Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oman Fathurahman
"Sejarah mencatat, bahwa pada akhir paruh pertama abad VII, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Sani (1637-1641), di Aceh terjadi sebuah ketegangan politik keagamaan yang melibatkan para politisi dan tokoh-tokoh agama setempat. Peristiwa tersebut bersumber dari adanya kontroversi atas doktrin wahdah al-wujud atau wujudiyyah yang dalam konteks Aceh, dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani.
Ulama terdepan yang menentang keras ajaran tersebut adalah Nuruddin ar-Raniri, seorang Indo-Arab asal Randir (Gujarat) yang fasih berbahasa Melayu. Ar-Raniri, yang berada di Aceh dari tahun 1637 sampai 1644 itu menganggap sesat ajaran wujudiyyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Sebagai seorang ulama ortodoks yang lebih mementingkan pengamalan syariah, ar-Raniri mengeluarkan fatwa bahwa doktrin wujudiyyah bersifat heterodoks, menyimpang dari akidah Islam, sehingga mereka yang tidak mau bertobat dan menolak menanggalkan paham tersebut, dapat dianggap kafir, dan dijatuhi hukuman mati.
Sikap ar-Raniri tersebut didukung penuh oleh Sultan Iskandar Sani, sehingga para pengikut Hamzah Fansuri harus menanggung tindak kekerasan aparat kerajaan. Mereka dikejar-kejar dan dipaksa melepaskan keyakinannya terhadap doktrin wujudtyyah, bahkan karya-karya mistik Hamzah Fansuri dikumpulkan dan dibakar di depan mesjid besar Banda Aceh, Bait ur-Rahman, karena karya-karya tersebut dianggap sebagai sumber penyimpangan akidah umat Islam.
Kehadiran seorang ulama lain, yaitu Abd ar-Rauf as-Sinkili, membawa perubahan suasana di Aceh. Dengan bekal pengetahuan berbagai bidang keagamaan yang diperolehnya selama 19 tahun di tanah Arab, as-Sinkili mencoba menjadi penengah di antara kedua pihak yang bertikai. As-Sinkili tidak menolak mentah-mentah doktrin wujudiyyah yang menjadi sumber perdebatan, melainkan mencoba menafsirkannya dengan nuansa yang diharapkan dapat diterima, baik oleh ar-Raniri, maupun oleh para pengikut wujudiyyah Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani.
Tanggapan as-Sinkili atas kontroversi doktrin wujudiyyah tersebut, secara implisit tercermin dalam salah satu naskah karangannya dalam bahasa Arab, yaitu Tanbin al-Masyi al Mansub ila Tariq al- Qusyasyiyy (Petunjuk bagi orang yang menempuh tarikat al-Qusyasyi). Naskah ini juga mengandung berbagai ajaran tasawuf as-Sinkili dalam tarikat Syatariyyah.
Dalam penelitian ini, saya mencoba membuat suntingan teks dan analisis isi atas teks dimaksud."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husain Heriyanto
"Problem persepsi merupakan salah satu isu terpelik filsafat yang terus aktual hingga saat ini karena berkaitan dengan masalah-masalah mendasar bagaimana proses berpikir, cara mengenal dan memahami realitas, dan bahkan cara berada. Ia menjadi isu epistemologis sekaligus ontologis. Persoalannya adalah pendekatan yang dipakai selama ini cenderung parsial dan terkotak-kotak mengikuti demarkasi ketat epistemologi dan ontologi padahal problem ini menuntut pemecahan yang terintegrasi dan fokus pada akar masalah.
Persoalan yang timbul tidak hanya bersifat teoritis yang efeknya menjadi kurang tajam dalam pemecahan sebuah akar masalah filosofis tetapi juga berimplikasi pada modus pengenalan realitas yang tidak konstruktif dan kreatif, bahkan destruktif. Salah satu implikasi konkrit adalah munculnya krisis ekologis sebagai efek dari modus persepsi yang timpang yang hanya menekankan dimensi esensial dan kuantitatif alam raya dengan mengabaikan relasi eksistensial yang lebih primer dan asli antara manusia dan alam.
Penelitian ini bertujuan untuk mengajukan sebuah mazhab filsafat baru dalam memahami realitas termasuk alam semesta, yaitu Realisme Eksistensial Ekologis, dengan berdasarkan teori persepsi Mullā Shadrā. Filsafat Shadrā yang memadukan epistemologi dan ontologi dengan karakter realis, eksistensialis, dan non-antroposentris merupakan kandidat pemikiran yang menjanjikan untuk menyumbang pemecahan masalah mengenai problem persepsi. Melalui sistem onto-epistemologi bahwa pengetahuan adalah modus eksistensi (al-?ilm naẖw min alwujūd), Shadrā berhasil membedah isu-isu mendasar tentang persepsi (al-idrāk) secara menyeluruh, utuh, dan berimbang.
