Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurdin
Abstrak :
Pembaruan pemikiran Islam merupakan hal yang niscaya Secara spesifik, pembaruan pemikiran Islam yang terjadi di Indonesia pada awal abad ke-20, dipengaruhi oleh pemikiran dari Timur Tengah, terutama pemikiran Wahabiah yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Akan tetapi, hal terpensing dalam pembaruan yang perlu dipertegas dan pembaruan pembaruan pemikiran Islam yaitu adanya ruang terbuka dalam al-Quran dan al-Hadits untuk terus-menerus diinterpretasikan dan direalisasikan dalam berbagai konseks serta ruang dan waktu. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi pemikiran Ahmad Wahib, dengan terlebih dahulu rnengetahui gagasan-gagasan pembaruannya, serta memetakan pemikirannya, yang pada akhirnya akan diketahui dan diidentifikasi kontribusi pemikirannya terhadap pembaruan pemikiran Islam di Indonesia Sehingga penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk memberikan kontribusi akademik tentang permikiran Islam di Indonesia. Dalam penelitian ini teori yang akan digunakan adalah teori pembaruan, sebagaimana ditawarkan oleh Fazlur Rahman yang menganalisis sekaligus membagi dialektika pemikiran Islam ke dalam empat pemikiran, yaitu ; revivalisme pra-moderns, modernisme klasik, neo-revivalisme dan neomodernisme. Teori ini digunakan, karena mampu mengakomodasi gerakan pembaruan, baik dalam kerangka revivalisme maupun modernisme. Dan pemikiran Ahmad Wahib, akan dianalisis berdasarkan teori pembaruan yang ditawarkan Fazlur Rahman ini. Penelitian ini akan dibatasi dengan menjadikan pemikiran Ahmad sebagai obyek penelitian, sementara karakteristik datanya adalah data teks. Data teks yang dimaksud adalah buku 'Pergolakan Pemikiran Islam', 'Catatan Harlan Ahmad Wahib', yang disunting oleh Djohan Effendi dan Ismed Natsir. Dan buku ini dijadikan sebagai dasar primer. Adapun data sekunder diperoleh dan buku-buku dan tulisan-tulisan yang membahas pemikiran Ahmad Wahib, serta buku-buku yang secara umum membahas pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.Dengan menggunakan teori dan metodologi Peneltian yang telah disebutkan di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa gagasan Ahmad Wahib mengenai pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, yaitu; kebebasan berpikir, Mencari eksistensi, pentingnya Sekularisasi, pentingnya ijtihad kontekstual, dan sejarah nabi sebagai sumber ajaran Islam. Gagasan inilah, yang merupakan kontribusi Ahmad Wahib terhadap pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.
Modernization of thought in Islam is inevitable. Specifically, modernization of Islamic thought occurred early in 20th century, influenced by Middle East thought, particularly. Wahabiyah's thought was developed by Muhammad Bin Abdul Wahab. However, the most main point in modernization needs to be firmed within modernization of Islamic thought is the open space within al-Qur'an and hadist to be interpreted and realized continuously in any context, time, and space. The objective of this research is to explore Ahmad Wahib's thought, initially by recognizing his ideas of modernization, mapping his thought as well. Finally, his thought contribution toward Islamic thought in Indonesia will be recognized and identified. So, this research is supposed to be beneficial for academic purposes on Islamic thought in Indonesia. In this research the theory will be utilized is modernization theory, as offered by Fazlur Rahman shat analyzed and divided the thought dialectique into four short of thought, i.e.: pre-modemist revivalism, classical modernism, neorevivalism, and neo-modernism. Then Wahib's thought will be analyzed based on modernization theory offerred by Fazlur Rahman. This research will be restricted by considering Ahmad's thought as object of the research, meanwhile its characteristic is textual data. The textual data meant is Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harlan Muhammad Wahib', that is edited by Djohan Effendi and Ismed Natsir. This book is considered as primary data. Meanwhile, the secondary data is gained from many related books and writings on Wahib's thought, also many books generally discussing on Islamic thought modernization in Indonesia. The method utilized in this research is hermeneutic method, i.e., interpretation of the object having meaning for the purpose of reaching the possible objective understanding. This method can be implemented in three steps: study on the essence of the text, the process of appreciation, and the process of interpretation. The data for this research are gained by collecting text document. Meanwhile, to analyze data, discourse analysis is utilized. By making use of the theory and methodology of the research illustrated above, the ideas of Ahmad Wahib on modernization of Islamic thought in Indonesia can be concluded, i.e., freedom of thought, searching the existence, the significance of secularization, the importance of contextual iftihad, and the history of the prophet as the source of Islamic teaching. This is the idea of Ahmad Wahib as his contribution to the modernization of Islamic thought in Indonesia.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16834
