Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasution, Satya Budi
Abstrak :
Pembangunan industri pulp dan rayon memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional, dan untuk mewujudkan pembangunannya harus diproses sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. industri pulp dan rayon dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungannya. Industri ini menggunakan bahan baku kayu dari hutan sekitarnya dan untuk memprosesnya memerlukan banyak air yang diambil dari sungai Asahan dan mempunyai limbah cair yang setelah melalui proses mekanis dibuang ke sungai Asahan kembali, sehingga kemungkinan pencemaran lingkungan hidup bisa setiap saat terjadi jika tidak dikelola dengan benar. Investor yang membangun pabrik pulp dan rayon adalah PT. Inti Indorayon Utama (PT. IIU). Bahwa PT. IIU wajib membuat Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang mencakup PP No. 29 Tahun 1986 tentang AMDAL. Dalam pembuatan suatu rencana kegiatan dan/atau usaha, peran serta masyarakat harus dilibatkan sesuai dengan Pasal 31 ayat (3) PP No. 29 Tahun 1986, dalam hal ini PT. IIU belum menyusun AMDAL, tetapi izin-izin yang terkait dengan rencana kegiatan, tetap diberikan pemerintah. Padahal dalam Pasal 5 PP No. 29 Tahun 1986 menyatakan bahwa keputusan tentang pemberian izin terhadap rencana kegiatan oleh instansi yang berwenang dapat diberikan setelah adanya keputusan persetujuan RKL dan RPL (AMDAL). Disinilah inkonsistensinya pemerintah, dimana persetujuan AMDAL belum ada tetapi pemerintah memberikan izin kepada PT, IIU. Pendirian pabrik dilakukan tanpa AMDAL, herarti tanpa peran serta masyarakat penduduk setempat yang akan terkena dampak, sehingga dalam kegiatan operasional pabrik kemudian temyata terjadi pencemaran lingkungan yang menimbulkan protes dan perlawanan dari masyarakat. Untuk penanganan permasalahan PT. IIU tersebut lagi-iagi pemerintah inkonsisten terhadap putusan-putusan yang dibuat, sehingga timbal kebijakan yang mendua. Akhirnya penanganan permasalahan dilakukan pemerintah dengan mengakomodir aspirasi dari masyarakat yang pro dan yang kontra, sehingga pemerintah memutuskan menutup pabrik rayon dan pabrik pulp dapat dibuka, dilanjutkan dengan melibatkan peran serta masyarakat didalam proses kegiatannya.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14488
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Paulus Anugrah Hasudungan
Abstrak :
Aturan-aturan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun atau yang biasa disebut limbah B3 yang adalah bagian dari pengelolaan lingkungan hidup yang berlaku di Indonesia dianggap tidak selaras dengan jalannya kegiatan industri yang merupakan penghasil limbah B3, oleh karena itu penelitian dilakukan untuk melihat apakah peraturan-peraturan yang mengatur limbah B3 di Indonesia telah sedemekian rupa sehingga tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan internasional dan untuk menjelaskan bahwa tidak selamanya limbah B3 itu tidak dapat dimanfaatkan kembali. Penulisan ini dianalisis secara yuridis normatif dan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Peraturan-peraturan yang mengatur tentang limbah B3 yang telah ada masih dianggap rigid, karena dalam pelaksanaannya peraturan-peraturan tersebut belum dapat menyesuaikan perkembangan teknologi dalam pengelolaan limbah B3 dan juga dianggap tidak adanya keselarasan antara pengelolaan limbah B3 yang merupakan bagian dari pengelolaan lingkungan hidup dengan kegiatan industri sebagai penghasil limbah B3. Kemajuan teknologi dalam pengelolaan limbah B3 di dunia mengakibatkan beberapa limbah B3 dianggap tidak lagi sebagai limbah B3 atau pun menyebabkan limbah B3 yang berbahaya tersebut dapat dimanfaatkan kembali oleh industri-industri lain baik sebagai bahan baku utama kegiatannya atau pun sebagai bahan baku sekunder yang mana memunculkan adanya kegiatan ekonomi yang mengakibatkan munculnya kegiatan lintas batas limbah B3 yang menurut beberapa negara masih sangat berbahaya tapi dianggap sebagai salah satu upaya pengelolaan limbah B3 apabila dilakukan sesuai dengan aturan dan pengelolaan yang baik. ......The arrangements of hazardous and toxic waste management which is part of the prevailing environmental management in Indonesia is considered not aligned with the course of industrial activity as the producer of the hazardous and toxic waste, therefore the study was conducted to see whether the regulations governing hazardous and toxic waste in Indonesia have been in such a way that do not in contrary with the international provisions and to clarify that such hazardous and toxic waste not always can not be reused. This study analayzed by juridical normative and using a qualitative approach. The existing regulations governing hazardous and toxic waste are considered rigid, due to in practice, such regulations have not been able to adjust the development of hazardous and toxic waste management technologies and also considered that there is no alignment between the hazardous and toxic