Eksistensialisme Shadrā dapat mengakomodasi relasi alamiah yang berkarakter eksistensial dan sekaligus relasi sekunder yang berkarakter esensial antar maujud, antara subyek persepsi (almudrik) dan obyek persepsi (al-mudrak), termasuk antara manusia dan alam. Persepsi menjadi sebuah perjumpaan (al-liqā) onto-epistemologis dengan segala sesuatu menuju unifikasi melalui proses dua-arah secara simultan, yaitu obyektivasi subyek dan subyektivasi obyek melewati level-level persepsi (indrawi, imajinasi, inteleksi) yang tidak lain adalah fakultasfakultas jiwa sebagai agen tunggal persepsi. Setelah melalui analisis konseptual, sintesis kreatif, dan pendekatan fenomenologi, diperoleh bahwa teori persepsi Shadrā dapat menjadi kerangka onto-epistemologis dalam membangun pandangan Realisme Eksistensial Ekologis.
Potensi ontologis filsafat Shadrā juga teruji ketika dibenturkan dengan model-model pemikiran yang berbeda dan pendekatan filosofis kontemporer. Melalui telaah fenomenologi persepsi, kapasitas sistem onto-epistemologi Shadrā dapat lebih terungkap dalam nomenklatur filsafat modern ketika dibandingkan dengan Husserl, Merleau-Ponty, dan Whitehead. Sebaliknya, juga demikian. Berdasarkan hasil penyelidikan melalui penyejajaran pemikiran Shadrā dengan filsuf-filsuf modern tersebut, peneliti mendapatkan wawasan baru yang lebih kaya dan mendalam ketika membaca fenomenologi Husserl. Dengan kata lain, melalui studi persepsi ini proses perjumpaan antara tradisi filsafat Islam dan filsafat modern telah dimulai untuk saling memperkaya pemahaman dan penghayatan terhadap realitas.

The problem of perception is one of the most complicated philosophical issues existing until today given the fact that it deals with the fundamental questions on a way of thinking, a kind of prehension and understanding reality, and even a way of existence. It is inseparably epistemological and ontological issues. The problem, however, is that the mainstream approach has been taken mainly is a segmented one in a rigid demarcation between epistemology and ontology meanwhile the issue really requires an integrated way of clarification.
As a result, the issue remains unresolved and unclear dealing with efforts of resolving philosphical problem. In addition, this segemented approach has caused the difficulties of grasping reality, and the worse it brought forth destruction in practice such as ecological crisis. What so called ecological crisis is essentially a crisis of mind, crisis of perception. Mainstream way of understanding toward nature is dominated by quidditave, essential dan quantitative approach with abandoning primordial and existential relation between man and nature.
This research is aimed to put forward a new philosophical school of thought in grasping reality, i.e., Ecological Existential Realism, on the basis of Mulla Sadrā‟s theory of perception. Sadrā‟s philosophy integrating ontology and epistemology with realist, existentialist, and nonanthropocentric principles is a promising thought candidate to be engaged in the problem of perception for providing with clarification. By the onto-epistemological system that knowledge is a form of existence (al-?ilm naẖw min al-wujūd), Sadrā is able to delineate the core and fundamental problems of perception in a comprehensive, integrated, and balanced way.
Sadrā‟s existentialism is capable of accommodating both primoradial-existential relation and secondary-essential relation among existents, between subject of perception (al-mudrik) and object of percetion (al-mudrak) including between man and nature. For Sadrā, perception is an onto-epistemological encounter (al-liqā) with things towards an existential unification through simultaneous two-direction process, i.e., objectivation of subjet and subjectivation of object, by means of levels of perception (sensation, imagination, intellection), which are but the faculties of the soul as sole agent of perception. On the basis of conceptual analysis, creative synthesis, and phenomenological approach, this research comes to draw a conclusion that Sadra‟s theory of perception is capable of providing with onto-epistemological framework for arranging the school of thought ?Ecological Existential Realism?.
