Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Septian Adi Permana
"Latar belakang. Sepsis merupakan suatu disfungsi organ yang dikarenakan ketidakmampuan tubuh dalam merespon infeksi dan kemungkinan disebabkan karena kerusakan dari lapisan glikokaliks endothel. Kerusakan lapisan ini kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor lain yang memperberat kerusakannya, diantaranya adalah balans cairan rerata yang tinggi, dosis norepinefrin yang tinggi, kadar gula darah yang tinggi serta kadar awal syndecan-1 yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan faktor-faktor tersebut merupakan faktor resiko yang memperberat kerusakan lapisan glikokaliks endothel pada pasien sepsis yang dilihat dari kadar syndecan-1 Metodologi. Penelitian ini merupakan uji analitik observasional dengan metode cohort prospektif yang dilakukan terhadap pasien sepsis usia 18-65 tahun yang dirawat di intensive care unit (ICU) RSUD Dr Moewardi sejak bulan Maret sampai dengan Juni 2021. Sebanyak 40 subjek dibagi menjadi dua kelompok kemudian diikuti selama 3 hari. Kadar syndecan-1 di ukur pada hari ke-0 dan hari ke-3. Uji statistik dengan menggunakan uji chi square kemudian dilanjutkan dengan uji regresi logistik untuk menilai secara multivariat jika memenuhi persyaratan.Hasil penelitian. Dari ke empat variabel tidak didapatkan hasil yang bermakna terhadap hubungan balans cairan rerata,dosis rerata norepinefrin, kadar gula darah sewaktu dan kadar awal syndecan-1 terhadap pengingkatan kadar syndecan-1 dengan nilai p secara berturut-turut : p=1, p=0,145, p=1. tetapi pada kadar awal syndecan-1 secara statistik bermakna berpengaruh terhadap kenaikan kadar syndecan-1 >30%, dengan p=0,01. Dari penelitian kami, kami mendapatkan hasil yang bermakna dalam hubungan vasoaktif inotropik skor dengan luaran sekunder kami yaitu angka kematian dengan p=0.018, sedangkan jikalau dengan peningkatan kadar syndecan-1>30% tidak signifikan (p=0,918). peningkatan kadar syndecan-1>30% juga tidak signifikan mempengaruhi angka kematian (p=0,609) Kesimpulan. Tidak terdapat hubungan bermakna antara Balans Cairan Rerata,Dosis Rerata Norepinefrin, Kadar Gula Darah Sewaktu Dan Skor Vasoaktif Inotropik dengan peningkatan kadar syndecan-1 pada pasien sepsis. Serta tidak terdapat hubungan antara peningkatan kadar syndecan-1 >30% dengan angka kematian pada pasien sepsis. Terdapat hubungan bermakna antara kadar awal syndecan-1 dengan pengingkatan >30% kadar syndecan-1 pada pasien sepsis.

Background. Damage to the endothelium glycocalyx layer can induce sepsis, an organ failure caused by the body's inability to react to infection. High mean fluid balance, high norepinephrine dosages, high blood sugar levels, and high starting levels of syndecan-1 may all increase damage to this layer. The goal of this study is to show that these characteristics are risk factors for endothelial glycocalyx layer destruction in septic patients, as seen by syndecan-1 levels. Methodology. From March to June 2021, this study will conduct an observational analytic test using a prospective cohort approach on sepsis patients aged 18 to 65 who are treated in the Dr Moewardi Hospital's intensive care unit (ICU). A total of 40 people were split into two groups and monitored for three days. On days 0 and 3, the levels of syndecan-1 were tested. Statistical test using the chi square test, followed by a multivariate assessment using the logistic regression test to see if it fits the standards. Outcome. On the link between mean fluid balance, mean norepinephrine dosage, temporary blood sugar levels, and beginning levels of syndecan-1 on rising levels of syndecan-1, no significant findings were observed with p values of 1, p=0,145, and p=1. However, at baseline syndecan-1 levels, there was a statistically significant impact on raising syndecan-1 levels > 30%, with p = 0.01. We found significant findings in the connection of vasoactive inotropic scores with our secondary outcome, death, with p=0.018, but not in the association of rising levels of syndecan-1>30 percent (p=0.918). The mortality rate was not substantially affected by higher levels of syndecan-1 > 30% (p = 0.609). Conclusion. There was no link between elevated levels of syndecan-1 and mean fluid balance, mean norepinephrine dosage, transient blood sugar levels, and vasoactive inotropic scores in septic patients. Furthermore, there is no link between higher levels of syndecan-1 > 30% and septic patient mortality. In septic patients, there is a substantial correlation between initial syndecan-1 levels and a >30% rise in syndecan-1 levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Artetha Mutiara Pujiantana
"Latar belakang: COVID-19 yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2 telah menginfeksi ribuan orang di Indonesia dan memberikan manifestasi klinis yang luas mulai dari gejala ringan hingga berat yang dapat menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dasar, laboratoris, terapi, komplikasi, dan luaran pada pasien kritis dalam pemantauan (PDP) ataupun terkonfirmasi COVID-19.