waste management which is part of the environmental management with the industrial activity as the producer of the hazardous and toxic waste. Technological advances in hazardous and toxic waste management in the world have caused several hazardous and toxic wastes are no longer considered as the hazardous and toxic wastes or even caused such harmful hazardous and toxic waste may be reused by other industries either as the main raw material of their activities or as the secondary raw material of which raises the economic activity resulting the emergence of transboundry movement of hazardous and toxic waste activity which according to some countries are still very dangerous however considered as one of the hazardous and toxic waste management efforts if conducted in accordance with the rules and proper management.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damba Summa Akmala
Abstrak :
Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) merupakan suatu bentuk kontrak karya di bidang pertambangan batubara yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan Kontraktor Swasta baik dalam rangka Penanaman Modal dalam negeri maupun Penanaman Modal Asing. Permasalahan yang kemudian timbul adalah Kontraktor Swasta mendapatkan hambatan dalam melaksanakan usahanya dikarenakan adanya peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan yang bertentangan dengan hak-hak yang diterima oleh Kontraktor Swasta berdasarkan PKP2B dan peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan. Pemerintah sendiri dalam kedudukannya sebagai pihak dalam PKP2B memiliki hak dan kewajiban perdata selaku subyek hukum perdata dalam suatu perjanjian, sehingga dalam hal ini fungsi Pemerintah selain sebagai regulator yang dapat memberikan sanksi yang bersifat publik, Pemerintah dalam hal ini juga dapat digugat secara perdata apabila dari pihak Kontraktor Swasta merasa dirugikan dalam hal Pemerintah melanggar apa yang diperjanjikan dalam PKP2B. Kesimpulan dari masalah-masalah tersebut adalah bahwa selama ini terdapat ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan antara dua sektor termaksud yang dalam hal ini sektor pertambangan dan kehutanan, dan untuk itu peran Pemerintah untuk dapat menengahi ketidakharmonisan tersebut diperlukan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang netral yang diharapkan dapat menjadi solusi dari ketidakharmonisan tersebut. Sedangkan untuk perlindungan hukum bagi Kontraktor swasta dalam PKP2B adalah dimungkinkannya melakukan gugatan perdata melalui arbitrase internasional untuk memaksakan dan/atau meminta ganti kerugian dalam hal Pemerintah selaku pihak dalam PKP2B menyebabkan kerugian dengan melanggar seluruh atau sebagian ketentuan dalam PKP2B.
Coal Contract of Work (CcoW) is a work contract in coal mine signed by the Government of Republic Indonesia with Private Contractor as a domestic investor or foreign investor. The problem further arised are Private Contractor found obstacles in rendering their business caused by the foresrty laws which have contradictive with the rights obtained by Private Contractor under the CCoW and mining laws. Government itself in their capacity as a party in CCoW have private rigths and obligations as private entity in an agreement, therefore in this matter Government have a function beside as a regulator who had a authority to give a public saction, but their also may be sue by the Private Contractor considering their loss suffered caused by the breach of agreement by the Government. Summary of problem set forth are found that laws between forestry and mining sector are inharmonic, a neutral product of laws are needed to give a solution to such inharmonic problem. Meanwhile, legal protection for Private Contractor under CCoW are the possibility to make a legal action trough the international arbitration to enforce their rights or inquire the compensation to Government caused by the breaching the provisions under CCoW.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37132
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Hanifah
Abstrak :
Pembangunan tidak akan mencapai kemajuan yang berarti tanpa disertai dengan kegiatan industrialisasi. Di sisi lain pembangunan industri juga membawa dampak negatif terhadap keseimbangan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang ada, baik makhluk hidup maupun benda mati termasuk daya dan kondisi yang terdapat dalam ruang dimana kita hidup dan dapat mempengaruhi kehidupan. Suatu sistem ekologis terj adi secara alamiah, namun seringkali manusia berperan dalam menciptakan keseimbangan bahkan ketidak-seimbangan ekosistem. Kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup pada umumnya terjadi karena adanya over exploitation terhadap sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampaknya dalam dimensi waktu yang lebih panjang, atau industriawan enggan mengeluarkan biaya untuk menanggulangi limbah pabrik yang berbahaya (hazadous waste) Terhadap pencemaran dan perusakan lingungan hidup ini tindakan