The ontological potentials of Sadrā‟s philosophy has been examined by encountering it with different types of philosophy and contemporary approaches. By means of studying phenomenology of perception, the capacity of Sadrā‟s onto-epistemology system can be more elaborately accounted for modern philosophy nomenclature once it is compared with Husserl, Merleau-Ponty, and Whitehead. Likewise, in reference to the study and research outcomes on Sadrā‟s thought in comparion with those modern philosophers, the researcher find a new and richer insight and understanding on Husserl‟s phenomenology. In other words, by means of this research, the encountering process between Islamic philosophy tradition and modern philosophy has began to enrich and deepen our grasping and understanding reality.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
D1442
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fu Xie
"ABSTRAK
Studi untuk mempelajari hubungan antara orang Kristen dan Islam di Indonesia
penting sekali dilakukan karena di Indonesia akhir-akhir ini banyak terjadi konflik
yang melibatkan kedua agama. Penelitian ini dimaksudkan untuk: (1) mengetahui
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan antara orang Kristen dan orang
Islam, (2) memberikan sumbangan terhadap teori tentang hubungan antar kelompok
dalam masyarakat sipil, (3) memberikan rekomendasi kepada pemerintah, pemimpin
agama dan umat beragama agar memiliki hubungan yang semakin membaik, dan (4)
memberikan rekomendasi bagi penguatan masyarakat sipil. Lokasi penelitian yang
dipilih yaitu Kota Bandung dan Kota Sukabumi karena kedua kota ini relatif kurang
mengalami konflik agama, kota Bandung mewakili kota yang besar sedangkan
Sukabumi mewakili kota kecil (desa).
Variabel dependen dari penelitian ini yaitu: Perilaku Inklusif, Sikap Inklusif
dan trust terhadap orang dari agama lain. Sedangkan variabel independen
dikelompokkan ke dalam tiga tingkat yaitu: (1) identitas dan interaksi sehari-hari
yang termasuk dalam tingkat mikro, (2) interaksi asosiasional yang mewakili tingkat
meso, dan (3) pengaruh negara (state) yang merupakan tingkat makro. Untuk
mengukur variabel perlu dibuat alat ukur berupaya kuesioner. Survei pendahuluan
dilakukan di Kota Bogor terhadap 31 orang responden untuk melakukan uji
reliabilitas dari alat ukur yang akan digunakan. Selain itu juga dilakukan juga uji
validitas terhadap instrumen yang akan digunakan. Instrumen yang telah diuji
validitas maupun reliabilitas dipakai untuk melakukan wawancara terhadap 149
orang di Sukabumi dan 147 orang di Bandung. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara multi stage sampling. Data dianalisis dengan menggunakan path
analysis, Mann Whitney dan korelasi Pearson.
Dari hasil pengolahan data, didapatkan beberapa temuan sebagai berikut: (1)
Orang Kristen sebagai kelompok minoritas di kedua kota yang diteliti, lebih
berperilaku inldusif dibandingkan dengan orang Islam. Hal ini seturut dengan teori
Blau yang mengatakan bahwa semakin besar ukuran suatu kelompok maka semakin
keeil kemungkinan anggota kelompok tersebut berhubungan dengan kelompok lain.
(2) Di kota kecil (Sukabumi), semakin tinggi perilaku inldusif seseorang maka
semakin tinggi sikap inklusif maupun tingkat trust-terhadap-agama-lain; namun
demikian hal ini tidak berlaku di kota besar seperti Bandung. Hal ini sejalan dengan
teori Varshney yang menyatakan bahwa di desa (atau kota kecil) cara yang efektif
untuk meningkatkan hubungan yaitu melalui interaksi sehari-hari. (3) Di Kota besar,
seorang yang aktif di organisasi non-agama akan mempunyai trust-terhadap-agama-lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini pun sesuai dengan
teori Varshney yang mengatakan bahwa di kota besar interaksi sehari-hari tidaklah
efektif untuk meningkatkan hubungan, dan cara yang efektif yaitu interaksi
asosiasional. (4) Di kota besar (seperti Bandung) anggota dari kelompok minoritas
(seperti Kristen) akan kurang menonjolkan identitas kekristenannya dan lebih
menonjolkan identitas yang lain. Kenyataan di Bandung ini sesuai dengan pendapat
Stryker yang mengatakan bahwa individu akan cenderung untuk lebih menonjolkan
identitas sosial yang sama dengan yang dimiliki oleh mayolitas orang dalam
masyarakat tersebut. (5) Di Kota besa: (seperti Bandung) seorang yang memiliki
identitas yang kuat akan lebih inklusif dibandingkan dengan yang lain. Namun hal
ini tidak berlaku di kota kecil seperti Sukabumi. (6) Untuk orang Islam, semakin
tinggi mobilitas seseorang rnaka sernakin tinggi juga perilaku maupun sikap
inklusifnya, namun hal ini tidaklah berlaku untuk orang Kristen. Kenyataan ini
sesuai dengan teori Blau yang rnengatakan bahwa bahwa mobilitas meningkatkan
kemungkinan untuk terjadinya kontak antar kelompok, sebab orang-orang yang
punya mobilitas tinggi akan cenderung untuk membawa kenalan lama dan kenalan
baru bersama-sama. (7) Berlawanan dengan pendapat orang pada umumnya, ternyata
orang-orang Muhammaddiah di Kota Sukabumi dan Bandung lebih memiliki trust-
terhadap-agama-lain dibandingkan dengan orang Islam lainnya termasuk NU.