Metode: Studi ini merupakan studi deskriptif potong lintang yang dilakukan di ICU RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Universitas Indonesia (RSUI) selama Maret 2020 hingga September 2020. Sebanyak 259 subjek yang sesuai kriteria inklusi diambil dari data rekam medis. Dilakukan pengambilan data berupa data demografik, karakteristik dasar, parameter respirasi, data laboratoris, terapi, komplikasi, dan luaran pasien. Data yang terkumpul dijabarkan dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase, serta histogram. Data yang terdistribusi normal disajikan dalam rerata dan data yang terdistribusi tidak normal disajikan dalam median.
Hasil: Karakteristik dasar pasien adalah jenis kelamin laki-laki, usia 52 tahun, penyakit penyerta paling banyak hipertensi dan diabetes mellitus. Gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah sesak napas, batuk, dan demam. Suhu tertinggi selama perawatan adalah 37.20C. Awitan muncul gejala hingga pasien masuk rumah sakit adalah tiga hari, dan awitan muncul gejala hingga pasien masuk rawat ICU adalah enam hari. Metode diagnosis yang paling sering adalah adanya infiltrat bilateral pada pemeriksaan foto polos toraks, dan pemeriksaan PCR swab. Support pernapasan pada saat pasien masuk ICU paling banyak menggunakan ventilator invasif dan masker oksigen. PEEP tertinggi pasien pada 8 cmH2O, PEEP terendah 5 cmH2O. Rasio PF tertinggi adalah 299,75, dan terendah 136,1. PCO2 tertinggi pasien 47,9 mmHg, dan terendah 27,45 mmHg. Tekanan darah sistolik pasien tertinggi 151,88 mmHg, dosis norepinefrin tertinggi 1 mcg/kgBB/menit, dan dosis dobutamin tertinggi 10 mcg/kgBB/menit. Parameter laboratoris menunjukkan nilai leukosit 11.150 103/μL, neutrofil 84%, Limfosit 8,4%, monosit 5,84%, NLCR 10,11, Hb 11,61 g/dL, trombosit 284000 103/μL, D-dimer tertinggi 6730 μg/L, D-dimer terendah 1590 μg/L, ferritin tertinggi 1815,59 ng/mL, ferritin terendah 859,03 ng/mL, albumin 3,01 g/dL, ureum 45 mg/dL, kreatinin 0,94 mg/dL, SGOT 41 U/L, SGPT 34 U/L, bilirubin total 0,7 mg/dL, kadar laktat tertinggi 5,1 mmol/L, laktat terendah 1,7 mmol/L, natrium tertinggi 143 mEq/L, natrium terendah 132 mEq/L, kalium tertinggi 4,9 mEq/L, kalium terendah 3,4 mEq/L, klorida tertinggi 108 mEq/L, klorida terendah mEq/L, troponin I 49,35 pg/mL, CRP tertinggi 178,7 mg/L, CRP terendah 41,2 mg/L, PCT 1,53 ng/mL. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada biakan sputum adalah Acinetobacter sp, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, dan infeksi jamur.Terapi diberikan pada pasien mencakup pemberian antibiotik, antiviral, steroid, vitamin C, dan terapi pengganti ginjal (hemodialisa dan CRRT). Komplikasi yang paling sering terjadi adalah ARDS, Syok sepsis, dan AKI. Luaran pasien yang pindah dari ICU dalam keadaan hidup sebesar 146 pasien (56,4%), dan meninggal sebesar 41,7% pasien.