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabirin
Abstrak :
Seiring runtuhnya rezim Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran kebebasan, proses sosialisasi, penetrasi, dan penyebaran wahabisme semakin gencar. Proses ini ditandai dengan menjamurnya pengajian-pengajian wahabi, pendirian lembaga pendidikan maupun lembaga dakwah yang berbasis dan menganut secara langsung paham wahabi, pembangunan masjid, dan merebaknya komunitas-komunitas wahabi di kampung-kampung. Penyebaran ini juga mengarus dikalangan pemerintah, organisasi kemasyarakatan, dan dunia bisnis. Dampak nyata dari mengarusnya ajaran wahabi ini di tengah etnik Sasak Lombok adalah munculnya eksklusivisme, keterbelahan secara sosial, dan penampakkan kekhasan identitas kelompok, seperti pakaian ?resmi?, jubah, peci putih untuk laki-laki, kerudung besar dan cadar untuk perempuan, serta pembatasan interaksi perempuan mereka dengan masyarakat sekitar menimbulkan keresahan ideologis yang cukup meluas. Sementara cara-cara dakwah yang provokatif dan konfrontatif dalam memerangi ajaran yang berseberangan dengan paham maupun praktik ritual keagamaan mereka, tidak segan-segan mereka cap sebagai ahlul bid?ah, lebih-lebih kepada mereka (masyarakat) yang telah nyaman dengan tradisi Islam a la Sasak-nya. Dan pada level tertentu cara-cara tersebut menimbulkan kemarahan masyarakat yang berujung tindak kekerasan fisik berupa pengerusakan dan pengusiran seperti yang terjadi di Jembatankembar dan Sesele Lombok Barat dan di tempat-tempat lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius, seperti apa sebenarnya pandangan masyarakat Sasak terhadap wahabi? Apakah reaksi masyarakat tersebut merupakan bagian dari pemikiran tuan gurunya dalam merespon ajaran-ajaran wahabi? Pertanyaan ini berangkat dari kenyataan bahwa orang Sasak selalu patuh terhadap tuan guru. Ungkapan ?ape basen wayah? (apa pun kata tuan guru) menjadi salah satu gambaran pernyataan kepatuhan tersebut. Hal ini terjadi karena pertama, otoritas tuan guru sebagai pengawal tradisi keagamaan, kedua fungsinya sebagai penerjemah dan tempat masyarakat Sasak menyerap informasi agama yang tidak bisa mereka akses, dan yang ketiga kapasitasnya sebagai figur yang digugu dan ditiru. Ketiga alasan menjadi landasan penting untuk melihat pandangan masyarakat Sasak secara umum yang diwakili oleh respon pemikiran tuan guru terhadap penetrasi ajaran wahabi di Pulau Lombok. Dan dalam tesis ini akan diketengahkan hal tersebut, terutama respon tuan guru yang melihat penetrasi ajaran wahabi pada era reformasi. As long as the collapse of ?Orde Baru? regime and starting of Reformation Era those marked/signed by legalization of freedom, socialization process, penetrating, and spreading of wahabism progressively. The Process marked by many recitations of wahabi, founding of education institute and also mission institute based on and embracing of wahabi, building up of mosque, spreading of wahabi communities in villages. The spreading happens also among government, social organization, and business world. The real effect of ?streaming? of wahabi?s doctrine among Sasak Ethnic is appearance of exclusivist, social disruption, and specification of group identity such as formal clothes, jubah, white cap for men, big veil and cowl for women, and also demarcation of interaction woman with people among them. Those will appear wide ideological disquiet. Whereas the ways of instruction those are provocative and contradiction against opposite way of teaching and their religious ritual, they will consider them as ahlul bid?ah, moreover to those who where felt comfortable with Sasak Islamic Tradition.. And in any certain level, the ways will arise society?s enragement that will cause physical compulsion such destroying and driving away as well as happened in Sesele and Jembatankembar West Lombok any other places. This matter generate serious question, what sort of society?s view of Sasak people to wahabi? Is the reaction of the society representing the part of idea of Tuan Guru to respond of wahabi? This question shows that Sasak community obedient to Tuan Guru is real. The Expression ?ape basen wayah? (what Tuan Guru said) become one picture of the statement. This happened because; firstly, The Tuan Guru authority as the guard of religious tradition. Secondly, his function as translator and where society absorbs religion information which they cannot access, and the third as the important base of communities view commonly that represented by the respond of idea of Tuan Guru to penetration of wahabi?s teaching in Lombok Island. This thesis will discuss it especially the respond of Tuan Guru who saw penetration of Wahabi?s doctrine in reformation era.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fadli H. S.