Selanjutnya didapati bahwa dalam hal keagamaan, kiai dan ustad adalah agen-
sosialisasi yang dominan bagi orang-orang NU; sedangkan untuk orang
Muhammadiah yaitu orang tua dan guru sekolah.
Untuk peranan negara didapatkan bahwa masyarakat merasa sudah cukup
rnendapat perlindungan pernerintah dalam hubungan antar agama, namun pemerintah
dinilai kurang memfasilitasi hubungan antar agama dan dianggap tidak adil terhadap
kelompok minoritas.
Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran dan rekomendasi yang
disampaikan, antara lain: (1) Di kota besar, setiap umat beragama dianjurkan
meningkatkan kegiatan asosiasional dengan bergabung dengan organisasi-organisasi
non agama baik yang formal maupun yang informal. Hal ini akan bisa meningkatkan
hubungan antar kelompok beragama dan penguatan masyarakat sipil. (2) Untuk
menjaga supaya masyarakat sipil tetap bebas dari negara, maka tokoh-tokoh ormas
(termasuk partai) yang sudah menjabat di pemerintahan harus berhenti dari
jabatannya di ormas dan bukan hanya sekedar non-aktif. (3) Pemerintah perlu
melakukan affirmative action secara vertikal dengan menolong yang miskin atau pun
yang lemah. Jangan affirmative action dilakukan secara horisontal. Ini berarti
pemerintah harus menolong yang perlu ditolong tanpa melihat apa agama atau pun
sukunya. (4) KTP (Kartu Tanda Penduduk) leblh baik tidak mencantumkan idenlitas
seseorang, terutama identitas agamanya karena kelnmpok minoritas umumnya tidak
merasa aman jika identitas minoritasnya diketahui. Lagi pula informasi ini bisa
disalah-gunakan untuk melakukan tindakan yang diskriminatif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D803
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh Rozaq Asyhari
"Sukuk merupakan alternatif sumber keuangan negara yang cukup potensial. Sukuk memerlukan Barang Milik Negara sebagai underlying aset dalam penerbitannya. Peneltian ini mengkaji penggunaan hak manfaat pada negara yang menggunakan civil law seperti Indonesia. Jenis penelitian ini adalah normatif yang menggunakan pendekatan Statute Approach, didukung Comparative Approach dan Conceptual Approach. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka yang didukung dengan wawancara dan penelitian terlibat. Hasil penelitian ini menunjukkan Barang Milik Negara dikenal dalam sistem hukum civil law, common law dan hukum Islam. Latar pemikiran civil law adalah hukum alam, sedangkan common law adalah aspek rasional para hakim, adapun pada hukum Islam adalah aspek Illahiyah dalam kepemilikan. Konsep hak manfaat dikenal dalam hukum Islam dan common law, namun tidak dikenal dalam civil law. Hak manfaat dikenal dalam sistem common law dengan konsep bundle of right. Hak manfaat juga diakui dalam hukum Islam, karena manfaat dari suatu barang adalah tujuan yang dikehendaki dari kepemilikan barang. Sedangkan dalam civil law, hak manfaat tidak dikenal karena menggunakan konsep undivided ownership. Penggunaan Barang Milik Negara dalam penerbitan Sukuk ada dua jenis, yaitu Sukuk berbasis aset riil dan Sukuk yang melekat pada dan dijamin oleh aset riil.

Sukuk is an potential alternative source of state finance. State property needs underlying aset in Sukuk issuance. This study examines the utilization issuance of beneficial title in civil law countries such as Indonesia. This is normative research that employ Statutory Approach approach, supported by Comparative Approach and Conceptual Approach. Data collection is done by library research, supported by interviews and participatory research. The results of this study show that State Property is recognized in civil law system, common law as well as Islamic law. The civil law foundation of thought is natural law, while common law is a rational aspect of judges, and Islamis laws are divine aspec of Allah as ultimate owner. The concept of beneficial title is recognized in Islamic law and common law, but is not known in civil law. The beneficial title is recognized in the common law system with the bundle of rights concept. The beneficial title is also recognized in Islamic law, since the benefit of a good is the desired goal of the goods possession. While in civil law, the beneficial title is unrecognized because it uses the undivided ownership concept. There are two types of utilization State Property in the Sukuk issuance, namely Sukuk based on real assets dan Sukuk attached to and guaranteed by real assets.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
D2336
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library