Simpulan: Karakteristik dasar pasien kritis terinfeksi SARS-CoV-2 adalah lakilaki, usia lebih tua dengan komorbid, parameter laboratorium yang menonjol adalah limfopenia, peningkatan D-dimer, ferritin, CRP, dan PCT. Komplikasi yang paling banyak terjadi adalah ARDS dan syok sepsis. Mortalitas pada pasien kritis terinfeksi SARS-CoV-2 sebesar 41,7%.

Background: COVID-19 caused by SARS-CoV-2 infection has a very broad clinical spectrum ranges from mild to critically ill cases. We aimed to describe the clinical course, laboratory findings, therapy, complication, and outcomes of critically ill patients with SARS-CoV-2 infection.
Method: In this multi-centered, retrospective, observational study we enrolled 259 critically ill adult patients with SARS-CoV-2 infection who were admitted to the ICU of RSCM and RSUI between March 2020, and September 2020. Demographic data, sympthom, comorbidities, diagnostic method, respiratory parameters, laboratory values, treatments, complications, and clinical outcomes were all collected. The data is described in the form of a frequency and percentage table, as well as a histogram. We express descriptive data as mean (SD) or median (minmax) for continuous variables and number (%) for categorical variables.
Results: Characterictic of the patients were male, age 52 years, most common comotbidities were hypertension and diabetes mellitus. Symptoms most often complained are shortness of breath, cough, and fever. The highest temperature during treatment was 37,20C. The onset of symptoms until the patients was admitted to ICU was 6 days. The most common diagnostic method were the presence of bilateral infiltrates on plain chest radiographs and PCR swabs. Respiratory support when patients admitted to ICU mostly using invasive ventilators and oxygen masks. The patient’s hightest PEEP was 8 cmH2O, the lowest was 5 cmH2O. The highest PF ratio was 299,75 and the lowest was 136,1. The highest PCO2 was 47,9 mmHg, and the lowest was 27,45 mmHg. The patient’s highest systolic blood pressure was 151.88 mmHg. The highest dose of norepinephrine was 1 mcg/kg/minute, and the higest dose of dobutamine was 10 mcg/kg/minute. Laboratory parameters showed the value of leucocytes 11.150 103/μL, neutrophils 84%, lymphocytes 8,4%, monocytes 5,84%, NLCR 10,11, Hb 11,61 g/dL, platelets 284000 103/μL, highest D-dimer 6730 μg/L, lowest D-dimer 1590 μg/L, highest ferritin 1815,59 ng/mL, lowest ferritin 859,03 ng/mL, albumin 3,01 g/dL, urea 45 mg/dL, creatinine 0,94 mg/dL, AST 41 U/L, ALT 34 U/L, total bilirubin 0,7 mg/dL, highest lactate level 5,1 mmol/L, lowest laktate level 1,7 mmol/L, highest sodium 143 mEq/L, lowest sodium 132 mEq/L, highest potassium 4,9 mEq/L, lowest potassium 3,4 mEq/L, highest chloride 108 mEq/L, lowest chloride mEq/L, troponin I 49,35 pg/mL, highest CRP 178,7 mg/L, lowest CRP 41,2 mg/L, PCT 1,53 ng/mL. The most common bacteria found in sputum are Acinetobacter sp, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, and fungal infection. Therapy given to patients are antibiotics, antivirals, steroids, vitamin C, and renal replacement therapy. The most common complications are ARDS, septic shock and AKI. ICU.