hukum harus diambil segera untuk menunjukan bahwa pelaku harus embayar mahal setiap perbuatan mereka yang merusak dan mengakibatkan kerugian pada orang lain. Undang-Undang No. 4 tahun 1982 pasal 23 menjadi dasar hukum acuan untuk dapat menuntut pihak pelaku dengan ketentuan hukum. pidana yang telah ada. Untuk mengaktualisasi pasal 20 dan 21 UULH, pihak masyarakat korban atau LSM lingkungan hidup dapat menggugat secara perdata dengan menggunakan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata t entang perbuatan melanggar hukum (PMH) di forum pengadilan. Adanya peluang hukum tersebut memberikan keberanian kepada WALHI untuk mengajukan gugatan PMH terhadap PT. IIU dan Pemerintah RI di forum pengadilan pada 20 Desember 1988. Kasus ini menjadi kasus lingkungan hidup paling menarik dan paling revolusioner ditahun 1989 dimana secara implisit lingkungan hidup diakui sebagai subyek hukum. Dengan demikian setiap pelaku dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang merugikan orang lain.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S20377
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Rahayu Pangastuti Mauritha
Abstrak :
Pencemaran lingkungan yang dalam hal ini mengambil kasus pencemaran Sungai Ciujung dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum. Hal ini dikarenakan perbuatan tersebut selain melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah memenuhi unsur-unsur dari perbuatan melanggar hukum itu sendiri. Upaya kooperatif yang telah dilakukan sebelumnya gagal, oleh karena itu masyarakat sekitar yang diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu tim dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Lembaga bantuan Hukum Jakarta mengajukan gugatan berdasar kan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Akan tetapi belum sampai pada pemeriksaan pokok perkaranya, gugatan tersebut di tolak (Niet Ontvankelijk Verklaard) oleh majelis hakim karena kesalahan penggugat dalam mengajukan gugatan (masalah kewenangan relatif), dimana seharusnya gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Serang Jawa Barat sesuai dengan tempat tinggal atau kedudukan para tergugat, bukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Hal seperti ini sangat disayangkan karena usaha masyarakat yang telah mengorbankan waktu, tenaga dan biaya akhirnya sia-sia belaka. Memang gugatan masyarakat sekitar Sungai Ciujung telah gagal sebelum memasuki pokok perkaranya, namun ada satu hal yang menjadikan kasus ini menarik, yaitu mengenai gugatan perwakilan kelompok atau yang biasa dikenal dengan Class Action telah diakui keberadaannya di Indonesia melalui kasus ini, yaitu dengan dikeluarkannya Putusan Sela Nomor 176/PDT/G/1995/ PN. JKT.UT.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
S20734
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mawuntu, Joyce Helen
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu kelompok masyarakat hukum adat yang ada hingga saat ini adalah kelompok masyarakat adat di Kabupaten Lebong. Kelompok masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan pegunungan Bukit Barisan. Mereka hidup dari hasil memanfaatkan dan mengolah sumber daya hutan yang ada di sekitar mereka. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 192/Kpts-II/1996, tertanggal 1 Mei 1996, telah mengubah fungsi dan menunjuk sebagian kawasan hutan di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan dan Bengkulu seluas +/-1.368.000 Ha, menjadi Taman Nasional Kerinci Seblat. Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 901/Kpts-11/1999, tertanggal 14 Oktober 1999 Ditetapkan Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang terletak di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan dan Bengkulu dengan luas 1.375.349,867 (satu juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu tiga ratus empat puluh sembilan delapan ratus enam putuh tujuh perseribu) hektar. Bahwa berdasarkan UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1990, kedudukan Masyarakat Hukum Adat serta Hak Ulayat yang dimilikinya secara tegas diakui. Akan tetapi dalam UU No. 41/1999, pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi beberapa syarat, artinya keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam satu wilayah teritorial di Indonesia diakui sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dan keberadaannya harus diakui oleh Pemerintah Daerah setempat. Selanjutnya implementasi penyetenggaran otonomi daerah Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu terhadap peningkatan kesejahteraan' Masyarakat Hukum Adat akibat pelaksaaan surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 192/Kpts-II/1996 yang menetapkan kawasan TNKS sebagai kawasan cagar biosfer, belum memberikan tingkat kesejahteraan Masyarakat Hukum Adat yang maksimal dikarenakan ketika terjadi pembatasan akses terhadap Masyarakat Hukum Adat terhadap hutan, hal tersebut tidak diikuti dengan kebijakan pemberdayaan ekonomi Masyarakat Hukum Adat yang tinggal sekitar kawasan hutan.