Abstrak :
Tesis ini berjudul ulama Betawi, studi tentang jaringan ulama Betawi dan kontribusinya terhadap perkembangan Islam abad ke-19 dan 20. Tesis ini meneliti tentang jaringan ulama Betawi yang belajar langsung kepada ulama Timur Tengah, khususnya Makkah dan Madinah serta upaya pembaharuan keagamaan di Betawi abad ke-19 dan 20. Tesis ini mencoba mengembangkan teori Azyumardi Azra yang mengungkapkan adanya keterkaitan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah dan upaya pembaharuan yang dilakukan oleh mereka ketika kembali ke tanah air. Perbedaan hanya terletak pada ruang dan waktu. Tesis ini menggunakan pendekatan sosial-intelektual historis untuk menggali fenomena sejarah dengan metode deskriptif-interpretatif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, studi kepustakaan dan observasi langsung di pesantren dan makam ulama Betawi. Tesis ini menjelaskan hubungan intelektual ulama Betawi yang belajar kepada sejumlah ulama Makkah yang berbeda. Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya bermukim selama 7 tahun dan belajar kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah. Guru Mugni bermukim di Makkah selama 9 tahun dan berguru kepada Syaikh Sa'id al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Sa'id al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki dan Syaikh Abdul Karim al-Dagestani. Sementara Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi berguru kepada Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi, Sayyid Bakri Syatha, Syaikh Muhammad Said Babesail dan Syaikh Umar Hamdan. Sedangkan Guru Marzuqi menimba ilmu di Makkah selama 7 tahun, Guru Mansur belajar di Makkah selama 4 tahun dan Guru Khalid menuntut ilmu di Makkah selama 11 tahun. Balk Guru Marzuqi, Guru Mansur maupun Guru Khalid belajar kepada Syaikh Sa'id al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Sa'id al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki dan Syaikh Abdul Karim al-Dagestani dan lain sebagainya. Selama di Makkah, mereka mendapatkan pembaharuan keislaman dari ulama Makkah yang menekankan keseimbangan antara syari'ah dan tasawuf. Hal ini terjadi karena mereka berguru kepada ulama Makkah yang bermuara kepada Syaikh al-Qusyasi dan Syaikh Abdul Aziz al-Zamzami, ulama Makkah terkemuka abad ke-17 yang mempelopori gerakan harrnonisasi syari'ah dan tasawuf yang kemudian dikenal dengan gerakan "neo-sufisme ". Setelah memperoleh ilmu yang cukup memadai, mereka kembali ke Betawi dan mengajarkan keilmuan yang telah mereka terima di Makkah kemudian melahirkan ulama Betawi lainnya di abad ke-20 yang melaksanakan kontinuitas pembaharuan keilmuan Islam di Betawi. Ulama Betawi yang tersebut di atas menggunakan sarana penyebaran pembaharuan yang sama yaitu lewat beberapa karyanya dan berdakwah melalui pengajian dan halaqah yang dilakukan di masjid, langgar, majelis taklim dan pesantren kecuali Sayyid Usman yang menggunakan kitab tulisannya dan percetakan dalam menyebarkan pembaharuan. Ulama Betawi beserta muridnya secara umum menekankan pembaruan yang lebih bersifat evolusioner, bagi mereka pembaruan lebih merupakan proses dialektika intelektual yang tidak dapat dipaksakan sehingga bisa dipahami jika persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi'i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Hampir semua ulama Betawi memiliki jaringan intelektual guru-murid (intellectual genealogy) yang menyebar ke lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam langgar (mushola), masjid, madrasah, pondok pesantren dan majelis taklim serta mursid-khalifah (mystical genealogy). Pengaruh ulama Betawi melalui kedua bentuk jaringan ini tidak bisa diremehkan. Melalui kedua bentuk jaringan inilah ulama Betawi mentransmisikan wacana dan praktik keagamaan yang mereka terima di Makkah dan Madinah kepada masyarakat Betawi. Maka dapat dikatakan bahwa aktivitas intelektual dan akademik merupakan ciri khas yang paling menonjol dalam jaringan ulama Betawi. Koneksi di antara mereka satu sama lain mengambil bentuk hubungan guru dengan murid yang disebut "hubungan vertikal". Hubungan akademis juga mencakup bentuk-bentuk lain seperti guru dengan guru atau murid dengan murid yang disebut dengan "hubungan horizontal".