Conclusion. The baseline characteristics of the critically infected SARS-CoV-2 patients were male, older age with comorbid hypertension and diabetes mellitus. Laboratory parameters showed lymphopenia, elevated D-dimer, ferritin, lactate, CRP, and PCT. The most common complications are ARDS and septic shock. Mortality in critically patients with SARS-CoV-2 was 41,7%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Kusuma Manggala
"Pembedahan abdomen atas berkaitan disfungsi diafragma. Disfungsi diafragma merupakan penyebab PPC (postoperative pulmonary complication). Terapi oksigen konvensional (TOK) merupakan terapi standar pada pasien pasca pembedahan abdomen atas. Terapi HFNC (high-flow nasal cannula) memiliki berbagai mekanisme yang berbeda dengan TOK dan dipikirkan dapat membantu fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan HFNC terhadap TOK dalam mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari November 2018 – September 2019. Tujuh puluh satu pasien dibagi secara acak menjadi dua kelompok: kelompok TOK dan HFNC. Enam puluh enam pasien mendapat intervensi setelah ekstubasi di ICU (intensive care unit). Seluruh subjek dilakukan pencatatan nilai DTF (diaphragm thickening fraction) menggunakan ultrasonografi, ΔTIV (perubahan tidal impedance variance), ΔEELI-G dan ΔEELI-ROI (perubahan end expiratory lung impedance global dan region of interest) menggunakan EIT (electrical impedance tomography), PaO2 dan PaCO2 (tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida arteri) secara berkala pada dua seri. Efek samping dan keluhan yang muncul dicatat dan ditatalaksana. Total 66 subjek disertakan dalam bivariat menggunakan t-test dan mann whitney, sedangkan analisis tren menggunakan general linear model atau generalized estimating equation. Durasi ventilasi mekanik di ICU, persentase prediksi mortalitas dan skor P-POSSUM antara kedua kelompok berbeda signifikan (p=0,003; 0,001; dan 0,019, secara berurutan). Tidak ada perbedaan tren yang ditemukan antarkelompok pada seri pertama parameter DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI dan PaCO2 (p=0,951; 0,100; 0,935; 0,446; dan 0,705, secara berurutan) maupun pada seri kedua (p=0,556; 0,091; 0,429; 0,423; dan 0,687, secara berurutan). Tren PaO2 pada seri pertama dan kedua berbeda sangat signifikan (p<0,001) karena protokol pengaturan fraksi oksigen yang lebih tinggi pada kelompok TOK. Penggunaan HFNC tidak lebih baik daripada TOK dalam membantu mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas.

Upper abdominal surgery is related to diaphragmatic dysfunction. Diaphragmatic dysfunction is the main factors causing postoperative pulmonary complication (PPC). Conventional oxygen therapy (TOK) in the form of nasal cannula, is a standard therapy in post upper abdominal surgery patients. High-flow nasal cannula (HFNC) therapy has a variety of mechanisms that differ from TOK and is thought to be able to maintain diaphragm function in post upper abdominal surgery patients. This study aims to compare the ability of HFNC vs TOK in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients. This study was conducted at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from November 2018 - September 2019. Seventy-one patients were randomly divided into two groups: TOK and HFNC groups. Sixty-six patients received intervention after extubation in the intensive care unit (ICU). This given data were all collected periodically in 2 series; diaphragm thickening fraction (DTF) values using ultrasonography, changes in tidal impedance variance (ΔTIV), changes in global end expiratory lung impedance and region of interest (ΔEELI-G and ΔEELI-ROI) using electrical impedance tomography, arterial oxygen and carbon dioxide partial pressure (PaO2 and PaCO2). Side effects and complaints that arise were collected and managed. A total of 66 subjects were included in the bivariate using t-test and mann whitney test, while trends were analyzed by general linear models or generalized estimating equations. The baseline characteristics of mechanical ventilation duration in the ICU, the predicted mortality rate and P-POSSUM score between the two groups were significantly different (p = 0.003; 0.001; and 0.019, respectively). No trend differences were found between groups in the first series of DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI and PaCO2 parameters (p = 0.951; 0.100; 0.935; 0.446; and 0.705, respectively) and in the second series (p = 0.556, 0.091, 0.429, 0.423 and 0.687, respectively). The PaO2 trends in the first and second series differed very significantly (p<0.001) due to the higher oxygen fraction regulation protocol in the COT group. The use of HFNC is no better than COT in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library