Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asep Warlan Yusuf
"ABSTRAK
Ruang pada dasarnya tidak bertambah, namun kebutuhan masyarakat akan ruang dalam jangka dekat maupun jangka panjang akan semakin tinggi. Dengan demikian apabila tidak dikendalikan oleh dan melalui hukum sudah dapat dipastikan akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya alam sebagai sumber kehidupan. Namun produk hukum yang mengatur kegiatan penataan ruang itu masih ?cerai berai" dan sangat kuat menonjolkan kepentingan masing-masing sektor, sehingga tidak mempertunjukkan adanya kesatuan sistem pengelolaan yang terpadu. Untuk membangun satu kesatuan sistem perundang-undangan di bidang penataan ruang sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, maka yang utama harus dilakukan adalah mengamandemen Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya menerbitkan ketetapan MPR yang memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan harmonisasi dan menterpadukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam (seperi kehutanan, pertambangan, pertanahan), pengelolaan lingkungan hidup, penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan penataan ruang.
Adapun materi yang harus diharmonisasikan dan diterpadukan dalam satu kesatuan sistem pengelolaan sumber daya alam, lingkungan hidup, dan penatan ruang itu antara lain menyangkut pertama arah kebijakan, yang meliputi a) asas tanggung jawab negara, dengan menempatkan posisi pemerintah sebagai regulator dan sekaligus pengayom, yang memberikan jaminan keadilan, kepastian dan perlindungan hukum; b) memegang teguh asas keberlanjutan (sutainability); c) mengatur secara adil dan merata terhadap penggunaan asas manfaat ekonomi dan sosial yang dilandasi oleh kepentingan ekotogi; dan d) digunakannya asas subsidiaritas yang menitik beratkan pada desentralisasi yang demokratis. Kedua, substansi yang menterpadukan secara serasi kegiatan perencanan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang dan lingkungan kedalam satu sistem pengelolaan Sumer daya alam. Ketiga penguatan kelembagaan dan prosedur, yang menekankan pada koordinasi dan kerja sama antarinstansi dan antardaerah. Keempat menyangkut aspek keterpaduan dalam penegakan hukum dan pengembangan- budaya hukum.
Dalam era otonomi daerah dewasa ini, maka masalah wewenang pemerintahan dalam penataan ruang ini menjadi sorotan utama yang harus segera ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Isu tentang wewenang pemerintahan ini pada dasarnya berkenaan dengan pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara Pusat dan Daerah dalam bidang penataan ruang. Secara sederhana, ibarat membangun rumah, maka tugas Pemerintah Pusat adalah membangun fundasi yang mampu mengikat dan mempersatukan ruang wilayah nasional dengan memperhatikan keanekaragaman potensi dan kepentingan daerah. Selanjutnya daerah harus membangun ruang di atas fundasi tersebut sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan daya dukung yang ada pada daerah masing-masing.

ABSTRACT
Even if society's demand for space in the short and long run is ever increasing, it is an indisputable fact that space in itself cannot be expanded. Society's development in fact is limited by available space. Consequently, a viable spatial planning law is a conditio sine qua non to guarantee sustainable use of natural resources. Notwithstanding that, the existing spatial plan or utilization legal system is still in disarray, not showing cohesiveness, as it reflects myriad, most often than not conflicting, interest of different state departments. In short, taken into consideration the existing law on spatial planning (Act No. 2411992), the result is sectoral and non-integrative spatial plan inhibiting sustainable development. The obvious solution would be amending Art. 33 par. 3 of the Indonesian Constitution of 1945 which grants absolute power on the State in managing natural resources. The next step would be for the General Consultative Assembly, the highest State organ, to decree that the parliament and government should do their best effort in harmonizing the existing law and policy concerning natural resource management (forestry, mining, agriculture), the environment, regional autonomy and spatial planning.
Such harmonization effort should be performed and actuated with the primary purpose of creating an integrated system of natural resource management, (protection and preservation of the) living environment and spatial planning. At first it should concern basic principles of policy, inter alia, comprising of: a. state responsibility principle, placing the government both as regulator and protector rendering justice, legal protection and certainty; b. sustainability principle; c. balancing of economic and social value principle with ecological concerns; and d. the implementation of subsidiarity principle focussing on democratic decentralization. Secondly, it should focus on creating an integrated natural resource management program combining spatial planning with environmental (ecological) concerns. Thirdly, institutional capacity building with primary focus on establishing a viable coordination and cooperation system between regional governments and between different government institutions. Fourthly and lastly it should concern creating an integrated approach to law enforcement and legal culture development.