This thesis entitle Moslem scholar Betawi, study about network of Moslem scholar Betawi and their contribution to Islamic growth in the 19th to 20`h centuries. This thesis check about network of Moslem scholar of Betawi which learn direct to Moslem scholar in the middle east, specially Makkah and Madinah and also the religious renewal effort in Betawi in thel9th to 20th centuries. This thesis try to develop theory of Azyumardi Azra laying open the existence of intellectual related Moslem scholar of Nusantara with Moslem scholar of Makkah and effort of renewal by them when returning to the ground irrigate. Different result however is seen in the place and time. This thesis use approach of historical intellectual social to convey phenomenon of history with method of analytical descriptive-interpretative. In collecting the data it uses a documentation study, a library research and direct observation in pesantren and resting place of Moslem scholar Betawi. This thesis explain intellectual relationship Moslem scholar of Betawi which learn to a number of Moslem scholar of different makkah. Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya live during 7 year and learn to Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, a mufti Makkah. Mugni live in makkah during 9 year and learn to Syaikh Said al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki and Syaikh Abdul Karim al-Dagestani. Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi learn to Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi, Sayyid Bakri Syatha, Syaikh Muhammad Said Babesail and Syaikh Umar Hamdan. Marzuqi studied in Makkah during 7 year. Mansur learn in Makkah during 4 year. Khalid studied in Makkah during 11 year. Marzuqi, Mansur and also Khalid learn to Syaikh Said al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki and Syaikh Abdul Karim al-Dagestani and others. During in Makkah, they get Islamic renewal from Moslem scholar of Makkah emphasizing balance between syari'ah and. tasawuf This matter is happened because they learn to Moslem scholar of Makkah which have estuary to Syaikh al-Qusyasi and Syaikh Abdul Aziz al-Zamzami, Moslem scholar notable Makkah in the I7th pioneering balancing movement syar'ah and tasawuf which later then recognized with movement "neo-sufisme". After obtaining science which adequate enough, they return to Betawi and teach their science which have accepted in Makkah later then bear Moslem scholar other Betawi in the 20`h executing continuity Islamic renewal in Betawi. Moslem scholar of Betawi use medium spreading is same renewal that is passing of their masterpiece and miss ionize to teaching and halaqah in mosque, impinge, ceremony of taklim and pesantren except Sayyid Usman using book of and printing office in propagating renewal. Moslem scholar of Betawi with their pupil in general emphasize renewal having the character of evolusioner, for them the renewal more represent process of intellectual dialectic which cannot be forced so that can be comprehended if touch of Islam culturally Betawi without generating conflict. This matter deflect happened because Islam which attended to Betawi more Syafi'I persuasion and Sunnah Wal Jarna'Ah which tend to more lenient and inclusive and also esteem local tradition and culture. Most of all Moslem scholar of Betawi have intellectual network of intellectual genealogy disseminating to institutes of education of Islam, example mushola, mosque, school, pesantren and ceremony of taklim and also mursidkhalifah (mystical genealogy). Influence of Moslem scholar of Betawi with this network does not deflect underestimated. Form of network of this is Moslem scholar of Betawi of transmission of religious and practice discourse which they accepted in Makkah and Madinah to society Betawi. So can be said that a intellectual activity and academic represent most uppermost individuality in network of Moslem scholar Betawi. Relation of among them one another take form of relation learns with pupil is called "vertical relation". Academic relation also include cover other forms like teacher with teacher or pupil with pupil is called with "horizontal relation".
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library