2007
T 19650
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Ulises
Abstrak :
Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan memberikan hak menguasai atas hutan kepada Pemerintah Cq Departemen Kehutanan untuk mengelota atau mengurus kawasari hutan Negara, sementara Pasat 67 mengakui hak Masyarakat Hukum Adat untuk mengetola atau mengurus hutan adatnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 16801Menhut-III/2002, tanggal 26 September 2002 KPKS Bukit Harapan diberi Ijin Usaha Perkebunan atas lahan seLuas 23.000 hektar di Propinsi Sumatera Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kecamatan Padang Lawas. Namun karena dinilai telah melanggar peruntukan fungsi hutan dari hutan produksi menjadi lahan perkebunan, maka berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 3.419/Menhut-II/2004, tanggal 13 Oktober 2004, Ijin Usaha Perkebunan atas nama KPKS Bukit Harapan dicabut. Dasar hukum sanksi pencabutan Ijin Usaha Perkebunan adalah Pasal 4 Jo. Pasal 10 Undang-Undang Kehutanan, Gouvernemen Besluit No. 50/1924, dan Kepmenhut No. 9231KptsfUm/1211982, tanggal 27 Desember 1982 tentang penunjukan areal hutan di wilayah Propinsi Dati I Sumatera Utara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Pencabutan Ijin Usaha Perkebunan tersebut pada akhirnya di bawa ke Pengaditan Tata Usaha Negara. KPKS Bukit Harapan menggugat mengacu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Tujuan Penulisan Tesis ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah penerapan kebijakan Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan terhadap pengelotaan hutan yang didalamnya terdapat hutan adat dari Masyarakat Hukum Adat di Hutan Padang Lawas, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sehingga memperoleh gambaran objektif atas pencabutan Ijin Usaha Perkebunan didasarkan pada peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dengan membahas, bagaimanakah sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan yang mengatur hutan adat dengan kebijakan pengelotaan hutan produksi, dan bagaimanakah penyelesaian sengketa benturan kepentingan antara Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan dengan Masyarakat Hukum Adat terhadap pengelotaan hutan produksi di Kecamatan Padang Lawas Tapanuli Selatan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T 19651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Zachawerus
Abstrak :
Kekuasaan negara yang berkaitan dengan sumber daya atam secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolan Lingkungan Hidup, yang terdapat pada pasal 8 ayat 1 yaitu bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah. Sementara itu, wewenang negara dalam pengelolaan sumber daya alam diatur pada ayat 2, dengan inti kewenangan meliputi mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup; Mengatur penyediaan, peruntukkan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kernbali sumber daya slam, termasuk sumber daya genetika; dan lain sebagainya. Dengan semakin tingginya tingkat kerusakan hutan di dunia khususnya di Indonesia yang mengakibatkan berkurangnya cadangan sumber daya alam hayati termasuk di datamnya habitat flora dan fauna, atas hat ini Indonesia mendapat tekanan yang cukup besar dari dunia intemasional. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara yang memitiki hutan tropis terbesar nomor 3 didunia setelah Brasil dan Zaire. Dleh karena itu, dalam pelaksanaan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam hayati yang dilakukan oleh masyarakat dan pihak-pihak yang diberi hak danlatau ijin pemanfaatan dan pengelolaan oleh negara dalam hat ini Pemerintah, perlu dikaji apakah pelaksanaan terhadap kebijakan konservasi sumber daya alam hayati dan lingkungan hidup sudah sejalan dengan kebijakan pembangunan ekonomi. Fakta di lapangan seringkali menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi demi pembangunan seringkali mengatahkan kepentingan konservasi sumber daya atam khususnya sumber days hutan yang merupakan penyedia bahan Baku industri terbesar bagi pembangunan. Berdasarkan penelitian secara teoretis maka dapat disimpulkan bahwa implementasi dilapangan atas konservasi sumberdaya hayati dengan pembangunan ekonomi berkelanjutan tidak sinkron, hat ini disebabkan hak masyarakat untuk mencapai kemakmuran dengan kearifan tradisionat dalam pengelolaan hutan pada saat ini mulai punah. Sedangkan hak negara dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang diberikan kepada golongan-golongan tertentu telah menyebabkan kerusakan hutan, maka dianggap perlu untuk direvisi kembali sesuai dengan era modemisasi.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2007
T19652
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Emmi Frasiska
Abstrak :