Given the trend to grant regional governments greater autonomy, the law on spatial planning must address all problems related to governmental authority in the field of spatial planning and utilization. This issue relates basically to distribution of authority, task and responsibilities between the central government and regional autonomous government. Put simplistically, it is analogous to building a foundation on which national spatial planning could be develop taking into consideration the diversity of each regional government's capacity and interest. Based on this solid foundation, each region must develop and actuate its own spatial planning and programs according to its own capabilities and last but not least the region environment carrying capacity.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
D518
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dahnidar Lukman
"ABSTRAK
Latar Belakang Masalah
Kebutuhan akan modal untuk mengembangkan perekonomian negara, menimbulkan gerak arus modal dari luar negeri. Negara yang mendambakan masuknya modal asing memberikan berbagai insentif dan fasilitas untuk menarik investor asing. Melalui Undang-Undang nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing Indonesia menawarkan pula berbagai rangsangan seperti keringanan pajak, penggunaan hak-hak atas tanah, dan juga kesediaan untuk menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase dan lain-lain. Perkembangan jumlah persetujuan penanaman modal yang telah dikeluarkan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PENANAMAN MODAL PER PELITA dapat dilihat dalam file pdf.
Persetujuan Penanaman Modal Asing (PMA) sejak dikeluarkan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing sampai dengan bulan Desember 1997, tercatat 5.806 Proyek dengan nilai investasi sebesar US $ 191,85 Milyar.
Dari persetujuan proyek PMA sektor yang paling banyak diminati Tahun 1997 adalah Industri Kimia (US $ 12,3 Milyar), Pengangkutan (US $ 5,9 Milyar), Industri Kertas (US $ 5,3 Milyar), Industri Barang Logam (US $ 2,3 Milyar), dan Listrik, Gas & Air Minum (US $ 1,8 Milyar).
Sisi lain dari arus globalisasi dalam permodalan ini adalah akan meningkatnya benturan-benturan dari pelaku ekonomi. Karena itu perlu suatu tindakan antisipasi khususnya tentang persengketaan yang mungkin terjadi di antara investor asing dengan negara penerima modal dalam penyelenggaraan kegiatan penanaman modal tersebut.
Pembenahan hukum akan memberikan ketertiban dan kepastian hukum sehingga akan memacu pertumbuhan ekonomi dengan ketertarikan investor asing ke Indonesia.
Undang-Undang nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA hanya menyatakan, bahwa bila ada nasionalisasi dan ada perselisihan yang timbul akibat sengketa, maka mengenai pembayaran kompensasi dapat diselesaikan melalui arbitrase.
Pada saat ini dalam perdagangan internasional, berkembang suatu kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan, Priyatna mengemukakan bahwa:
"ADR procedures are alternatives to the public judicial system found everywhere. Because private disputants are free to agree an variations to basic ADR procedures including adoption of those procedures and rules found in the public judicial system that can be used in ADR".
Bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang mulai dipopulerkan di Indonesia saat ini adalah melalui arbitrase.
Arbitrase lebih disukai, karena berbagai Masan seperti dikemukakan oleh Gautama Sudargo, Priyatna Abdurrasyid, Erman Rajagukguk, Rene David, dan telah disimpulkan oleh Tineke Louise Tuegeh Longdong."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
D107
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernawati Munir
"ABSTRAK
Penelitian mengenai eksistensi UUD dan Ketetapan MPR ini adalah penelitian terhadap eksistensi peraturan perundang-undangan dalam arti konsep, bukan terhadap pelaksanaannya, artinya apakah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam UUD 1945 dan dalam Ketetapan MPR(S), telah merefleksikan dan mendukung terwujudnya Indonesia sebagai negara demokrasi dan negara hukum secara konsepsional.
Dengan adanya dua bentuk produk hukum yang dapat ditetapkan oleh MPR, timbul pertanyaan aturan ketatanegaraan yang mana yang harus ditetapkan dalam bentuk UUD dan aturan ketatanegaraan mana yang dapat ditetapkan dalam bentuk Ketetapan MPR. Bagaimana hubungan antara aturan yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR dengan aturan yang ditetapkan dalam UUD. Apakah secara yuridis teoritis Ketetapan MPR dapat dikatakan sebagai suatu bentuk peraturan perundang-undangan.
Ditinjau dari bidang disiplin ilmu yang diteliti, penelitian mengenai Eksistensi UUD dan Eksistensi Ketetapan MPR adalah penelitian di bidang Ilmu Hukum. Khususnya penelitian hukum yang bersifat "Normwissenschaft atau Sollenwissenschaft" yaitu penelitian tentang norma-norma hukum dan pengertian hukum yang sering disebut "dogmatik hukum". Objek penelitian ini adalah UUD dan Ketetapan MPR, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang meliputi asas-asas hukum, sistematika hukum dan sinkronisasi hukum."
2000
D1113
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjip Ismail
"Sejalan dengan perkembangan ekonorni saat ini, peran penerimaan dalam negeri bagi APBN dalam rangka pembiayaan kegiatan pemerintah maupun kaitannya dangan pelaksanaan kebijakan fiskal semakin penting. Sementara itu, sumber utama penerimaan dalam negri masih didominasi oleh penerimaan perpajakan yang dari tahun ke tahun peranannya menunjukkan kenaikan.
