both Hepatitis B vaccination and immunoglobulin, only 2 (5,4%) who took both. Follow-up of HBsAg and anti-HBs on 3rd and 6th months were done by 41 (31,1%), 38 (28,8%) and 2 (1,5%) workers who were recommended to receive prophylaxis. In 182 workers recommended to do follow-up of anti-HCV, 39 (21,4%) and 37 (20,3%) workers did the follow-up on 3rd and 6th month.
Conclusion: The implementation of post-exposure propyhlaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C was still low. Thus, it was important to do the management of prophylaxis comprehensively. It was also included the increasing of worker's knowledge and awareness, reconsidering the operational standard, and communicating effectively."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Malikul Chair
"Artritis reumatoid (AR) dapat menyebabkan penurunan massa tulang sistemik akibat adanya peningkatan osteoklastogenesis dan penghambatan osteoblastogenesis melalui peningkatan sklerostin yang menyebabkan penghambatan jalur Wingless(Wnt)-bcatenin canonicaldan bone morphogenetic proteins(BMP). Sampai saat ini masih belum ada penelitian tentang korelasi TNF-adan sklerostin terhadap penanda turnovertulang (CTX dan P1NP) pada pasien AR perempuan premenopause.Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan patogenesis hilangnya massa tulang pada pasien artritis rheumatoid perempuan premenopause dengan menilai hubungan antara kadar sitokin proinflamasi TNF-α, penghambat Wnt signalingsklerostin, dan penanda resorpsi tulang P1NP dan CTX.Studi potong lintang ini melibatkan 38 perempuan AR premenopause. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Pemeriksaan dilakukan dengan ELISA.
Penelitian ini didapatkan kadar CTX (rerata 2,74 ng/ml) yang lebih tinggi dan P1NP (median 34,04 pg/ml) yang lebih rendahdibandingkan dengan sampel sehat pada penelitian sebelumnya. Terdapat korelasi negatif (r = -0,388) antara kadar TNF-α dengan kadar sklerostin yang bermakna secara statistik (p = 0,016). Terdapat pula korelasi positif (r = 0,362) antara kadar TNF-α dengan kadar P1NP yang bermakna secara statistik (p = 0,026). didapatkan adanya peningkatan CTX dan penurunan P1NP, adanya korelasi negatif bermakna antara kadar TNF-α dan sklerostin serta adanya korelasi positif bermakna antara kadar TNF-α dan P1NP.

Rheumatoid arthritis is associated with systemic bone mass loss due tostimulation of osteoclastogenesis and inhibition of osteoblastogenesis through inhibition of Wingless(Wnt) -bcatenin canonical and bone morphogenetic proteins(BMP) pathway by sclerostin. There are currently no studies that assess the correlation of TNF-α and sclerostin with bone resorption markers CTX and P1NPin premenopause rheumatoid arthritis patients. This study aims to explainthe pathogenesis of bone mass decrease by assessing the correlation between TNF-α, sclerostin, P1NP and CTX. This cross-sectional study involves 38 premenopausal women with AR. Sampling is done consecutively. Examination is done by ELISA.
This study found higher level of serum CTX (mean 2,74ng/mL) and lower level of P1NP (median 34,04 pg/mL) than normal population in previous studies. There was a negative correlation (r = -0,388) between TNF-α levels and sclerostin levels which was significant (p = 0,016). There wasalso a positive correlation (r = 0,362) between TNF-α levels and P1NP levels which was also significant (p = 0,026). This study found an increase in CTX and decrease in P1NP. There was a significant negative correlation between TNF-α and sclerostin levels and also a significant positive correlation between TNF-α and P1NP levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library