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya, wajib disyukuri. Karunia yang diberikanNya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan hares diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penulisan tesis "Penegakan Hukum Lingkungan terhadap Illegal Logging dalam Upaya Perlindungan Hutan di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi", didasarkan karena hutan sebagai modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang, sehingga diperlukan suatu langkah dan upaya guna menanggulangi maraknya illegal logging di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi. Bahwa para pelaku illegal logging di kabupaten Bungo yang tertangkap adalah masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar hutan, dan para sopir-sopir truk yang mengangkut kayu hasil illegal logging tanpa disertai SKSHH, sementara para cukongnya tidak tertangkap seakan-akan tidak bias tersentuh oleh hukum. Beberapa penyebab illegal logging semakin marak terjadi di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi yang menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap illegal logging di karenakan : (1) Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, kurangnya kapasitas dan integritas penegak hukum, serta minimnya jumlah aparat polisi kehutanan yang bertugas di lapangan dalam rangka melindungi hutan produksi di kabupaten Bungo yang tidak sebanding dengan luas hutan; (2) Rumusan sanksi pidana yang tidak mengatur batasan minimal masa hukuman pidana minimal bagi para pelaku illegal logging sehingga menimbulkan disparitas hukuman pidana yang dituntut oleh jaksa dengan masa hukuman yang diputus oleh hakim; (3) Tidak adanya pasal yang mengatur mengenai kerugian ekologis yang harus ditanggung oleh pelaku illegal logging karena kerugian yang dialami oleh pemerintah bukan saja kerugian secara ekonomi, namun juga kerugian ekologis yaitu rusaknya ekosistem hutan, punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, terjadinya bencana banjir dan erosi; (4) Bahwa pemerintah masih cenderung sentralistik dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dengan memberikan kepada pengusaha-pengusaha untuk mengelola hutan produksi tanpa memperhatikan nasib masyarakat di sekitar hutan yang mengakibatkan masyarakat sekitar hutan tidak ragu-ragu melakukan illegal logging dan bahkan meskipun sudah tahu bahwa hutan produksi tersebut telah kembali pengelolaannya kepada pemerintah, mereka tetap melakukan penebangan bahkan melakukan perambahan; (5) keterbatasan sarana dan prasarana juga merupakan kendala bagi aparat hukum dalam menangkap pelaku-pelaku illegal logging karena hutan yang diawasai begitu lugs dan kondisi jalan yang juga tidak bisa dilalui oleh kendaraan; (6) keterbatasan dana; (7) Tidak adanya tindakan tegas oleh aparat penegak hokum terhadap sawmil-sawmil yang tidak resmi yang dibiarkan beroperasi dan siap menerima order untuk memotong-motong dan mengolah menjadi kayu meskipun diketahui dari hasil illegal logging. Melihat betapa rumitnya permasalahan illegal logging yang terjadi di kabupaten Bungo upaya-upaya yang tegas dari pemerintah ( dinas kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) bekerjasama dengan aparat desa, LSM, pemuka-pemuka agama, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemuda-pemuda desa yaitu mengadakan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat lokal tentang pentingnya arti hutan, menyampaikan informasi kepada masyarakat lokal bahwa perbuatan illegal logging adalah perbuatan tindak pidana yang hukumannya lebih berat dari tindak pidana umum lainnya (melakukan pendekatan sosial budaya dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dengan mengadakan kegiatan hutan kemasyarakatan, padat karya, hutan rakyat, HPH bina desa, atau dengan memberikan modal kerja (home industry) pembuatan batu bata, tahu, tempe dan kerajinan tangan lainnya, menjadikan pengetahuan dan pengertian tentang peranan dan fungsi hutan sebagai mata kuliah dalam kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Langkah tindakan yang serupa juga dilakukan melalui penyuluhan dan ditujukan bagi masyarakat luas dengan menggunakan media cetak maupun media elektronik serta kunjungan ke lapangan. Upaya selanjutnya adalah perlu diberlakukannya Perpu Pemberantasan Illegal Logging, yang diharapkan masyarakat dapat melaporkan kejadian-kejadian illegal logging dengan data informasi, gambar foto, dan rekaman kepada LSM maupun Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo. Di samping usaha-usaha yang disebut di atas, guna menegakkan hukum yang seadil-adilnya dan menumpas habis para pelaku illegal logging, perlu adanya kesatuan pandangan pars jaksa penuntut umum yang melakukan tuntutan hukuman pidana terhadap terdakwa pelaku-pelaku illegal logging dan hakim yang memberi putusan berupa hukuman pidana, sehingga masa hukuman pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak terlalu jauh rendahnya dengan pidana yang dituntut oleh jaksa penuntut umum. Walaupun diakui, masing-masing instansi memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman pidana (tuntutan pidana bagi kejaksaan dan putusan pidana bagi hakim) namun dasar menetapkan hukuman pidana tersebut adalah sama yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang salah satu pasalnya mangatur tentang sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku illegal logging.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>