Sistem pemerintahan di Indonesia berubah sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang efektif berlaku pada tanggal 1 Januari 2001 yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Perubahan yang mendasar adalah bahwa segala urusan pamerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama menjadi kewenangan daerah. UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 merupakan tonggak sejarah beralihnya sistem pemerintahan dari sentralistik ke desantralistik, sesuai dengan kehendak founding fathers Indonesia dan Konstitusi UUD 1945.
Esensi otonomi adalah kemandirian, yaitu kebebasan untuk berinisiatif dan bertanggungjawab sendiri dalam mengatur dan menyusun pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya yang selama ini merupakan urusan pmerintah pusat, termasuk pelayanan kepada warga masyarakat. Idealnya otonomi tersebut harus dibiayai dari sumber-sumber pendapatan dari daerah itu sendiri (PAD), khususnya dari pajak daerah, karena peranan pajak daerah terhadap PAD masih dominan, yaitu 83,09% di Provinsi dan 37,72% untuk Kabupaten Kota.
Berkenaan dengan hal tersebut, banyak daerah mengambil jalan pintas dengan mengoptimalkan pajak daerah sebagai satu-satunya sumber pembiayaan daerah. Apabila tidak diimbangi dengan palayanan kepada sektor pajak barsangkutan, pungutan pajak daerah akan manjadi kontraproduktif karena hanya akan dirasakan sabagai beban. Hal itu tidak sejalan dengan otonorni daarah yang bertujuan untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Perkembangan demokrasi saat ini menghendaki adanya wujud pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat kian kritis dalarn menyikapi setiap kebijakan pemerintah, apalagi berkenaan dengan suatu pungutan, khususnya pajak daerah. Rasio kenaikan penerimaan ratribusi daerah lebih tinggi dari pada pajak daerah, menunjukkan bahwa terdapat tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya kontraprestasi (pelayanan) dari suatu pungutan. Disamping itu dari hasil penelitian daerah di Indonesia menunjukkan bahwa pada kenyataannya daerah-daerah telah berinisiatif melakukan pergeseran paradigma pajak daerah dengan memprioritaskan peruntukkan penerimaan pajak daerah untuk pelayanan kepada pajak yang bersangkutan. Sedangkan penelitian di nagara lain pun menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah, dioptimalkan pemanfaatannya untuk pelayanan kepada sektor pajak yang bersangkutan.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma pajak daarah yang semula merupakan iuran yang dapat dipaksakan tanpa adanya imbalan kontraprestasi harus diubah, dengan penegasan mangenai adanya imbalan kontraprestasi yang diprioritaskan untuk membiayai pelayanan terhadap sektor pajak daerah yang bersangkutan.

In line with current economic development, the role of domestic revenue in State Budget in relation to the financing of govemment activities and fiscal policy implementation has grown more important. Meanwhile, a larger part of domestic revenue comes from tax revenue which has been increasing over the years.
The governmental system of Indonesia has changed since the stipulation of Law Number 22 Year 1999 and Law Number 25 Year 1999 that came into implementation on January 1?, 2001 which was later on amended by Law Number 32 Year 2004 and Law Number 33 Year 2004 respectively. One of the fundamental changes is the delegation of authority from central government to local government in all areas except for those in foreign policy, defense, national security, justice, national monetary and fiscal matters, and religious affairs. Law Number 22 Year 1999 on Regional Governance and Law Number 25 Year 1999 on Fiscal Balance between Central and Local Govemment have become a historical milestone in terms of the shift from centralized government to a more decentralized one as warranted by lndonesia's founding fathers and constitution.
The fundamental nature of autonomy in unitary country is discretionary, which in this case refers to discretion to have initiative and self responsibility in managing their region?s governmental affairs which prior to the stipulation of Law Number 22 Year 1999 were the domain of central government, including public service. Ideally, regional autonomy should be financed by the region?s own revenue sources (Pendapatan Asli Daerah, PAD), especially by local taxes because they make up a significant portion of PAD, i.e. 83,09% in Provincial level and 37,72% in District/Municipal level.
It is because of the above reason that many local governments resort to optimizing local taxes as the only source of regional financing. lf such measure is taken without giving something in return, e.g. improvement of services, to sectors taxed, regional taxes will not yield the desired result because they will only be viewed as additional burden, which of course is against the spirit of regional autonomy whose purpose is to bring services closer to public.
The development of democracy demands a clearer manifestation of government's services to public as they grow more knowledgeable about government's policies, particularly when it comes to levies, especially local taxes. The fact that local charges shows more significant increase rate compared those of local taxes reflects public?s demand for some sort of compensation for every kind of tax/charges levied. In addition, the results of researches conducted in Indonesia indicate the shifting of local tax paradigm. Currently, local governments tend to allocate tax revenue obtained from a certain sector to measures designed to improve services in that sector. Meanwhile, similar research conducted in other countries also shows similar result.
In conclusion, it can be stated that the earlier paradigm that consider local tax as something that can be coerced by government without compensation should be changed by giving more emphasis on fonns of compensation that can be used to finance services in the sector being taxed."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
D695
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library